Dipersembahkan
untuk anak-anakku terkasih,
Siswa-Siswi
Katolik terutama Siswa-Siswi yang selama masa pendidikannya di SMA atau SMK
belum mendapatkan Pendidikan Agama Katolik (dan Budi Pekerti) di sekolah karena
ketiadaan guru atau kesulitan untuk mengakses buku-buku penunjang mata
pelajaran tersebut.
Di
dalam blog ini saya berusaha semaksimal mungkin membantu kalian dengan
menyediakan materi minimal mengikuti kriteria Standar Kompetensi Lulusan Mata
Pelajaran Pendidikan Agama Katolik (dan Budi Pekerti) sebagai persiapan kalian
menghadapi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) 2017. Besar harapan saya,
hal ini berguna bagi kalian, bukan sekedar menghadapi USBN tetapi juga berguna
bagi hidupmu dan perkembangan imanmu.
Bagi
Rekan-Rekan Guru dan semua saja yang peduli, berkompeten dan berkepentingan,
jika ada yang kurang berkenan dalam penulisan materi ini, segala koreksi
kiranya selalu diperlukan.
MATERI KHUSUS PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (DAN
BUDI PEKERTI)
PEMBAHASAN KISI-KISI USBN
TAHUN 2017
POKOK BAHASAN 1
PERUMPAMAAN TENTANG TALENTA [ Mat 25 : 14 –
30 ]
Setiap orang mempunyai
kemampuan dan bakat-bakat dalam ukuran tertentu. Kemampuan dan bakat yang
dimiliki seseorang seharusnya dikembangkan dan digunakan. Kemampuan dan bakat
adalah anugerah Tuhan, yang dalam Kitab Suci sering disebut talenta. Tuhan
menghendaki agar talenta itu dikembangkan dan digunakan. Dalam Injil Matius
25:14-30, dikisahkan tentang seorang tuan yang memanggil hamba-hambanya dan
memberi mereka sejumlah talenta untuk “dikembangkan” dan “digunakan”.
Marilah kita menyimak
perumpamaan tentang Talenta tersebut (Mat 25 : 14 – 30):
14 “Sebab hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang yang mau bepergian ke
luar negeri, yang memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada
mereka.
15 Yang seorang diberikannya lima talenta, yang seorang lagi dua dan
yang seorang lain lagi satu, masing-masing menurut kesanggupannya, lalu ia
berangkat.
16 Segera pergilah hamba yang menerima lima talenta itu. Ia menjalankan
uang itu lalu beroleh laba lima talenta.
17 Hamba yang menerima dua talenta itu pun berbuat demikian juga dan
berlaba dua talenta.
18 Tetapi hamba yang menerima satu talenta itu pergi dan menggali
lobang di dalam tanah lalu menyembunyikan uang tuannya.
19 Lama sesudah itu pulanglah tuan hamba-hamba itu lalu mengadakan
perhitungan dengan mereka.
20 Hamba yang menerima lima talenta itu datang dan ia membawa laba lima
talenta, katanya: Tuan, lima talenta tuan percayakan kepadaku; lihat, aku telah
beroleh laba lima talenta.
21 Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai
hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan
memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan
turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.
22 Lalu datanglah hamba yang menerima dua talenta itu, katanya: Tuan,
dua talenta tuan percayakan kepadaku; lihat, aku telah beroleh laba dua
talenta.
23 Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai
hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam
perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara
yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.
24 Kini datanglah juga hamba yang menerima satu talenta itu dan
berkata: Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di
tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut dari tempat di mana tuan
tidak menanam.
25 Karena itu aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di
dalam tanah: Ini, terimalah kepunyaan tuan!
26 Maka jawab tuannya itu: Hai kamu, hamba yang jahat dan malas, jadi
kamu sudah tahu, bahwa aku menuai di tempat di mana aku tidak menabur dan
memungut dari tempat di mana aku tidak menanam?
27 Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang
yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan
bunganya.
28 Sebab itu ambillah talenta itu dari padanya dan berikanlah kepada
orang yang mempunyai sepuluh talenta itu.
29 Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga
ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apa pun juga yang ada
padanya akan diambil dari padanya.
30 Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan
yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.”
Secara garis besar, ada tiga
orang yang diberikan Lima, Dua, dan Satu Talenta. Maknanya :
·
Setiap orang mempunyai talenta paling sedikit
satu.
·
Tidak ada orang yang mempunyai semua talenta.
·
Talenta setiap orang berbeda
·
Jika talenta itu digunakan, maka Tuhan akan
melipatgandakannya dan jika tidak maka Tuhan akan mengambilnya kembali.
Pada ayat 27, Talenta
diterjemahkan sebagai “uang”. Sebenarnya, secara literal “Talenta” adalah
ukuran timbangan dimana “1” Talenta sama dengan “60 Mina” atau sama dengan “34
Kg”.
Tuhan Yesus menceritakan
tentang perumpamaan tersebut untuk memberikan pengertian yang mudah untuk
dipahami tentang kemampuan, bakat, sumber daya dan kesempatan yang
dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Talenta itu haruslah dikelola dan
dikembangkan dengan baik sehingga dapat berdaya guna bagi diri
sendiri, orang lain, dan terutama demi kemuliaan Sang Pemberi Talenta, yaitu
Tuhan sendiri. Mengembangkan dan menggunakan talenta sebagaimana mestinya
adalah panggilan dan tuntutan Kristiani. Allah memberikan kemampuan dan talenta
yang berbeda kepada setiap orang dan kemampuan itu hendaklah digunakan dengan
sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama.
Dalam kisah itu terlihat pula
bahwa Tuan yang memberi talenta menindak tegas seorang hamba yang tidak mau
mengembangkan talenta dan hanya memendamnya ke dalam tanah. Hamba itu tidak mau
mengembangkan talentanya karena malas dan jahat (ay.26). Oleh tuannya hamba itu
bahkan dianggap sebagai hamba yang tak berguna. Hamba yang diberi satu talenta
tersebut melambangkan orang yang tidak mau mengembangkan bakat dan kemampuan
yang diberikan Tuhan karena kemalasan dan juga kejahatannya kepada
orang lain, dirinya sendiri, bahkan kepada Tuhan sendiri.
Kesimpulan :
Ada beberapa gagasan yang
dapat kita peroleh dari perumpamaan tersebut :
·
Yesus memberikan gambaran seorang tuan yang
memberikan talenta kepada hamba-hambanya. ( Mat 25: 14 – 30). Iapun menindak
tegas kepada seorang hamba yang tidak mau mengembangkan talenta dan hanya
memendamnya ke dalam tanah.
·
Setiap orang diberi talenta oleh Tuhan. Mereka
harus mengembangkan dan menggunakan talenta itu sebagaimana mestinya.
Mengembangkan talenta sebagaimana mestinya adalah panggilan dan tuntutan orang
beriman kristiani.
·
Kita harus mengembangkan bakat yang kita miliki,
karena Tuhan telah memberikan talenta kepada manusia ciptaan-Nya, sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki manusia masing-masing.
·
Kita harus seperti hamba yang pertama dan hamba
yang kedua yang mengembangkan talenta yang mereka punya dengan baik.
·
Kita tidak boleh mencontoh hamba yang ketiga,
yang hanya mengubur talentanya, tanpa berusaha untuk mengembangkannya.
·
Allah akan sedih dan kecewa karena kita hanya
memendam bakat yang kita miliki. Terlebih kita merasa iri hati terhadap
kemampuan yang orang lain miliki. Allah memberikan masing-masing talenta kepada
umat-Nya, dan talenta itu harus kita syukuri, serta kita kembangkan.
POKOK BAHASAN 2
MARTABAT MANUSIA DAN SIKAP DISKRIMINASI
Dewasa ini banyak terjadi pelanggaran
terhadap martabat kemanusiaan. Di berbagai tempat terjadi
kekerasan yang diakibatkan dari sikap fanatik dan diskriminatif ras, suku,
agama, budaya, dan kelompok sosial.
Sikap ini dapat menjalar pada siapa saja, tidak terkecuali orang muda. Oleh
karena itu, mereka
perlu disadarkan bahwa
sikap tersebut dapat melahirkan berbagai kekerasan dan tindakan anarkis yang
sungguh merusak dan sangat melukai martabat manusia sebagai citra Allah. Kita
harus berani membela mereka yang tertindas, tercemooh, dan teraniaya.
Sebagai sesama
citra Allah, setiap
manusia adalah bersaudara.
harus saling menghormati dan
saling mengasihi. Sikap ini seperti yang digambarkan Yesus dalam perumpamaan
tentang orang Samaria yang murah hati.
Dalam perumpamaan itu dikisahkan bagaimana orang Samaria yang baik hati
itu telah memperlakukan orang Yahudi yang mendapat bencana di jalan seperti
saudaranya sendiri, bahkan lebih dari itu.
Dalam Kitab Kej 1: 26-27
dikisahkan demikian: Berfirmanlah Allah: “Baiklah kita menjadikan manusia
menurut gambar dan rupa Kita supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan
burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala
binatang melata yang merayap di bumi. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia, laki-laki dan perempuan
diciptakan-Nya mereka”. Dalam
kutipan Kej 1: 26-27 ini jelas
dinyatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, tentang makhluk-makhluk yang lain tidak dikatakan seperti itu.
Mari kita menyimak
kutipan dari Katekismus Gereja Katolik
berikut:
·
KGK 357 Karena ia diciptakan
menurut citra Allah, manusia
memiliki martabat sebagai pribadi: ia bukan hanya sesuatu, melainkan
seorang. Ia mampu mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas dirinya, mengabdikan
diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain, dan karena
rahmat ia sudah dipanggil ke dalam perjanjian dengan Penciptanya, untuk memberi
kepada-Nya jawaban iman dan cinta, yang tidak dapat diberikan suatu makhluk
lain sebagai penggantinya.
·
KGK 358 Tuhan menciptakan segala sesuatu untuk
manusia (Bdk. GS 12,1; 24,2; 39,1), tetapi manusia itu sendiri diciptakan untuk
melayani Allah,untuk mencintai-Nya dan untuk mempersembahkan seluruh ciptaan
kepada-Nya: “Makhluk manakah yang diciptakan dengan martabat yang demikian itu?
Itulah manusia, sosok yang agung, yang hidup dan patut dikagumi, yang dalam
mata Allah lebih bernilai daripada segala makhluk. Itulah manusia; untuk dialah langit dan bumi
dan lautan dan seluruh ciptaan. Allah sebegitu prihatin dengan
keselamatannya, sehingga Ia tidak
menyayangi Putera-Nya yang tunggal untuk dia. Allah malahan tidak ragu-ragu,
melakukan segala sesuatu, supaya menaikkan manusia kepada diri-Nya dan
memperkenankan ia duduk di sebelah kanan-Nya” (Yohanes Krisostomus, Serm. in
Gen. 2,1).
·
KGK 360 Umat
manusia merupakan satu
kesatuan karena asal
yang sama. Karena Allah “menjadikan dari satu orang saja semua bangsa
dan umat manusia” (Kis 17:26) Bdk. Tob8:6. Pandangan yang menakjubkan, yang
memperlihatkan kepada kita umat manusia dalam kesatuan asal yang sama dalam
Allah dalam kesatuan kodrat, bagi semua disusun sama dari badan jasmani dan
jiwa rohani yang tidak dapat mati dalam kesatuan tujuan yang langsung dan
tugasnya di dunia; dalam kesatuan pemukiman
di bumi, dan menurut hukum kodrat semua manusia berhak menggunakan
hasil-hasilnya, supaya dengan demikian bertahan dalam kehidupan dan berkembang;
dalam kesatuan tujuan adikodrati: Allah
sendiri, dan semua orang berkewajiban untuk mengusahakannya: dalam kesatuan
daya upaya, untuk mencapai tujuan ini;… dalam kesatuan tebusan, yang telah
dilaksanakan Kristus untuk semua orang” (Pius XII Ens. “Summi Pontificatus”)
Bdk. NA 1.
·
KGK 361 “Hukum solidaritas dan cinta ini”
(ibid.) menegaskan bagi kita, bahwa kendati keaneka-ragaman pribadi, kebudayaan
dan bangsa, semua manusia adalah benar-benar saudara dan saudari.
·
KGK 362 Pribadi manusia yang diciptakan menurut
citra Allah adalah wujud jasmani sekaligus rohani. Teks Kitab Suci
mengungkapkan itu dalam bahasa kiasan, apabila ia mengatakan: “Allah membentuk
manusia dari debu tanah dan menghembuskan napas hidup ke dalam hidungnya;
demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej 2:7). Manusia seutuhnya
dikehendaki Allah
Beberapa hal yang dapat
ditarik dari dokumen di atas menyangkut martabat manusia sebagai citra Allah:
1. Kata
Citra mungkin lebih tepat kita artikan
sebagai Gambaran. Yang menggambarkan! Kalau kita mirip dengan ibu kita, itu
tidak berarti kita sama dengan ibu kita . Tetapi dengan mirip ini mau
menggambarkan sesuatu, bahwa pada diri
kita entah itu
fisiknya, karakternya,
sifat-sifatnya ada kesamaan dengan ibu. Dan kesamaan ini bukan dalam
arti yang sebenarnya, tetapi
merupakan gambaran dari
ibu. Hasil karya, entah itu seni atau yang lainnya dapat menggambarkan
si penciptanya. Demikian pula makhluk yang disebut
manusia itu, dapat
dikatakan sebagai gambaran atau citra si penciptanya, yaitu Allah
sendiri.
2. Manusia
diberi kuasa untuk menguasai alam ciptaan lain. Menguasai alam berarti menata,
melestarikan, mengembangkan, dan menggunakannya secara bertanggungjawab.
3. Karena manusia
diciptakan sebagai Citra Allah, manusia memiliki martabat sebagai pribadi: ia bukan
hanya sesuatu, melainkan seseorang. Ia mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas
diri sendiri, mengabdikan diri dalam kebebasan, dan hidup dalam kebersamaan
dengan orang lain, dan dipanggil membangun relasi dengan Allah, pencipta-Nya.
4. Persaudaraan sejati
adalah persaudaraan yang
dihayati atas dasar persamaan kodrat sebagai sesama ciptaan
Tuhan dan persamaan kodrat sebagai Citra Allah.
5. Persaudaraan
sejati tidak membedakan orang berdasarkan agama, suku, ras, ataupun golongan,
karena semua manusia adalah sama-sama umat Tuhan dan sama-sama dikasihi Tuhan.
Maka setiap orang yang membenci sesamanya, ia membenci Tuhan.
POKOK BAHASAN 3
SUARA HATI
Suara
hati secara luas dapat diartikan sebagai keinsafan akan adanya kewajiban. Hati
nurani merupakan kesadaran moral yang timbul dan tumbuh dalam hati manusia,
sedangkan hati nurani secara sempit dapat diartikan sebagai penerapan kesadaran
moral dalam situasi konkret, yang menilai suatu tindakan manusia atas buruk
baiknya. Hati nurani tampil sebagai hakim yang baik dan jujur, walaupun dapat
keliru. Suara hati atau hati nurani merupakan daya atau kemampuan khusus untuk
membedakan perbuatan baik atau perbuatan buruk, serta menilai baik-buruknya
perbuatan itu berdasarkan akal budi. Conscience atau hati nurani merupakan
hasil dialog pribadi kita yang terdalam dengan Allah ketika kita menghadapi dan
menanggapi situasi hidup sehari – hari.
Selanjutnya,
Gereja melalui Konsili Vatikan II, khususnya dalam Gaudium et Spes Art. 16,
antara lain dikatakan, “Tidak jarang terjadi, bahwa hati nurani keliru karena
ketidaktahuan yang tak teratasi. Karena hal itu, ia tidak kehilangan
martabatnya. Hal itu sebenarnya tak perlu terjadi kalau manusia berikhtiar
untuk mencari yang benar dan baik”. Itu artinya manusia tidak boleh tunduk dan
mengalah pada situasi yang membelenggu suara hati. Dengan bantuan Roh Allah
kita dimampukan untuk mengalahkan kekuatan dahsyat yang menguasai suara hati
kita, yang oleh Santo Paulus dinamai kuasa/ keinginan daging. Gaudium et
Spes, art. 16 mengartikan suara hati sebagai “inti manusia” yang menjadi tempat
manusia bertemu seorang diri dengan Allah. Di dalam hati manusia itu lah Allah
menggemakan pesanNya yakni, hukum cinta kasih. Untuk lebih jelasnya, mari kita
simak kutipan GS art. 16 berikut :
“Di lubuk hati nuraninya, manusia menemukan hukum, yang
tidak diterimanya dari dirinya sendiri, melainkan harus ditaati. Suara hati itu
selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan
menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu menggemakan dalam lubuk
hatinya: jalankan ini, elakkan itu. Sebab dalam hatinya, manusia menemukan
hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu, dan
menurut hukum itu pula ia akan diadili.
Suara hati ialah inti
manusia yang paling rahasia, sanggar suci; di situ ia seorang diri bersama
Allah, yang pesan-Nya menggema dalam hatinya. Berkat hati nurani
dikenallah secara ajaib hukum, yang dilaksanakan dalam cinta kasih terhadap
Allah dan terhadap sesama. Atas kesetiaan terhadap hati nurani, umat Kristiani
bergabung dengan sesama lainnya untuk mencari kebenaran, dan untuk dalam
kebenaran itu memecahkan sekian banyak persoalan moral, yang timbul baik dalam
hidup perorangan maupun dalam kehidupan kemasyarakatan.”
Dari
dokumen tersebut terkandung pula makna bahwa suara hati perlu terus dibina
dengan setia dan dengan segala usaha mencari kebenaran. Konkritnya, suara
hati dapat dibina dengan cara:
1.
Mengikuti
suara hati dalam segala hal
•
Seseorang
yang selalu berbuat sesuai dengan hati nuraninya, hati nurani akan semakin
terang dan berwibawa.
•
Seseorang
yang selalu mengikuti dorongan suara hati, keyakinannya akan menjadi sehat dan
kuat. Dipercayai orang lain, karena memiliki hati yang murni dan mesra dengan
Allah.
•
“Berbahagialah
orang yang murni hatinya, karena mereka akan memandang Allah.” (Mat 5: 8).
2.
Mencari
keterangan pada sumber yang baik
•
Dengan
membaca: Kitab Suci, Dokumen-Dokumen Gereja, dan buku-buku lain yang bermutu.
•
Dengan
bertanya kepada orang yang punya pengetahuan/ pengalaman dan dapat dipercaya
•
Ikut
dalam kegiatan rohani, misalnya rekoleksi, retret, dsb.
•
Koreksi
diri atau introspeksi
•
Koreksi
atas diri sangat penting untuk dapat selalu mengarahkan hidup kita.
3.
Menjaga
kemurnian hati
•
Menjaga
kemurnian hati terwujud dengan melepaskan emosi dan nafsu, serta tanpa pamrih,
yang nampak dalam tiga hal:
- Maksud yang lurus (recta intentio): ia konsisten dengan apa yang direncanakan, tanpa dibelokkan ke kiri atau ke kanan.
- Pengaturan emosi (ordinario affectum): ia tidak menentukan keputusan secara emosional.
- Pemurnian hati (purification cordis): tidak ada kepentingan pribadi atau maksud-maksud tertentu di balik keputusan yang diambil.
•
Hal ini
dapat dilatih dengan penelitian batin, seperti merefleksikan rangkaian kata dan
tindakan sepanjang hari itu, berdoa sebelum melakukan aktivitas, dan lain-lain.
POKOK BAHASAN 4
PENGARUH MEDIA TEKNOLOGI
Pada masa kini teknologi media
menjadi salah satu pemberi informasi yang paling berpengaruh dan sulit untuk
dihindari. Pengaruh tersebut dapat positif dan dapat pula negatif. Berhadapan
dengan informasi yang disampaikan oleh oleh teknologi media tersebut, sebagai
orang Kristiani, kita diajak untuk bersikap
kritis terhadap semua informasi yang kita terima. Sikap kritis membuat kita
dapat membedakan mana hal yang baik dan mana yang buruk, mana yang positif dan
mana yang negatif.
Ada beberapa upaya yang dapat
kita lakukan untuk membina sikap kritis kita terhadap media massa, di antaranya
adalah:
·
Banyak membaca buku tentang media
·
Mengikuti pelatihan dan pendidikan media, kalau
ada
·
Melatih diri untuk melihat dan mendengar tayangan
berbagai media dengan kritis
·
Bertanya dan belajar banyak dari orang-orang
yang tahu dan berpengalaman tentang media
Pada zaman Yesus, jenis media
yang ada, mungkin hanya berupa buku dan kitab. Kitab yang paling dihormati dan
ditaati oleh masyarakat Yahudi adalah Kitab Taurat yang mengatur tentang
berbagai hak dan kewajiban yang bertujuan untuk keselamatan umat. Tetapi, kaum
agamawan banyak memanipulasi Kitab tersebut sehingga menjadi beban bagi umat.
Salah satu contohnya adalah peraturan tentang Hari Sabat (Mrk 2:23-28).
Dalam kisah tersebut nampak
bahwa Yesus menyikapi Hukum Taurat mengenai Hari Sabat itu dengan kritis.
Paradigma terhadap peraturan tersebut ditolak oleh Yesus dengan mengatakan
bahwa peraturan tentang hari Sabat itu adalah demi keselamatan manusia, bukan
manusia demi hari Sabat.
Makna sikap kritis Yesus
ini bagi kita adalah bahwa kita harus membedakan yang baik dan yang
jahat/buruk, mana yang berguna bagi keselamatan manusia dan mana yang tidak.
Keselamatan manusia menjadi pilihan yang paling penting bagi Yesus dalam hidup
dan karyaNya.
POKOK BAHASAN 5
INJIL SINOPTIK
Secara arti kata bahasa,
sinoptik berasal dari bahasa Yunani, ouv (syn=bersama), owic (opsis=melihat).
Hal ini mengandung pengertian dari segi isinya yaitu dapat disejajarkan atau
secara berdampingan satu dengan lainnya. Jadi istilah Injil Sinoptik
adalah Injil-Injil yang mempunyai kesamaan dalam teknik bercerita, urutan
kronologisnya maupun gaya bahasa yang digunakan.
Kitab Injil yang termasuk dalam kelompok Injil sinoptik adalah
Matius, Markus, dan Lukas. Gaya bahasa pada ketiga Injil ini lebih
mudah dicerna seperti syair, puisi, narasinya dan penggunaan gaya bahasa
lainnya. Injil Sinoptik menggambarkan Yesus lebih pada mukjizatnya. Hal ini
bertujuan untuk menguatkan iman pembacanya.
Meskipun seringkali terdapat
kisah yang hampir sama dengan Injil Sinoptik (terutama berita mukjizat Yesus
seperti penyembuhan anak pegawai istana, pemberian makan 5000 orang dan
mukjizat Yesus berjalan diatas air) namun karena terdapat perbedaan dalam gaya
penulisannya dan penyajiannya dibandingkan dengan ketiga Injil lainnya, maka
Injil Yohanes tidak dapat dimasukkan dalam kelompok ini. Oleh karena perbedaan itu, Kitab Injil Yohanes
harus dipandang sebagai penegasan Injil
Sinoptik (Markus, Matius, dan Lukas), dan tidak menjadikannya sebagai
pertentangan.
POKOK BAHASAN 6
KERAJAAN ALLAH
Paham atau pengertian
“Kerajaan Allah” tidak muncul begitu saja pada zaman Yesus tetapi sudah
berkembang sejak Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Lama, bangsa Israel sering
menyebut Allah (Yahwe) sebagai Raja. Allah diimani mereka sebagai Raja yang
kuat, yang berkuasa, yang berdaulat. Kekuatan, kekuasaan dan kedaulatan Allah
itu misalnya dialami oleh bangsa Israel dalam peristiwa penyeberangan Laut
Merah (lih. Kel 15:11-13; Ul 3:24; Bil 23:21 dst). Sebagai Raja, Allah adalah
Raja yang adil (baca Mzm 146:6-10), yang melindungi orang miskin (lih. Im 25:
35-55). I Raja yang Mulia (Mzm 24: 8,10) Raja yang berkuasa atas seluruh bumi
(lih. Mzm 47:8), dan berkuasa untuk selama-lamanya (Mzm 29:10).
Namun dalam hidupnya bangsa
Israel sebagai bangsa terpilih, seringkali mereka tidak setia kepada Allah Sang
Raja yang selalu setia kepada mereka. Mereka sering menjauh dari Allah.
Perbuatan dosa inilah yang menyebabkan mereka jatuh dalam pembuangan dan
penindasan oleh bangsa lain. Pada masa bangsa Israel mengalami penindasan,
Allah tetap menunjukkan kesetiaan-Nya dengan mewartakan kehendak-Nya melalui
perantaraan para Nabi. Para Nabi menegaskan bahwa akan tiba saatnya Allah akan
membela mereka, Allah akan membangun suatu dunia baru, dengan hati yang baru
(lih. Yeh 36:24-28), dengan perjanjian baru (lih. Yer 31:31-34). Dunia baru itu
Allah untuk semua bangsa (lih. Yes 2:1-5;19:16-25). Dalam dunia baru itu Allah
akan menegakkan kembali pemerintahan-Nya melalui anak-Nya sendiri, “dan namanya
disebut orang Penasehat ajaib, Allah yang perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai”
(Yes 9:5). Melalui kekuasaan-Nya yang besar Ia akan menegakkan kembali damai
sejahtera seperti pada pemerintahan Raja Daud. Dan ketika Yesus hidup, pada
saat itu bangsa Israel berada dalam penjajahan bangsa Romawi. Yesus
menghidupkan kembali harapan tegak-Nya Kerajaan allah seperti yang pernah
dilakukan oleh para Nabi. Bagaimana masyarakat Yahudi pada zaman Yesus memahami
pengertian tentang Kerajaan Allah?
Pada umumnya masyarakat Yahudi
pada saat itu sesungguhnya mempunyai harapan tentang tegaknya kembali
pemerintahan dan kekuasaan Allah atas bangsa mereka. Namun penghayatan mereka
antara orang per orang maupun antar kelompok berbeda. Dalam bangsa Yahudi saat
itu ditemukan beberapa paham tentang makna Kerajaan Allah, diantaranya adalah
sebagai berikut.
1. Kerajaan
Allah yang bersifat Politis
Paham
Kerajaan Allah bersifat politis ini beranggapan bahwa Kerajaan Allah yang damai
dan sejahtera hanya akan terwujud bila Allah tampil sebagai seorang tokoh
politik yang dengan gagah berani mampu memimpin bangsa Israel melawan penjajah
Romawi dan para penindas rakyat.
2. Kerajaan
Allah yang Bersifat Apokaliptis
Paham
Kerajaan Allah yang bersifat Apokaliptis ini memandang Kerajaan Allah akan
tercapai bila Allah menunjukkan kuasa-Nya dengan menggoncangkan kekuatan-kekuatan
langit dan bumi. Pada saat itulah Allah akan membangkitkan suatu dunia baru.
Dan mereka menganggap penderitaan yang dialami bukan akhir segala-galanya,
kelak pada akhir zaman Allah akan menegakkan Kerajaan-Nya dan membebaskan
manusia dari segala penderitaan.
3. Paham
Kerajaan Allah yang Bersifat Yuridis-Religius / Legalisme
Allah
sekarang sudah meraja secara hukum, sedangkan pada akhir zaman Allah menyatakan
kekuasaan-Nya sebagai Raja semesta alam dengan menghakimi sekalian bangsa.
Mereka memandang Hukum Taurat sebagai wujud Kekuasaan Allah yang mengatur
manusia. Maka mereka yang sekarang taat kepada hukum Taurat sudah menjadi warga
Kerajaan Allah. Tetapi, jika tidak melakukan apa yang dituntut dalam hukum
Taurat mereka tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Mesias sebagai
tokoh agama yang mampu menegakkan hukum Taurat. Inilah paham Kerajaan Allah
yang diyakini oleh para tokoh agama Yahudi yakni Para Imam dan Ahli Taurat,
termasuk para nabi.
Bagaimana pandangan Yesus
sendiri tentang Kerajaan Allah? Tema pokok pewartaan Yesus adalah Kerajaan
Allah: “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat” (Mrk 1:15). Kerajaan Allah, yaitu Allah yang datang
sebagai Raja, sudah dekat. Ciri khas pewartaan Yesus ialah bahwa kedatangan
Allah sebagai Raja Penyelamat dinyatakan akan terjadi dengan segera. Yesus
menegaskan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat (Mrk 1:15; 13:29;Mat 10:7), sudah
diambang pintu (Luk 17:20-21,37). Walaupun pewartaan Kerajaan Allah sudah ada
sebelum Yesus, baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam agama Yahudi, bagi Yesus
pewartaan Kerajaan mempunyai arti yang khusus. Pertama karena Kerajaan Allah
paling pokok dalam sabda dan karya Yesus. Tetapi juga karena Kerajaan mempunyai
ciri-ciri khas dalam pewartaan Yesus. Bagi Yesus kedatangan Kerajaan mendesak,
karena kemalangan manusia hampir tidak tertahan lagi. Maka belas-kasihan dan
kerahiman Allah juga tidak akan tertunda lagi. Bagi Yohanes kemalangan zaman
itu berarti hukuman dari Allah (lih. Mat 3:7- 8 dst.), bagi Yesus justru ajakan
bertobat (Luk 13:3.5). Kemalangan menjadi tanda kedatangan Allah yang
maharahim. Pewartaan Kerajaan adalah pewartaan kerahiman Allah dan karena itu
merupakan warta pengharapan. Kerajaan Allah berarti turun tangan Allah untuk
menyelamatkan, untuk membebaskan dunia secara total dari kuasa kejahatan (lih.
Luk 10:18). Maka sabda Yesus tertuju kepada orang yang menderita (lih. ”Sabda
bahagia”: Luk 6:20-23 dsj.). Pewartaan Yesus bukan janji-janji lagi. Dan dalam
diri Yesus, Kerajaan Allah telah datang, “Pada hari ini genaplah nas ini
sewaktu kamu mendengarnya” (Baca Luk 4:14-32). Singkatnya, Kerajaan Allah adalah ketika Allah meraja melalui sabda dan tindakan
Yesus dan akan mencapai kepenuhanNya pada akhir zaman.
Pewartaan Yesus mengenai Kerajaan Allah ditujukan kepada pertobatan
manusia. Ia memanggil orang supaya siap siaga menerima Kerajaan Allah
bila datang. Dalam hubungan ini mengesanlah betapa ditekankan oleh Yesus sifat
“rahmat” Kerajaan: “Bapa memberikan Kerajaan” (Luk 12:32; juga 22:29). Oleh
karena itu orang harus menerima Kerajaan “seperti kanak-kanak” (Mrk 10:14 dsj.;
lih. juga Luk 6:20 dsj.). Tawaran rahmat itu sekaligus merupakan tuntutan
mutlak: “Kamu tidak dapat sekaligus mengabdi kepada Allah dan kepada mamon
(uang)” (Mat 6:24). Kerajaan Allah adalah panggilan dan tawaran rahmat Allah,
dan manusia harus menerimanya dengan sikap iman yang dinyatakan dalam perbuatan
yang baik, sebab Kerajaan Allah, kendatipun berarti Allah dalam kerahiman-Nya,
juga merupakan kenyataan bagi manusia. Kerajaan Allah harus diwujudnyatakan
dalam kehidupan manusia. Pengharapan akan Kerajaan tidak tertuju kepada suatu
peristiwa yang akan terjadi dalam masa yang akan datang, melainkan diarahkan
kepada Allah sendiri dan menjadi kenyataan dalam penyerahan itu sendiri, kalau
manusia boleh bertemu dengan Allah.
Kesimpulannya,
Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus meliputi :
•
Kedatangan Allah sebagai Raja Penyelamat
dinyatakan akan terjadi dengan segera.
•
Pewartaan Kerajaan Allah adalah pewartaan
Kerahiman Allah dan karena itu merupakan warta pengharapan.
•
Pewartaan Yesus mengenai Kerajaan Allah
ditujukan kepada pertobatan manusia, supaya tiap orang siap siaga menerima
Kerajaan Allah bila datang.
•
Kerajaan Allah adalah panggilan dan tawaran
rahmat Allah, dan manusia harus menerimanya dengan sikap iman yang dinyatakan
dalam perbuatan yang baik.
Kerajaan Allah menurut
pengajaran para Bapa Gereja memang dapat diartikan menjadi tiga hal, dan hal
ini diajarkan oleh Paus Benediktus XVI dalam bukunya Jesus of Nazareth, yaitu: 1) Yesus sendiri, karena seperti
diajarkan oleh Origen, Yesus adalah Kerajaan Allah yang menjelma menjadi
manusia; 2) Kerajaan Allah ada di dalam hati manusia yang berdoa memohon
kedatangan Kerajaan Allah itu; 3) Gereja yang merupakan perwujudan Kerajaan
Allah di dalam sejarah manusia. (Joseph Ratzinger, Pope Benedict XVI,
Jesus of Nazareth, (Double Day, New York, USA, 2007), p.49-50).
Kerajaan Surga adalah
kepenuhan Kerajaan Allah di Surga kelak, yang sebenarnya adalah pemenuhan
ketiga hal di atas sekaligus, sebab di Kerajaan Surga maka kita semua sebagai
umat beriman yang tergabung dalam Gereja, akan bersatu dengan Kristus yang
adalah Kepalanya, sehingga Kristus meraja di hati semua manusia.
Atau jika kita melihat bahwa Kerajaan Surga adalah Kerajaan
Allah di Surga kelak, maka di sini pengertian “Kerajaan Allah” terlihat lebih
luas artinya, karena mencakup Kerajaan-Nya yang masih mengembara di dunia ini,
yaitu Gereja-Nya. Gereja sebagai Kerajaan Allah ini akan mencapai kesempurnaannya
di dalam Kerajaan Surga. Maka Surga dan Kerajaan Surga itu sama, hanya
penekanannya agak berbeda. Kata “Surga” biasanya dipakai untuk menyatakan
tempat/ keadaan terberkati yang ilahi, biasanya untuk dikontraskan dengan
neraka. Sedangkan Kerajaan Surga biasanya untuk menekankan kesempurnaan
Kerajaan Allah, yang telah dibentuk Allah sejak awal mula, sejak dari masa
Penciptaan, pembentukan bangsa Israel (Kerajaan Allah di PL), dan Gereja
(Kerajaan Allah di PB) yang akan terus bertahan sampai akhir jaman, dan yang
disempurnakan sebagai Kerajaan Surga.
POKOK BAHASAN 7
BUAH-BUAH ROH KUDUS
Dalam suratnya kepada Jemaat
di Galatia, Paulus menyampaikan tentang “buah-buah Roh Kudus”. Buah Roh Kudus
(bahasa Yunani: καρπος, karpos, "buah"; πνευματος, pneumatos,
"roh") adalah istilah Alkitab yang merangkum 9 sifat nyata dari hidup
Kristiani yang sejati menurut rasul Paulus. Meskipun tertulis ada 9 sifat (atau
"atribut"), tetapi istilah aslinya dalam bahasa Yunani untuk
"buah" adalah kata tunggal, menegaskan bahwa hanya ada satu macam
"Buah", dengan 9 sifat. Di seluruh Alkitab, orang saleh diibaratkan
seperti pohon (Mazmur 92:12; Amsal 11:30) dan di pasal ini Paulus menjelaskan
buah macam apa yang dihasilkan oleh "pohon yang baik" yaitu orang
saleh atau orang benar. Buah ini akan dihasilkan oleh mereka yang
sungguh-sungguh bertobat, yang menjadi pengikut sejati Yesus Kristus (Matius
3:8). Sebaliknya, jika seseorang tidak
menghasilkan buah ini, ia bukanlah seorang Kristiani sejati.
Kesembilan buah Roh tersebut
adalah :
1. Kasih
(bahasa Yunani: agape, bahasa Latin: caritas, bahasa Inggris: love, charity).
Kasih "agape" menunjukkan kehendak hati yang murah hati dan tidak
dapat dikuasai yang selalu menginginkan kebaikan orang lain, tanpa peduli apa
yang dilakukan orang itu. Merupakan kasih yang memberi yang diberikan cuma-cuma
tanpa mengharapkan balasan dan tidak mempertimbangkan nilai pemberiannya. Agape
menggambarkan kasih Allah yang tanpa pamrih kepada dunia ini. Kata ini terutama
dipakai oleh Paulus dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus pasal
13 menggambarkan pengorbanan, seperti yang dilakukan oleh Yesus Kristus dengan
kematiannya di kayu salib untuk menebus dosa manusia, yang tidak memegahkan
diri:Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak
memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan
tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan
kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena
kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan
segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan.
2. Sukacita
(bahasa Yunani: chara, bahasa Latin: gaudium, bahasa Inggris: joy). Kata Yunani
untuk "sukacita" adalah chara, yang berasal dari kata charis, yaitu
kata Yunani untuk "rahmat". Dalam kaitan ini, "sukacita"
(chara) dihasilkan oleh "rahmat" (charis) Allah. Jadi 'sukacita' ini
bukan kebahagiaan manusia yang sesaat saja, melainkan 'sukacita sejati' yang bersumber
dari Khalik kudus. Merupakan ekspresi dari Roh yang berkembang paling bagus
pada waktu kesusahan. Misalnya, dalam 1 Tesalonika 1:6, jemaat Tesalonika
mengalami tekanan berat akibat penganiayaan; tetapi di tengah kesusahan itu,
mereka terus mengalami sukacita besar. Kata chara memberi makna sukacita yang
luar biasa karena Roh Kudus bekerja di dalam orang itu.
3. Damai
sejahtera (bahasa Yunani: eirene, bahasa Latin: pax, bahasa
Inggris: peace). "Damai sejahtera" ini merupakan hasil penyandaran
pada hubungan dengan Allah. Damai ini adalah keadaan istirahat yang tenang,
dihasilkan dari mencari Allah, dan berlawanan dengan keadaan "kacau
balau" (chaos). Kata aslinya dalam bahasa Yunani "eirene"
merupakan terjemahan dari kata bahasa Ibrani "syalom" (shalom) yang
merupakan ekspresi dari kepenuhan, kesempurnaan atau ketenangan jiwa yang tidak
dipengaruhi oleh keadaan ataupun tekanan dari luar. Kata eirene menegaskan
kekuatan keteraturan yang berlawanan dengan kekacaubalauan.
4. Kesabaran
(bahasa Yunani: makrothumia, bahasa Latin: longanimitas, bahasa Inggris:
patience, forbearance, longsuffering). Kesabaran dalam bahasa Yunani aslinya
"makrothumia" terdiri dari dua kata: makros, "panjang," dan
thumos "temperamen", yang memberikan makna "kelunakan",
"mau menanggung", "panjang sabar", "tabah",
"tahan menderita". Juga termasuk dalam kata makrothumia ini kekuatan
untuk menanggung aniaya dan perlakuan buruk. Menggambarkan orang yang memiliki
kemampuan untuk membalas dendam, tetapi sebaliknya memilih untuk menahan diri.
5. Kemurahan
(bahasa Yunani: chrestotes, bahasa Latin: benignitas, bahasa Inggris:
kindness, benignity). Kemurahan bukan hanya berlaku manis. Orang dapat berbuat
murah hati tetapi tidak berperilaku manis. Kelakuan manis lebih bermakna
"dapat diterima", sedangkan kemurahan merupakan tindakan yang
bermanfaat bagi orang lain tanpa peduli tindakan sebelumnya. Kata christotes
merupakan perbuatan baik yang nyata, kelembutan dalam berlaku terhadap yang
lain, bersikap penuh rahmat.
6. Kebaikan
(bahasa Yunani: agathosune, bahasa Latin: bonitas, bahasa Inggris:
goodness). Kebaikan ini meliputi :
a. Keadaan
atau kualitas untuk bersikap baik
b. Kemuliaan
perilaku; kebajikan
c. Perasaan
manis, murah hati, ringan tangan
d. Bagian
terbaik dari semuanya; Intisari; Kekuatan;
e. Karakter
umum yang dikenali dalam kualitas atau perbuatan.
7. Kesetiaan
(bahasa Yunani: pistis, bahasa Latin: fides, bahasa Inggris: faithfulness,
faith). Kesetiaan adalah mendedikasikan diri kepada sesuatu atau seseorang,
misalnya pasangan hidup, atau suatu hal atau suatu kepercayaan/agama. Menjadi
setia membutuhkan tekad pribadi untuk tidak menyimpang jauh dari komitmen atau
janji. Tidak selalu mudah untuk menjadi setia. Iman Kristen membutuhkan
kepercayaan kepada Allah.
8. Kelemahlembutan
(bahasa Yunani: prautes, bahasa Latin: modestia, bahasa Inggris:
gentleness, meekness, modesty). Dalam bahasa Yunani, prautes dikenal sebagai
"kelembahlembutan". New Spirit Filled Life Bible mendefinisikan
kelemahlembutan sebagai "disposisi yang bertemperamen stabil, tenang,
seimbang dalam roh, tidak sombong, dan dapat menguasai emosi. Kata ini
diterjemahkan sebagai 'kelemahlembutan,' bukan merupakan indikasi kelemahan,
melainkan kemampuan menguasai energi dan kekuatan. Orang yang mempunyai
kualitas ini mampu mengampuni kesalahan, memperbaiki kekeliruan, dan menguasai
jiwanya sendiri dengan baik."
9. Penguasaan
diri (bahasa Yunani: egkrateia, bahasa Latin: continentia, bahasa
Inggris: self-control, chastity). Kata Yunani "egkrateia"
[engkrateia] bermakna "mempunyai kuasa atas" (kata dasar
"krat-" seperti pada kata "demokrat", yang berarti
"pemerintahan"), atau "kepemilikan atas kelakuan sendiri."
Kata yang sama dipergunakan oleh rasul Petrus dalam suratnya yang kedua pasal
1:5-7:"Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk
menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan
kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan
kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara,
dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang."
Penyampaian sifat-sifat buah
Roh ini didahului dengan peringatan untuk tidak melakukan "perbuatan
daging" yang diikuti dengan sejumlah sifat-sifat yang buruk, berlawanan
dengan buah Roh (Galatia 5:19-21). Sifat-sifat baik dari buah Roh disampaikan
dalam bentuk "pleonasme" yang menurut ahli retorik George Kennedy
adalah "Penggabungan runtunan kata yang mengalir ke luar dari hatinya
(Paulus)"[5] Ini merupakan ciri khas tulisan Paulus (Lihat: Roma 1:29-31;
Roma 13:13; 1 Korintus 6:9-10; 2 Korintus 12:20;Galatia 5:19-23; Filipi
4:8).[5]
POKOK BAHASAN 8
SYAHADAT PARA RASUL
Tradisi dan Kitab Suci saling
berhubungan. Tradisi mempunyai titik beratnya dalam Kitab Suci, tetapi tidak
terbatas pada Kitab Suci. Sebaliknya, tradisi berusaha terus menghayati dan
memahami kekayaan iman yang terungkap di dalam Kitab Suci. Kekayaan iman itu
misalnya Syahadat. Di dalam Kitab Suci, kita tidak menemukan Syahadat, tetapi
apa yang terungkap dalam Syahadat jelas dilandaskan pada Kitab Suci. Untuk
jelasnya, kita akan mempelajari buah karya tradisi, yaitu Syahadat. Kita akan
mencoba membandingkan dua Syahadat, yaitu Syahadat Para Rasul (Syahadat
Singkat) dan Syahadat dari Konsili Nicea (Syahadat Panjang).
SYAHADAT PARA RASUL (SYAHADAT SINGKAT)
|
SYAHADAT NICEA-KONSTANTINOPEL (SYAHADAT
PANJANG)
|
Aku percaya akan
Allah,
Bapa yang Mahakuasa, pencipta langit dan Bumi Dan akan Yesus Kristus, PutraNya yang tunggal, Tuhan kita Yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh perwan Maria. Yang menderita sengsara dalam pemerintahan Ponsius Pilatus, disalibkan wafat dan dimakamkan, Yang turun ketempat penantian, pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati Yang naik kesurga, duduk disebelah kanan Allah bapa yang Mahakuasa. Dari situ ia kan datang mengadili orang hidup dan mati. Aku percaya akan Roh Kudus, Gereja katolik yang Kudus, persekutuan para kudus Pengampunan Dosa, Kebangkitan badan, Kehidupan kekal. Amin. |
Aku percaya akan
satu Allah,
Bapa yang mahakuasa, pencipta langit dan bumi, dan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan; dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah yang tunggal. Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar. Ia dilahirkan, bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa; segala sesuatu dijadikan oleh-Nya. Ia turun dari surga untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita. Ia dikandung dari Roh Kudus, Dilahirkan oleh Perawan Maria, dan menjadi manusia. Ia pun disalibkan untuk kita, waktu Pontius Pilatus; Ia menderita sampai wafat dan dimakamkan. Pada hari ketiga Ia bangkit menurut Kitab Suci. Ia naik ke surga, duduk di sisi Bapa. Ia akan kembali dengan mulia, mengadili orang yang hidup dan yang mati; kerajaan-Nya takkan berakhir. aku percaya akan Roh Kudus, Ia Tuhan yang menghidupkan; Ia berasal dari Bapa dan Putra, yang serta Bapa dan Putra, disembah dan dimuliakan; Ia bersabda dengan perantaraan para nabi. aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik. aku mengakui satu pembaptisan akan penghapusan dosa. aku menantikan kebangkitan orang mati dan hidup di akhirat. amin. |
Siapa yang berkata: “Aku
percaya (Credo)”, menegaskan: “Saya setuju dengan apa, yang kita percaya”.
Persekutuan dalam iman membutuhkan bahasa iman yang sama, yang mengikat semua
dan yang mempersatukan dalam pengakuan iman yang sama. Rumusan iman bersama
inilah yang disebut “pengakuan iman”, atau “simbola iman”, atau “syahadat”.
Sejak awal, Gereja rasuli
sudah mengungkapkan dan meneruskan imannya dalam rumus-rumus yang singkat dan
baku untuk semua (bdk. Rom. 10:9; 1 Kor. 15:3-5). Tetapi dengan segera Gereja
juga hendak memasukkan intisari imannya dalam ringkasan yang organis dan
tersusun, yang dimaksudkan terutama untuk calon Baptis. Sebagaimana ditulis
Sirilus dari Yerusalem (315-386 AD): “Bukan kesewenang-wenangan manusiawi telah
menyusun ringkasan iman ini, melainkan ajaran-ajaran terpenting dari seluruh
Kitab Suci dihimpun di dalamnya, menjadi ajaran iman yang satu-satunya.
Bagaikan biji sesawi membawa banyak cabang dalam sebuah biji kecil, demikianlah
ringkasan iman ini mencakup dalam kata-kata yang sedikit semua pengetahuan dari
Perjanjian Lama dan Baru”.
Sesuai dengan tradisi lama
yang sudah disaksikan oleh Sto. Ambrosius (340-397 AD), orang biasanya
menghitung dua belas artikel atau pasal Credo, supaya jumlah para Rasul itu
melambangkan seluruh iman rasuli. Di samping berbagai simbola iman, dua
pengakuan iman mendapat tempat yang sangat khusus dalam kehidupan Gereja, yaitu
Syahadat Para Rasul dan Syahadat Nicea-Konstantinopel. Syahadat Para Rasul
dinamakan demikian, karena dengan alasan kuat ia dipandang sebagai rangkuman
setia dari iman para Rasul. Itulah pengakuan Pembaptisan lama dalam Gereja Roma.
Karena itu Syahadat ini mempunyai otoritas tinggi. Sebagaimana ditegaskan Sto.
Ambrosius: “Itulah simbolum yang dijaga Gereja Roma, di mana Petrus, yang
pertama di antara para Rasul, mempunyai takhtanya dan ke mana ia membawa ajaran
iman para Rasul itu”.
Memperhatikan sepintas lalu
Syahadat Para Rasul itu, satu-dua ciri segera tampak: rumusannya lebih singkat,
bahasa sederhana, konkret, dan mudah diikuti, lebih dekat dengan bahasa Kitab
Suci. Perlu diketahui bahwa alam pikiran Kitab Suci seluruhnya adalah alam
pikiran Semit, yang berbeda dengan alam pikiran Yunani. Pandangan Semit
sesungguhnya bersifat dinamis, konkret dan fungsionil. Dalam alam pikiran ini,
berbicara mengenai Allah tidak pertama-tama ditanyakan, apa Allah itu (zat-Nya,
hakekat-Nya), melainkan apa yang secara konkret dikerjakan-Nya. Tetapi setelah
Gereja berkembang di dunia helenis (Yunani-Romawi), berlangsunglah proses
peralihan dari alam pikiran Semit (fungsionil) ke alam pikiran Yunani
(abstrak-esensialistis). Segi, yang kurang mendapat perhatian dalam alam
pikiran Semit, menimbulkan persoalan yang rumit di lingkungan alam pikiran
Yunani. Perdebatan pokok berpusat pada zat keallahan Putera dan Roh Kudus.
Berbagai macam bidaah (kesesatan) bermunculan. Ada yang menyangkal bahwa Yesus
Kristus adalah Allah sejati (Arianisme, Adopsianisme); ada pula yang menyangkal
bahwa Yesus Kristus adalah manusia sejati (Doketisme, Apolinarisme,
Monofisitisme); dan ketiga ada yang menyangkal kesatuan pribadi Kristus, bahwa
dalam Kristus terdapat dua pribadi: Allah Putera dan Manusia Yesus
(Nestorianisme). Di tengah segala macam silang pendapat seperti itu, Gereja
harus menjaga ortodoksi ajaran iman berdasarkan ajaran para Rasul (Kitab Suci).
Sesudah perdebatan hangat yang
berlangsung lama, maka berturut-turut ditetapkan oleh kewibawaan gerejawi
bahwa: Tuhan Yesus Kristus, Putera Allah, lahir dari ‘hakekat’ (ousia,
substantia) Bapa … Allah sejati (Aléthinos) … sehakekat (homo-ousios) dengan
Bapa (Konsili Nicea, tahun 325 AD, DS 125). Roh Kudus, Tuhan yang menghidupkan,
terbit dari Bapa, dan sama-sama disembah serta dimuliakan dengan Bapa dan
Putera (Konsili Konstantinopel I, tahun 381 AD, DS 150). Sungguh dan
benar-benar berasal dari Bapa, seperti Putera berasal daripada-Nya, yaitu dari
hakekat (substantia) ilahi, dan (Roh Kudus) itu sungguh-sungguh Allah (Konsili
Roma, tahun 382, Tomas Damasi, DS 168). Akhirnya semua dikumpulkan dalam rumus
ini: Hanya ada satu Allah … Bapa dan Putera dan Roh Kudus, tiga diri (personae,
hyposthaseis), tetapi satu hakekat (essentia), wujud (substantia) atau kodrat
(natura) yang tunggal sama sekali. Bapa … Putera … dan Roh Kudus … sehakekat
(consubstantiales, homoousioi) dan sama (coaequales) … . Tritunggal yang Kudus
ini adalah tunggal (individua) menurut hakekat-Nya bersama (communa essentia),
tetapi berbeda (discreta) menurut sifat-sifat pribadi (personales proprietates)
(Konsili Lateran IV, tahun 1215 AD, DS 800). Rumus teologisnya yang sangat
padat: “satu kodrat (natura) dan tiga diri (personae) ilahi”.
Peralihan dari alam pikiran
Semit (fungsionil) ke alam pikiran Yunani (abstrak-esensialistis) tentu
mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya ialah bahwa pokok-pokok
iman dirumuskan secara lebih tepat dan secara logis lebih jelas. Kelemahannya,
perkembangan refleksi imani (teologis) selanjutnya menjadi sempit dan berat
sebelah. Lama-kelamaan titik tolak refleksi teologis bukan lagi Kitab Suci,
melainkan dogma-dogma yang telah ditetapkan oleh kewibawaan gerejawi. Misalnya,
gagasan Allah trinitaris dalam Kitab Suci, yang tampil dalam rangka karya
penyelamatan (seringkali disebut ‘Trinitas ekonomis’), bergeser dan berpusat
pada ‘Trinitas imanen’, dalam diri Allah sendiri (statis). Akibatnya seluruh
permenungan teologis menjadi abstrak, seperti tentang Allah yang esa (De Deo Uno), tentang Allah Trinitas (De Deo Trinatate).
Berbeda dengan gagasan triniter biblis yang bersifat menurun dinamis
fungsional: Allah, Bapa mengutus Putera-Nya yang Tunggal dalam Roh Kudus untuk
menyelamatkan manusia. Struktur menurun-dinamis-fungsionil ini masih jelas
terlihat dalam Syahadat Nicea-Konstantinopel. Memang Konsili Nicea (325 AD)
berpusat pada tema ‘Kristus’, dan karena itu sering disebut Konsili Kristologis
(lih. psl. 2 Syahadat Nicea-Konstantinopel). Sedangkan Konsili Konstantinopel I
(381 AD) berpusat pada Roh Kudus, dan karenanya kerap dinamakan Konsili ‘Roh
Kudus’ (lih. psl. 8).
Kesimpulan :
Alasan Gereja membuat syahadat
adalah : sebagai penerusan Tradisi yang berasal dari Para Rasul atau bersumber
dari ajaran mereka dan untuk membatasi ajaran Gereja dari ajaran-ajaran sesat
yang berkembang dari abad ke III dan abad ke IV sekaligus melawannya.
POKOK BAHASAN 9
SIMBOL-SIMBOL ROH KUDUS
Dalam Kitab Suci, ada 8 simbol
yang menandakan turunnya Roh Kudus, yaitu :
1. Air : Dalam upacara Pembaptisan, air
adalah lambang tindakan Roh Kudus, karena sesudah menyerukan Roh Kudus, air
menjadi tanda sakramental yang berdaya guna bagi kelahiran kembali. Seperti
pada kelahiran kita yang pertama, kita tumbuh dalam air ketuban, maka air
Pembaptisan adalah tanda bahwa kelahiran kita untuk kehidupan ilahi,
dianugerahkan kepada kita dalam Roh Kudus. “Dibaptis dalam satu Roh”, kita juga
“diberi minum dari satu Roh” (1 Kor 12:13). Jadi Roh dalam Pribadi-Nya adalah
air yang menghidupkan, yang mengalir dari Kristus yang disalibkan dan yang
memberi kita kehidupan abadi.
2. Urapan : Salah satu lambang Roh Kudus
adalah juga urapan dengan minyak, malahan sampai [urapan minyak] menjadi
sinonim dengan [Roh Kudus]. Dalam inisiasi Kristen, urapan adalah tanda
sakramental dalam Sakramen Penguatan, yang karenanya dinamakan “Khrismation”
dalam Gereja-gereja Timur. Tetapi untuk mengerti sepenuhnya bobot nilai dari
lambang ini, orang harus kembali ke urapan pertama, yang Roh Kudus kerjakan,
yaitu Urapan Yesus. “Khristos” (terjemahan dari kata bahasa Ibrani “Mesias”)
berarti “yang diurapi dengan Roh Allah”. Dalam Perjanjian Lama sudah ada orang
yang “diurapi” Tuhan; terutama Daud adalah seorang yang diurapi. Tetapi Yesus
secara khusus adalah Dia yang diurapi Allah: kodrat manusiawi yang Putera
terima, diurapi sepenuhnya oleh Roh Kudus. Oleh Roh Kudus, Yesus menjadi
“Kristus”. Perawan Maria mengandung Yesus dengan perantaraan Roh Kudus, yang
mengumumkan-Nya melalui malaikat pada kelahiran-Nya sebagai Kristus, dan yang
membawa Simeon ke dalam kenisah, supaya ia dapat melihat Dia yang diurapi
Tuhan. Roh Kudus-lah yang memenuhi Kristus, dan kekuatan-Nya keluar dari
Kristus, waktu Ia melakukan penyembuhan dan karya-karya keselamatan. Pada
akhirnya Ia jualah yang membangkitkan Yesus dari antara orang mati. Dalam
kodrat manusiawi-Nya, yang adalah pemenang atas kematian, setelah sepenuhnya
dan seutuhnya menjadi “Kristus”, Yesus memberikan Roh Kudus secara berlimpah
ruah, sampai “orang-orang kudus” dalam persatuan-Nya dengan kodrat manusiawi
Putera Allah menjadi “manusia sempurna” dan “menampilkan Kristus dalam
kepenuhan-Nya” (Ef 4:13): “Kristus paripurna”, seperti yang dikatakan Santo
Agustinus.
3. Api : Sementara air melambangkan
kelahiran dan kesuburan kehidupan yang dianugerahkan dalam Roh Kudus, api
melambangkan daya transformasi perbuatan Roh Kudus. Nabi Elia, yang “tampil
bagaikan api dan perkataannya bagaikan obor yang menyala” (Sir 48:1), dengan
perantaraan doanya menarik api turun atas kurban di Gunung Karmel — lambang api
Roh Kudus yang mengubah apa yang Ia sentuh. Yohanes Pembaptis, yang mendahului
Tuhan “dalam roh dan kuasa Elia” (Luk 1:17) mengumumkan Kristus sebagai Dia,
yang “akan membaptis dengan Roh Kudus dan dengan api” (Luk 3:16). Mengenai Roh
ini Yesus berkata: “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapa Aku
harapkan, api itu telah menyala” (Luk 12:49). Dalam “lidah-lidah seperti
api” Roh Kudus turun atas para rasul pada pagi hari Pentakosta dan memenuhi
mereka (Kis 2:3-4). Dalam tradisi rohani, lambang api ini dikenal
sebagai salah satu lambang yang paling berkesan mengenai karya Roh Kudus:
“Janganlah padamkan Roh” (1 Tes 5:19).
4. Awan dan Sinar : Kedua lambang ini
selalu berkaitan satu sama lain, ketika Roh Kudus menampakkan Diri. Sejak masa
teofani Perjanjian Lama, awan — baik yang gelap maupun yang cerah — menyatakan
Allah yang hidup dan menyelamatkan, dengan menyelubungi kemuliaan-Nya yang
adikodrati. Demikian juga dengan Musa di Gunung Sinai, dalam kemah wahyu dan
selama perjalanan di padang gurun; pada Salomo waktu pemberkatan kenisah. Semua
gambaran ini telah dipenuhi dalam Roh Kudus oleh Kristus. Roh turun atas
Perawan Maria dan “menaunginya”, supaya ia mengandung dan melahirkan Yesus (Luk
1:35). Di atas gunung transfigurasi, [Roh Kudus] datang dalam awan “yang
menaungi” Yesus, Musa, Elia, Petrus, Yakobus, dan Yohanes, dan “satu suara
kedengaran dari dalam awan: Inilah Anak-Ku yang Kupilih dengarkanlah Dia” (Luk
9:34-35). “Awan” yang sama itu akhirnya menyembunyikan Yesus pada hari Kenaikan-Nya
ke surga dari pandangan para murid (Kis 1:9); pada hari kedatangan-Nya awan itu
akan menyatakan Dia sebagai Putera Allah dalam segala kemuliaan-Nya.
5. Meterai : Meterai adalah sebuah lambang
yang erat berkaitan dengan pengurapan. Kristus telah disahkan oleh “Bapa dengan
meterai-Nya” (Yoh 6:27) dan di dalam Dia, Bapa juga memeteraikan tanda
milik-Nya atas kita. Karena gambaran meterai (bahasa Yunani “sphragis”)
menandakan akibat pengurapan Roh Kudus yang tidak terhapuskan dalam penerimaan
Sakramen Pembaptisan, Penguatan, dan Tahbisan (Imamat), maka ia dipakai dalam
berbagai tradisi teologis untuk mengungkapkan “karakter” yang tidak
terhapuskan, tanda yang ditanamkan oleh ketiga Sakramen yang tidak dapat
diulangi itu.
6. Tangan : Yesus menyembuhkan orang sakit dan memberkati
anak-anak kecil, dengan meletakkan tangan ke atas mereka. Atas Nama-Nya para
Rasul melakukan hal yang sama. Melalui peletakan tangan para rasul, Roh Kudus
diberikan. Surat kepada umat Ibrani memasukkan peletakan tangan dalam “unsur-unsur
pokok” ajarannya. Dalam epiklese sakramentalnya, Gereja mempertahankan tanda
pencurahan Roh Kudus ini yang mampu mengerjakan segala sesuatu.
7. Jari : “Dengan jari Allah” Yesus
mengusir setan (Luk 11:20). Sementara perintah Allah ditulis dengan “jari Allah”
atas loh-loh batu (Kel 31:18); “surat Kristus” yang ditulis oleh para rasul,
“ditulis dengan Roh Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada
loh-loh daging yaitu di dalam hati manusia” (2 Kor 3:3). Madah “Veni Creator
Spiritus” berseru kepada Roh Kudus sebagai “jari tangan kanan Bapa” (digitus
Paternae dexterae).
8. Merpati : Pada akhir air bah (yang
adalah lambang pembaptisan), merpati — yang diterbangkan oleh Nuh dari dalam
bahtera — kembali dengan sehelai daun zaitun segar di paruhnya sebagai tanda
bahwa bumi sudah dapat didiami lagi. Waktu Kristus naik dari air
Pembaptisan-Nya, Roh Kudus — dalam rupa merpati — turun atas-Nya dan berhenti
di atas-Nya. Roh turun ke dalam hati mereka yang sudah dimurnikan oleh
Pembaptisan dan tinggal di dalamnya. Di beberapa gereja, Ekaristi Suci disimpan
di dalam satu bejana logam yang berbentuk merpati (columbarium) dan digantung
di atas altar. Merpati dalam ikonografi Kristen sejak dahulu adalah lambang Roh
Kudus.
POKOK BAHASAN 10
GEREJA SEBAGAI UMAT ALLAH
Istilah Umat Allah sebenarnya
merupakan istilah yang sudah sangat tua. Istilah itu sudah dipakai sejak dalam
Perjanjian Lama (terdapat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, misalnya dalam Kel.
6: 6; 33: 13; Yeh. 36: 28; Ul. 7: 6, 26: 15). Istilah tersebut kemudian
dihidupkan lagi oleh Konsili Vatikan II sebagai paham yang baru. Paham Gereja
sebagai umat Allah dianggap sebagai paham yang cocok atau relevan dengan
tuntutan dan perkembangan zaman. Paham ini dinilai memiliki nilai historis
dengan umat Allah Perjanjian Lama karena Gereja menganggap diri sebagai Israel
Baru, kelanjutan dari Israel yang lama.
Bertitik tolak dari Umat
Allah dalam Perjanjian Lama, maka pengertian Umat Allah dalam paham Gereja
sekarang ini juga mempunyai hakekat / ciri khas sebagai berikut:
·
Umat Allah merupakan suatu pilihan dan
panggilan dari Allah sendiri. Umat Allah adalah bangsa terpanggil, bangsa
terpilih.
·
Umat Allah dipanggil dan dipilih Allah untuk
misi tertentu, yaitu menyelamatkan dunia.
·
Hubungan antara Allah dengan umat-Nya
dimeteraikan oleh suatu perjanjian. Umat harus menaati perintah-perintah Allah
dan Allah akan selalu menepati janji-janjiNya
·
Umat Allah selalu dalam perjalanan, melewati
padang pasir, menuju Tanah Terjanji.
Gereja sungguh merupakan UMAT
ALLAH YANG SEDANG DALAM PERJALANAN MENUJU RUMAH BAPA. Pengertian Gereja sebagai
Umat Allah dimunculkan karena Gereja sudah menjadi sangat organisatoris dan
struktur piramidal. Gereja pertama-tama bukan organisasi manusiawi, melainkan
perwujudan karya Allah yang konkret (LG 9). Gereja adalah kelompok dinamis yang
keluar dari sejarah Allah dengan manusia. Gereja mengalami dirinya sungguh erat
dengan umat manusia serta sejarahnya (GS 1). Gereja muncul dan tumbuh dari
sejarah keselamatan yang sudah dimulai dengan panggilan Abraham. Namun hal itu
bukan berarti Gereja hanyalah lanjutan bangsa Israel saja. Kedatangan Kristus
memberi arti yang baru kepada Umat Allah. Sekarang kita sudah kembali kepada
Kitab Suci, di mana Gereja sungguh merupakan satu umat Allah yang sehati
sejiwa, seperti yang ditunjukkan oleh Umat Perdana, yang imannya kita anut
sampai sekarang (lih. Kis 2:41-47). Gereja harus merupakan seluruh umat, bukan
hanya hierarki saja dan awam hanya seolah-olah merupakan tambahan, pendengar,
dan pelaksana. Gereja hendaknya MENGUMAT. Gereja sebagai umat Allah
merupakan persaudaraan/paguyuban keluarga dari orang-orang yang dipanggil oleh
Sabda Allah, dikumpulkan bersama-sama menjadi Tubuh Kristus dan hidup dari
Tubuh Kristus. Sebagai umat Allah, semua anggota Gereja mempunyai martabat yang
sama, tetapi berbeda di dalam fungsi. Jadi Gereja sebagai umat Allah adalah
paguyuban, relasi bersaudara, ikatan kesatuan Bapa, Putra, Roh Kudus, satu
iman, satu kasih, satu pengharapan yang sama derajatnya.
POKOK BAHASAN 11
KONSEKUENSI MISI UTAMA GEREJA DALAM DUNIA
Gereja sungguh merupakan umat Allah, maka
konsekuensi bagi Gereja itu sendiri:
A. Konsekuensi
bagi pimpinan Gereja (hierarki)
·
Menyadari fungsi pimpinan sebagai fungsi
pelayanan, pimpinan bukan di atas umat, tetapi di tengah umat
·
Harus peka untuk melihat dan mendengar kharisma
dan karunia-karunia yang tumbuh di kalangan umat.
B. Konsekuensi
bagi setiap anggota umat
·
Menyadari dan menghayati persatuannya dengan
umat lain. Orang tidak dapat menghayati kehidupan imannya secara individu saja.
·
Aktif dalam kehidupan mengumat, menggunakan
segala kharisma, karunia, dan fungsi yang dipercayakan kepadanya untuk
kepentingan misi Gereja di tengah masyarakat. Semua bertanggungjawab dalam hidup
dan misi Gereja.
C. Konsekuensi
bagi hubungan awam dan hierarki
Paham Gereja
sebagai umat Allah jelas membawa konsekuensi dalam hubungan antara hierarki dan
kaum awam. Kaum awam bukan lagi menjadi pelengkap penyerta, melainkan partner
hierarki. Awam dan hierarki memiliki martabat yang sama meskipun menjalankan
fungsi yang berbeda-beda.
Gereja hadir di dunia bukan
untuk dirinya sendiri. Gereja hadir dan berada dalam dunia. Kegembiraan dan
harapan, duka dan kecemasan orang-orang jaman sekarang, terutama kaum miskin
dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan
kecemasan dari murid-murid Kristus (Gereja). Sebab persekutuan murid-murid
Kristus terdiri dari orang-orang yang dipersatukan di dalam Kristus, dibimbing
oleh oh Kudus dalam peziarahan menuju Kerajaan Bapa. Semua murid Kristus telah
menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka,
persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat dalam hubungannya dengan
umat manusia serta sejarahnya (GS 1)
Singkatnya Gereja harus
menjadi Sakramen (tanda) keselamatan bagi dunia. Untuk itu, Gereja tidak lagi
bersifat eksklusif (tertutup) tetapi inklusif (terbuka). Berikut ini disebutkan
beberapa misi dan tugas Gereja terhadap dunia:
a.
Gereja
harus selalu siap untuk berdialog dengan agama dan budaya manapun juga tetapi
juga tiada hentinya mewartakan Injil yang mampu memperbaharui manusia.
Sesudah
Konsili Vatikan II, Gereja sungguh menyadari bahwa dalam agama dan budaya lain,
terdapat pula benih-benih kebenaran dan keselamatan. Maka dari itu, dibutuhkan
dialog untuk salng mengenal, menghargai, dan memperkaya. Dialog pengalaman iman
lintas agama dapat saling memperkaya Dialog kehidupan merupakan level dialog
yang paling mendasar, sebab ciri kehidupan bersama sehari-hari dalam masyarakat
majemuk yang paling umum dan mendasar adalah dialogis. Dalam kehidupan
sehari-hari, aneka pengalaman menyusahkan dan menggembirakan dialami
bersama-sama. Tiap-tiap orang dengan pengalaman hidupnya yang khas senantiasa
tergerak untuk membagikan pengalamannya, saling membantu dalam hidup
sehari-hari
b.
Kerja
sama atau dialog karya sebagai wujud menjadi saksi Kristus melalui kata dan
perbuatan di tengah masyarakat.
Gereja
harus membangun kerja sama yang lebih intens dan mendalam dengan pengikut
agama-agama lain. Sasaran yang hendak diraih harus jelas dan tegas, yakni
pembangunan manusia dan peningkatan martabat manusia. Bentuk kerja sama semacam
ini kerapkali berlangsung dalam kerangka kerja sama dengan
organisasi-organisasi internasional, di mana organisasi-organisai Kristen dan
para pengikut agama-agama lain bersama-sama menghadapi masalah-masalah dunia
(bdk. DM 31)
c.
Berpartisipasi
secara aktif dan mau bekerja sama dengan siap saja dalam membangun mayarakat
yang adil, damai , dan sejahtera dengan tetap berpihak pada mereka yang miskin
(option for the poor).
Gereja
membuka diri dan bekerja sama dengan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
bersama. Gereja harus melaksanakan tugas misi dengan sikap yang positif dan
aktif terhadap semua orang. Bukan dunia yang ada bagi Gereja, melainkan Gereja
berada bagi dunia. Hubungan di antara Gereja dan dunia tidak bisa terpisah.
Perhatian Gereja terhadap
dunia bisa dibagikan dengan empat unsur, yaitu:
·
Dorongan bagi perdamaian dunia
·
Penjelmaan keadilan bagi orang-orang dan
negara-negara miskin
·
Perhatian tentang krisis ekologi
·
Demokrasi sebagai partisipasi masa
Gereja harus mempunyai empat
perhatian tersebut dengan berjuang, berusaha, dan berdoa untuk memecahkan
masalah-masalah yang mereka hadapi. Usaha-usaha tersebut bukan saja bagi
dirinya sendiri, tetapi juga secara global dan universal. Gereja harus belajar
dari berbagai segi secara global untuk mencari suatu model yang ideal dengan
tujuan untuk mencapai menjadikan dunia yang saling tolong-menolong dan hidup
bersama.
Tugas Gereja adalah
melanjutkan karya Yesus, yakni mewartakan Kerajaan Allah kepada seluruh umat
manusia. Kerajaan Allah baru terwujud secara sempurna pada akhir zaman, tetapi
kerajaan Allah harus diwujudkan mulai dari dunia ini.
Dalam Injil tersirat kesadaran
bahwa misi atau tugas Gereja pertama-tama bukan “Penyebaran Agama”, melainkan
kabar gembira (Kerajaan Allah) yang relevan dan mengena pada situasi konkrit
manusia dalam dunia yang majemuk ini.
Menjadi pelayan Kerajaan Allah
berarti berusaha dengan segala macam cara ke arah terwujudnya nilai-nilai
Kerajaan Allah di tengah masyarakat, misalnya persaudaraan, kerja sama, dialog,
solidaritas, keterbukaan, keadilan, hormat kepada hidup, memperhatikan yang
lemah, miskin, tertindas, tersingkirkan dsb.
Bagi Gereja, mewartakan Injil
berarti membawa kabar gembira ke segenap lapisan umat manusia, sehingga berkat
dayanya kabar tersebut masuk ke dalam lubuk hati manusia dan membaharui umat
manusia dari dalam. “Lihatlah Aku memperbaharui seluruh ciptaan” (EN 18).
Berikut disebutkan beberapa
hal pokok seperti yang disarankan oleh Gaudium et Spes, yang harus menjadi perhatian
Gereja masa kini, yakni :
1. Martabat
Manusia.
Manusia
dewasa ini berada di jalan menuju pengembangan kepribadiannya yang lebih penuh
dan menuju penemuan serta penebusan hak-haknya yang makin hari makin bertambah.
Untuk itu Gereja dapat berperanan, antara lain :
a. Membebaskan
martabat kodrat manusia dari segala perubahan paham, misalnya terlalu
menekankan dan mendewakan tubuh manusia atau sebaliknya.
b. Menolak
dengan tegas segala macam perbudakan dan pemerkosaan martabat dan pribadi
manusia.
c. Menempatkan
dan memperjuangkan martabat manusia sesuai dengan maksud penciptanya.
2. Peran
Gereja dalam Masyarakat.
Dalam
kehidupan bermasyarakat, Gereja dapat berperan antara lain sebagai berikut :
a. Membangkitkan
karya-karya yang melayani semua orang, terutama yang miskin, seperti
karya-karya amal, dsb.
b. Mendorong
semua usaha ke arah persatuan, sosialisasi dan persekutuan yang sehat di bidang
kewargaan dan ekonomi.
c. Karena
universalitasnya, Gereja dapat menjadi pengantara yang baik antara masyarakat dan
Negara-negara yang berbeda-beda hidup budaya dan politik.
3. Usaha
dan Karya Manusia.
a. Gereja
akan tetap meyakinkan putra-putrinya dan dunia bahwa semua usaha manusia,
betapapun kecilnya bila sesuai dengan kehendak Tuhan mempunyai nilai yang
sangat tinggi, karena merupakan sumbangan pada pelaksanaan rencana Tuhan.
b. Gereja
akan tetap bersikap positif dan mendorong setiap kemajuan ilmiah dan teknik di
dunia ini asal tidak menghalangi melainkan secara positif mengusahakan
tercapainya tujuan akhir manusia.
c. Akhirnya
Konsili Vatikan II mencatat masalah-masalah yang dilihatnya sebagai masalah
yang mendesak, yakni martabat pernikahan dan kehidupan keluarga, pengembangan
kemajuan kebudayaan, kehidupan sosial ekonomi dan politik serta perdamaian dan
persatuan bangsa-bangsa.
POKOK BAHASAN 12
HIRARKI
Kata hierarki
berasal dari bahasa Yunani “hierarchy” yang berarti jabatan (hieros) suci
(archos). Itu berarti bahwa yang termasuk dalam hierarki adalah mereka yang
mempunyai jabatan karena mendapat
penyucian melalui tahbisan. Maka mereka sering
disebut sebagai kuasa tahbisan. Dan orang yang termasuk hieraki disebut
sebagai para tertahbis. Namun, pada umumnya
hierarki diartikan sebagai tata susunan. Hieraki sebagai pejabat umat beriman
kristiani dipanggil untuk menghadirkan Kristus yang tidak kelihatan sebagai
tubuh-Nya, yaitu Gereja. Dalam tingkatan hieraki tertahbis (hierarchia
ordinis), Gereja terdiri dari Uskup, Imam, dan Diakon (KHK 330-572). Menurut
tata susunan yurisdiksi (hierarchia yurisdictionis), yurisdiksi ada pada Paus
dan para Uskup yang disebut kolegialitas. Kekhasan hierarki terletak pada
hubungan khusus mereka dengan Kristus sebagai gembala umat.
Sejarah hierarki
Struktur hierarki
bukanlah suatu yang ditambahkan atau dikembangkan dalam sejarah Gereja. Menurut
ajaran Konsili Vatikan II, struktur itu dikehendaki Tuhan dan akhirnya berasal
dari Kristus sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah hierarki di bawah ini:
- Zaman Para Rasul
Awal perkembangan hierarki adalah kelompok kedua belas
Rasul. Kelompok inilah yang pertama-tama disebut Rasul. Rasul atau “Apostolos”
adalah utusan. Akan tetapi setelah kebangkitan Kristus, sebutan Rasul tidak
hanya untuk kelompok kedua belas, melainkan juga utusan-utusan selain kelompok
kedua belas itu. Bahkan akhirnya, semua “utusan jemaat” (2Kor 8:22) dan semua
“utusan Kristus” (2Kor 5:20) disebut Rasul. Lama kelamaan, kelompok Rasul lebih
luas dari pada kelompok kedua belas Rasul. Sesuai dengan namanya, Rasul diutus
untuk mewartakan iman dan memberi kesaksian tentang kebangkitan Kristus.
- Zaman sesudah Para Rasul
Setelah kedua belas Rasul tidak ada, muncul aneka
sebutan, seperti “penatua-penatua” (Kis 15:2), dan “Rasul-Rasul”, “Nabi-Nabi”,
Pemberita-Pemberita Injil”, Gembala-Gembala”, “Pengajar” (Ef 4:11), “Episkopos”
(Kis 20:28), dan “Diakonos” (1Tim 4:14). Dari sebutan itu ada banyak hal yang
tidak jelas arti dan maksudnya. Namun pada akhir perkembangannya, ada struktur
dari Gereja St. Ignatius dari Antiokhia yang mengenal sebutan “Penilik”
(Episkopos), “Penatua” (Prebyteros), dan “Pelayan” (Diakonos). Struktur inilah
yang selanjutnya menjadi struktur hierarki Gereja yang menjadi Uskup, Imam, dan
Diakon. Di sini yang penting, bukanlah kepemimpinan Gereja yang terbagi atas
aneka fungsi dan peran, melainkan bahwa tugas pewartaan para Rasul
lama-kelamaan menjadi tugas kepemimpinan jemaat.
Dasar kepemimpinan (hierarki) dalam Gereja
Berdasarkan sejarah
di atas, maka kepemimpinan dalam Gereja diserahkan kepada hierarki. Konsili
mengajarkan bahwa “atas penetapan Ilahi, para Uskup menggantikan para Rasul
sebagai penggembala Gereja” (lih LG 20). “ Konsili suci ini mengajarkan dan
mengatakan bahwa Yesus Kristus, Gembala kekal mendirikan Gereja kudus dengan
mengutus para Rasul seperti Dia diutus oleh Bapa (lih Yoh 20:21). Para
pengganti mereka, yakni para Uskup, dikehendaki-Nya menjadi gembala dalam
gereja-Nya sampai akhir zaman (lih. LG 18). Pernyataan di atas dimaksudkan
bahwa dari hidup dan kegiatan Yesus timbullah kelompok orang yang kemudian
berkembang menjadi Gereja, seperti yang dikenal sekarang. Proses perkembangan
pokok itu terjadi dalam umat perdana (Gereja Perdana), yakni Gereja yang
mengarang Kitab Suci Perjanjian Baru. Jadi dalam kurun waktu antara kebangkitan
Yesus dan awal abad kedua secara prinsip terbentuklah hierarki gereja yang
dikenal sekarang. Wujud Gereja perdana beserta struktur kepemimpinannya menjadi
patokan bagi perkembangan Gereja selanjutnya.
Struktur kepemimpinan (hierarki) dalam Gereja
Secara struktural
kepemimpinan dalam Gereja berdasarkan hieraki tertahbis (hierarchia ordinis)
yakni, Paus, Uskup, Imam, dan Diakon. Berikut penjelasannya:
- Paus
Konsili Vatikan II menegaskan “adapun dewan atau badan
para Uskup hanyalah berwibawa, bila bersatu dengan Imam Agung di Roma pengganti
Petrus sebagai kepala dan selama kekuasaan primatnya terhadap semua, baik para
gembala maupun kaum beriman, tetap berlaku seutuhnya.” Sebab Imam Agung di Roma
berdasarkan tugasnya, yakni sebagai wakil Kristus dan gembala Gereja semesta
mempunyai kuasa penuh, tertinggi, dan universal terhadap Gereja, dan kuasa itu
selalu dapat dijalankan dengan bebas (LG 22).Penegasan itu didasarkan bahwa
Kristus mengangkat Petrus sebagai ketua para Rasul. Yesus mengangkat Santo
Petrus menjadi ketua para Rasul lainnya. Dalam diri Petrus, Yesus menetapkan
adanya asas dan dasar kesatuan iman serta persekutuan yang tetap dan kelihatan (bdk. LG 18) Petrus diangkat menjadi
pemimpin para Rasul. Paus yang adalah pengganti Petrus juga pemimpin para
Uskup. Menurut kesaksian tradisi, Petrus adalah Uskup Roma yang pertama. Karena
itu, Roma dipandang sebagai pusat dan pedoman seluruh Gereja. Menurut keyakinan
tradisi, Uskup Roma itu pengganti Petrus, bukan hanya sebagai Uskup lokal
melainkan terutama dalam fungsinya sebagai ketua Dewan Pimpinan Gereja. Paus
adalah Uskup Roma, dan sebagai Uskup Roma, ia adalah pengganti Petrus dengan
tugas dan kuasa seperti Petrus. Tugas dan kuasa Petrus, menurut Perjanjian
Baru, begitu istimewa (Mat 16:16-19; Yoh 21:15-19), Ia diakui sebagai pemimpin
Gereja. “Para Rasul menghimpun Gereja semesta, yang oleh Tuhan didirikan dalam
diri mereka dan di atas Rasul Petrus, ketua mereka, sedangkan Yesus Kristus
sendiri sebagai batu sendinya” (LG 19). Fungsi dan kedudukan Petrus sebagai
pemimpin Gereja diakui pula sebagai unsur prinsip hierarki, yang akhirnya
berasal dari Kristus sendiri. Itulah tugas dan wewenang Paus, pengganti Petrus.
- Uskup
Pada dasarnya Paus adalah seorang Uskup. Seorang Uskup
selalu berkarya dalam persekutuan dengan para Uskup lain dan mengakui Paus
sebagai kepala. Karya seorang Uskup adalah “menjadi asas dan dasar kelihatan
bagi kesatuan dalam Gereja-Nya (LG 23). Tugas pokok Uskup di tempatnya sendiri
adalah pemersatu. Tugas hierarki yang pertama dan utama adalah mempersatukan
dan mempertemukan umat. Tugas ini dapat disebut tugas kepemimpinan dari para
Uskup “dalam arti sesungguhnya disebut pembesar umat yang mereka bimbing” (LG
27). Tugas pemersatu ini selanjutnya dibagi menjadi tugas khusus menurut tiga
bidang kehidupan gereja, yaitu pewartaan, perayaan, dan pelayanan, di mana
dimungkinkan komunikasi iman dalam Gereja. Dan dalam bidang-bidang itulah para
Uskup dan Paus menjalankan tugas kepemimpinannya. Pewartaan Injil menjadi tugas
terpenting (LG 25). Tugas penting selanjutnya adalah perayaan, “mempersembahkan
ibadat agama Kristen kepada Allah yang Mahaagung dan mengaturnya menurut
perintah Tuhan dan hukum Gereja” (LG 26). Selanjutnya adalah pelayanan,
“membimbing Gereja-gereja yang dipecayakan kepada mereka sebagai wakil dan
utusan Kristus, dengan petunjuk-petunjuk, nasihat-nasihat, dan teladan hidup
mereka, tetapi juga dengan kewibawaan dan kuasa suci” (LG 27). Dalam ketiga
bidang kehidupan menggereja, Uskup bertindak sebagai pemersatu, yang
mempertemukan orang dalam komunikasi iman.
- Pembantu Uskup: Imam dan Diakon
Dalam mengemban tugas dan fungsinya, para Uskup
memerlukan “pembantu” dan rekan “kerja”, mereka adalah:
- Para Imam: adalah Wakil Uskup
Di setiap jemaat setempat dalam arti tertentu, mereka
menghadirkan Uskup.“Para Imam dipanggil melayani umat Allah sebagai pembantu
arif bagi badan Uskup, sebagai penolong dan organ mereka “(LG 28). Tugas
konkret para Imam sama seperti Uskup. Mereka
ditahbiskan pertama-tama untuk mewartakan Injil (lih. PO 4) dan menggembalakan
umat (lih. PO 6)
- Diakon: pelayan, hierarki tingkat yang lebih rendah
Ditumpangi tangan bukan untuk Imamat tetapi untuk
pelayanan (LG 29). Mereka ini juga pembantu Uskup, tetapi tidak mewakili. Para
Diakon adalah pembantu Uskup dengan tugas terbatas. Dengan kata lain Diakon
adalah pembantu khusus Uskup, sedangkan Imam adalah pembantu umum Uskup.
Catatan
khusus :
- Menurut tata susunan yurisdiksi (hierarchia yurisdictionis), yurisdiksi ada pada Paus dan para Uskup yang disebut kolegialitas.
Ketika Kristus mengangkat kedua belas Rasul, Ia
membentuk mereka menjadi semacam dewan atau badan tetap. Sebagai ketua dewan,
Yesus mengangkat Petrus yang dipilih-Nya dari antara para Rasul itu. Seperti
santo Petrus dan para Rasul lainnya, atas penetapan Kristus merupakan satu
dewan para Rasul. Begitu pula Paus (penganti Petrus) bersama Uskup (pengganti
Rasul) merupakan satu himpunan yang serupa.Pada akhir masa Gereja perdana,
sudah diterima cukup umum bahwa para Uskup adalah pengganti para Rasul. Tetapi
hal itu bukan berarti bahwa hanya ada dua belas Uskup (karena ada dua belas
Rasul). Bukan Rasul satu persatu diganti orang lain, tetapi kalangan para Rasul
sebagai pemimpin Gereja diganti oleh para Uskup. Tegasnya Dewan para Uskup
adalah pengganti para Rasul (LG 20). Yang menjadi pimpinan Gereja adalah Dewan
para Uskup. Seseorang menjadi Uskup karena diterima ke dalam dewan. “Seseorang
menjadi anggota Dewan Para Uskup dengan menerima tahbisan sakramental dan
berdasarkan persekutuan hierarkis dengan kepala maupun para anggota Dewan” (LG
22). Sebagai lambang kolegial ini, tahbisan Uskup selalu dilakukan paling
sedikit tiga Uskup, sebab tahbisan Uskup berarti bahwa seorang anggota baru
diterima ke dalam Dewan Uskup” (LG 11). Uskup itu pertama-tama adalah pemimpin
Gereja setempat. Namun dalam persekutuan gereja-gereja setempat hiduplah Gereja
Universal. Dalam persekutuan dengan Uskup-Uskup lain itu, para Uskup setempat
menjadi pemimpin Gereja Universal. Maka Uskup merupakan pemimipin Gereja
setempat sekaligus pemimpin Gereja Universal.
- Kardinal
Kardinal bukan jabatan hierarkis dan tidak termasuk
struktur hierarkis. Kardinal adalah penasehat dan membantu Paus dalam tugas
reksa harian seluruh Gereja. Mereka membentuk suatu dewan Kardinal. Jumlah
dewan yang berhak memilih Paus dibatasi 120 orang di bawah usia 80 tahun.
Seorang Kardinal dipilih oleh Paus secara bebas.
Fungsi Khusus Hierarki
Seluruh umat Allah
mengambil bagian di dalam tugas Kristus sebagai nabi (mengajar), Imam
(menguduskan), dan Raja (menggembalakan). Pada kenyataannya umat tidak seragam,
maka Gereja mengenal pembagian tugas tiap komponen umat (hierarki,
biarawan/biarawati, dan Awam). Menjalankan tugas dengan cara yang berbeda.
Berdasarkan keterangan yang telah diungkapkan di atas, fungsi khusus hierarki
adalah:
- Menjalankan tugas Gerejani, yakni tugas-tugas yang langsung dan eksplistis menyangkut kehidupan beriman Gereja, seperti: pelayanan sakramen-sakramen, mengajar, dan sebagainya.
- Menjalankan tugas kepemimpinan dalam komunikasi iman. Hierarki mempersatukan umat dalam iman dengan petunjuk, nasihat, dan teladan.
POKOK BAHASAN 13
WARGA
GEREJA YANG TAK TERTAHBIS (AWAM)
Berdasarkan LG art. 31 kaum awam diartikan
sebagai semua orang beriman Kristiani yang tidak termasuk golongan yang
menerima tahbisan suci dan status kebiarawanan yang diakui dalam Gereja.
Definisi awam dalam praktek dan dalam
dokumen – dokumen resmi Gereja dapat dibedakan menjadi:
- Secara teologis, awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan.
Artinya, awam adalah
semua orang beriman dan biarawan/wati yang
tidak ditahbiskan (bdk. LG 43).
- Secara tipologis, awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan dan juga bukan biarawan (KHK kan. 204 § 1, bdk. LG 31).
Peranan kaum awam tugas kerasulan memiliki
2 (dua) dimensi yang berbeda, yakni kerasulan internal dan kerasulan eksternal.
- Kerasulan internal atau kerasulan “di dalam Gereja“ adalah kerasulan membangun jemaat. Kerasulan ini lebih diperani oleh jajaran hierarki,walaupun awam dituntut pula untuk mengambil bagian di dalamnya.
- Kerasulan eksternal atau kerasulan “tata dunia” lebih diperani oleh para awam. Namun harus disadari bahwa kerasulan dalam Gereja bermuara pula ke dunia.
Kerasulan internal kaum awam nampak dalam
partisipasi mereka dalam tri-tugas Gereja yaitu:
- Dalam tugas nabiah, pewartaan sabda (kerygma), menjadi saksi (martyria) awam dapat :
·
mengajar agama sebagai katekis atau guru agama
·
memimpin pendalaman
kitab suci atau pendalaman iman ,dsb
- Dalam tugas imamiah, menguduskan (liturgia), membangun persekutuan (koinonia) seorang awam dapat:
·
memimpin doa dalam pertemuan-pertemuan umat
·
memimpin koor atau nyanyian dalam ibadah
·
membagi komuni sebagai prodiakon
·
menjadi pelayan altar, dsb
- Dalam tugas Gerejawi, memimpin, atau melayani (diakonia) seorang awam dapat:
·
menjadi anggota dewan paroki
·
menjadi ketua seksi, ketua lingkungan atau wilayah,
dsb.
POKOK BAHASAN 14
LIMA TUGAS
GEREJA
Lima
pilar pelayanan Gereja merupakan fondasi kokoh yang menyingkapkan tugas dan
tanggungjawab serta eksistensi pelayanan Gereja di dunia (Bdk. GS art 1, 43).
Gereja sebagai umat Allah berkat sakramen pembaptisan menyadari diri memiliki
tanggungjawab menunaikan tugas dan panggilan dalam lima pilar pelayanan Gereja
di dunia (Bdk. LG art 31). Sebab, lima pilar pelayanan Gereja tersebut
merupakan implementasi dari Tri tugas Yesus Kristus sendiri. Lima pilar
pelayanan Gerejani yang dimaksudkan ialah Kerygma (mewartakan), Diakonia
(melayani), Koinonia (membangun persekutuan), Leitourgia (menguduskan), dan
Martyria (menjadi saksi) (Bdk. LG art. 25-27). Kelima pilar pelayanan Gereja
ini akan dibahas dalam uraian berikut ini:
1.
Kerygma (Tugas Gereja yang Mewartakan)
“Kerygma” berasal dari bahasa Yunani yang berarti karya
pewartaan Kabar Gembira bahwa Allah
telah menyelamatkan dan menebus manusia dari dosa melalui Yesus Kristus,
Putera-Nya. Melalui bidang karya ini, diharapkan dapat membantu Umat Allah
untuk mendalami kebenaran Firman Allah, menumbuhkan semangat untuk menghayati
hidup berdasarkan semangat Injili, dan mengusahakan pengenalan yang semakin
mendalam akan pokok iman Kristiani supaya tidak mudah goyah dan tetap setia.
Beberapa karya yang termasuk dalam bidang ini, misalnya: pendalaman iman,
katekese para calon baptis, pewartaan Injil dalam hidup sehari-hari, dan
persiapan penerimaan sakramen-sakramen lainnya. Termasuk dalam kerygma ini
adalah pendalaman iman lebih lanjut bagi orang yang sudah Katolik lewat
kegiatan-kegiatan katekese.
2.
Diakonia (Tugas Gereja yang Melayani)
Diakonia berarti pelayanan. Terminologi diakonia ini
berasal dari kata bahasa Yunani yakni dari kata kerja “diakon” yang berarti
melayani. Tuhan Yesus sendiri amat pandai memilih kata yang tepat untuk
menggambarkan eksistensi terdalam dari kehadiranNya di dunia ini bukan untuk
dilayani melainkan untuk melayani (bdk. Mat 20:28). Melalui bidang karya ini,
umat beriman menyadari akan tanggungjawab pribadi mereka akan kesejahteraan
sesamanya. Oleh karena itu dibutuhkan adanya kerjasama dalam kasih,
keterbukaan yang penuh empati, partisipasi dan keiklasan hati untuk berbagi
satu sama lain demi kepentingan seluruh jemaat (bdk. Kis 4:32-35). Beberapa
karya yang termasuk dalam bidang ini, misalnya: mengunjungi orang sakit atau
mereka yang berada dalam penjara, menolong orang yang tidak mampu, dan
melakukan aksi-aksi kemanusiaan seperti membantu korban bencana alam, dll.
3.
Koinonia (Tugas Gereja yang Membangun Persekutuan)
Koinonia adalah bahasa Yunani, berasal dari kata
“koin” yang berarti mengambil bagian. Dalam perspektif biblis, koinonia
diartikan sebagai paguyuban atau persekutuan (bdk. Kis. 2:41-42). Koinonia dapat diidentikan dengan sebuah
paguyuban dalam melaksanakan sabda Tuhan. Suasana hidup dalam persekutuan
tersebut ialah persekutuan hidup yang guyub dalam arti hidup rukun dan damai.
Dan suasana hidup seperti itulah yang digambarkan oleh Tuhan Yesus dengan
bersabda: “Saudara-saudaraKu ialah mereka yang mendengarkan Firman Allah dan
melaksanakannya” (Luk 8:21). Oleh karena
itu dokumen Konsili Vatikan II pertama-tama menggambarkan Gereja bukan sebagai
suatu institusi duniawi melainkan sebagai suatu persekutuan ataupun paguyuban
umat beriman yang menerima dan meneruskan cahaya Kristus yang diwujudkan dalam
warna dasar perbuatan atau amal yang baik dan berguna bagi sesama. Demikianlah
seluruh Gereja tampak sebagai “Umat yang disatukan berdasarkan kesatuan Bapa
dan Putera dan Roh Kudus (LG art 4)”.
4.
Leitourgia (Tugas Gereja yang Menguduskan)
Liturgi berasal dari kata bahasa Yunani yakni dari
kata kerja “Leitourgian” (leos artinya rakyat dan ergon artinya kerja) yang
berarti bekerja untuk kepentingan umum, kerja bakti atau gotong royong. Orang
yang melakukan pekerjaan itu disebut “Leitourgos”.
Dan pekerjaan luhur itu disebut
“Leitourgia”. Dari pemahaman ini sekarang kita menggunakan kata
“Liturgi” untuk Ekaristi dan ibadah (seperti doa/ ibadat, sakramen,
sakramentali, dan devosi). Dalam konteks pilar pelayanan Gereja liturgi merupakan upaya yang sangat
membantu kaum beriman untuk penghayatan iman demi mengungkapkan misteri Kristus
serta hakikat asli pelayanan Gereja yang sejati. Dalam kehidupan
menggereja, peribadatan menjadi sumber dan pusat hidup beriman. Melalui bidang
karya ini, setiap anggota menemukan, mengakui dan menyatakan identitas
Kristiani mereka dalam Gereja Katolik. Hal ini dinyatakan dengan doa,
simbol, lambang-lambang dan dalam kebersamaan umat. Partisipasi aktif dalam
bidang ini diwujudkan dalam memimpin perayaan liturgis tertentu seperti: memimpin
doa atau ibadat sabda; membagi komuni; dan mengambil bagian secara aktif dalam
setiap perayaan dengan berdoa bersama, menjawab aklamasi, bernyanyi dan sikap
badan, menerima sakramen.
5.
Martyria (Tugas Gereja yang Menjadi Saksi)
Martyria berasal dari kata bahasa Yunani yakni
“marturion” yang artinya kesaksian. Saksi sering diartikan sebagai orang yang
melihat atau mengetahui suatu kejadian. Makna saksi merujuk kepada pribadi
seseorang yang mengetahui atau mengalami suatu peristiwa dan mampu memberikan
keterangan yang benar. Yesus adalah saksi yang memberikan “berita” tentang
rencana Allah Bapa untuk menyelamatkan manusia. Para Rasul dipanggil Yesus
untuk menjadi saksiNya mulai dari Yerusalem, Yudea dan Samaria bahkan sampai ke
ujung bumi (Kis 1:8). Tetapi menjadi saksi Kristus bukan tanpa resiko. Bahkan
Yesus sendiri telah menjadi martir atau saksi hidup karena melaksanakan
kehendak Allah Bapa untuk membebaskan dan menebus umat manusia.
Dalam perkembangan sejarah Gereja kita menemukan banyak orang telah merelakan hidupnya
untuk mati sebagai martir demi mempertahankan imannya akan ajaran dan kesaksian
hidup Yesus Kristus karena teladan hidup Yesus itu sendiri. Para martir
bersaksi dengan caranya masing-masing, bahkan menumpahkan darah mereka untuk
menyuburkan kehidupan Gereja hingga sekarang.
Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Gereja dipanggil
untuk memberikan kesaksian kepada seluruh dunia, mewartakan Injil kepada semua
orang. Dan situasi zaman sekarang lebih mendesak Gereja untuk memberikan
kesaksian melalui kehadiran dalam fungsi sebagai garam dan terang dunia agar
memanggil dan membaharui semua orang masuk ke dalam satu keluarga umat
Allah. Gereja hadir bagi semua orang dan
bangsa lengkap dengan tantangan realitanya maka melalui teladan hidup
(kesaksian hidup), maupun pewartaannya, dan dengan sakramen-sakramen serta
daya-daya rahmat surgawi, Tuhan
menghantarkan semua orang dan bangsa kepada iman, kebebasan dan damai Kristus
(Bdk. LG art. 1). Singkatnya, menjadi saksi Kristus berarti menampakkan atau
mewujudkan apa yang dialami/diketahui tentang Kristus kepada orang lain.
Oleh karena itu kesaksian Gereja atau umat Allah hendaknya berbuah dan berhasil
ketika mereka menggabungkan diri sebagai anggota masyarakat di lingkungannya
dengan sikap penghargaan dan cinta kasih, ikut serta dalam kehidupan budaya dan
sosial melalui pelbagai kegiatan (AG art 1).
POKOK BAHASAN 15
HUBUNGAN GEREJA DAN DUNIA
Konsili Vatikan II sungguh telah memperbaharui Gereja dan
hubungannya dengan dunia. Hubungan yang menjadi lebih baik ini disebabkan
karena Gereja mulai memiliki pandangan baru tentang dunia dan manusia.
Ada baiknya kita melihat pandangan-pandangan baru tentang dunia dan manusia,
kemudian kita melihat hubungan antara Gereja dan dunia serta
alasan-alasan mengapa harus terjalin hubungan yang saling mengisi antara
keduanya.
1.
Pandangan Baru Tentang Dunia dan Manusia.
a. Dunia.
Dunia dilihat sebagai seluruh keluarga
manusia dengan segala hal yang ada di sekelilingnya. Dunia menjadi pentas
berlangsungnya sejarah umat manusia. Dunia diciptakan dan dipelihara oleh cinta
kasih Tuhan Pencipta. Dunia yang pernah jatuh menjadi budak dosa, kini telah
dimerdekakan oleh Kristus yang telah disalibkan dan bangkit pula, untuk
menghancurkan kekuasaan setan agar dunia dapat disusun kembali sesuai dengan
rencana Allah dan mencapai kesempurnaan (GS art. 2)
b. Manusia.
Menyangkut manusia kita
bicarakan tentang martabat manusia, masyarakat manusia dan karya manusia.
1) Martabat
Manusia.
Sejak dahulu Gereja sudah
selalu mengajarkan bahwa manusia mempunyai martabat yang luhur, karena manusia
diciptakan menurut citra Allah dan dipanggil untuk memanusiawikan dan
mengembangkan diri menyerupai Kristus, di mana citra Allah tampak secara utuh.
Manusia adalah ciptaan yang
memiliki akal budi, kehendak bebas dan hati nurani. Ketiga-tiganya ini
menunjukkan bahwa manusia adalah sebagai citra Allah, walaupun dapat disalahgunakan
sehingga jatuh ke dalam dosa. Manusia sungguh ciptaan yang istimewa, karena ia
diciptakan demi dirinya sendiri, padahal makhluk lain diciptakan hanya untuk
manusia.
2) Masyarakat
Manusia.
Pribadi manusia dan masyarakat
memang saling bergantungan satu sama lain. Hal ini sesuai dengan rencana Tuhan
karena manusia diciptakan sebagai makhluk yang bermasyarakat. Allah, yang
memelihara segala sesuatu sebagai Bapa, menghendaki agar semua manusia
membentuk satu keluarga dan memperlakukan seorang akan yang lain dengan jiwa
persaudaraan (GS art. 24).
3) Usaha
dan Karya Manusia.
Perkembangan dunia di segala
bidang memang dikehendaki Tuhan dan manusia dipilih untuk menjadi “rekan kerja”
Tuhan dalam melaksanakan perkembangan dunia.
Kebenaran ini perlu disadari
pada masa kemajuan Ilmiah dan tehknik ini, supaya manusia tidak salah langkah.
Usaha dan karya manusia apapun bentuknya mempunyai nilai yang luhur, karena
dengan itu manusia menjadi partner Tuhan dalam menyempurnakan dan menyelamatkan
dunia ini. Selanjutnya, dengan berkarya manusia bukan saja menyempurnakan bumi
ini tetapi juga menyempurnakan dirinya sendiri.
2. Hubungan
Antara Gereja dan Dunia.
Menyangkut hubungan antara Gereja
dan dunia dapat diangkat satu dua hal berikut ini :
a.
Gereja
Postkonsilier melihat dirinya sebagai “Sakramen Keselamatan” bagi dunia. Gereja
menjadi terang, garam dan ragi bagi dunia. Dunia menjadi tempat atau ladang, di
mana Gereja berbhakti. Dunia tidak dihina dan dijauhi, tetapi didatangi dan ditawari
keselamatan.
b.
Dunia
dijadikan mitra Dialog. Gereja dapat menawarkan nilai-nilai Injili dan dapat
mengembangkan kebudayaannya, adat istiadat, alam pikiran, ilmu pengetahuan dan
teknologi, sehingga Gereja dapat lebih efektif menjalankan misinya di dunia.
c.
Gereja
tetap menghadapi otonomi dunia dengan sifatnya yang sekuler, karena di dalamnya
terkandung nilai-nilai yang dapat mensejahterakan manusia dan membangun
sendi-sendi kerajaan Allah.
Sebenarnya, Gereja dan dunia manusia merupakan realitas
yang sama, seperti mata uang yang ada dua sisinya. Berbicara tentang Gereja
berarti berbicara tentang dunia manusia. Bagi seorang Kristen berbicara tentang
dunia manusia berarti berbicara tentang Gereja sebagai umat Allah yang sedang
berziarah di dunia ini.
POKOK BAHASAN 16
AJARAN SOSIAL GEREJA
Ajaran Sosial Gereja (ASG) adalah ajaran Gereja mengenai
hak dan kewajiban berbagai anggota masyarakat dalam hubungannya dengan kebaikan
bersama, baik dalam lingkup nasional maupun internasional. ASG merupakan bentuk
keprihatinan gereja terhadap dunia umat manusia dalam wujud dokumen yang perlu
disosialisasikan.
Rerum Novarum (RN) merupakan
Ensiklik pertama ajaran sosial Gereja yang merupakan Ensiklik Paus Leo XIII yang
diterbitkan pada tahun 1891.
Konteks jamannya adalah: Revolusi industri, kemiskinan yang hebat pada kaum
pekerja/buruh, tiadanya perlindungan pekerja oleh otoritas publik dan pemilik
modal, jurang kaya miskin yang luar biasa. Dokumen ini menjadi “master piece”
dari Ajaran Sosial Gereja berikutnya.
Fokus keprihatinan dokumen ini terletak pada kondisi kerja pada waktu itu,
dan tentu saja juga nasib para buruhnya. Tampilnya masyarakat
terindustrialisasi mengubah pola lama hidup bersama, pertanian. Tetapi, para
buruh mendapat perlakuan buruk. Mereka diperas. Jatuh dalam kemiskinan
struktural yang luar biasa. Dan tidak mendapat keadilan dalam upah dan
perlakuan. Ensiklik RN merupakan ensiklik pertama yang menaruh perhatian pada
masalah-masalah sosial secara sistematis dan dalam jalan pikiran yang berangkat
dari prinsip keadilan universal. Dalam RN hak-hak buruh dibahas dan dibela. Pokok-pokok
pemikiran RN menampilkan tanggapan Gereja atas isu-isu keadilan dan pembelaan
atas martabat manusia (kaum buruh).
Ada 17 dokumen yang memuat ASG atau berkaitan erat
dengan ASG, yaitu:
- Rerum Novarum (RN)
- Quadragessimo Anno (QA)
- Mater et Magistra (MM)
- Pacem in Terris)
- Gaudium et Spes (GS)
- Popularum Progressio (PP)
- Octogesima Adveniens (OA)
- Justicia in Mundo
- Evangelii Nuntiandi (EN)
- Redemptor Hominis (RH)
- Dives in Misericordia
- Laborem Exercens (LE)
- Sollicitudo Rei Socialis (SRS)
- Centesimus Annus (CA)
- Novo Millenio Ineunte
- Caritas in Veritate
- Laudato Si'
Peninjauan sistematis terhadap ASG mengungkapkan prinsip-prinsip dasar,
yaitu:
1.
Martabat
Manusia
Prinsip ini dasarnya adalah misi
Kristus sendiri, yakni keselamatan seluruh umat manusia. Martabat manusia
sebagai citra Allah harus dipulihkan, dan dicerahkan kembali. Titik pusat
perhatian Gereja membangun manusia, bukan materi.
2.
Berpihak
pada kaum Miskin
Pilihan Gereja ini berdasar
Visi Yesus sendiri yang berpihak pada
kaum miskin (Luk 4:18-19), Paus Paulus VI melalui Octogesima Adveniens dan
Yohanes Paulus II menyerukan, Gereja tetap berpihak pada kaum miskin.
3.
Solidaritas.
Melalui prinsip ini hendak dinyatakan
bahwa keperpihakan Gereja terhadap kaum miskin dan tertindas, bukan sekedar
berbelas kasih, namun suatu ketetapan hati yang mantap dan tekun untuk
berkomitmen terhadap kesejahteraan umum, pada kebaikan semua orang dan setiap
individu.
4.
Subsidiaritas
Prinsip ini dalam usaha
menyejahterakan kaum miskin dan tertindas, menuntut partisipasi dari yang
diperjuangkan, mereka harus menentukan sendiri, atau mengambil keputusan
sendiri dalam perjuangan menyangkut dirinya.
5.
Kesejahteraan
umum
Prinsip ini mengajarkan bahwa
setiap orang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan orang lain. Tanggungjawab
itu mewajibkan bagi setiap orang untuk mengambil bagian dalam menyejahterakan
setiap individu, kelompok dalam masyarakat.
Namun, keprihatinan Gereja terhadap orang-orang miskin
di Indonesia rasanya belum terlalu kuat karena ASG belum terlalu dipahami dan
diamalkan. Mengapa?
- Penampilan Gereja lebih menekankan segi ibadat daripada gerakan sosial.
- Kurangnya rasa keprihatinan terhadap mereka yang miskin.
- Merasa sebagai kaum minoritas sehingga tak mau berbuat apa-apa dan mencari aman.
- Perkara sosial masih dipahami sebagai ajaran dan bukan pelaksanaan.
POKOK BAHASAN 17
USAHA GEREJA KATOLIK MENGUSAHAKAN
PERDAMAIAN DUNIA
Konsili Vatikan
II merupakan tonggak
pembaharuan hidup Gereja
Katolik secara menyeluruh. GS (Gaudium et Spes) menaruh keprihatinan
secara luas pada tema hubungan Gereja
dan Dunia modern. Ada kesadaran kokoh
dalam Gereja untuk berubah seiring dengan perubahan kehidupan
manusia modern. Hal-hal yang disentuh oleh GS berkisar
tentang kemajuan manusia di dunia modern. Selain menyoroti masalah jurang yang tetap lebar antara si
kaya dan si miskin, hubungan Gereja dan
dunia dibahas secara lebih
gamblang, antara lain menyentuh
nilai hubungan timbal balik
antara Gereja dan dunia pada beberapa masalah-masalah mendesak, seperti;
perkawinan, keluarga, kebudayaan, pendidikan kristiani; kehidupan sosial
ekonomi, perdamaian dan persatuan bangsa-bangsa, pencegahan perang serta
kerjasama internasional. Konsili menegaskan bahwa kegembiraan dan harapan, duka
dan kecemasan manusia-manusia zaman ini, terutama kaum miskin dan yang
menderita, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid
Kristus juga (GS art.1)
Keadilan, kedamaian, dan
kesejahteraan menyangkut martabat manusia yang merupakan anugerah dari Sang
Pencipta. Oleh karena itu, kita harus memperjuangkan kondisi dan
situasi masyarakat yang adil,
damai, dan sejahtera. Keadilan demi kesejahteraan
hanya dapat diperjuangkan
dengan memberdayakan mereka
yang menjadi kurban ketidakadilan. Tidak cukup hanya dengan karya belas
kasih (karya karitatif ) melulu. Para korban ketidakadilan harus disadarkan
tentang situasi yang menimpa dirinya, kemudian diajak untuk bangkit
bersama-sama melalui berbagai usaha kooperatif untuk memperbaiki nasibnya.
Dengan cara demikian, struktur dan sistem sosial yang tidak adil dapat diubah.
Tanpa gerakan dan tindakan yang sungguh kooperatif sebuah
struktur dan sistem tidak
akan tergoyahkan. Cara
bertindak yang tepat adalah dengan memberikan kesaksian hidup melalui
keterlibatan untuk menciptakan keadilan dalam diri kita sendiri terlebih
dahulu. Kita hendaknya mulai dengan diri dan lingkungan kita, misalnya dalam lingkungan
Jemaat Kristiani sendiri. Usaha memperjuangkan keadilan dan kesetiakawanan
bersama dengan mereka yang diperlakukan tidak adil tidak boleh dilakukan dengan
kekerasan. Keunggulan cinta kasih di dalam sejarah menarik banyak orang untuk
memilih dan bertindak tanpa kekerasan melawan ketidakadilan. Bekerja sama perlu
pula diusahakan.
Para Bapa-Bapa Gereja
melalui Ajaran Sosial Gereja menyerukan berbagai jalan keluar atas masalah
ketidakadilan, perang, dan penindasan yang membuat manusia tidak aman dan sejahtera.
Prinsip-prinsip dasar Ajaran Sosial Gereja seperti : martabat pribadi manusia,
prioritas masyarakat dan kesejahteraan umum, keadilan distributif, prioritas
tenaga kerja atas modal, hak untuk mengambil bagian, prinsip subsidiaritas, hak
milik pribadi yang dibatasi, serta kewajiban tehadap kaum miskin.
Perang saudara atau perang
antar negara, tidak pernah membawa keuntungan apapun bagi kedua belah pihak.
Ada peribahasa mengatakan menang jadi arang, kalah jadi debu. Artinya kedua
belah pihak sama-sama rugi dalam segala hal, jasmani dan rohani. Maka hidup
damai itu memang indah. Dalam upaya tersebut, Gereja Katolik tidak jarang
melakukan aksi-aksi perdamaian. Bahkan, Paus Fransiskus I dan para pendahulunya
berkali-kali menyerukan perdamaian, berani melakukan mediasi di antara
negara-negara yang bertikai, dan mengunjungi daerah-daerah konflik sebagai
wujud solidaritasnya denga para korban perang. Selain itu, sebagai warga
Gereja, kita perlu menghidupi dan melaksanakan Ajaran Sosial Gereja (ASG).
Yesus yang mulai membangun
Kerajaan Allah di bumi ini telah mengamanatkan kepada kita para pengikut-Nya
agar menjadi garam dan terang dunia (lih. Mat 5:13-16) serta ragi bagi
masyarakat. Yesus Kristus Sang Juru selamat, Sang Raja Damai, akan membangun
kerajaan- Nya di bumi ini, di mana manusia akan mengalami kesejahteraan lahir
dan batin. Sebagai pengikut Kristus, kita dipanggil untuk berperan serta secara
aktif dalam membangun Kerajaan Allah di dunia, supaya dunia lebih manusiawi dan
layak untuk dihuni.
POKOK BAHASAN 18
PERINTAH ALLAH YANG KE-5 DALAM HUBUNGANNYA DENGAN MENGHARGAI HIDUP
Pada zaman sekarang ada beberapa
gejala yang memperlihatkan bahwa hidup manusia tidak dihargai lagi. Gejala-gejala
tidak menghormati hidup manusia muncul dalam berbagai bentuk, di antaranya:
1.
Menghilangkan nyawa manusia :
a.
Pembunuhan dan pembantaian manusia
b.
Bunuh diri
c.
Pengguguran kandungan (aborsi)
d.
Euthanasia
e.
Hukuman Mati
f.
Pembunuhan dalam perang
2.
Membahayakan hidup manusia :
a.
Penyalahgunaan Obat-Obatan (Narkoba/NAPZA)
b.
Penyebaran HIV/AIDS melalui seks bebas dan
Narkoba jenis suntik.
c.
Balapan liar / mengendarai kendaraan secara
ugal-ugalan.
d.
Tindakan-tindakan yang membahayakan hidup
manusia.
e.
TIndakan-tindakan yang menekan hidup manusia.
Sebagai
catatan :
·
Pandangan
Gereja terhadap perang adalah agar perang sebaiknya tidak dilaksanakan.
Kalaupun dilaksanakan hendaknya secara terbatas, tidak melanda penduduk sipil,
demi menegakkan keadilan dan tidak menciptakan ketidakadilan yang baru, serta
bertujuan menjaga kesejahteraan dan membela rakyat. Bahkan dalam Ensiklik Pacem
in Terris, Paus Yohanes XXIII mengatakan bahwa perang tidak boleh dipandang
sebagai sarana menegakkan keadilan dan keamanan masyarakat tidak dapat dijamin
dengan senjata.
·
Gereja
tidak mendukung adanya hukuman mati tetapi juga tidak melarangnya sejauh dalam
kasus yang amat berat. Namun dalam moral Kristiani, makin diragukan
alasan-alasan yang membenarkan hukuman mati.
·
Gereja
dalam sudut pandang teologi moral belum memberi tanggapan yang jelas mengenai
bio-etika yang meliputi inseminasi buatan, cloning, bayi tabung, operasi ganti
kelamin, dll. Tetapi pada prinsipnya, bagi orang Kristiani, hidup manusia harus
dihormati dan tidak boleh disepelekan atau direkayasa karena menyangkut
martabat manusia sebagai citra Allah.
Tentu banyak
sekali alasan yang dapat menyebabkan terjadinya tindakan tersebut, misalnya
tayangan media yang mempertontonkan kekerasan, perang yang berkecamuk, mencari
aman, takut atau malu diketahui aibnya,
kemarahan yang tidak terkontrol, dan lain-lain.
Dalam Kitab
Suci Perjanjian Lama, perintah Allah “Jangan membunuh!” (Kel 20:13) berarti jangan membunuh
orang lain dan jangan membunuh diri sendiri. Meskipun demikian, dalam dunia
Perjanjian Lama, hukuman mati dan pembunuhan dalam perang diperbolehkan jika
orang dengan sengaja melakukan pembunuhan dan orang yang dibunuh itu tidak
bersalah dan tidak membuat perlawanan.
Sedangkan Kitab Suci Perjanjian Baru
tidak hanya melarang pembunuhan tetapi ingin membangun sikap hormat dan kasih
akan hidup. Membunuh berarti membuang sesama dari persaudaraan manusia, entah
dengan menghilangkan nyawanya atau dengan mengkafirkan atau membencinya.
Adapun usaha-usaha untuk
mengembangkan sikap menghargai hidup adalah dengan cara:
·
Menggali dan menyebarluaskan ajaran mengenai peri kemanusiaan.
·
Memperkenalkan dan menyebarluaskan gagasan-gagasan Kristiani tentang
nilai-nilai hidup manusia.
·
Melawan dengan tegas budaya kekerasan dan
budaya maut.
·
Menggunakan media massa, buku-buku, dan posisi umat Kristiani untuk
menyebarkan gagasan-gagasan Kristiani.
·
Menunjukkan sikap hidup yang nyata bahwa kita sungguh menghormati hidup
manusia.
POKOK BAHASAN 19
ALASAN GEREJA MENENTANG ABORSI
Sebelum membahas pelajaran ini, kita harus membedakan 2
jenis abortus, yaitu:
·
Abortus
naturalia (sering pula disebut:
abortus alamiah atau keguguran), dinilai tidak terdapat unsur
kesengajaan, dan karena itu tidak termasuk tindakan kriminal ( murni keguguran
).
·
Abortus
provocatus (sering pula disebut: abortus buatan, aborsi, atau pengguguran
kandungan), digolongkan sebagai tindakan kriminal karena ada unsur kesengajaan
yang sangat kuat ( murni pengguguran ).
Khusus mengenai abortus
provocatus atau aborsi, mulai dari abad – abad pertama sejarahnya, Gereja telah
membela hidup anak di dalam kandungan sehingga menentang segala bentuk prosedur
aborsi atau pengguguran kandungan yang tujuan langsungnya adalah untuk
menghancurkan embrio, blastosis, zigot atau janin (fetus). Konsili Vatikan II
masih menyebut pengguguran suatu “tindakan kejahatan yang durhaka”, sama dengan
pembunuhan anak. “Sebab Allah, Tuhan kehidupan; telah mempercayakan pelayanan mulia
melestarikan hidup kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara yang layak
baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat
cermat” (Gaudium et Spes art. 51). Menurut ensiklik Paus Paulus
VI, Humanae Vitae (1968) pengguguran, juga dengan alasan terapeutik,
bertentangan dengan tugas memelihara dan meneruskan hidup (14). Dalam ensiklik
Paus Yohanes Paulus II, Veritatis Splendor (1993), pengguguran digolongkan di
antara “perbuatan-perbuatan yang – lepas dari situasinya – dengan sendirinya
dan dalam dirinya dan oleh karena isinya dilarang keras”. Gaudium et Spes
menyatakan, “Apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, bentuk pembunuhan
yang mana pun juga, penumpasan suku, pengguguran, eutanasia, dan bunuh diri
yang sengaja; apa pun yang melanggar keutuhan pribadi manusia, seperti …
penganiayaan, apa pun yang melukai martabat manusia … : semuanya itu sudah
merupakan perbuatan keji, mencoreng peradaban manusia : .. sekaligus sangat
bertentangan dengan kemuliaan Sang Pencipta.” (GS 27; VS 80).
Kanon 1398 dalam Kitab Hukum
Kanonik (1983) menjatuhkan ekskomunikasi secara otomatis (latae sententiae)
kepada umat Katolik yang "melakukan aborsi dan berhasil", ketika
kondisi-kondisi yang tercantum dalam Kan. 1321-1329 terpenuhi untuk dapat
terkena "sanksi pidana" tersebut. Selain mengajarkan bahwa aborsi
adalah tidak bermoral, Gereja Katolik juga kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan
publik dan melakukan tindakan-tindakan untuk menentang legalitasnya.
POKOK BAHASAN 20
SAKRAMEN PERKAWINAN
Mari kita menyimak
dokumen berikut :
Kitab Hukum Kanonik kan.1055 §1 : Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki
dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh
hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri
(bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang
dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.
Kitab Hukum Kanonik kan.1056: Ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas
(kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam
perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.
Dari dokumen tersebut terlihat bahwa :
Perkawinan Katolik menurut KHK kan.1055 §1
adalah perjanjian (foedus) antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk kebersamaan hidup.
Definisi ini menunjuk pada dasar
utama perkawinan yang merupakan sebuah sakramen.
Catatan:
Latar belakang definisi ini adalah dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes
art. 48). GS dan KHK tidak lagi mengartikan perkawinan sebagai kontrak
melainkan sebuah perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita.
Perkawinan mempunyai tiga tujuan yaitu:
1)kesejahteraan suami-isteri, 2)kelahiran anak, dan 3)pendidikan anak. Setiap
kali kita merenungkan dalamnya arti Perkawinan sebagai gambaran kasih Allah
sendiri, kita perlu bersyukur dan tertunduk kagum. Begitu dalamnya kasih Allah
pada kita manusia, betapa tak terukurnya rencanaNya bagi kita. Melalui
Perkawinan kita dibawa untuk memahami misteri kasih-Nya, dan mengambil bagian
di dalam misteri itu. Di dalam Perkawinan kita belajar dari Kristus, untuk
memberikan diri kita (self-giving) kepada orang lain, yaitu kepada
pasangan kita dan anak-anak yang dipercayakan kepada kita. Dengan demikian,
kita menemukan arti hidup kita, dan tak dapat dipungkiri, inilah yang disebut
‘kebahagiaan’, dan dalam ikatan kasih yang tulus dan total ini, masing-masing
anggota keluarga menguduskan satu sama lain.
Jadi secara
garis besar, sakramen perkawinan mempunyai tujuan untuk mempersatukan suami
istri, menjadikan suami istri dapat mengambil bagian dalam karya penciptaan
Allah, dan akhirnya dengan sakramen perkawinan ini suami dan istri dapat saling
menguduskan, sampai kepada tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan
sejati dalam Kerajaan Surga.
Sejak awal
mula Allah menghendaki persatuan antara pria dan wanita, yang diwujudkan secara
mendalam di dalam Perkawinan. Perkawinan ini dimaksudkan Allah untuk
menggambarkan kasih-Nya, yaitu kasih dalam kehidupan-Nya sendiri sebagai Allah
Tritunggal, dan kasih-Nya kepada manusia yang tak pernah berubah.
Keluhuran Perkawinan juga dinyatakan oleh Kristus, yang mengangkat nilai
Perkawinan dengan menjadikannya gambaran
akan kasih-Nya kepada Gereja-Nya. Karena itu Perkawinan Katolik bersifat
tetap seumur hidup, setia, monogami, dan terbuka terhadap kelahiran baru.
Dengan memiliki ciri-ciri yang demikian, Perkawinan
merupakan ‘sakramen’,
yaitu tanda kehadiran Allah di dunia dan tanda cinta Kristus kepada GerejaNya
sebagai mempelaiNya. Dengan kata
lain, sesungguhnya Allah
menggabungkan kasih suami istri dengan kasihNya sendiri kepada umat manusia
melalui Kristus. Oleh karena sifatnya yang sakramental itulah, suami
adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi istrinya, dan istri adalah tanda
rahmat kehadiran Tuhan bagi suaminya. Jadi tepat jika dikatakan bahwa
sakramen Perkawinan melibatkan tiga pihak, yaitu, suami, istri dan di atas
segalanya, Kristus sendiri.
Perkawinan Katolik itu pada dasarnya berciri satu
pria dengan satu wanita dan tak terceraikan. Kita menyebutnya sifat Monogam dan Indissolubile. Monogam
berarti satu suami dengan satu istri,
sedang indissolubile berarti, setelah terjadi perkawinan antara orang-orang
yang dibaptis (ratum)secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan
(consummatum), maka perkawinan menjadi tak terceraikan, kecuali oleh kematian
(bdk. KHK kan. 1141).
POKOK BAHASAN 21
SELIBAT
Selibat berasal dari kata Latin caelibatus
berarti hidup tidak menikah. Adolf J. Heuken, SJ menjelaskan, Gereja
Katolik Ritus Latin menuntut para imam mereka tidak menikah seumur hidup dan
taat pada kemurnian pribadi dalam pikiran dan perbuatan. Selibat merupakan
ungkapan penyerahan diri secara total kepada Allah dan kehendak-Nya demi
pelayanan kepada Allah dan sesama dengan tidak menikah. Dengan kata lain, selibat merupakan cara hidup yang
memilih untuk tidak menikah demi Kerajaan Allah. Paus Yohanes Paulus II
membarui semangat selibat dengan mengajarkan bahwa semangat hidup berselibat,
miskin, dan taat pada kehendak Allah secara radikal. Sikap ini merupakan sikap
hidup Yesus sendiri yang seharusnya meresapi seluruh umat beriman. Mereka yang
memilih cara hidup selibat seperti itu
adalah orang-orang tertahbis (Paus, Uskup, Imam dan Diakon) dan
biarawan/wati (bruder, suster biara, dan para frater).
POKOK BAHASAN 22
HIDUP
MEMBIARA
Inti
hidup membiara adalah persatuan atau keakraban dengan Kristus dan menghidupi
pola nasib Kristus secara radikal (LG art. 42 dan 44). Untuk itu,
biarawan-biarawati mengucapkan kaul atau janji setia yang diucapkan sebagai
tekad untuk mengabdi dan bersatu dengan Allah. Dengan kata lain, persatuan yang
erat dan penyerahan diri secara total serta menyeluruh kepada Allah dilakukan
dengan mengucapkan dan melaksanakan tiga kaul dalam hidupnya yaitu: kaul
kemiskinan, kaul ketaatan, dan keperawanan.
Dengan
mengucapkan kaul kemiskinan, orang yang mengucapkan dan menghayati hidup
membiara melepaskan hak untuk memiliki harta benda. Ia rela miskin seperti yang
dituntut oleh Yesus kepada murid-muridNya (Luk 10,1-12 dan Mat 10,5-15). Sikap
batin ini harus dihayati dan diungkapkan dalam bentuk nyata kehidupan
sehari-hari.
Dengan
mengucapkan kaul ketaatan seseorang memutuskan untuk taat seperti Kristus yang
taat kepada Allah (Yoh 14,23-24; Flp 2,7-8). Bentuk nyata dari ketaatan ini
adalah meletakkan kehendaknya di bawah kehendak pembesar dan statuta biara demi
Kerajaan Allah (aspek asketis) dan ketaatan religius atau kerelaan untuk
membaktikan diri kepada hidup kerasulan bersama (aspek apostolik).
Dengan
kaul keperawanan seseorang melepaskan hak hidupnya untuk berkeluarga dan
meneladan Kristus seutuhnya demi Kerajaan Allah. Dengan demikian mereka memilih
untuk hidup selibat.
POKOK BAHASAN 23
KERJA
Kerja Sebagai Partisipasi dalam Kegiatan Sang Pencipta
Menurut Konsili Vatikan II:
”Bagi kaum beriman ini merupakan keyakinan: kegiatan manusia baik perorangan
maupun kolektif, atau usaha besar-besaran itu sendiri, yang dari zaman ke zaman
dikerahkan oleh banyak orang untuk
memperbaiki kondisi-kondisi hidup mereka, memang sesuai dengan rencana Allah.
Sebab manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, menerima titah-Nya, supaya
menaklukkan bumi beserta segala sesuatu yang terdapat padanya, serta menguasai
dunia dalam keadilan dan kesucian; ia mengemban perintah untuk mengakui Allah
sebagai Pencipta segala-galanya, dan mengarahkan diri beserta seluruh alam
kepada-Nya, sehingga dengan terbawahnya segala sesuatu kepada mausia nama Allah
sendiri dikagumi di seluruh bumi”.
Kegiatan Allah di dunia itu
selalu berlangsung, seperti dikatakan oleh Kristus: ”Bapa-Ku tetap masih
berkarya...”: Ia berkarya dengan kuasa pencipta-Nya dengan melestarikan bumi,
yang dipanggil-Nya untuk berada dari ketiadaan, dan Ia berkarya dengan kuasa
penyelamat-Nya dalam hati mereka, yang sejak semula telah ditetapkan-Nya untuk
”beristirahat” dalam persatuan dengan diri-Nya di ”rumah Bapa”Nya. Oleh karena
itu kerja manusia pun tidak hanya memerlukan istirahat setiap ”hari ketujuh”,
melainkan tidak dapat pula terdiri hanya dari penggunaan tenaga manusiawi dalam
kegiatan lahir. Kerja harus membuka
peluang bagi manusia untuk menyiapkan diri, dengan semakin menjadi seperti yang
dikehendaki oleh Allah, bagi ”istirahat” yang disediakan oleh Tuhan
bagi para hamba dan sahabat-Nya. Kesadaran, bahwa kerja manusia ialah partisipasi dalam kegiatan Allah,
menurut Konsili, bahkan harus meresapi ”pekerjaan sehari-hari yang biasa
sekali. Sebab pria maupun wanita, yang-sementara mencari nafkah bagi diri maupun keluarga mereka-melakukan
pekerjaan mereka sedemikian rupa sehingga sekaligus berjasa-bakti bagi
masyarakat, memang dengan tepat dapat berpandangan, bahwa dengan jerih-payah
itu mereka mengembangkan karya Sang
Pencipta, ikut memenuhi kepentingan sesama saudara, dan menyumbangkan kegiatan mereka pribadi demi terlaksananya
rencana ilahi dalam sejarah”.
Kesadaran, bahwa melalui kerja
manusia berperan serta dalam karya penciptaan merupakan motif yang terdalam
untuk bekerja di pelbagai sektor. ”Jadi”-menurut Konstitusi ”Lumen
Gentium”-”kaum beriman wajib mengakui makna sedalam-dalamnya, nilai serta
tujuan segenap alam tercipta, yakni: demi
kemuliaan Allah. Lagi pula mereka wajib saling membantu juga melalui
kegiatan duniawi untuk hidup dengan lebih suci, supaya dunia diresapi semangat
Kristus, dan dengan lebih tepat mencapai tujuannya dalam keadilan, cinta kasih
dan damai....Maka dengan kompetensinya di bidang profan serta dengan
kegiatannya, yang dari dalam diangkat oleh rahmat Kristus, hendaklah mereka
memberi sumbangan yang andal, supaya hal-hal tercipta dikelola dengan kerja
manusia, keahlian teknis, serta kebudayaan yang bermutu, menurut penetapan Sang
Pencipta dan dalam cahaya Sabda-Nya”(LE 25).
Dalam Ensiklik Centesimus
Annus dikatakan, “....Sumber pertama segala sesuatu yang baik ialah karya Allah
sendiri yang menciptakan bumi dan manusia, serta mengurniakan bumi kepada
manusia, supaya manusia dengan jerih-payahnya menguasainya dan menikmati
buah-hasilnya (bdk. Kej 1:28-29). Allah menganugerahkan bumi kepada seluruh
umat manusia, supaya bumi menjadi sumber kehidupan bagi semua anggotanya, tanpa
mengecualikan atau mengutamakan siapapun juga. Itulah yang menjadi dasar
mengapa harta-benda bumi diperuntukkan bagi semua orang. Sebab berkat
kesuburannya dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia; bumi
merupakan kurnia Allah yang pertama untuk menjadi sumber kehidupan baginya.
Tetapi bumi tidak menghasilkan buah-buahnya tanpa tanggapan manusia yang khusus
terhadap anugerah Allah, atau: tanpa kerja. Melalui kerja manusia dengan menggunakan akal-budi dan kebebasannya
menguasai bumi, dan menjadikannya kediaman yang layak bagi dirinya.
Begitulah manusia menjadikan miliknya sebagian bumi yang diperolehnya dengan
bekerja. Itulah asal- milik perorangan. Sudah jelaslah ia terikat kewajiban
untuk tidak menghalang-halangi sesamanya mendapat bagiannya dari kurnia Allah.
Bahkan ia harus bekerja sama dengan mereka untuk bersama-sama menguasai seluruh
bumi...” (CA 31).
Dengan demikian, nilai-nilai
iman Katolik berdasarkan dokumen Gereja di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut :
Pertama,
orang bekerja dalam rangka mencari nafkah dan mencukupi
kebutuhan-kebutuhannya, biasanya kebutuhan yang dasar. Bekerja pada tataran ini
dapat dialami sebagai beban yang berat. Orang bekerja karena terpaksa.
Misalnya, seseorang sebenarnya bercita-cita bekerja dalam bidang pendidikan.
Tetapi karena tidak ada lowongan kerja dalam bidang itu, dia terpaksa bekerja sebagai
pekerja di pabrik, karena tidak ada pekerjaan lain, sementara dia harus
mencukupi kebutuhan-kebutuhan saya sehari-hari.
Kedua,
orang bekerja sebagai aktualisasi diri. Karena kemampuannya dan
kesempatan yang tersedia, dia bisa memilih pekerjaan mana yang akan ia lakukan
sesuai dengan yang ia inginkan. Dengan pilihan kerja itu, ia mencapai
cita-citanya. Ia merasa bahagia, gembira, mengalami kepuasan batin yang besar.
Dengan pekarjaanya itu merasa berkembang sebagai pribadi.
Ketiga,
kerja dalam rangka mewujudkan bagian doa yang setiap hari kita
ucapkan "datanglah Kerajaan-Mu". Sebagai orang beriman, kita semua
menerima tugas perutusan untuk mengikuti Yesus Kristus mewartakan Kerajaan
Allah. Melalui kerja manusia dengan menggunakan akal-budi dan kebebasannya
menguasai bumi, dan menjadikannya kediaman yang layak bagi dirinya.
Kerajaan Allah adalah realitas yang sangat nyata: ketika orang merasa lebih
aman berkendara di jalan raya; ketika orang mendapat keadilan di lembaga
peradilan; ketika pada usahawan menjalankan usahanya dengan fairness. Pendek
kata, iman kita harus menjadi inspirasi untuk memberi makna kepada pekerjaan
kita, membuat kita yakin bahwa pekerjaan kita, apapun jenisnya, adalah bagian
dari usaha kita untuk mewujudkan doa kita "datanglah Kerajaan-Mu",
membuat hidup bersama menjadi semakin manusiawi, semakin damai dan sejahtera.
Keempat,
kerja sebagai partisipasi dalam kegiatan Sang Pencipta. Artinya, melalui kerja
manusia mengembangkan karya Sang Pencipta, ikut memenuhi kepentingan
sesama saudara, dan menyumbangkan
kegiatan mereka pribadi demi terlaksananya rencana ilahi dalam sejarah.
Kerja adalah setiap kegiatan
manusia yang diarahkan untuk kemajuan rohani dan jasmani manusia yang
memerlukan pemikiran dan tenaga.
Makna kerja
dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu:
- Segi ekonomis: memenuhi dan menyelenggarakan kebutuhan-kebutuhan hidup yang primer.
- Segi sosiologis: untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Kegiatan tersebut juga mencerminkan keterlibatan unsur manusia dalam karya ciptaan Allah.
- Segi antropologis: untuk membina dan membentuk diri dan pribadinya dan bisa menjadi teman bagi sesamanya dengan menggunakan akal budi, kehendak, tenaga, daya kreatif, serta tanggung jawab dan kesejahteraan umum.
Tujuan
kerja adalah mencari nafkah , memajukan teknik dan kebudayaan, menyempurnakan
dirisendiri, dan memuliakan Tuhan.
Makna religius dari bekerja adalah:
·
Allah
memerintahkan manusia untuk bekerja. Manusia menjadi wakil Allah di dunia ini
untuk mengurus dan menjadi pekerja yang menyelenggarakan ciptaan Tuhan.
·
Manusia menjadi rekan kerja Allah
dalam dunia ini.
·
Dengan bekerja, manusia mendekatkan
diri dengan Allah.
Namun
dalam bekerja manusia butuh pula beristirahat sebab dalam Kej 1:1-2:3 dikatakan
bahwa Allah bekerja selama 6 hari dan pada hari ketujuh, Allah beristirahat. Ia pun memerintahkan manusia
untuk beristirahat (Kel 20:10).
Doa memiliki peranan penting dalam
pekerjaan kita,
yaitu:
·
Sebagai ungkapan syukur kepada Allah
karena bisa bekerja.
·
Kerja
menjadi sarana bagi kita untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah.
·
Menjadi
daya dorong bagi kita untuk bekerja lebih tekun, tabah, dan tawakal.
·
Memurnikan pola, motivasi, dan
orientasi kerja kita.
·
Doa, karya, dan kerja adalah
kesatuan tindakan yang menjadikannya sebagai persembahan yang kudus kepada
Allah
·
Sebagai ungkapan syukur kepada Allah
karena sanggup menyelesaikan pekerjaan yang dipercayakan kepada kita.
POKOK BAHASAN 24
BERDIALOG
DENGAN KRISTEN PROTESTAN: KEKHASAN GEREJA KATOLIK DAN PROTESTAN
Persamaan
antara Gereja Katolik dan Gereja Protestan jelas sangat banyak dan menyangkut
hal-hal yang sangat fundamental karena berasal dari Yesus Kristus yang diakui
oleh keduanya sebagai Kepala Gereja. Keduanya mengakui Allah yang sama, para
nabi, Kitab Suci, dan Syahadat yang sama. Hanya ada sejumlah perbedaan
penafsiran dan penekanan, yaitu:
KEKHASAN
GEREJA KATOLIK
|
KEKHASAN
GEREJA PROTESTAN
|
Tekanan
ada pada sakramen dan pada segi sakramen (tanda kelihatan) dari karya
keselamatan Allah.
|
Tekanan pada sabda/pewartaan dan
pada segi misteri karya Allah.
|
Kultis, yang mementingkan kurban
(Ekaristi). Hubungan dengan Gereja menentukan hubungan dengan Kristus.
|
Profetis,
yang terpusat pada sabda (pewartaan). Hubungan
dengan Kristus menentukan hubungan dengan Gereja
|
Gereja
secara hakiki bersifat hirarkis
|
Segala
pelayanan gerejawi adalah ciptaan manusia
|
Kitab
Suci dibaca dan dipahami di bawah pimpinan hirarki
|
Setiap orang membaca dan
mengartikan Kitab Suci
|
Jumlah Kitab Suci 73, termasuk
Deuterokanonika.
|
Jumlah Kitab Suci 66 buah, tidak
menerima Deuterokanonika.
|
Ada
7 sakramen
|
Ada
2 sakramen yaitu sakramen baptis dan ekaristi / perjamuan. (kedua sakramen ini kira-kira setara
dengan Sakramen Baptis dan Ekaristi dalam Gereja Katolik, tetapi tidak persis
sama karena alasan teologis dan praksisnya).
|
Ada
devosi kepada para kudus.
|
Tidak
menerima devosi para kudus.
|
Gerakan
ekumenis adalah kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha yang diadakan dan ditujukan
untuk mendukung kesatuan umat Kristen. Sejalan dengan saran dari Dekrit tentang
Ekumene (UR art. 4) maka untuk mendukung kesatuan umat Kristen itu yang dapat
kita lakukan antara lain:
- Menghindari kata-kata, penilaian, perbuatan yang dapat menimbulkan hubungan yang kurang baik antar-umat Kristiani.
- Melaksanakan dialog, baik dialog kehidupan maupun dialog karya.
- Mengadakan dialog di bidang doktrin dan teologi sehingga masing-masing agama dapat saling belajar dan saling mengisi.
- Doa bersama atau ibadat bersama sejauh memungkinkan dapat dirayakan sebagai puncak dari suatu kegiatan yang bersifat ekumenis.
POKOK BAHASAN 25
SAKRAMEN YANG DIAKUI OLEH GEREJA KATOLIK DAN GEREJA PROTESTAN
Munculnya reformasi yang
dilakukan oleh Martin Luhter, meragukan akan keberadaan sakramen dalam Gereja
Katolik. Karena Katolik menyatakan ada 7 Sakramen (Baptis, Tobat, Ekaristi,
Krisma, Minyak Suci, Perkawinan, dan Imamat), sedangkan Martin Luther
menyatakan hanya ada 2 Sakramen yaitu : Baptisan Kudus dan Perjamuan
Kudus. Hal itu menjadi pokok perdebatan antara para teolog pada zaman reformasi.
Sakramen-sakramen gereja ternyata mendapat perhatian yang lebih khusus dalam
pembahasan-pembahasan, khususnya menyangkut substansi sakramen tersebut,
termasuk maknanya masing-masing, bahkan juga menyangkut soal-soal praktis (bdk. Alister E. McGrath,
Sejarah Pemikiran Reformasi, Jakarta,
BPK-Gunung Mulia 1999, hlm. 206-209, juga lih. Konfessi Augsburg,
Jakarta, BPK-Gunung Mulia, 1993, hlm. 27-28, 45).
Menurut Gereja-Gereja
Protestan, sakramen yang diakui adalah
“Baptisan” dan “Perjamuan Kudus”. Allah yang mendirikan, menetapkan,
memerintah, mensahkan baptisan itu dan perjamuan kudus, yang melaluinya Allah
memberikan berkat dan pengampunan dosa (Bnd. A. J. Lohe, An Explanation of
Luther Small Cateshism, Adelaide, Lutheran Publishing House 1970, hlm.
106-107).
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa Gereja Katolik dan Gereja Protestan sama-sama mengakui Baptis dan Perjamuan Kudus (dalam Gereja
Katolik disebut dangan nama Ekaristi) sebagai sakramen. Namun, secara
khusus mengenai Perjamuan Kudus yang diterima oleh Katolik dan Protestan
terdapatlah sejumlah hal yang membuatnya setara namun tak sama, yaitu :
1. Apostolic Succession (Jalur Apostolik):
Gereja Katolik, menerapkan apa yang telah menjadi Tradisi Suci Gereja sejak
awal, mensyaratkan adanya sakramen Imamat untuk dapat menjadikan sakramen
Ekaristi sebagai sakramen yang sah. Artinya, perkataan konsekrasi atau
“kata-kata/ doa Yesus untuk merubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah
Kristus oleh kekuatan Roh Kudus” harus dilakukan oleh imam yang ditahbiskan oleh
Uskup yang mempunyai jalur apostolik, yang kalau ditelusuri maka rahmat
tahbisan yang diperoleh dari penumpangan tangan ini adalah berasal dari para
rasul, yang menerima mandat dari Yesus sendiri. Dengan demikian, Gereja Katolik
tidak dapat mengakui keabsahan Ekaristi dari gereja lain, kecuali dari Gereja
Timur Ortodox yang juga mempunyai tahbisan yang sah (mempunyai jalur
apostolik), sehingga sakramen yang dilakukan dalam gereja mereka juga sah.
Gereja Anglikan, juga gereja Protestan kehilangan jalur apostolik ini, sehingga
Gereja Katolik tidak mengakui keabsahan sakramen Ekaristi mereka. Katekismus
Gereja Katolik mengajarkan:
KGK 1400 Persekutuan-persekutuan Gereja yang muncul
dari Reformasi, yang terpisah dari Gereja Katolik, “terutama karena tidak memiliki
Sakramen Tahbisan, sudah kehilangan hakikat misteri Ekaristi yang otentik dan
sepenuhnya” (UR 22). Karena alasan ini, maka bagi Gereja Katolik tidak mungkin
ada interkomuni Ekaristi dengan persekutuan-persekutuan ini. “Kendati begitu,
bila dalam Perjamuan Kudus mereka mengenangkan wafat dan kebangkitan Tuhan,
mereka mengimani, bahwa kehidupan terdapat dalam persekutuan dengan Kristus,
dan mereka mendambakan kedatangan-Nya kembali dalam kemuliaan” (UR 22).
2. Transubstantiatio (Trans-substansiasi) dan
Consubstantiatio (Konsubstansiasi): Gereja Katolik mengajarkan bahwa roti
dan anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus setelah konsekrasi (disebut:
trans-substansiasi). Ini artinya, bahwa yang termakan atau sisa dari Roti yang
sudah dikonsekrasi adalah benar-benar Tubuh Kristus. Ini menyebabkan Gereja
Katolik menyimpannya dalam tabernakel, dan juga ada doa Adorasi, yaitu doa di
depan Sakramen Maha Kudus. Beberapa gereja Protestan mengakui konsubstansiasi,
yang berarti roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan darah Kristus setelah
dikonsekrasi dan dimakan/diminum. Jadi bagi gereja Protestan, sisa roti dan
anggur yang tidak termakan/terminum bukanlah tubuh dan darah Kristus, namun
hanya roti dan anggur biasa.
POKOK BAHASAN 26
MENGANALISIS DOKUMEN GEREJA KATOLIK TENTANG
MENGHARGAI KEKHASAN AGAMA LAIN DAN BENTUK-BENTUK DIALOG DENGAN UMAT BERAGAMA
LAIN
Nostra
Aetate art. 2
Sudah sejak dahulu kala hingga sekarang ini
diantara pelbagai bangsa terdapat suatu kesadaran tentang daya-kekuatan yang
gaib, yang hadir pada perjalanan sejarah dan peristiwa-peristiwa hidup manusia;
bahkan kadang-kadang ada pengakuan terhadap Kuasa ilahi yang tertinggi
atau pun Bapa. Kesadaran dan pengakuan tadi meresapi kehidupan bangsa-bangsa
itu dengan semangat religius yang mendalam. Adapun agama-agama, yang terikat
pada perkembangan kebudayaan, berusaha menanggapi masalah-masalah tadi dengan
faham-faham yang lebih rumit dan bahasa yang lebih terkembangkan. Demikianlah
dalam hinduisme manusia menyelidiki misteri ilahi dan mengungkapkannya dengan
kesuburan mitos-mitos yang melimpah serta dengan usaha-usaha filsafah yang
mendalam. Hinduisme mencari pembebasan dari kesesakan keadaan kita entah
melalui bentuk-bentuk hidup berulah-tapa atau melalui permenungan yang
mendalam, atau dengan mengungsi kepada Allah penuh kasih dan kepercayaan.
Buddhisme dalam pelbagai alirannya mengakui, bahwa dunia yang serba berubah ini
sama sekali tidak mencukupi, dan mengajarkan kepada manusia jalan untuk dengan
jiwa penuh bakti dan kepercayaan memperoleh keadaan kebebasan yang sempurna,
atau – entah dengan usaha sendiri entah berkat bantuan dari atas – mencapai
penerangan yang tertinggi. Demikian pula agama-agama lain, yang terdapat
diseluruh dunia, dengan pelbagai cara berusaha menanggapi kegelisahan hati
manusia, dengan menunjukkan berbagai jalan, yakni ajaran-ajaran serta
kaidah-kaidah hidup maupun upacara-upacara suci.
Gereja
Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci di dalam agama-agama ini.
Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan
hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda
dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh
memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya
mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup”
(Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan,
dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.
Maka Gereja mendorong para puteranya, supaya
dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para
penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta
perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta-kekayaan
rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka.
Beberapa hal pokok yang diperlihatkan oleh dokumen
diatas memperihatkan sikap Gereja yang menghargai agama lain, yaitu:
A.
Persamaan yang nyata dalam agama-agama yang
berbeda itu dinyatakan bahwa semua agama memiliki sumber dan tujuan yang sama,
yakni Allah.
B.
Sikap
Gereja terhadap agama dan kepercayaan lain adalah :
- mendukung terciptanya kerukunan dan persaudaraan sejati dalam kebersamaan dengan agama dan kepercayaan yang berbeda.
- Gereja perlu menghargai agama dan kepercayaan lain sebagai ungkapan toleransinya.
- Gereja dapat merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, dari agama-agama lain yang juga memiliki nilai kebenaran.
- Hal konkret yang dapat dilakukan Gereja dalam membangun kerukunan adalah Gereja perlu membangun kebersamaan dan sikap terbuka terhadap agama dan kepercayaan lain melalui dialog dan kerjasama. Macam-macam dialog yang dapat dilakukan:
·
DIALOG
KARYA, keterlibatan dan kebersamaan dalam karya bersama, misalnya terlain dalam
organisasi, pengelolaan karya sosial, pendidikan, kerja bakti bersama dll.
·
DIALOG
KEHIDUPAN, keterlibatan dan kebersamaan dalam kehidupan nyata sehingga terjalin
kerukunan Misalnya, saling memberi salam, silaturahmi, saling mendukung,
bertegur sapa, sharing pengalaman hidup, menjalin persahabatan dan persaudaraan
·
DIALOG
IMAN, keterlibatan dalam saling mengembangkan iman masing-masing , misalnya
melalui pemahaman akan nilai iman orang lain, memperdalam iman sendiri, saling
tukar pendapat tentang pandangan iman, saling belajar akan kekayaan rohani
agama-agama lain.
Tentang Penulis :
A. Donny Reston, lahir di Makassar,
memperoleh Gelar S-1 (Sarjana Sastra) dari Fakultas Pontifical Teologi
Wedabhakti (FTW), Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (2004) dan Fakultas
Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Makassar (2007). Lulus Sertifikasi Guru
Tahun 2010. Menjadi Ketua MGMP Pendidikan Agama Katolik Kota Makassar, Kabupaten Gowa dan Kabupaten
Maros periode 2014 – 2017. Saat ini mengajar di SMA Katolik Cenderawasih
Makassar.