Cari Blog Ini

Rabu, 01 Maret 2017

MATERI KHUSUS PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (DAN BUDI PEKERTI) PEMBAHASAN KISI-KISI USBN TAHUN 2017


Dipersembahkan untuk anak-anakku terkasih,
Siswa-Siswi Katolik terutama Siswa-Siswi yang selama masa pendidikannya di SMA atau SMK belum mendapatkan Pendidikan Agama Katolik (dan Budi Pekerti) di sekolah karena ketiadaan guru atau kesulitan untuk mengakses buku-buku penunjang mata pelajaran tersebut.
Di dalam blog ini saya berusaha semaksimal mungkin membantu kalian dengan menyediakan materi minimal mengikuti kriteria Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik (dan Budi Pekerti) sebagai persiapan kalian menghadapi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) 2017. Besar harapan saya, hal ini berguna bagi kalian, bukan sekedar menghadapi USBN tetapi juga berguna bagi hidupmu dan perkembangan imanmu.

Bagi Rekan-Rekan Guru dan semua saja yang peduli, berkompeten dan berkepentingan, jika ada yang kurang berkenan dalam penulisan materi ini, segala koreksi kiranya selalu diperlukan.



MATERI KHUSUS PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (DAN BUDI PEKERTI)
PEMBAHASAN KISI-KISI USBN
TAHUN 2017

POKOK BAHASAN 1
PERUMPAMAAN TENTANG TALENTA [ Mat 25 : 14 – 30 ]

Setiap orang mempunyai kemampuan dan bakat-bakat dalam ukuran tertentu. Kemampuan dan bakat yang dimiliki seseorang seharusnya dikembangkan dan digunakan. Kemampuan dan bakat adalah anugerah Tuhan, yang dalam Kitab Suci sering disebut talenta. Tuhan menghendaki agar talenta itu dikembangkan dan digunakan. Dalam Injil Matius 25:14-30, dikisahkan tentang seorang tuan yang memanggil hamba-hambanya dan memberi mereka sejumlah talenta untuk “dikembangkan” dan “digunakan”.

Marilah kita menyimak perumpamaan tentang Talenta tersebut (Mat 25 : 14 – 30):
14 “Sebab hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang yang mau bepergian ke luar negeri, yang memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka.
15 Yang seorang diberikannya lima talenta, yang seorang lagi dua dan yang seorang lain lagi satu, masing-masing menurut kesanggupannya, lalu ia berangkat.
16 Segera pergilah hamba yang menerima lima talenta itu. Ia menjalankan uang itu lalu beroleh laba lima talenta.
17 Hamba yang menerima dua talenta itu pun berbuat demikian juga dan berlaba dua talenta.
18 Tetapi hamba yang menerima satu talenta itu pergi dan menggali lobang di dalam tanah lalu menyembunyikan uang tuannya.
19 Lama sesudah itu pulanglah tuan hamba-hamba itu lalu mengadakan perhitungan dengan mereka.
20 Hamba yang menerima lima talenta itu datang dan ia membawa laba lima talenta, katanya: Tuan, lima talenta tuan percayakan kepadaku; lihat, aku telah beroleh laba lima talenta.
21 Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.
22 Lalu datanglah hamba yang menerima dua talenta itu, katanya: Tuan, dua talenta tuan percayakan kepadaku; lihat, aku telah beroleh laba dua talenta.
23 Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.
24 Kini datanglah juga hamba yang menerima satu talenta itu dan berkata: Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam.
25 Karena itu aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah: Ini, terimalah kepunyaan tuan!
26 Maka jawab tuannya itu: Hai kamu, hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu, bahwa aku menuai di tempat di mana aku tidak menabur dan memungut dari tempat di mana aku tidak menanam?
27 Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya.
28 Sebab itu ambillah talenta itu dari padanya dan berikanlah kepada orang yang mempunyai sepuluh talenta itu.
29 Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apa pun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya.
30 Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.”

Secara garis besar, ada tiga orang yang diberikan Lima, Dua, dan Satu Talenta. Maknanya :
·         Setiap orang mempunyai talenta paling sedikit satu.
·         Tidak ada orang yang mempunyai semua talenta.
·         Talenta setiap orang berbeda
·         Jika talenta itu digunakan, maka Tuhan akan melipatgandakannya dan jika tidak maka Tuhan akan mengambilnya kembali.

Pada ayat 27, Talenta diterjemahkan sebagai “uang”. Sebenarnya, secara literal “Talenta” adalah ukuran timbangan dimana “1” Talenta sama dengan “60 Mina” atau sama dengan “34 Kg”.

Tuhan Yesus menceritakan tentang perumpamaan tersebut untuk memberikan pengertian yang mudah untuk dipahami tentang kemampuan, bakat, sumber daya dan kesempatan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Talenta itu haruslah dikelola dan dikembangkan dengan baik sehingga dapat berdaya guna bagi diri sendiri, orang lain, dan terutama demi kemuliaan Sang Pemberi Talenta, yaitu Tuhan sendiri. Mengembangkan dan menggunakan talenta sebagaimana mestinya adalah panggilan dan tuntutan Kristiani. Allah memberikan kemampuan dan talenta yang berbeda kepada setiap orang dan kemampuan itu hendaklah digunakan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama.

Dalam kisah itu terlihat pula bahwa Tuan yang memberi talenta menindak tegas seorang hamba yang tidak mau mengembangkan talenta dan hanya memendamnya ke dalam tanah. Hamba itu tidak mau mengembangkan talentanya karena malas dan jahat (ay.26). Oleh tuannya hamba itu bahkan dianggap sebagai hamba yang tak berguna. Hamba yang diberi satu talenta tersebut melambangkan orang yang tidak mau mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan karena kemalasan dan juga kejahatannya kepada orang lain, dirinya sendiri, bahkan kepada Tuhan sendiri.

Kesimpulan :
Ada beberapa gagasan yang dapat kita peroleh dari perumpamaan tersebut :
·         Yesus memberikan gambaran seorang tuan yang memberikan talenta kepada hamba-hambanya. ( Mat 25: 14 – 30). Iapun menindak tegas kepada seorang hamba yang tidak mau mengembangkan talenta dan hanya memendamnya ke dalam tanah.
·         Setiap orang diberi talenta oleh Tuhan. Mereka harus mengembangkan dan menggunakan talenta itu sebagaimana mestinya. Mengembangkan talenta sebagaimana mestinya adalah panggilan dan tuntutan orang beriman kristiani.
·         Kita harus mengembangkan bakat yang kita miliki, karena Tuhan telah memberikan talenta kepada manusia ciptaan-Nya, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki manusia masing-masing.
·         Kita harus seperti hamba yang pertama dan hamba yang kedua yang mengembangkan talenta yang mereka punya dengan baik.
·         Kita tidak boleh mencontoh hamba yang ketiga, yang hanya mengubur talentanya, tanpa berusaha untuk mengembangkannya.
·         Allah akan sedih dan kecewa karena kita hanya memendam bakat yang kita miliki. Terlebih kita merasa iri hati terhadap kemampuan yang orang lain miliki. Allah memberikan masing-masing talenta kepada umat-Nya, dan talenta itu harus kita syukuri, serta kita kembangkan.

POKOK BAHASAN 2
MARTABAT MANUSIA DAN SIKAP DISKRIMINASI

Dewasa ini  banyak terjadi  pelanggaran  terhadap  martabat  kemanusiaan. Di berbagai tempat terjadi kekerasan yang diakibatkan dari sikap fanatik dan diskriminatif ras, suku, agama, budaya, dan  kelompok sosial. Sikap ini dapat menjalar pada siapa saja, tidak terkecuali orang muda. Oleh karena itu, mereka
perlu disadarkan bahwa sikap tersebut dapat melahirkan berbagai kekerasan dan tindakan anarkis yang sungguh merusak dan sangat melukai martabat manusia sebagai citra Allah. Kita harus berani membela mereka yang tertindas, tercemooh, dan teraniaya.
Sebagai  sesama  citra  Allah,  setiap  manusia  adalah  bersaudara.  harus saling menghormati  dan saling mengasihi. Sikap ini seperti yang digambarkan Yesus dalam  perumpamaan  tentang  orang  Samaria yang murah  hati.  Dalam perumpamaan itu dikisahkan bagaimana orang Samaria yang baik hati itu telah memperlakukan orang Yahudi yang mendapat bencana di jalan seperti saudaranya sendiri, bahkan lebih dari itu.
Dalam Kitab Kej 1: 26-27 dikisahkan demikian: Berfirmanlah Allah: “Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi. Maka Allah menciptakan  manusia itu menurut  gambar-Nya, menurut  gambar Allah diciptakan-Nya  dia, laki-laki dan  perempuan  diciptakan-Nya  mereka”. Dalam kutipan  Kej 1: 26-27 ini jelas dinyatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa  Allah, tentang  makhluk-makhluk  yang lain tidak dikatakan seperti itu.

Mari kita menyimak kutipan  dari Katekismus Gereja Katolik berikut:
·         KGK 357 Karena ia  diciptakan  menurut  citra Allah,  manusia  memiliki martabat sebagai pribadi: ia bukan hanya sesuatu, melainkan seorang. Ia mampu mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas dirinya, mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain, dan karena rahmat ia sudah dipanggil ke dalam perjanjian dengan Penciptanya, untuk memberi kepada-Nya jawaban iman dan cinta, yang tidak dapat diberikan suatu makhluk lain sebagai penggantinya.
·         KGK 358 Tuhan menciptakan segala sesuatu untuk manusia (Bdk. GS 12,1; 24,2; 39,1), tetapi manusia itu sendiri diciptakan untuk melayani Allah,untuk mencintai-Nya dan untuk mempersembahkan seluruh ciptaan kepada-Nya: “Makhluk manakah yang diciptakan dengan martabat yang demikian itu? Itulah manusia, sosok yang agung, yang hidup dan patut dikagumi, yang dalam mata Allah lebih bernilai daripada segala makhluk.  Itulah manusia; untuk dialah langit dan bumi dan lautan dan seluruh ciptaan. Allah sebegitu prihatin dengan keselamatannya,  sehingga Ia  tidak  menyayangi  Putera-Nya  yang tunggal untuk dia. Allah malahan tidak ragu-ragu, melakukan segala sesuatu, supaya menaikkan manusia kepada diri-Nya dan memperkenankan ia duduk di sebelah kanan-Nya” (Yohanes Krisostomus, Serm. in Gen. 2,1).
·         KGK 360 Umat  manusia  merupakan  satu  kesatuan  karena  asal  yang sama. Karena Allah “menjadikan dari satu orang saja semua bangsa dan umat manusia” (Kis 17:26) Bdk. Tob8:6. Pandangan yang menakjubkan, yang memperlihatkan kepada kita umat manusia dalam kesatuan asal yang sama dalam Allah dalam kesatuan kodrat, bagi semua disusun sama dari badan jasmani dan jiwa rohani yang tidak dapat mati dalam kesatuan tujuan yang langsung dan tugasnya di dunia; dalam kesatuan pemukiman  di bumi, dan menurut hukum kodrat semua manusia berhak menggunakan hasil-hasilnya, supaya dengan demikian bertahan dalam kehidupan dan berkembang; dalam kesatuan tujuan  adikodrati: Allah sendiri, dan semua orang berkewajiban untuk mengusahakannya: dalam kesatuan daya upaya, untuk mencapai tujuan ini;… dalam kesatuan tebusan, yang telah dilaksanakan Kristus untuk semua orang” (Pius XII Ens. “Summi Pontificatus”) Bdk. NA 1.
·         KGK 361 “Hukum solidaritas dan cinta ini” (ibid.) menegaskan bagi kita, bahwa kendati keaneka-ragaman pribadi, kebudayaan dan bangsa, semua manusia adalah benar-benar saudara dan saudari.
·         KGK 362 Pribadi manusia yang diciptakan menurut citra Allah adalah wujud jasmani sekaligus rohani. Teks Kitab Suci mengungkapkan itu dalam bahasa kiasan, apabila ia mengatakan: “Allah membentuk manusia dari debu tanah dan menghembuskan napas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia  itu  menjadi makhluk  yang hidup” (Kej 2:7). Manusia seutuhnya dikehendaki Allah

Beberapa hal yang dapat ditarik dari dokumen di atas menyangkut martabat manusia sebagai citra Allah:
1.       Kata Citra mungkin  lebih tepat kita artikan sebagai Gambaran. Yang menggambarkan! Kalau kita mirip dengan ibu kita, itu tidak berarti kita sama dengan ibu kita . Tetapi dengan mirip ini mau menggambarkan sesuatu,  bahwa pada  diri  kita  entah  itu  fisiknya, karakternya,  sifat-sifatnya ada kesamaan dengan ibu. Dan kesamaan ini bukan dalam arti yang sebenarnya, tetapi  merupakan  gambaran  dari  ibu. Hasil karya, entah itu seni atau yang lainnya dapat menggambarkan si penciptanya. Demikian  pula  makhluk  yang disebut  manusia  itu,  dapat  dikatakan sebagai gambaran atau citra si penciptanya, yaitu Allah sendiri.
2.       Manusia diberi kuasa untuk menguasai alam ciptaan lain. Menguasai alam berarti menata, melestarikan, mengembangkan, dan menggunakannya secara bertanggungjawab.
3.       Karena  manusia  diciptakan  sebagai Citra  Allah, manusia  memiliki martabat sebagai pribadi: ia bukan hanya sesuatu, melainkan seseorang. Ia mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas diri sendiri, mengabdikan diri dalam kebebasan, dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain, dan dipanggil membangun relasi dengan Allah, pencipta-Nya.
4.       Persaudaraan   sejati  adalah  persaudaraan   yang  dihayati  atas  dasar persamaan kodrat sebagai sesama ciptaan Tuhan dan persamaan kodrat sebagai Citra Allah.
5.       Persaudaraan sejati tidak membedakan orang berdasarkan agama, suku, ras, ataupun golongan, karena semua manusia adalah sama-sama umat Tuhan dan sama-sama dikasihi Tuhan. Maka setiap orang yang membenci sesamanya, ia membenci Tuhan.

POKOK BAHASAN 3
SUARA HATI

Suara hati secara luas dapat diartikan sebagai keinsafan akan adanya kewajiban. Hati nurani merupakan kesadaran moral yang timbul dan tumbuh dalam hati manusia, sedangkan hati nurani secara sempit dapat diartikan sebagai penerapan kesadaran moral dalam situasi konkret, yang menilai suatu tindakan manusia atas buruk baiknya. Hati nurani tampil sebagai hakim yang baik dan jujur, walaupun dapat keliru. Suara hati atau hati nurani merupakan daya atau kemampuan khusus untuk membedakan perbuatan baik atau perbuatan buruk, serta menilai baik-buruknya perbuatan itu berdasarkan akal budi. Conscience atau hati nurani merupakan hasil dialog pribadi kita yang terdalam dengan Allah ketika kita menghadapi dan menanggapi situasi hidup sehari – hari.

Selanjutnya, Gereja melalui Konsili Vatikan II, khususnya dalam Gaudium et Spes Art. 16, antara lain dikatakan, “Tidak jarang terjadi, bahwa hati nurani keliru karena ketidaktahuan yang tak teratasi. Karena hal itu, ia tidak kehilangan martabatnya. Hal itu sebenarnya tak perlu terjadi kalau manusia berikhtiar untuk mencari yang benar dan baik”. Itu artinya manusia tidak boleh tunduk dan mengalah pada situasi yang membelenggu suara hati. Dengan bantuan Roh Allah kita dimampukan untuk mengalahkan kekuatan dahsyat yang menguasai suara hati kita, yang oleh Santo Paulus dinamai kuasa/ keinginan daging. Gaudium et Spes, art. 16 mengartikan suara hati sebagai “inti manusia” yang menjadi tempat manusia bertemu seorang diri dengan Allah. Di dalam hati manusia itu lah Allah menggemakan pesanNya yakni, hukum cinta kasih. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak kutipan GS art. 16 berikut :

“Di lubuk hati nuraninya, manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri, melainkan harus ditaati. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu menggemakan dalam lubuk hatinya: jalankan ini, elakkan itu. Sebab dalam hatinya, manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu, dan menurut hukum itu pula ia akan diadili.

Suara hati ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar suci; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang pesan-Nya menggema dalam hatinya. Berkat hati nurani dikenallah secara ajaib hukum, yang dilaksanakan dalam cinta kasih terhadap Allah dan terhadap sesama. Atas kesetiaan terhadap hati nurani, umat Kristiani bergabung dengan sesama lainnya untuk mencari kebenaran, dan untuk dalam kebenaran itu memecahkan sekian banyak persoalan moral, yang timbul baik dalam hidup perorangan maupun dalam kehidupan kemasyarakatan.”

Dari dokumen tersebut terkandung pula makna bahwa suara hati perlu terus dibina dengan setia dan dengan segala usaha mencari kebenaran. Konkritnya, suara hati dapat dibina dengan cara:
1.    Mengikuti suara hati dalam segala hal
        Seseorang yang selalu berbuat sesuai dengan hati nuraninya, hati nurani akan semakin terang dan berwibawa.
        Seseorang yang selalu mengikuti dorongan suara hati, keyakinannya akan menjadi sehat dan kuat. Dipercayai orang lain, karena memiliki hati yang murni dan mesra dengan Allah.
        “Berbahagialah orang yang murni hatinya, karena mereka akan memandang Allah.” (Mat 5: 8).
2.    Mencari keterangan pada sumber yang baik
        Dengan membaca: Kitab Suci, Dokumen-Dokumen Gereja, dan buku-buku lain yang bermutu.
        Dengan bertanya kepada orang yang punya pengetahuan/ pengalaman dan dapat dipercaya
        Ikut dalam kegiatan rohani, misalnya rekoleksi, retret, dsb.
        Koreksi diri atau introspeksi
        Koreksi atas diri sangat penting untuk dapat selalu mengarahkan hidup kita.
3.    Menjaga kemurnian hati
        Menjaga kemurnian hati terwujud dengan melepaskan emosi dan nafsu, serta tanpa pamrih, yang nampak dalam tiga hal:
    1. Maksud yang lurus (recta intentio): ia konsisten dengan apa yang direncanakan, tanpa dibelokkan ke kiri atau ke kanan.
    2. Pengaturan emosi (ordinario affectum): ia tidak menentukan keputusan secara emosional.
    3. Pemurnian hati (purification cordis): tidak ada kepentingan pribadi atau maksud-maksud tertentu di balik keputusan yang diambil.
        Hal ini dapat dilatih dengan penelitian batin, seperti merefleksikan rangkaian kata dan tindakan sepanjang hari itu, berdoa sebelum melakukan aktivitas, dan lain-lain.

POKOK BAHASAN 4
PENGARUH MEDIA TEKNOLOGI

Pada masa kini teknologi media menjadi salah satu pemberi informasi yang paling berpengaruh dan sulit untuk dihindari. Pengaruh tersebut dapat positif dan dapat pula negatif. Berhadapan dengan informasi yang disampaikan oleh oleh teknologi media tersebut, sebagai orang Kristiani, kita diajak untuk bersikap kritis terhadap semua informasi yang kita terima. Sikap kritis membuat kita dapat membedakan mana hal yang baik dan mana yang buruk, mana yang positif dan mana yang negatif.




Ada beberapa upaya yang dapat kita lakukan untuk membina sikap kritis kita terhadap media massa, di antaranya adalah:
·         Banyak membaca buku tentang media
·         Mengikuti pelatihan dan pendidikan media, kalau ada
·         Melatih diri untuk melihat dan mendengar tayangan berbagai media dengan kritis
·         Bertanya dan belajar banyak dari orang-orang yang tahu dan berpengalaman tentang media

Pada zaman Yesus, jenis media yang ada, mungkin hanya berupa buku dan kitab. Kitab yang paling dihormati dan ditaati oleh masyarakat Yahudi adalah Kitab Taurat yang mengatur tentang berbagai hak dan kewajiban yang bertujuan untuk keselamatan umat. Tetapi, kaum agamawan banyak memanipulasi Kitab tersebut sehingga menjadi beban bagi umat. Salah satu contohnya adalah peraturan tentang Hari Sabat (Mrk 2:23-28).
Dalam kisah tersebut nampak bahwa Yesus menyikapi Hukum Taurat mengenai Hari Sabat itu dengan kritis. Paradigma terhadap peraturan tersebut ditolak oleh Yesus dengan mengatakan bahwa peraturan tentang hari Sabat itu adalah demi keselamatan manusia, bukan manusia demi hari Sabat.

Makna sikap kritis Yesus ini bagi kita adalah bahwa kita harus membedakan yang baik dan yang jahat/buruk, mana yang berguna bagi keselamatan manusia dan mana yang tidak. Keselamatan manusia menjadi pilihan yang paling penting bagi Yesus dalam hidup dan karyaNya.

POKOK BAHASAN 5
INJIL SINOPTIK

Secara arti kata bahasa, sinoptik berasal dari bahasa Yunani, ouv (syn=bersama), owic (opsis=melihat). Hal ini mengandung pengertian dari segi isinya yaitu dapat disejajarkan atau secara berdampingan satu dengan lainnya. Jadi istilah Injil Sinoptik adalah Injil-Injil yang mempunyai kesamaan dalam teknik bercerita, urutan kronologisnya maupun gaya bahasa yang digunakan.

Kitab Injil yang termasuk dalam kelompok Injil sinoptik adalah Matius, Markus, dan Lukas. Gaya bahasa pada ketiga Injil ini lebih mudah dicerna seperti syair, puisi, narasinya dan penggunaan gaya bahasa lainnya. Injil Sinoptik menggambarkan Yesus lebih pada mukjizatnya. Hal ini bertujuan untuk menguatkan iman pembacanya.

Meskipun seringkali terdapat kisah yang hampir sama dengan Injil Sinoptik (terutama berita mukjizat Yesus seperti penyembuhan anak pegawai istana, pemberian makan 5000 orang dan mukjizat Yesus berjalan diatas air) namun karena terdapat perbedaan dalam gaya penulisannya dan penyajiannya dibandingkan dengan ketiga Injil lainnya, maka Injil Yohanes tidak dapat dimasukkan dalam kelompok ini.  Oleh karena perbedaan itu, Kitab Injil Yohanes harus dipandang sebagai penegasan  Injil Sinoptik  (Markus, Matius, dan Lukas), dan tidak menjadikannya sebagai pertentangan.


POKOK BAHASAN 6
KERAJAAN ALLAH

Paham atau pengertian “Kerajaan Allah” tidak muncul begitu saja pada zaman Yesus tetapi sudah berkembang sejak Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Lama, bangsa Israel sering menyebut Allah (Yahwe) sebagai Raja. Allah diimani mereka sebagai Raja yang kuat, yang berkuasa, yang berdaulat. Kekuatan, kekuasaan dan kedaulatan Allah itu misalnya dialami oleh bangsa Israel dalam peristiwa penyeberangan Laut Merah (lih. Kel 15:11-13; Ul 3:24; Bil 23:21 dst). Sebagai Raja, Allah adalah Raja yang adil (baca Mzm 146:6-10), yang melindungi orang miskin (lih. Im 25: 35-55). I Raja yang Mulia (Mzm 24: 8,10) Raja yang berkuasa atas seluruh bumi (lih. Mzm 47:8), dan berkuasa untuk selama-lamanya (Mzm 29:10).
Namun dalam hidupnya bangsa Israel sebagai bangsa terpilih, seringkali mereka tidak setia kepada Allah Sang Raja yang selalu setia kepada mereka. Mereka sering menjauh dari Allah. Perbuatan dosa inilah yang menyebabkan mereka jatuh dalam pembuangan dan penindasan oleh bangsa lain. Pada masa bangsa Israel mengalami penindasan, Allah tetap menunjukkan kesetiaan-Nya dengan mewartakan kehendak-Nya melalui perantaraan para Nabi. Para Nabi menegaskan bahwa akan tiba saatnya Allah akan membela mereka, Allah akan membangun suatu dunia baru, dengan hati yang baru (lih. Yeh 36:24-28), dengan perjanjian baru (lih. Yer 31:31-34). Dunia baru itu Allah untuk semua bangsa (lih. Yes 2:1-5;19:16-25). Dalam dunia baru itu Allah akan menegakkan kembali pemerintahan-Nya melalui anak-Nya sendiri, “dan namanya disebut orang Penasehat ajaib, Allah yang perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai” (Yes 9:5). Melalui kekuasaan-Nya yang besar Ia akan menegakkan kembali damai sejahtera seperti pada pemerintahan Raja Daud. Dan ketika Yesus hidup, pada saat itu bangsa Israel berada dalam penjajahan bangsa Romawi. Yesus menghidupkan kembali harapan tegak-Nya Kerajaan allah seperti yang pernah dilakukan oleh para Nabi. Bagaimana masyarakat Yahudi pada zaman Yesus memahami pengertian tentang Kerajaan Allah?
Pada umumnya masyarakat Yahudi pada saat itu sesungguhnya mempunyai harapan tentang tegaknya kembali pemerintahan dan kekuasaan Allah atas bangsa mereka. Namun penghayatan mereka antara orang per orang maupun antar kelompok berbeda. Dalam bangsa Yahudi saat itu ditemukan beberapa paham tentang makna Kerajaan Allah, diantaranya adalah sebagai berikut.
1.       Kerajaan Allah yang bersifat Politis
Paham Kerajaan Allah bersifat politis ini beranggapan bahwa Kerajaan Allah yang damai dan sejahtera hanya akan terwujud bila Allah tampil sebagai seorang tokoh politik yang dengan gagah berani mampu memimpin bangsa Israel melawan penjajah Romawi dan para penindas rakyat.
2.       Kerajaan Allah yang Bersifat Apokaliptis
Paham Kerajaan Allah yang bersifat Apokaliptis ini memandang Kerajaan Allah akan tercapai bila Allah menunjukkan kuasa-Nya dengan menggoncangkan kekuatan-kekuatan langit dan bumi. Pada saat itulah Allah akan membangkitkan suatu dunia baru. Dan mereka menganggap penderitaan yang dialami bukan akhir segala-galanya, kelak pada akhir zaman Allah akan menegakkan Kerajaan-Nya dan membebaskan manusia dari segala penderitaan.

3.       Paham Kerajaan Allah yang Bersifat Yuridis-Religius / Legalisme
Allah sekarang sudah meraja secara hukum, sedangkan pada akhir zaman Allah menyatakan kekuasaan-Nya sebagai Raja semesta alam dengan menghakimi sekalian bangsa. Mereka memandang Hukum Taurat sebagai wujud Kekuasaan Allah yang mengatur manusia. Maka mereka yang sekarang taat kepada hukum Taurat sudah menjadi warga Kerajaan Allah. Tetapi, jika tidak melakukan apa yang dituntut dalam hukum Taurat mereka tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Mesias sebagai tokoh agama yang mampu menegakkan hukum Taurat. Inilah paham Kerajaan Allah yang diyakini oleh para tokoh agama Yahudi yakni Para Imam dan Ahli Taurat, termasuk para nabi.

Bagaimana pandangan Yesus sendiri tentang Kerajaan Allah? Tema pokok pewartaan Yesus adalah Kerajaan Allah: “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat” (Mrk 1:15). Kerajaan Allah, yaitu Allah yang datang sebagai Raja, sudah dekat. Ciri khas pewartaan Yesus ialah bahwa kedatangan Allah sebagai Raja Penyelamat dinyatakan akan terjadi dengan segera. Yesus menegaskan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat (Mrk 1:15; 13:29;Mat 10:7), sudah diambang pintu (Luk 17:20-21,37). Walaupun pewartaan Kerajaan Allah sudah ada sebelum Yesus, baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam agama Yahudi, bagi Yesus pewartaan Kerajaan mempunyai arti yang khusus. Pertama karena Kerajaan Allah paling pokok dalam sabda dan karya Yesus. Tetapi juga karena Kerajaan mempunyai ciri-ciri khas dalam pewartaan Yesus. Bagi Yesus kedatangan Kerajaan mendesak, karena kemalangan manusia hampir tidak tertahan lagi. Maka belas-kasihan dan kerahiman Allah juga tidak akan tertunda lagi. Bagi Yohanes kemalangan zaman itu berarti hukuman dari Allah (lih. Mat 3:7- 8 dst.), bagi Yesus justru ajakan bertobat (Luk 13:3.5). Kemalangan menjadi tanda kedatangan Allah yang maharahim. Pewartaan Kerajaan adalah pewartaan kerahiman Allah dan karena itu merupakan warta pengharapan. Kerajaan Allah berarti turun tangan Allah untuk menyelamatkan, untuk membebaskan dunia secara total dari kuasa kejahatan (lih. Luk 10:18). Maka sabda Yesus tertuju kepada orang yang menderita (lih. ”Sabda bahagia”: Luk 6:20-23 dsj.). Pewartaan Yesus bukan janji-janji lagi. Dan dalam diri Yesus, Kerajaan Allah telah datang, “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya” (Baca Luk 4:14-32). Singkatnya, Kerajaan Allah adalah ketika Allah meraja melalui sabda dan tindakan Yesus dan akan mencapai kepenuhanNya pada akhir zaman.
Pewartaan Yesus mengenai Kerajaan Allah ditujukan kepada pertobatan manusia. Ia memanggil orang supaya siap siaga menerima Kerajaan Allah bila datang. Dalam hubungan ini mengesanlah betapa ditekankan oleh Yesus sifat “rahmat” Kerajaan: “Bapa memberikan Kerajaan” (Luk 12:32; juga 22:29). Oleh karena itu orang harus menerima Kerajaan “seperti kanak-kanak” (Mrk 10:14 dsj.; lih. juga Luk 6:20 dsj.). Tawaran rahmat itu sekaligus merupakan tuntutan mutlak: “Kamu tidak dapat sekaligus mengabdi kepada Allah dan kepada mamon (uang)” (Mat 6:24). Kerajaan Allah adalah panggilan dan tawaran rahmat Allah, dan manusia harus menerimanya dengan sikap iman yang dinyatakan dalam perbuatan yang baik, sebab Kerajaan Allah, kendatipun berarti Allah dalam kerahiman-Nya, juga merupakan kenyataan bagi manusia. Kerajaan Allah harus diwujudnyatakan dalam kehidupan manusia. Pengharapan akan Kerajaan tidak tertuju kepada suatu peristiwa yang akan terjadi dalam masa yang akan datang, melainkan diarahkan kepada Allah sendiri dan menjadi kenyataan dalam penyerahan itu sendiri, kalau manusia boleh bertemu dengan Allah.



Kesimpulannya, Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus meliputi :
        Kedatangan Allah sebagai Raja Penyelamat dinyatakan akan terjadi dengan segera.
        Pewartaan Kerajaan Allah adalah pewartaan Kerahiman Allah dan karena itu merupakan warta pengharapan.
        Pewartaan Yesus mengenai Kerajaan Allah ditujukan kepada pertobatan manusia, supaya tiap orang siap siaga menerima Kerajaan Allah bila datang.
        Kerajaan Allah adalah panggilan dan tawaran rahmat Allah, dan manusia harus menerimanya dengan sikap iman yang dinyatakan dalam perbuatan yang baik.

Kerajaan Allah menurut pengajaran para Bapa Gereja memang dapat diartikan menjadi tiga hal, dan hal ini diajarkan oleh Paus Benediktus XVI dalam bukunya Jesus of Nazareth, yaitu: 1) Yesus sendiri, karena seperti diajarkan oleh Origen, Yesus adalah Kerajaan Allah yang menjelma menjadi manusia; 2) Kerajaan Allah ada di dalam hati manusia yang berdoa memohon kedatangan Kerajaan Allah itu; 3) Gereja yang merupakan perwujudan Kerajaan Allah di dalam sejarah manusia. (Joseph Ratzinger, Pope Benedict XVI, Jesus of Nazareth, (Double Day, New York, USA, 2007), p.49-50).
Kerajaan Surga adalah kepenuhan Kerajaan Allah di Surga kelak, yang sebenarnya adalah pemenuhan ketiga hal di atas sekaligus, sebab di Kerajaan Surga maka kita semua sebagai umat beriman yang tergabung dalam Gereja, akan bersatu dengan Kristus yang adalah Kepalanya, sehingga Kristus meraja di hati semua manusia.
Atau jika kita melihat bahwa Kerajaan Surga adalah Kerajaan Allah di Surga kelak, maka di sini pengertian “Kerajaan Allah” terlihat lebih luas artinya, karena mencakup Kerajaan-Nya yang masih mengembara di dunia ini, yaitu Gereja-Nya. Gereja sebagai Kerajaan Allah ini akan mencapai kesempurnaannya di dalam Kerajaan Surga. Maka Surga dan Kerajaan Surga itu sama, hanya penekanannya agak berbeda. Kata “Surga” biasanya dipakai untuk menyatakan tempat/ keadaan terberkati yang ilahi, biasanya untuk dikontraskan dengan neraka. Sedangkan Kerajaan Surga biasanya untuk menekankan kesempurnaan Kerajaan Allah, yang telah dibentuk Allah sejak awal mula, sejak dari masa Penciptaan, pembentukan bangsa Israel (Kerajaan Allah di PL), dan Gereja (Kerajaan Allah di PB) yang akan terus bertahan sampai akhir jaman, dan yang disempurnakan sebagai Kerajaan Surga.


POKOK BAHASAN 7
BUAH-BUAH ROH KUDUS

Dalam suratnya kepada Jemaat di Galatia, Paulus menyampaikan tentang “buah-buah Roh Kudus”. Buah Roh Kudus (bahasa Yunani: καρπος, karpos, "buah"; πνευματος, pneumatos, "roh") adalah istilah Alkitab yang merangkum 9 sifat nyata dari hidup Kristiani yang sejati menurut rasul Paulus. Meskipun tertulis ada 9 sifat (atau "atribut"), tetapi istilah aslinya dalam bahasa Yunani untuk "buah" adalah kata tunggal, menegaskan bahwa hanya ada satu macam "Buah", dengan 9 sifat. Di seluruh Alkitab, orang saleh diibaratkan seperti pohon (Mazmur 92:12; Amsal 11:30) dan di pasal ini Paulus menjelaskan buah macam apa yang dihasilkan oleh "pohon yang baik" yaitu orang saleh atau orang benar. Buah ini akan dihasilkan oleh mereka yang sungguh-sungguh bertobat, yang menjadi pengikut sejati Yesus Kristus (Matius 3:8).  Sebaliknya, jika seseorang tidak menghasilkan buah ini, ia bukanlah seorang Kristiani sejati.
Kesembilan buah Roh tersebut adalah :
1.       Kasih (bahasa Yunani: agape, bahasa Latin: caritas, bahasa Inggris: love, charity). Kasih "agape" menunjukkan kehendak hati yang murah hati dan tidak dapat dikuasai yang selalu menginginkan kebaikan orang lain, tanpa peduli apa yang dilakukan orang itu. Merupakan kasih yang memberi yang diberikan cuma-cuma tanpa mengharapkan balasan dan tidak mempertimbangkan nilai pemberiannya. Agape menggambarkan kasih Allah yang tanpa pamrih kepada dunia ini. Kata ini terutama dipakai oleh Paulus dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus pasal 13 menggambarkan pengorbanan, seperti yang dilakukan oleh Yesus Kristus dengan kematiannya di kayu salib untuk menebus dosa manusia, yang tidak memegahkan diri:Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan.
2.       Sukacita (bahasa Yunani: chara, bahasa Latin: gaudium, bahasa Inggris: joy). Kata Yunani untuk "sukacita" adalah chara, yang berasal dari kata charis, yaitu kata Yunani untuk "rahmat". Dalam kaitan ini, "sukacita" (chara) dihasilkan oleh "rahmat" (charis) Allah. Jadi 'sukacita' ini bukan kebahagiaan manusia yang sesaat saja, melainkan 'sukacita sejati' yang bersumber dari Khalik kudus. Merupakan ekspresi dari Roh yang berkembang paling bagus pada waktu kesusahan. Misalnya, dalam 1 Tesalonika 1:6, jemaat Tesalonika mengalami tekanan berat akibat penganiayaan; tetapi di tengah kesusahan itu, mereka terus mengalami sukacita besar. Kata chara memberi makna sukacita yang luar biasa karena Roh Kudus bekerja di dalam orang itu.
3.       Damai sejahtera (bahasa Yunani: eirene, bahasa Latin: pax, bahasa Inggris: peace). "Damai sejahtera" ini merupakan hasil penyandaran pada hubungan dengan Allah. Damai ini adalah keadaan istirahat yang tenang, dihasilkan dari mencari Allah, dan berlawanan dengan keadaan "kacau balau" (chaos). Kata aslinya dalam bahasa Yunani "eirene" merupakan terjemahan dari kata bahasa Ibrani "syalom" (shalom) yang merupakan ekspresi dari kepenuhan, kesempurnaan atau ketenangan jiwa yang tidak dipengaruhi oleh keadaan ataupun tekanan dari luar. Kata eirene menegaskan kekuatan keteraturan yang berlawanan dengan kekacaubalauan.
4.       Kesabaran (bahasa Yunani: makrothumia, bahasa Latin: longanimitas, bahasa Inggris: patience, forbearance, longsuffering). Kesabaran dalam bahasa Yunani aslinya "makrothumia" terdiri dari dua kata: makros, "panjang," dan thumos "temperamen", yang memberikan makna "kelunakan", "mau menanggung", "panjang sabar", "tabah", "tahan menderita". Juga termasuk dalam kata makrothumia ini kekuatan untuk menanggung aniaya dan perlakuan buruk. Menggambarkan orang yang memiliki kemampuan untuk membalas dendam, tetapi sebaliknya memilih untuk menahan diri.
5.       Kemurahan (bahasa Yunani: chrestotes, bahasa Latin: benignitas, bahasa Inggris: kindness, benignity). Kemurahan bukan hanya berlaku manis. Orang dapat berbuat murah hati tetapi tidak berperilaku manis. Kelakuan manis lebih bermakna "dapat diterima", sedangkan kemurahan merupakan tindakan yang bermanfaat bagi orang lain tanpa peduli tindakan sebelumnya. Kata christotes merupakan perbuatan baik yang nyata, kelembutan dalam berlaku terhadap yang lain, bersikap penuh rahmat.
6.       Kebaikan (bahasa Yunani: agathosune, bahasa Latin: bonitas, bahasa Inggris: goodness). Kebaikan ini meliputi :
a.       Keadaan atau kualitas untuk bersikap baik
b.      Kemuliaan perilaku; kebajikan
c.       Perasaan manis, murah hati, ringan tangan
d.      Bagian terbaik dari semuanya; Intisari; Kekuatan;
e.      Karakter umum yang dikenali dalam kualitas atau perbuatan.
7.       Kesetiaan (bahasa Yunani: pistis, bahasa Latin: fides, bahasa Inggris: faithfulness, faith). Kesetiaan adalah mendedikasikan diri kepada sesuatu atau seseorang, misalnya pasangan hidup, atau suatu hal atau suatu kepercayaan/agama. Menjadi setia membutuhkan tekad pribadi untuk tidak menyimpang jauh dari komitmen atau janji. Tidak selalu mudah untuk menjadi setia. Iman Kristen membutuhkan kepercayaan kepada Allah.
8.       Kelemahlembutan (bahasa Yunani: prautes, bahasa Latin: modestia, bahasa Inggris: gentleness, meekness, modesty). Dalam bahasa Yunani, prautes dikenal sebagai "kelembahlembutan". New Spirit Filled Life Bible mendefinisikan kelemahlembutan sebagai "disposisi yang bertemperamen stabil, tenang, seimbang dalam roh, tidak sombong, dan dapat menguasai emosi. Kata ini diterjemahkan sebagai 'kelemahlembutan,' bukan merupakan indikasi kelemahan, melainkan kemampuan menguasai energi dan kekuatan. Orang yang mempunyai kualitas ini mampu mengampuni kesalahan, memperbaiki kekeliruan, dan menguasai jiwanya sendiri dengan baik."
9.       Penguasaan diri (bahasa Yunani: egkrateia, bahasa Latin: continentia, bahasa Inggris: self-control, chastity). Kata Yunani "egkrateia" [engkrateia] bermakna "mempunyai kuasa atas" (kata dasar "krat-" seperti pada kata "demokrat", yang berarti "pemerintahan"), atau "kepemilikan atas kelakuan sendiri." Kata yang sama dipergunakan oleh rasul Petrus dalam suratnya yang kedua pasal 1:5-7:"Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang."

Penyampaian sifat-sifat buah Roh ini didahului dengan peringatan untuk tidak melakukan "perbuatan daging" yang diikuti dengan sejumlah sifat-sifat yang buruk, berlawanan dengan buah Roh (Galatia 5:19-21). Sifat-sifat baik dari buah Roh disampaikan dalam bentuk "pleonasme" yang menurut ahli retorik George Kennedy adalah "Penggabungan runtunan kata yang mengalir ke luar dari hatinya (Paulus)"[5] Ini merupakan ciri khas tulisan Paulus (Lihat: Roma 1:29-31; Roma 13:13; 1 Korintus 6:9-10; 2 Korintus 12:20;Galatia 5:19-23; Filipi 4:8).[5]





POKOK BAHASAN 8
SYAHADAT PARA RASUL

Tradisi dan Kitab Suci saling berhubungan. Tradisi mempunyai titik beratnya dalam Kitab Suci, tetapi tidak terbatas pada Kitab Suci. Sebaliknya, tradisi berusaha terus menghayati dan memahami kekayaan iman yang terungkap di dalam Kitab Suci. Kekayaan iman itu misalnya Syahadat. Di dalam Kitab Suci, kita tidak menemukan Syahadat, tetapi apa yang terungkap dalam Syahadat jelas dilandaskan pada Kitab Suci. Untuk jelasnya, kita akan mempelajari buah karya tradisi, yaitu Syahadat. Kita akan mencoba membandingkan dua Syahadat, yaitu Syahadat Para Rasul (Syahadat Singkat) dan Syahadat dari Konsili Nicea (Syahadat Panjang).

SYAHADAT PARA RASUL (SYAHADAT  SINGKAT)
SYAHADAT NICEA-KONSTANTINOPEL (SYAHADAT PANJANG)
Aku percaya akan Allah,
Bapa yang Mahakuasa,
pencipta langit dan Bumi
Dan akan Yesus Kristus,
PutraNya yang tunggal, Tuhan kita
Yang dikandung dari Roh Kudus,
dilahirkan oleh perwan Maria.
Yang menderita sengsara
dalam pemerintahan Ponsius Pilatus,
disalibkan wafat dan dimakamkan,
Yang turun ketempat penantian,
pada hari ketiga bangkit
dari antara orang mati
Yang naik kesurga,
duduk disebelah kanan
Allah bapa yang Mahakuasa.
Dari situ ia kan datang
mengadili orang hidup dan mati.
Aku percaya akan Roh Kudus,
Gereja katolik yang Kudus,
persekutuan para kudus
Pengampunan Dosa,
Kebangkitan badan,
Kehidupan kekal.
Amin.
Aku percaya akan satu Allah,
Bapa yang mahakuasa,
pencipta langit dan bumi,
dan segala sesuatu yang kelihatan
dan tak kelihatan;
dan akan satu Tuhan Yesus Kristus,
Putra Allah yang tunggal.
Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad,
Allah dari Allah,
Terang dari Terang,
Allah benar dari Allah benar.
Ia dilahirkan, bukan dijadikan,
sehakikat dengan Bapa;
segala sesuatu dijadikan oleh-Nya.
Ia turun dari surga untuk kita manusia
dan untuk keselamatan kita.
Ia dikandung dari Roh Kudus,
Dilahirkan oleh Perawan Maria, dan menjadi manusia.
Ia pun disalibkan untuk kita, waktu Pontius Pilatus;
Ia menderita sampai wafat dan dimakamkan.
Pada hari ketiga Ia bangkit menurut Kitab Suci.
Ia naik ke surga, duduk di sisi Bapa.
Ia akan kembali dengan mulia,
mengadili orang yang hidup dan yang mati;
kerajaan-Nya takkan berakhir.
aku percaya akan Roh Kudus,
Ia Tuhan yang menghidupkan;
Ia berasal dari Bapa dan Putra,
yang serta Bapa dan Putra,
disembah dan dimuliakan;
Ia bersabda dengan perantaraan para nabi.
aku percaya akan Gereja
yang satu, kudus, katolik dan apostolik.
aku mengakui satu pembaptisan
akan penghapusan dosa.
aku menantikan kebangkitan orang mati
dan hidup di akhirat.
amin.

Siapa yang berkata: “Aku percaya (Credo)”, menegaskan: “Saya setuju dengan apa, yang kita percaya”. Persekutuan dalam iman membutuhkan bahasa iman yang sama, yang mengikat semua dan yang mempersatukan dalam pengakuan iman yang sama. Rumusan iman bersama inilah yang disebut “pengakuan iman”, atau “simbola iman”, atau “syahadat”.
Sejak awal, Gereja rasuli sudah mengungkapkan dan meneruskan imannya dalam rumus-rumus yang singkat dan baku untuk semua (bdk. Rom. 10:9; 1 Kor. 15:3-5). Tetapi dengan segera Gereja juga hendak memasukkan intisari imannya dalam ringkasan yang organis dan tersusun, yang dimaksudkan terutama untuk calon Baptis. Sebagaimana ditulis Sirilus dari Yerusalem (315-386 AD): “Bukan kesewenang-wenangan manusiawi telah menyusun ringkasan iman ini, melainkan ajaran-ajaran terpenting dari seluruh Kitab Suci dihimpun di dalamnya, menjadi ajaran iman yang satu-satunya. Bagaikan biji sesawi membawa banyak cabang dalam sebuah biji kecil, demikianlah ringkasan iman ini mencakup dalam kata-kata yang sedikit semua pengetahuan dari Perjanjian Lama dan Baru”.
Sesuai dengan tradisi lama yang sudah disaksikan oleh Sto. Ambrosius (340-397 AD), orang biasanya menghitung dua belas artikel atau pasal Credo, supaya jumlah para Rasul itu melambangkan seluruh iman rasuli. Di samping berbagai simbola iman, dua pengakuan iman mendapat tempat yang sangat khusus dalam kehidupan Gereja, yaitu Syahadat Para Rasul dan Syahadat Nicea-Konstantinopel. Syahadat Para Rasul dinamakan demikian, karena dengan alasan kuat ia dipandang sebagai rangkuman setia dari iman para Rasul. Itulah pengakuan Pembaptisan lama dalam Gereja Roma. Karena itu Syahadat ini mempunyai otoritas tinggi. Sebagaimana ditegaskan Sto. Ambrosius: “Itulah simbolum yang dijaga Gereja Roma, di mana Petrus, yang pertama di antara para Rasul, mempunyai takhtanya dan ke mana ia membawa ajaran iman para Rasul itu”.
Memperhatikan sepintas lalu Syahadat Para Rasul itu, satu-dua ciri segera tampak: rumusannya lebih singkat, bahasa sederhana, konkret, dan mudah diikuti, lebih dekat dengan bahasa Kitab Suci. Perlu diketahui bahwa alam pikiran Kitab Suci seluruhnya adalah alam pikiran Semit, yang berbeda dengan alam pikiran Yunani. Pandangan Semit sesungguhnya bersifat dinamis, konkret dan fungsionil. Dalam alam pikiran ini, berbicara mengenai Allah tidak pertama-tama ditanyakan, apa Allah itu (zat-Nya, hakekat-Nya), melainkan apa yang secara konkret dikerjakan-Nya. Tetapi setelah Gereja berkembang di dunia helenis (Yunani-Romawi), berlangsunglah proses peralihan dari alam pikiran Semit (fungsionil) ke alam pikiran Yunani (abstrak-esensialistis). Segi, yang kurang mendapat perhatian dalam alam pikiran Semit, menimbulkan persoalan yang rumit di lingkungan alam pikiran Yunani. Perdebatan pokok berpusat pada zat keallahan Putera dan Roh Kudus. Berbagai macam bidaah (kesesatan) bermunculan. Ada yang menyangkal bahwa Yesus Kristus adalah Allah sejati (Arianisme, Adopsianisme); ada pula yang menyangkal bahwa Yesus Kristus adalah manusia sejati (Doketisme, Apolinarisme, Monofisitisme); dan ketiga ada yang menyangkal kesatuan pribadi Kristus, bahwa dalam Kristus terdapat dua pribadi: Allah Putera dan Manusia Yesus (Nestorianisme). Di tengah segala macam silang pendapat seperti itu, Gereja harus menjaga ortodoksi ajaran iman berdasarkan ajaran para Rasul (Kitab Suci).
Sesudah perdebatan hangat yang berlangsung lama, maka berturut-turut ditetapkan oleh kewibawaan gerejawi bahwa: Tuhan Yesus Kristus, Putera Allah, lahir dari ‘hakekat’ (ousia, substantia) Bapa … Allah sejati (Aléthinos) … sehakekat (homo-ousios) dengan Bapa (Konsili Nicea, tahun 325 AD, DS 125). Roh Kudus, Tuhan yang menghidupkan, terbit dari Bapa, dan sama-sama disembah serta dimuliakan dengan Bapa dan Putera (Konsili Konstantinopel I, tahun 381 AD, DS 150). Sungguh dan benar-benar berasal dari Bapa, seperti Putera berasal daripada-Nya, yaitu dari hakekat (substantia) ilahi, dan (Roh Kudus) itu sungguh-sungguh Allah (Konsili Roma, tahun 382, Tomas Damasi, DS 168). Akhirnya semua dikumpulkan dalam rumus ini: Hanya ada satu Allah … Bapa dan Putera dan Roh Kudus, tiga diri (personae, hyposthaseis), tetapi satu hakekat (essentia), wujud (substantia) atau kodrat (natura) yang tunggal sama sekali. Bapa … Putera … dan Roh Kudus … sehakekat (consubstantiales, homoousioi) dan sama (coaequales) … . Tritunggal yang Kudus ini adalah tunggal (individua) menurut hakekat-Nya bersama (communa essentia), tetapi berbeda (discreta) menurut sifat-sifat pribadi (personales proprietates) (Konsili Lateran IV, tahun 1215 AD, DS 800). Rumus teologisnya yang sangat padat: “satu kodrat (natura) dan tiga diri (personae) ilahi”.
Peralihan dari alam pikiran Semit (fungsionil) ke alam pikiran Yunani (abstrak-esensialistis) tentu mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya ialah bahwa pokok-pokok iman dirumuskan secara lebih tepat dan secara logis lebih jelas. Kelemahannya, perkembangan refleksi imani (teologis) selanjutnya menjadi sempit dan berat sebelah. Lama-kelamaan titik tolak refleksi teologis bukan lagi Kitab Suci, melainkan dogma-dogma yang telah ditetapkan oleh kewibawaan gerejawi. Misalnya, gagasan Allah trinitaris dalam Kitab Suci, yang tampil dalam rangka karya penyelamatan (seringkali disebut ‘Trinitas ekonomis’), bergeser dan berpusat pada ‘Trinitas imanen’, dalam diri Allah sendiri (statis). Akibatnya seluruh permenungan teologis menjadi abstrak, seperti tentang Allah yang esa (De Deo Uno),  tentang Allah Trinitas (De Deo Trinatate). Berbeda dengan gagasan triniter biblis yang bersifat menurun dinamis fungsional: Allah, Bapa mengutus Putera-Nya yang Tunggal dalam Roh Kudus untuk menyelamatkan manusia. Struktur menurun-dinamis-fungsionil ini masih jelas terlihat dalam Syahadat Nicea-Konstantinopel. Memang Konsili Nicea (325 AD) berpusat pada tema ‘Kristus’, dan karena itu sering disebut Konsili Kristologis (lih. psl. 2 Syahadat Nicea-Konstantinopel). Sedangkan Konsili Konstantinopel I (381 AD) berpusat pada Roh Kudus, dan karenanya kerap dinamakan Konsili ‘Roh Kudus’ (lih. psl. 8).

Kesimpulan :
Alasan Gereja membuat syahadat adalah : sebagai penerusan Tradisi yang berasal dari Para Rasul atau bersumber dari ajaran mereka dan untuk membatasi ajaran Gereja dari ajaran-ajaran sesat yang berkembang dari abad ke III dan abad ke IV sekaligus melawannya.


POKOK BAHASAN 9
SIMBOL-SIMBOL ROH KUDUS

Dalam Kitab Suci, ada 8 simbol yang menandakan turunnya Roh Kudus, yaitu :
1.       Air : Dalam upacara Pembaptisan, air adalah lambang tindakan Roh Kudus, karena sesudah menyerukan Roh Kudus, air menjadi tanda sakramental yang berdaya guna bagi kelahiran kembali. Seperti pada kelahiran kita yang pertama, kita tumbuh dalam air ketuban, maka air Pembaptisan adalah tanda bahwa kelahiran kita untuk kehidupan ilahi, dianugerahkan kepada kita dalam Roh Kudus. “Dibaptis dalam satu Roh”, kita juga “diberi minum dari satu Roh” (1 Kor 12:13). Jadi Roh dalam Pribadi-Nya adalah air yang menghidupkan, yang mengalir dari Kristus yang disalibkan dan yang memberi kita kehidupan abadi.
2.       Urapan : Salah satu lambang Roh Kudus adalah juga urapan dengan minyak, malahan sampai [urapan minyak] menjadi sinonim dengan [Roh Kudus]. Dalam inisiasi Kristen, urapan adalah tanda sakramental dalam Sakramen Penguatan, yang karenanya dinamakan “Khrismation” dalam Gereja-gereja Timur. Tetapi untuk mengerti sepenuhnya bobot nilai dari lambang ini, orang harus kembali ke urapan pertama, yang Roh Kudus kerjakan, yaitu Urapan Yesus. “Khristos” (terjemahan dari kata bahasa Ibrani “Mesias”) berarti “yang diurapi dengan Roh Allah”. Dalam Perjanjian Lama sudah ada orang yang “diurapi” Tuhan; terutama Daud adalah seorang yang diurapi. Tetapi Yesus secara khusus adalah Dia yang diurapi Allah: kodrat manusiawi yang Putera terima, diurapi sepenuhnya oleh Roh Kudus. Oleh Roh Kudus, Yesus menjadi “Kristus”. Perawan Maria mengandung Yesus dengan perantaraan Roh Kudus, yang mengumumkan-Nya melalui malaikat pada kelahiran-Nya sebagai Kristus, dan yang membawa Simeon ke dalam kenisah, supaya ia dapat melihat Dia yang diurapi Tuhan. Roh Kudus-lah yang memenuhi Kristus, dan kekuatan-Nya keluar dari Kristus, waktu Ia melakukan penyembuhan dan karya-karya keselamatan. Pada akhirnya Ia jualah yang membangkitkan Yesus dari antara orang mati. Dalam kodrat manusiawi-Nya, yang adalah pemenang atas kematian, setelah sepenuhnya dan seutuhnya menjadi “Kristus”, Yesus memberikan Roh Kudus secara berlimpah ruah, sampai “orang-orang kudus” dalam persatuan-Nya dengan kodrat manusiawi Putera Allah menjadi “manusia sempurna” dan “menampilkan Kristus dalam kepenuhan-Nya” (Ef 4:13): “Kristus paripurna”, seperti yang dikatakan Santo Agustinus.
3.       Api : Sementara air melambangkan kelahiran dan kesuburan kehidupan yang dianugerahkan dalam Roh Kudus, api melambangkan daya transformasi perbuatan Roh Kudus. Nabi Elia, yang “tampil bagaikan api dan perkataannya bagaikan obor yang menyala” (Sir 48:1), dengan perantaraan doanya menarik api turun atas kurban di Gunung Karmel — lambang api Roh Kudus yang mengubah apa yang Ia sentuh. Yohanes Pembaptis, yang mendahului Tuhan “dalam roh dan kuasa Elia” (Luk 1:17) mengumumkan Kristus sebagai Dia, yang “akan membaptis dengan Roh Kudus dan dengan api” (Luk 3:16). Mengenai Roh ini Yesus berkata: “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapa Aku harapkan, api itu telah menyala” (Luk 12:49). Dalam “lidah-lidah seperti api” Roh Kudus turun atas para rasul pada pagi hari Pentakosta dan memenuhi mereka (Kis 2:3-4). Dalam tradisi rohani, lambang api ini dikenal sebagai salah satu lambang yang paling berkesan mengenai karya Roh Kudus: “Janganlah padamkan Roh” (1 Tes 5:19).
4.       Awan dan Sinar : Kedua lambang ini selalu berkaitan satu sama lain, ketika Roh Kudus menampakkan Diri. Sejak masa teofani Perjanjian Lama, awan — baik yang gelap maupun yang cerah — menyatakan Allah yang hidup dan menyelamatkan, dengan menyelubungi kemuliaan-Nya yang adikodrati. Demikian juga dengan Musa di Gunung Sinai, dalam kemah wahyu dan selama perjalanan di padang gurun; pada Salomo waktu pemberkatan kenisah. Semua gambaran ini telah dipenuhi dalam Roh Kudus oleh Kristus. Roh turun atas Perawan Maria dan “menaunginya”, supaya ia mengandung dan melahirkan Yesus (Luk 1:35). Di atas gunung transfigurasi, [Roh Kudus] datang dalam awan “yang menaungi” Yesus, Musa, Elia, Petrus, Yakobus, dan Yohanes, dan “satu suara kedengaran dari dalam awan: Inilah Anak-Ku yang Kupilih dengarkanlah Dia” (Luk 9:34-35). “Awan” yang sama itu akhirnya menyembunyikan Yesus pada hari Kenaikan-Nya ke surga dari pandangan para murid (Kis 1:9); pada hari kedatangan-Nya awan itu akan menyatakan Dia sebagai Putera Allah dalam segala kemuliaan-Nya.
5.       Meterai : Meterai adalah sebuah lambang yang erat berkaitan dengan pengurapan. Kristus telah disahkan oleh “Bapa dengan meterai-Nya” (Yoh 6:27) dan di dalam Dia, Bapa juga memeteraikan tanda milik-Nya atas kita. Karena gambaran meterai (bahasa Yunani “sphragis”) menandakan akibat pengurapan Roh Kudus yang tidak terhapuskan dalam penerimaan Sakramen Pembaptisan, Penguatan, dan Tahbisan (Imamat), maka ia dipakai dalam berbagai tradisi teologis untuk mengungkapkan “karakter” yang tidak terhapuskan, tanda yang ditanamkan oleh ketiga Sakramen yang tidak dapat diulangi itu.
6.       Tangan :  Yesus menyembuhkan orang sakit dan memberkati anak-anak kecil, dengan meletakkan tangan ke atas mereka. Atas Nama-Nya para Rasul melakukan hal yang sama. Melalui peletakan tangan para rasul, Roh Kudus diberikan. Surat kepada umat Ibrani memasukkan peletakan tangan dalam “unsur-unsur pokok” ajarannya. Dalam epiklese sakramentalnya, Gereja mempertahankan tanda pencurahan Roh Kudus ini yang mampu mengerjakan segala sesuatu.
7.       Jari : “Dengan jari Allah” Yesus mengusir setan (Luk 11:20). Sementara perintah Allah ditulis dengan “jari Allah” atas loh-loh batu (Kel 31:18); “surat Kristus” yang ditulis oleh para rasul, “ditulis dengan Roh Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging yaitu di dalam hati manusia” (2 Kor 3:3). Madah “Veni Creator Spiritus” berseru kepada Roh Kudus sebagai “jari tangan kanan Bapa” (digitus Paternae dexterae).
8.       Merpati : Pada akhir air bah (yang adalah lambang pembaptisan), merpati — yang diterbangkan oleh Nuh dari dalam bahtera — kembali dengan sehelai daun zaitun segar di paruhnya sebagai tanda bahwa bumi sudah dapat didiami lagi. Waktu Kristus naik dari air Pembaptisan-Nya, Roh Kudus — dalam rupa merpati — turun atas-Nya dan berhenti di atas-Nya. Roh turun ke dalam hati mereka yang sudah dimurnikan oleh Pembaptisan dan tinggal di dalamnya. Di beberapa gereja, Ekaristi Suci disimpan di dalam satu bejana logam yang berbentuk merpati (columbarium) dan digantung di atas altar. Merpati dalam ikonografi Kristen sejak dahulu adalah lambang Roh Kudus.


POKOK BAHASAN 10
GEREJA SEBAGAI UMAT ALLAH

Istilah Umat Allah sebenarnya merupakan istilah yang sudah sangat tua. Istilah itu sudah dipakai sejak dalam Perjanjian Lama (terdapat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, misalnya dalam Kel. 6: 6; 33: 13; Yeh. 36: 28; Ul. 7: 6, 26: 15). Istilah tersebut kemudian dihidupkan lagi oleh Konsili Vatikan II sebagai paham yang baru. Paham Gereja sebagai umat Allah dianggap sebagai paham yang cocok atau relevan dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Paham ini dinilai memiliki nilai historis dengan umat Allah Perjanjian Lama karena Gereja menganggap diri sebagai Israel Baru, kelanjutan dari Israel yang lama.

Bertitik tolak dari Umat Allah dalam Perjanjian Lama, maka pengertian Umat Allah dalam paham Gereja sekarang ini juga mempunyai hakekat / ciri khas sebagai berikut:
·         Umat Allah merupakan suatu pilihan dan panggilan dari Allah sendiri. Umat Allah adalah bangsa terpanggil, bangsa terpilih.
·         Umat Allah dipanggil dan dipilih Allah untuk misi tertentu, yaitu menyelamatkan dunia.
·         Hubungan antara Allah dengan umat-Nya dimeteraikan oleh suatu perjanjian. Umat harus menaati perintah-perintah Allah dan Allah akan selalu menepati janji-janjiNya
·         Umat Allah selalu dalam perjalanan, melewati padang pasir, menuju Tanah Terjanji.

Gereja sungguh merupakan UMAT ALLAH YANG SEDANG DALAM PERJALANAN MENUJU RUMAH BAPA. Pengertian Gereja sebagai Umat Allah dimunculkan karena Gereja sudah menjadi sangat organisatoris dan struktur piramidal. Gereja pertama-tama bukan organisasi manusiawi, melainkan perwujudan karya Allah yang konkret (LG 9). Gereja adalah kelompok dinamis yang keluar dari sejarah Allah dengan manusia. Gereja mengalami dirinya sungguh erat dengan umat manusia serta sejarahnya (GS 1). Gereja muncul dan tumbuh dari sejarah keselamatan yang sudah dimulai dengan panggilan Abraham. Namun hal itu bukan berarti Gereja hanyalah lanjutan bangsa Israel saja. Kedatangan Kristus memberi arti yang baru kepada Umat Allah. Sekarang kita sudah kembali kepada Kitab Suci, di mana Gereja sungguh merupakan satu umat Allah yang sehati sejiwa, seperti yang ditunjukkan oleh Umat Perdana, yang imannya kita anut sampai sekarang (lih. Kis 2:41-47). Gereja harus merupakan seluruh umat, bukan hanya hierarki saja dan awam hanya seolah-olah merupakan tambahan, pendengar, dan pelaksana. Gereja hendaknya MENGUMAT. Gereja sebagai umat Allah merupakan persaudaraan/paguyuban keluarga dari orang-orang yang dipanggil oleh Sabda Allah, dikumpulkan bersama-sama menjadi Tubuh Kristus dan hidup dari Tubuh Kristus. Sebagai umat Allah, semua anggota Gereja mempunyai martabat yang sama, tetapi berbeda di dalam fungsi. Jadi Gereja sebagai umat Allah adalah paguyuban, relasi bersaudara, ikatan kesatuan Bapa, Putra, Roh Kudus, satu iman, satu kasih, satu pengharapan yang sama derajatnya.




POKOK BAHASAN 11
KONSEKUENSI MISI UTAMA GEREJA DALAM DUNIA

 Gereja sungguh merupakan umat Allah, maka konsekuensi bagi Gereja itu sendiri:
A.      Konsekuensi bagi pimpinan Gereja (hierarki)
·         Menyadari fungsi pimpinan sebagai fungsi pelayanan, pimpinan bukan di atas umat, tetapi di tengah umat
·         Harus peka untuk melihat dan mendengar kharisma dan karunia-karunia yang tumbuh di kalangan umat.
B.      Konsekuensi bagi setiap anggota umat
·         Menyadari dan menghayati persatuannya dengan umat lain. Orang tidak dapat menghayati kehidupan imannya secara individu saja.
·         Aktif dalam kehidupan mengumat, menggunakan segala kharisma, karunia, dan fungsi yang dipercayakan kepadanya untuk kepentingan misi Gereja di tengah masyarakat. Semua bertanggungjawab dalam hidup dan misi Gereja.
C.      Konsekuensi bagi hubungan awam dan hierarki
Paham Gereja sebagai umat Allah jelas membawa konsekuensi dalam hubungan antara hierarki dan kaum awam. Kaum awam bukan lagi menjadi pelengkap penyerta, melainkan partner hierarki. Awam dan hierarki memiliki martabat yang sama meskipun menjalankan fungsi yang berbeda-beda.

Gereja hadir di dunia bukan untuk dirinya sendiri. Gereja hadir dan berada dalam dunia. Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang jaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan dari murid-murid Kristus (Gereja). Sebab persekutuan murid-murid Kristus terdiri dari orang-orang yang dipersatukan di dalam Kristus, dibimbing oleh oh Kudus dalam peziarahan menuju Kerajaan Bapa. Semua murid Kristus telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka, persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat dalam hubungannya dengan umat manusia serta sejarahnya (GS 1)
Singkatnya Gereja harus menjadi Sakramen (tanda) keselamatan bagi dunia. Untuk itu, Gereja tidak lagi bersifat eksklusif (tertutup) tetapi inklusif (terbuka). Berikut ini disebutkan beberapa misi dan tugas Gereja terhadap dunia:
a.               Gereja harus selalu siap untuk berdialog dengan agama dan budaya manapun juga tetapi juga tiada hentinya mewartakan Injil yang mampu memperbaharui manusia.
Sesudah Konsili Vatikan II, Gereja sungguh menyadari bahwa dalam agama dan budaya lain, terdapat pula benih-benih kebenaran dan keselamatan. Maka dari itu, dibutuhkan dialog untuk salng mengenal, menghargai, dan memperkaya. Dialog pengalaman iman lintas agama dapat saling memperkaya Dialog kehidupan merupakan level dialog yang paling mendasar, sebab ciri kehidupan bersama sehari-hari dalam masyarakat majemuk yang paling umum dan mendasar adalah dialogis. Dalam kehidupan sehari-hari, aneka pengalaman menyusahkan dan menggembirakan dialami bersama-sama. Tiap-tiap orang dengan pengalaman hidupnya yang khas senantiasa tergerak untuk membagikan pengalamannya, saling membantu dalam hidup sehari-hari
b.               Kerja sama atau dialog karya sebagai wujud menjadi saksi Kristus melalui kata dan perbuatan di tengah masyarakat.
Gereja harus membangun kerja sama yang lebih intens dan mendalam dengan pengikut agama-agama lain. Sasaran yang hendak diraih harus jelas dan tegas, yakni pembangunan manusia dan peningkatan martabat manusia. Bentuk kerja sama semacam ini kerapkali berlangsung dalam kerangka kerja sama dengan organisasi-organisasi internasional, di mana organisasi-organisai Kristen dan para pengikut agama-agama lain bersama-sama menghadapi masalah-masalah dunia (bdk. DM 31)
c.                Berpartisipasi secara aktif dan mau bekerja sama dengan siap saja dalam membangun mayarakat yang adil, damai , dan sejahtera dengan tetap berpihak pada mereka yang miskin (option for the poor).
Gereja membuka diri dan bekerja sama dengan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Gereja harus melaksanakan tugas misi dengan sikap yang positif dan aktif terhadap semua orang. Bukan dunia yang ada bagi Gereja, melainkan Gereja berada bagi dunia. Hubungan di antara Gereja dan dunia tidak bisa terpisah.

Perhatian Gereja terhadap dunia bisa dibagikan dengan empat unsur, yaitu:
·         Dorongan bagi perdamaian dunia
·         Penjelmaan keadilan bagi orang-orang dan negara-negara miskin
·         Perhatian tentang krisis ekologi
·         Demokrasi sebagai partisipasi masa

Gereja harus mempunyai empat perhatian tersebut dengan berjuang, berusaha, dan berdoa untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Usaha-usaha tersebut bukan saja bagi dirinya sendiri, tetapi juga secara global dan universal. Gereja harus belajar dari berbagai segi secara global untuk mencari suatu model yang ideal dengan tujuan untuk mencapai menjadikan dunia yang saling tolong-menolong dan hidup bersama.
Tugas Gereja adalah melanjutkan karya Yesus, yakni mewartakan Kerajaan Allah kepada seluruh umat manusia. Kerajaan Allah baru terwujud secara sempurna pada akhir zaman, tetapi kerajaan Allah harus diwujudkan mulai dari dunia ini.
Dalam Injil tersirat kesadaran bahwa misi atau tugas Gereja pertama-tama bukan “Penyebaran Agama”, melainkan kabar gembira (Kerajaan Allah) yang relevan dan mengena pada situasi konkrit manusia dalam dunia yang majemuk ini.
Menjadi pelayan Kerajaan Allah berarti berusaha dengan segala macam cara ke arah terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah masyarakat, misalnya persaudaraan, kerja sama, dialog, solidaritas, keterbukaan, keadilan, hormat kepada hidup, memperhatikan yang lemah, miskin, tertindas, tersingkirkan dsb.
Bagi Gereja, mewartakan Injil berarti membawa kabar gembira ke segenap lapisan umat manusia, sehingga berkat dayanya kabar tersebut masuk ke dalam lubuk hati manusia dan membaharui umat manusia dari dalam. “Lihatlah Aku memperbaharui seluruh ciptaan” (EN 18).
Berikut disebutkan beberapa hal pokok seperti yang disarankan oleh Gaudium et Spes, yang harus menjadi perhatian Gereja masa kini, yakni :
1.       Martabat Manusia.
Manusia dewasa ini berada di jalan menuju pengembangan kepribadiannya yang lebih penuh dan menuju penemuan serta penebusan hak-haknya yang makin hari makin bertambah. Untuk itu Gereja dapat berperanan, antara lain :
a.       Membebaskan martabat kodrat manusia dari segala perubahan paham, misalnya terlalu menekankan dan mendewakan tubuh manusia atau sebaliknya.
b.      Menolak dengan tegas segala macam perbudakan dan pemerkosaan martabat dan pribadi manusia.
c.       Menempatkan dan memperjuangkan martabat manusia sesuai dengan maksud penciptanya.
2.       Peran Gereja dalam Masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat, Gereja dapat berperan antara lain sebagai berikut :
a.       Membangkitkan karya-karya yang melayani semua orang, terutama yang miskin, seperti karya-karya amal, dsb.
b.      Mendorong semua usaha ke arah persatuan, sosialisasi dan persekutuan yang sehat di bidang kewargaan dan ekonomi.
c.       Karena universalitasnya, Gereja dapat menjadi pengantara yang baik antara masyarakat dan Negara-negara yang berbeda-beda hidup budaya dan politik.
3.       Usaha dan Karya Manusia.
a.       Gereja akan tetap meyakinkan putra-putrinya dan dunia bahwa semua usaha manusia, betapapun kecilnya bila sesuai dengan kehendak Tuhan mempunyai nilai yang sangat tinggi, karena merupakan sumbangan pada pelaksanaan rencana Tuhan.
b.      Gereja akan tetap bersikap positif dan mendorong setiap kemajuan ilmiah dan teknik di dunia ini asal tidak menghalangi melainkan secara positif mengusahakan tercapainya tujuan akhir manusia.
c.       Akhirnya Konsili Vatikan II mencatat masalah-masalah yang dilihatnya sebagai masalah yang mendesak, yakni martabat pernikahan dan kehidupan keluarga, pengembangan kemajuan kebudayaan, kehidupan sosial ekonomi dan politik serta perdamaian dan persatuan bangsa-bangsa.




POKOK BAHASAN 12
HIRARKI

Kata hierarki berasal dari bahasa Yunani “hierarchy” yang berarti jabatan (hieros) suci (archos). Itu berarti bahwa yang termasuk dalam hierarki adalah mereka yang mempunyai  jabatan karena mendapat penyucian melalui tahbisan. Maka mereka sering  disebut sebagai kuasa tahbisan. Dan orang yang termasuk hieraki disebut sebagai para  tertahbis. Namun, pada umumnya hierarki diartikan sebagai tata susunan. Hieraki sebagai pejabat umat beriman kristiani dipanggil untuk menghadirkan Kristus yang tidak kelihatan sebagai tubuh-Nya, yaitu Gereja. Dalam tingkatan hieraki tertahbis (hierarchia ordinis), Gereja terdiri dari Uskup, Imam, dan Diakon (KHK 330-572). Menurut tata susunan yurisdiksi (hierarchia yurisdictionis), yurisdiksi ada pada Paus dan para Uskup yang disebut kolegialitas. Kekhasan hierarki terletak pada hubungan khusus mereka dengan Kristus sebagai gembala umat.

Sejarah hierarki
Struktur hierarki bukanlah suatu yang ditambahkan atau dikembangkan dalam sejarah Gereja. Menurut ajaran Konsili Vatikan II, struktur itu dikehendaki Tuhan dan akhirnya berasal dari Kristus sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah hierarki di bawah ini:
  1. Zaman Para Rasul
Awal perkembangan hierarki adalah kelompok kedua belas Rasul. Kelompok inilah yang pertama-tama disebut Rasul. Rasul atau “Apostolos” adalah utusan. Akan tetapi setelah kebangkitan Kristus, sebutan Rasul tidak hanya untuk kelompok kedua belas, melainkan juga utusan-utusan selain kelompok kedua belas itu. Bahkan akhirnya, semua “utusan jemaat” (2Kor 8:22) dan semua “utusan Kristus” (2Kor 5:20) disebut Rasul. Lama kelamaan, kelompok Rasul lebih luas dari pada kelompok kedua belas Rasul. Sesuai dengan namanya, Rasul diutus untuk mewartakan iman dan memberi kesaksian tentang kebangkitan Kristus.
  1. Zaman sesudah Para Rasul
Setelah kedua belas Rasul tidak ada, muncul aneka sebutan, seperti “penatua-penatua” (Kis 15:2), dan “Rasul-Rasul”, “Nabi-Nabi”, Pemberita-Pemberita Injil”, Gembala-Gembala”, “Pengajar” (Ef 4:11), “Episkopos” (Kis 20:28), dan “Diakonos” (1Tim 4:14). Dari sebutan itu ada banyak hal yang tidak jelas arti dan maksudnya. Namun pada akhir perkembangannya, ada struktur dari Gereja St. Ignatius dari Antiokhia yang mengenal sebutan “Penilik” (Episkopos), “Penatua” (Prebyteros), dan “Pelayan” (Diakonos). Struktur inilah yang selanjutnya menjadi struktur hierarki Gereja yang menjadi Uskup, Imam, dan Diakon. Di sini yang penting, bukanlah kepemimpinan Gereja yang terbagi atas aneka fungsi dan peran, melainkan bahwa tugas pewartaan para Rasul lama-kelamaan menjadi tugas kepemimpinan jemaat.

Dasar kepemimpinan (hierarki) dalam Gereja
Berdasarkan sejarah di atas, maka kepemimpinan dalam Gereja diserahkan kepada hierarki. Konsili mengajarkan bahwa “atas penetapan Ilahi, para Uskup menggantikan para Rasul sebagai penggembala Gereja” (lih LG 20). “ Konsili suci ini mengajarkan dan mengatakan bahwa Yesus Kristus, Gembala kekal mendirikan Gereja kudus dengan mengutus para Rasul seperti Dia diutus oleh Bapa (lih Yoh 20:21). Para pengganti mereka, yakni para Uskup, dikehendaki-Nya menjadi gembala dalam gereja-Nya sampai akhir zaman (lih. LG 18). Pernyataan di atas dimaksudkan bahwa dari hidup dan kegiatan Yesus timbullah kelompok orang yang kemudian berkembang menjadi Gereja, seperti yang dikenal sekarang. Proses perkembangan pokok itu terjadi dalam umat perdana (Gereja Perdana), yakni Gereja yang mengarang Kitab Suci Perjanjian Baru. Jadi dalam kurun waktu antara kebangkitan Yesus dan awal abad kedua secara prinsip terbentuklah hierarki gereja yang dikenal sekarang. Wujud Gereja perdana beserta struktur kepemimpinannya menjadi patokan bagi perkembangan Gereja selanjutnya.




Struktur kepemimpinan (hierarki) dalam Gereja
Secara struktural kepemimpinan dalam Gereja berdasarkan hieraki tertahbis (hierarchia ordinis) yakni,  Paus, Uskup, Imam, dan Diakon. Berikut penjelasannya:
  1. Paus
Konsili Vatikan II menegaskan “adapun dewan atau badan para Uskup hanyalah berwibawa, bila bersatu dengan Imam Agung di Roma pengganti Petrus sebagai kepala dan selama kekuasaan primatnya terhadap semua, baik para gembala maupun kaum beriman, tetap berlaku seutuhnya.” Sebab Imam Agung di Roma berdasarkan tugasnya, yakni sebagai wakil Kristus dan gembala Gereja semesta mempunyai kuasa penuh, tertinggi, dan universal terhadap Gereja, dan kuasa itu selalu dapat dijalankan dengan bebas (LG 22).Penegasan itu didasarkan bahwa Kristus mengangkat Petrus sebagai ketua para Rasul. Yesus mengangkat Santo Petrus menjadi ketua para Rasul lainnya. Dalam diri Petrus, Yesus menetapkan adanya asas dan dasar kesatuan iman serta persekutuan yang tetap  dan kelihatan (bdk. LG 18) Petrus diangkat menjadi pemimpin para Rasul. Paus yang adalah pengganti Petrus juga pemimpin para Uskup. Menurut kesaksian tradisi, Petrus adalah Uskup Roma yang pertama. Karena itu, Roma dipandang sebagai pusat dan pedoman seluruh Gereja. Menurut keyakinan tradisi, Uskup Roma itu pengganti Petrus, bukan hanya sebagai Uskup lokal melainkan terutama dalam fungsinya sebagai ketua Dewan Pimpinan Gereja. Paus adalah Uskup Roma, dan sebagai Uskup Roma, ia adalah pengganti Petrus dengan tugas dan kuasa seperti Petrus. Tugas dan kuasa Petrus, menurut Perjanjian Baru, begitu istimewa (Mat 16:16-19; Yoh 21:15-19), Ia diakui sebagai pemimpin Gereja. “Para Rasul menghimpun Gereja semesta, yang oleh Tuhan didirikan dalam diri mereka dan di atas Rasul Petrus, ketua mereka, sedangkan Yesus Kristus sendiri sebagai batu sendinya” (LG 19). Fungsi dan kedudukan Petrus sebagai pemimpin Gereja diakui pula sebagai unsur prinsip hierarki, yang akhirnya berasal dari Kristus sendiri. Itulah tugas dan wewenang Paus, pengganti Petrus.
  1. Uskup
Pada dasarnya Paus adalah seorang Uskup. Seorang Uskup selalu berkarya dalam persekutuan dengan para Uskup lain dan mengakui Paus sebagai kepala. Karya seorang Uskup adalah “menjadi asas dan dasar kelihatan bagi kesatuan dalam Gereja-Nya (LG 23). Tugas pokok Uskup di tempatnya sendiri adalah pemersatu. Tugas hierarki yang pertama dan utama adalah mempersatukan dan mempertemukan umat. Tugas ini dapat disebut tugas kepemimpinan dari para Uskup “dalam arti sesungguhnya disebut pembesar umat yang mereka bimbing” (LG 27). Tugas pemersatu ini selanjutnya dibagi menjadi tugas khusus menurut tiga bidang kehidupan gereja, yaitu pewartaan, perayaan, dan pelayanan, di mana dimungkinkan komunikasi iman dalam Gereja. Dan dalam bidang-bidang itulah para Uskup dan Paus menjalankan tugas kepemimpinannya. Pewartaan Injil menjadi tugas terpenting (LG 25). Tugas penting selanjutnya adalah perayaan, “mempersembahkan ibadat agama Kristen kepada Allah yang Mahaagung dan mengaturnya menurut perintah Tuhan dan hukum Gereja” (LG 26). Selanjutnya adalah pelayanan, “membimbing Gereja-gereja yang dipecayakan kepada mereka sebagai wakil dan utusan Kristus, dengan petunjuk-petunjuk, nasihat-nasihat, dan teladan hidup mereka, tetapi juga dengan kewibawaan dan kuasa suci” (LG 27). Dalam ketiga bidang kehidupan menggereja, Uskup bertindak sebagai pemersatu, yang mempertemukan orang dalam komunikasi iman.
  1. Pembantu Uskup: Imam dan Diakon
Dalam mengemban tugas dan fungsinya, para Uskup memerlukan “pembantu” dan rekan “kerja”, mereka adalah:
    1. Para Imam: adalah Wakil Uskup
Di setiap jemaat setempat dalam arti tertentu, mereka menghadirkan Uskup.“Para Imam dipanggil melayani umat Allah sebagai pembantu arif bagi badan Uskup, sebagai penolong dan organ mereka “(LG 28). Tugas konkret para Imam sama seperti Uskup. Mereka ditahbiskan pertama-tama untuk mewartakan Injil (lih. PO 4) dan menggembalakan umat (lih. PO 6)
    1. Diakon: pelayan, hierarki tingkat yang lebih rendah
Ditumpangi tangan bukan untuk Imamat tetapi untuk pelayanan (LG 29). Mereka ini juga pembantu Uskup, tetapi tidak mewakili. Para Diakon adalah pembantu Uskup dengan tugas terbatas. Dengan kata lain Diakon adalah pembantu khusus Uskup, sedangkan Imam adalah pembantu umum Uskup.

Catatan khusus :
  1. Menurut tata susunan yurisdiksi (hierarchia yurisdictionis), yurisdiksi ada pada Paus dan para Uskup yang disebut kolegialitas.
Ketika Kristus mengangkat kedua belas Rasul, Ia membentuk mereka menjadi semacam dewan atau badan tetap. Sebagai ketua dewan, Yesus mengangkat Petrus yang dipilih-Nya dari antara para Rasul itu. Seperti santo Petrus dan para Rasul lainnya, atas penetapan Kristus merupakan satu dewan para Rasul. Begitu pula Paus (penganti Petrus) bersama Uskup (pengganti Rasul) merupakan satu himpunan yang serupa.Pada akhir masa Gereja perdana, sudah diterima cukup umum bahwa para Uskup adalah pengganti para Rasul. Tetapi hal itu bukan berarti bahwa hanya ada dua belas Uskup (karena ada dua belas Rasul). Bukan Rasul satu persatu diganti orang lain, tetapi kalangan para Rasul sebagai pemimpin Gereja diganti oleh para Uskup. Tegasnya Dewan para Uskup adalah pengganti para Rasul (LG 20). Yang menjadi pimpinan Gereja adalah Dewan para Uskup. Seseorang menjadi Uskup karena diterima ke dalam dewan. “Seseorang menjadi anggota Dewan Para Uskup dengan menerima tahbisan sakramental dan berdasarkan persekutuan hierarkis dengan kepala maupun para anggota Dewan” (LG 22). Sebagai lambang kolegial ini, tahbisan Uskup selalu dilakukan paling sedikit tiga Uskup, sebab tahbisan Uskup berarti bahwa seorang anggota baru diterima ke dalam Dewan Uskup” (LG 11). Uskup itu pertama-tama adalah pemimpin Gereja setempat. Namun dalam persekutuan gereja-gereja setempat hiduplah Gereja Universal. Dalam persekutuan dengan Uskup-Uskup lain itu, para Uskup setempat menjadi pemimpin Gereja Universal. Maka Uskup merupakan pemimipin Gereja setempat sekaligus pemimpin Gereja Universal.
  1. Kardinal
Kardinal bukan jabatan hierarkis dan tidak termasuk struktur hierarkis. Kardinal adalah penasehat dan membantu Paus dalam tugas reksa harian seluruh Gereja. Mereka membentuk suatu dewan Kardinal. Jumlah dewan yang berhak memilih Paus dibatasi 120 orang di bawah usia 80 tahun. Seorang Kardinal dipilih oleh Paus secara bebas.

Fungsi Khusus Hierarki
Seluruh umat Allah mengambil bagian di dalam tugas Kristus sebagai nabi (mengajar), Imam (menguduskan), dan Raja (menggembalakan). Pada kenyataannya umat tidak seragam, maka Gereja mengenal pembagian tugas tiap komponen umat (hierarki, biarawan/biarawati, dan Awam). Menjalankan tugas dengan cara yang berbeda. Berdasarkan keterangan yang telah diungkapkan di atas, fungsi khusus hierarki
adalah:
  1. Menjalankan tugas Gerejani, yakni tugas-tugas yang langsung dan eksplistis menyangkut kehidupan beriman Gereja, seperti: pelayanan sakramen-sakramen, mengajar, dan sebagainya.
  2. Menjalankan tugas kepemimpinan dalam komunikasi iman. Hierarki mempersatukan umat dalam iman dengan petunjuk, nasihat, dan teladan.




POKOK BAHASAN 13
WARGA GEREJA YANG TAK TERTAHBIS (AWAM)

Berdasarkan LG art. 31 kaum awam diartikan sebagai semua orang beriman Kristiani yang tidak termasuk golongan yang menerima tahbisan suci dan status kebiarawanan yang diakui dalam Gereja.

Definisi awam dalam praktek dan dalam dokumen – dokumen resmi Gereja dapat dibedakan menjadi:
  • Secara teologis, awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan.
Artinya, awam adalah semua orang beriman dan biarawan/wati yang tidak ditahbiskan (bdk. LG 43).
  • Secara tipologis, awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan dan juga bukan biarawan (KHK kan. 204 § 1, bdk. LG 31).
Peranan kaum awam tugas kerasulan memiliki 2 (dua) dimensi yang berbeda, yakni kerasulan internal dan kerasulan eksternal.
  • Kerasulan internal atau kerasulan “di dalam Gereja“ adalah kerasulan membangun jemaat. Kerasulan ini lebih diperani oleh jajaran hierarki,walaupun awam dituntut pula untuk mengambil bagian di dalamnya.
  • Kerasulan eksternal atau kerasulan “tata dunia” lebih diperani oleh para awam. Namun harus disadari bahwa kerasulan dalam Gereja bermuara pula ke dunia.
Kerasulan internal kaum awam nampak dalam partisipasi mereka dalam tri-tugas Gereja yaitu:
  1. Dalam tugas nabiah, pewartaan sabda (kerygma), menjadi saksi (martyria) awam dapat :
·         mengajar agama sebagai katekis atau guru agama
·         memimpin pendalaman kitab suci atau pendalaman iman ,dsb
  1. Dalam tugas imamiah, menguduskan (liturgia), membangun persekutuan (koinonia) seorang awam dapat:
·         memimpin doa dalam pertemuan-pertemuan umat
·         memimpin koor atau nyanyian dalam ibadah
·         membagi komuni sebagai prodiakon
·         menjadi pelayan altar, dsb
  1. Dalam tugas Gerejawi, memimpin, atau melayani (diakonia) seorang awam dapat:
·         menjadi anggota dewan paroki
·         menjadi ketua seksi, ketua lingkungan atau wilayah, dsb.


POKOK BAHASAN 14
LIMA TUGAS GEREJA

Lima pilar pelayanan Gereja merupakan fondasi kokoh yang menyingkapkan tugas dan tanggungjawab serta eksistensi pelayanan Gereja di dunia (Bdk. GS art 1, 43). Gereja sebagai umat Allah berkat sakramen pembaptisan menyadari diri memiliki tanggungjawab menunaikan tugas dan panggilan dalam lima pilar pelayanan Gereja di dunia (Bdk. LG art 31). Sebab, lima pilar pelayanan Gereja tersebut merupakan implementasi dari Tri tugas Yesus Kristus sendiri. Lima pilar pelayanan Gerejani yang dimaksudkan ialah Kerygma (mewartakan), Diakonia (melayani), Koinonia (membangun persekutuan), Leitourgia (menguduskan), dan Martyria (menjadi saksi) (Bdk. LG art. 25-27). Kelima pilar pelayanan Gereja ini akan dibahas dalam uraian berikut ini:

1.      Kerygma (Tugas Gereja yang Mewartakan)
“Kerygma” berasal dari bahasa Yunani yang berarti karya pewartaan  Kabar Gembira bahwa Allah telah menyelamatkan dan menebus manusia dari dosa melalui Yesus Kristus, Putera-Nya. Melalui bidang karya ini, diharapkan dapat membantu Umat Allah untuk mendalami kebenaran Firman Allah, menumbuhkan semangat untuk menghayati hidup berdasarkan semangat Injili, dan mengusahakan pengenalan yang semakin mendalam akan pokok iman Kristiani supaya tidak mudah goyah dan tetap setia. Beberapa karya yang termasuk dalam bidang ini, misalnya: pendalaman iman, katekese para calon baptis, pewartaan Injil dalam hidup sehari-hari, dan persiapan penerimaan sakramen-sakramen lainnya. Termasuk dalam kerygma ini adalah pendalaman iman lebih lanjut bagi orang yang sudah Katolik lewat kegiatan-kegiatan katekese.
2.      Diakonia (Tugas Gereja yang Melayani)
Diakonia berarti pelayanan. Terminologi diakonia ini berasal dari kata bahasa Yunani yakni dari kata kerja “diakon” yang berarti melayani. Tuhan Yesus sendiri amat pandai memilih kata yang tepat untuk menggambarkan eksistensi terdalam dari kehadiranNya di dunia ini bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani (bdk. Mat 20:28). Melalui bidang karya ini, umat beriman menyadari akan tanggungjawab pribadi mereka akan kesejahteraan sesamanya. Oleh karena itu dibutuhkan adanya kerjasama dalam kasih, keterbukaan yang penuh empati, partisipasi dan keiklasan hati untuk berbagi satu sama lain demi kepentingan seluruh jemaat (bdk. Kis 4:32-35). Beberapa karya yang termasuk dalam bidang ini, misalnya: mengunjungi orang sakit atau mereka yang berada dalam penjara, menolong orang yang tidak mampu, dan melakukan aksi-aksi kemanusiaan seperti membantu korban bencana alam, dll.
3.      Koinonia (Tugas Gereja yang Membangun Persekutuan)
Koinonia adalah bahasa Yunani, berasal dari kata “koin” yang berarti mengambil bagian. Dalam perspektif biblis, koinonia diartikan sebagai paguyuban atau persekutuan (bdk. Kis. 2:41-42).  Koinonia dapat diidentikan dengan sebuah paguyuban dalam melaksanakan sabda Tuhan. Suasana hidup dalam persekutuan tersebut ialah persekutuan hidup yang guyub dalam arti hidup rukun dan damai. Dan suasana hidup seperti itulah yang digambarkan oleh Tuhan Yesus dengan bersabda: “Saudara-saudaraKu ialah mereka yang mendengarkan Firman Allah dan melaksanakannya” (Luk 8:21).  Oleh karena itu dokumen Konsili Vatikan II pertama-tama menggambarkan Gereja bukan sebagai suatu institusi duniawi melainkan sebagai suatu persekutuan ataupun paguyuban umat beriman yang menerima dan meneruskan cahaya Kristus yang diwujudkan dalam warna dasar perbuatan atau amal yang baik dan berguna bagi sesama. Demikianlah seluruh Gereja tampak sebagai “Umat yang disatukan berdasarkan kesatuan Bapa dan Putera dan Roh Kudus (LG art 4)”.
4.      Leitourgia (Tugas Gereja yang Menguduskan)
Liturgi berasal dari kata bahasa Yunani yakni dari kata kerja “Leitourgian” (leos artinya rakyat dan ergon artinya kerja) yang berarti bekerja untuk kepentingan umum, kerja bakti atau gotong royong. Orang yang melakukan pekerjaan  itu disebut “Leitourgos”. Dan pekerjaan luhur itu disebut  “Leitourgia”. Dari pemahaman ini sekarang kita menggunakan kata “Liturgi” untuk Ekaristi dan ibadah (seperti doa/ ibadat, sakramen, sakramentali, dan devosi). Dalam konteks pilar pelayanan Gereja  liturgi merupakan upaya yang sangat membantu kaum beriman untuk penghayatan iman demi mengungkapkan misteri Kristus serta hakikat asli pelayanan Gereja yang sejati. Dalam kehidupan menggereja, peribadatan menjadi sumber dan pusat hidup beriman. Melalui bidang karya ini, setiap anggota menemukan, mengakui dan menyatakan identitas Kristiani mereka dalam Gereja Katolik. Hal ini dinyatakan dengan doa, simbol, lambang-lambang dan dalam kebersamaan umat. Partisipasi aktif dalam bidang ini diwujudkan dalam memimpin perayaan liturgis tertentu seperti: memimpin doa atau ibadat sabda; membagi komuni; dan mengambil bagian secara aktif dalam setiap perayaan dengan berdoa bersama, menjawab aklamasi, bernyanyi dan sikap badan, menerima sakramen.
5.      Martyria (Tugas Gereja yang Menjadi Saksi) 
Martyria berasal dari kata bahasa Yunani yakni “marturion” yang artinya kesaksian. Saksi sering diartikan sebagai orang yang melihat atau mengetahui suatu kejadian. Makna saksi merujuk kepada pribadi seseorang yang mengetahui atau mengalami suatu peristiwa dan mampu memberikan keterangan yang benar. Yesus adalah saksi yang memberikan “berita” tentang rencana Allah Bapa untuk menyelamatkan manusia. Para Rasul dipanggil Yesus untuk menjadi saksiNya mulai dari Yerusalem, Yudea dan Samaria bahkan sampai ke ujung bumi (Kis 1:8). Tetapi menjadi saksi Kristus bukan tanpa resiko. Bahkan Yesus sendiri telah menjadi martir atau saksi hidup karena melaksanakan kehendak Allah Bapa untuk membebaskan dan menebus umat manusia.
Dalam perkembangan sejarah Gereja kita menemukan  banyak orang telah merelakan hidupnya untuk mati sebagai martir demi mempertahankan imannya akan ajaran dan kesaksian hidup Yesus Kristus karena teladan hidup Yesus itu sendiri. Para martir bersaksi dengan caranya masing-masing, bahkan menumpahkan darah mereka untuk menyuburkan kehidupan Gereja hingga sekarang.
Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Gereja dipanggil untuk memberikan kesaksian kepada seluruh dunia, mewartakan Injil kepada semua orang. Dan situasi zaman sekarang lebih mendesak Gereja untuk memberikan kesaksian melalui kehadiran dalam fungsi sebagai garam dan terang dunia agar memanggil dan membaharui semua orang masuk ke dalam satu keluarga umat Allah.  Gereja hadir bagi semua orang dan bangsa lengkap dengan tantangan realitanya maka melalui teladan hidup (kesaksian hidup), maupun pewartaannya, dan dengan sakramen-sakramen serta daya-daya rahmat surgawi,  Tuhan menghantarkan semua orang dan bangsa kepada iman, kebebasan dan damai Kristus (Bdk. LG art. 1). Singkatnya, menjadi saksi Kristus berarti menampakkan atau mewujudkan apa yang dialami/diketahui tentang Kristus kepada orang lain. Oleh karena itu kesaksian Gereja atau umat Allah hendaknya berbuah dan berhasil ketika mereka menggabungkan diri sebagai anggota masyarakat di lingkungannya dengan sikap penghargaan dan cinta kasih, ikut serta dalam kehidupan budaya dan sosial melalui pelbagai kegiatan (AG art 1).


POKOK BAHASAN 15
HUBUNGAN GEREJA DAN DUNIA

Konsili Vatikan II sungguh telah memperbaharui Gereja dan hubungannya dengan dunia. Hubungan yang menjadi lebih baik ini disebabkan karena Gereja  mulai memiliki pandangan baru tentang dunia dan manusia. Ada baiknya kita melihat pandangan-pandangan baru tentang dunia dan manusia, kemudian kita melihat hubungan  antara Gereja  dan dunia serta alasan-alasan mengapa harus terjalin hubungan yang saling mengisi antara keduanya.
1.      Pandangan Baru Tentang Dunia dan Manusia.
a.       Dunia.
Dunia dilihat sebagai seluruh keluarga manusia dengan segala hal yang ada di sekelilingnya. Dunia menjadi pentas berlangsungnya sejarah umat manusia. Dunia diciptakan dan dipelihara oleh cinta kasih Tuhan Pencipta. Dunia yang pernah jatuh menjadi budak dosa, kini telah dimerdekakan oleh Kristus yang telah disalibkan dan bangkit pula, untuk menghancurkan kekuasaan setan agar dunia dapat disusun kembali sesuai dengan rencana Allah dan mencapai kesempurnaan (GS art. 2)
b.      Manusia.
Menyangkut manusia kita bicarakan tentang martabat manusia, masyarakat manusia dan karya manusia.
1)      Martabat Manusia.
Sejak dahulu Gereja sudah selalu mengajarkan bahwa manusia mempunyai martabat yang luhur, karena manusia diciptakan menurut citra Allah dan dipanggil untuk memanusiawikan dan mengembangkan diri menyerupai Kristus, di mana citra Allah tampak secara utuh.
Manusia adalah ciptaan yang memiliki akal budi, kehendak bebas dan hati nurani. Ketiga-tiganya ini menunjukkan bahwa manusia adalah sebagai citra Allah, walaupun dapat disalahgunakan sehingga jatuh ke dalam dosa. Manusia sungguh ciptaan yang istimewa, karena ia diciptakan demi dirinya sendiri, padahal makhluk lain diciptakan hanya untuk manusia.
2)      Masyarakat Manusia.
Pribadi manusia dan masyarakat memang saling bergantungan satu sama lain. Hal ini sesuai dengan rencana Tuhan karena manusia diciptakan sebagai makhluk yang bermasyarakat. Allah, yang memelihara segala sesuatu sebagai Bapa, menghendaki agar semua manusia membentuk satu keluarga dan memperlakukan seorang akan yang lain dengan jiwa persaudaraan (GS art. 24).
3)      Usaha dan Karya Manusia.
Perkembangan dunia di segala bidang memang dikehendaki Tuhan dan manusia dipilih untuk menjadi “rekan kerja” Tuhan dalam melaksanakan perkembangan dunia.
Kebenaran ini perlu disadari pada masa kemajuan Ilmiah dan tehknik ini, supaya manusia tidak salah langkah. Usaha dan karya manusia apapun bentuknya mempunyai nilai yang luhur, karena dengan itu manusia menjadi partner Tuhan dalam menyempurnakan dan menyelamatkan dunia ini. Selanjutnya, dengan berkarya manusia bukan saja menyempurnakan bumi ini tetapi juga menyempurnakan dirinya sendiri.
2.       Hubungan Antara Gereja dan Dunia.
Menyangkut hubungan antara Gereja dan dunia dapat diangkat satu dua hal berikut ini :
a.      Gereja Postkonsilier melihat dirinya sebagai “Sakramen Keselamatan” bagi dunia. Gereja menjadi terang, garam dan ragi bagi dunia. Dunia menjadi tempat atau ladang, di mana Gereja berbhakti. Dunia tidak dihina dan dijauhi, tetapi didatangi dan ditawari keselamatan.
b.      Dunia dijadikan mitra Dialog. Gereja dapat menawarkan nilai-nilai Injili dan dapat mengembangkan kebudayaannya, adat istiadat, alam pikiran, ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga Gereja dapat lebih efektif menjalankan misinya di dunia.
c.       Gereja tetap menghadapi otonomi dunia dengan sifatnya yang sekuler, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai yang dapat  mensejahterakan manusia dan membangun sendi-sendi kerajaan Allah.
Sebenarnya, Gereja dan dunia manusia merupakan realitas yang sama, seperti mata uang yang ada dua sisinya. Berbicara tentang Gereja berarti berbicara tentang dunia manusia. Bagi seorang Kristen berbicara tentang dunia manusia berarti berbicara tentang Gereja sebagai umat Allah yang sedang berziarah di dunia ini.

POKOK BAHASAN 16
AJARAN SOSIAL GEREJA

Ajaran Sosial Gereja (ASG) adalah ajaran Gereja mengenai hak dan kewajiban berbagai anggota masyarakat dalam hubungannya dengan kebaikan bersama, baik dalam lingkup nasional maupun internasional. ASG merupakan bentuk keprihatinan gereja terhadap dunia umat manusia dalam wujud dokumen yang perlu disosialisasikan.

Rerum Novarum (RN) merupakan Ensiklik pertama ajaran sosial Gereja yang merupakan Ensiklik Paus Leo XIII yang diterbitkan pada tahun 1891. Konteks jamannya adalah: Revolusi industri, kemiskinan yang hebat pada kaum pekerja/buruh, tiadanya perlindungan pekerja oleh otoritas publik dan pemilik modal, jurang kaya miskin yang luar biasa. Dokumen ini menjadi “master piece” dari Ajaran Sosial Gereja berikutnya.
Fokus keprihatinan dokumen ini terletak pada kondisi kerja pada waktu itu, dan tentu saja juga nasib para buruhnya. Tampilnya masyarakat terindustrialisasi mengubah pola lama hidup bersama, pertanian. Tetapi, para buruh mendapat perlakuan buruk. Mereka diperas. Jatuh dalam kemiskinan struktural yang luar biasa. Dan tidak mendapat keadilan dalam upah dan perlakuan. Ensiklik RN merupakan ensiklik pertama yang menaruh perhatian pada masalah-masalah sosial secara sistematis dan dalam jalan pikiran yang berangkat dari prinsip keadilan universal. Dalam RN hak-hak buruh dibahas dan dibela. Pokok-pokok pemikiran RN menampilkan tanggapan Gereja atas isu-isu keadilan dan pembelaan atas martabat manusia (kaum buruh).

Ada 17 dokumen yang memuat ASG atau berkaitan erat dengan ASG, yaitu:
  1. Rerum Novarum (RN)
  2. Quadragessimo Anno (QA)
  3. Mater et Magistra (MM)
  4. Pacem in Terris)
  5. Gaudium et Spes (GS)
  6. Popularum Progressio (PP)
  7. Octogesima Adveniens (OA)
  8. Justicia in Mundo
  9. Evangelii Nuntiandi (EN)
  10. Redemptor Hominis (RH)
  11. Dives in Misericordia
  12. Laborem Exercens (LE)
  13. Sollicitudo Rei Socialis (SRS)
  14. Centesimus Annus (CA)
  15. Novo Millenio Ineunte
  16. Caritas in Veritate
  17. Laudato Si'

Peninjauan sistematis terhadap ASG mengungkapkan prinsip-prinsip dasar, yaitu:
1.       Martabat Manusia
Prinsip ini dasarnya adalah misi Kristus sendiri, yakni keselamatan seluruh umat manusia. Martabat manusia sebagai citra Allah harus dipulihkan, dan dicerahkan kembali. Titik pusat perhatian Gereja membangun manusia, bukan materi.
2.       Berpihak pada kaum Miskin
Pilihan Gereja ini berdasar Visi  Yesus sendiri yang berpihak pada kaum miskin (Luk 4:18-19), Paus Paulus VI melalui Octogesima Adveniens dan Yohanes Paulus II menyerukan, Gereja tetap berpihak pada kaum miskin.
3.       Solidaritas.
Melalui prinsip ini hendak dinyatakan bahwa keperpihakan Gereja terhadap kaum miskin dan tertindas, bukan sekedar berbelas kasih, namun suatu ketetapan hati yang mantap dan tekun untuk berkomitmen terhadap kesejahteraan umum, pada kebaikan semua orang dan setiap individu. 
4.       Subsidiaritas
Prinsip ini dalam usaha menyejahterakan kaum miskin dan tertindas, menuntut partisipasi dari yang diperjuangkan, mereka harus menentukan sendiri, atau mengambil keputusan sendiri dalam perjuangan menyangkut dirinya.
5.       Kesejahteraan umum
Prinsip ini mengajarkan bahwa setiap orang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan orang lain. Tanggungjawab itu mewajibkan bagi setiap orang untuk mengambil bagian dalam menyejahterakan setiap individu, kelompok dalam masyarakat.


Namun, keprihatinan Gereja terhadap orang-orang miskin di Indonesia rasanya belum terlalu kuat karena ASG belum terlalu dipahami dan diamalkan. Mengapa?
  • Penampilan Gereja lebih menekankan segi ibadat daripada gerakan sosial.
  • Kurangnya rasa keprihatinan terhadap mereka yang miskin.
  • Merasa sebagai kaum minoritas sehingga tak mau berbuat apa-apa dan mencari aman.
  • Perkara sosial masih dipahami sebagai ajaran dan bukan pelaksanaan.

POKOK BAHASAN 17
USAHA GEREJA KATOLIK MENGUSAHAKAN PERDAMAIAN DUNIA

Konsili  Vatikan  II  merupakan  tonggak  pembaharuan  hidup  Gereja  Katolik secara menyeluruh. GS (Gaudium et Spes) menaruh keprihatinan secara luas pada tema hubungan  Gereja dan Dunia modern.  Ada kesadaran kokoh dalam Gereja untuk  berubah  seiring dengan  perubahan  kehidupan  manusia  modern.  Hal-hal yang disentuh oleh GS berkisar tentang kemajuan manusia di dunia modern. Selain menyoroti  masalah jurang yang tetap lebar antara si kaya dan si miskin, hubungan Gereja dan  dunia  dibahas  secara lebih  gamblang, antara  lain  menyentuh  nilai hubungan  timbal balik antara Gereja dan dunia pada beberapa masalah-masalah mendesak, seperti; perkawinan, keluarga, kebudayaan, pendidikan kristiani; kehidupan sosial ekonomi, perdamaian dan persatuan bangsa-bangsa, pencegahan perang serta kerjasama internasional. Konsili menegaskan bahwa kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia-manusia zaman ini, terutama kaum miskin dan yang menderita, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga (GS art.1)

Keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan menyangkut martabat manusia yang merupakan anugerah dari Sang Pencipta. Oleh karena itu, kita harus memperjuangkan kondisi  dan  situasi masyarakat  yang adil, damai,  dan  sejahtera. Keadilan demi kesejahteraan hanya  dapat  diperjuangkan  dengan  memberdayakan  mereka  yang menjadi kurban ketidakadilan. Tidak cukup hanya dengan karya belas kasih (karya karitatif ) melulu. Para korban ketidakadilan harus disadarkan tentang situasi yang menimpa dirinya, kemudian diajak untuk bangkit bersama-sama melalui berbagai usaha kooperatif untuk memperbaiki nasibnya. Dengan cara demikian, struktur dan sistem sosial yang tidak adil dapat diubah. Tanpa gerakan dan tindakan yang sungguh kooperatif  sebuah  struktur  dan  sistem tidak  akan  tergoyahkan.  Cara  bertindak yang tepat adalah dengan memberikan kesaksian hidup melalui keterlibatan untuk menciptakan keadilan dalam diri kita sendiri terlebih dahulu. Kita hendaknya mulai dengan diri dan lingkungan kita, misalnya dalam lingkungan Jemaat Kristiani sendiri. Usaha memperjuangkan keadilan dan kesetiakawanan bersama dengan mereka yang diperlakukan tidak adil tidak boleh dilakukan dengan kekerasan. Keunggulan cinta kasih di dalam sejarah menarik banyak orang untuk memilih dan bertindak tanpa kekerasan melawan ketidakadilan. Bekerja sama perlu pula diusahakan.

Para Bapa-Bapa Gereja melalui Ajaran Sosial Gereja menyerukan berbagai jalan keluar atas masalah ketidakadilan, perang, dan penindasan yang membuat manusia tidak aman dan sejahtera. Prinsip-prinsip dasar Ajaran Sosial Gereja seperti : martabat pribadi manusia, prioritas masyarakat dan kesejahteraan umum, keadilan distributif, prioritas tenaga kerja atas modal, hak untuk mengambil bagian, prinsip subsidiaritas, hak milik pribadi yang dibatasi, serta kewajiban tehadap kaum miskin.

Perang saudara atau perang antar negara, tidak pernah membawa keuntungan apapun bagi kedua belah pihak. Ada peribahasa mengatakan menang jadi arang, kalah jadi debu. Artinya kedua belah pihak sama-sama rugi dalam segala hal, jasmani dan rohani. Maka hidup damai itu memang indah. Dalam upaya tersebut, Gereja Katolik tidak jarang melakukan aksi-aksi perdamaian. Bahkan, Paus Fransiskus I dan para pendahulunya berkali-kali menyerukan perdamaian, berani melakukan mediasi di antara negara-negara yang bertikai, dan mengunjungi daerah-daerah konflik sebagai wujud solidaritasnya denga para korban perang. Selain itu, sebagai warga Gereja, kita perlu menghidupi dan melaksanakan Ajaran Sosial Gereja (ASG).

Yesus yang mulai membangun Kerajaan Allah di bumi ini telah mengamanatkan kepada kita para pengikut-Nya agar menjadi garam dan terang dunia (lih. Mat 5:13-16) serta ragi bagi masyarakat. Yesus Kristus Sang Juru selamat, Sang Raja Damai, akan membangun kerajaan- Nya di bumi ini, di mana manusia akan mengalami kesejahteraan lahir dan batin. Sebagai pengikut Kristus, kita dipanggil untuk berperan serta secara aktif dalam membangun Kerajaan Allah di dunia, supaya dunia lebih manusiawi dan layak untuk dihuni.


POKOK BAHASAN 18
PERINTAH ALLAH YANG KE-5 DALAM HUBUNGANNYA DENGAN MENGHARGAI HIDUP

                Pada zaman sekarang ada beberapa gejala yang memperlihatkan bahwa hidup manusia tidak dihargai lagi. Gejala-gejala tidak menghormati hidup manusia muncul dalam berbagai bentuk, di antaranya:
1.       Menghilangkan nyawa manusia :
a.       Pembunuhan dan pembantaian manusia
b.      Bunuh diri
c.       Pengguguran kandungan (aborsi)
d.      Euthanasia
e.      Hukuman Mati
f.        Pembunuhan dalam perang
2.       Membahayakan hidup manusia :
a.       Penyalahgunaan Obat-Obatan (Narkoba/NAPZA)
b.      Penyebaran HIV/AIDS melalui seks bebas dan Narkoba jenis suntik.
c.       Balapan liar / mengendarai kendaraan secara ugal-ugalan.
d.      Tindakan-tindakan yang membahayakan hidup manusia.
e.      TIndakan-tindakan yang menekan hidup manusia.
Sebagai catatan :
·         Pandangan Gereja terhadap perang adalah agar perang sebaiknya tidak dilaksanakan. Kalaupun dilaksanakan hendaknya secara terbatas, tidak melanda penduduk sipil, demi menegakkan keadilan dan tidak menciptakan ketidakadilan yang baru, serta bertujuan menjaga kesejahteraan dan membela rakyat. Bahkan dalam Ensiklik Pacem in Terris, Paus Yohanes XXIII mengatakan bahwa perang tidak boleh dipandang sebagai sarana menegakkan keadilan dan keamanan masyarakat tidak dapat dijamin dengan senjata.
·         Gereja tidak mendukung adanya hukuman mati tetapi juga tidak melarangnya sejauh dalam kasus yang amat berat. Namun dalam moral Kristiani, makin diragukan alasan-alasan yang membenarkan hukuman mati.
·         Gereja dalam sudut pandang teologi moral belum memberi tanggapan yang jelas mengenai bio-etika yang meliputi inseminasi buatan, cloning, bayi tabung, operasi ganti kelamin, dll. Tetapi pada prinsipnya, bagi orang Kristiani, hidup manusia harus dihormati dan tidak boleh disepelekan atau direkayasa karena menyangkut martabat manusia sebagai citra Allah.
Tentu banyak sekali alasan yang dapat menyebabkan terjadinya tindakan tersebut, misalnya tayangan media yang mempertontonkan kekerasan, perang yang berkecamuk, mencari aman, takut atau malu diketahui aibnya,  kemarahan yang tidak terkontrol, dan lain-lain.
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, perintah Allah “Jangan membunuh!” (Kel 20:13) berarti jangan membunuh orang lain dan jangan membunuh diri sendiri. Meskipun demikian, dalam dunia Perjanjian Lama, hukuman mati dan pembunuhan dalam perang diperbolehkan jika orang dengan sengaja melakukan pembunuhan dan orang yang dibunuh itu tidak bersalah dan tidak membuat perlawanan.
Sedangkan Kitab Suci Perjanjian Baru tidak hanya melarang pembunuhan tetapi ingin membangun sikap hormat dan kasih akan hidup. Membunuh berarti membuang sesama dari persaudaraan manusia, entah dengan menghilangkan nyawanya atau dengan mengkafirkan atau membencinya.

Adapun usaha-usaha untuk mengembangkan sikap menghargai hidup adalah dengan cara:
·         Menggali dan menyebarluaskan ajaran mengenai peri kemanusiaan.
·         Memperkenalkan dan menyebarluaskan gagasan-gagasan Kristiani tentang nilai-nilai hidup manusia.
·         Melawan dengan tegas budaya kekerasan dan budaya maut.
·         Menggunakan media massa, buku-buku, dan posisi umat Kristiani untuk menyebarkan gagasan-gagasan Kristiani.
·         Menunjukkan sikap hidup yang nyata bahwa kita sungguh menghormati hidup manusia.

POKOK BAHASAN 19
ALASAN GEREJA MENENTANG ABORSI

Sebelum membahas pelajaran ini, kita harus membedakan 2 jenis abortus, yaitu:
·         Abortus naturalia (sering pula disebut:  abortus alamiah atau keguguran), dinilai tidak terdapat unsur kesengajaan, dan karena itu tidak termasuk tindakan kriminal ( murni keguguran ).
·         Abortus provocatus (sering pula disebut: abortus buatan, aborsi, atau pengguguran kandungan), digolongkan sebagai tindakan kriminal karena ada unsur kesengajaan yang sangat kuat ( murni pengguguran ).

Khusus mengenai abortus provocatus atau aborsi, mulai dari abad – abad pertama sejarahnya, Gereja telah membela hidup anak di dalam kandungan sehingga menentang segala bentuk prosedur aborsi atau pengguguran kandungan yang tujuan langsungnya adalah untuk menghancurkan embrio, blastosis, zigot atau janin (fetus). Konsili Vatikan II masih menyebut pengguguran suatu “tindakan kejahatan yang durhaka”, sama dengan pembunuhan anak. Sebab Allah, Tuhan kehidupan; telah mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat cermat (Gaudium et Spes art. 51). Menurut ensiklik Paus Paulus VI, Humanae Vitae (1968) pengguguran, juga dengan alasan terapeutik, bertentangan dengan tugas memelihara dan meneruskan hidup (14). Dalam ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Veritatis Splendor (1993), pengguguran digolongkan di antara “perbuatan-perbuatan yang – lepas dari situasinya – dengan sendirinya dan dalam dirinya dan oleh karena isinya dilarang keras”. Gaudium et Spes menyatakan, “Apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, bentuk pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan suku, pengguguran, eutanasia, dan bunuh diri yang sengaja; apa pun yang melanggar keutuhan pribadi manusia, seperti … penganiayaan, apa pun yang melukai martabat manusia … : semuanya itu sudah merupakan perbuatan keji, mencoreng peradaban manusia : .. sekaligus sangat bertentangan dengan kemuliaan Sang Pencipta.” (GS 27; VS 80).

Kanon 1398 dalam Kitab Hukum Kanonik (1983) menjatuhkan ekskomunikasi secara otomatis (latae sententiae) kepada umat Katolik yang "melakukan aborsi dan berhasil", ketika kondisi-kondisi yang tercantum dalam Kan. 1321-1329 terpenuhi untuk dapat terkena "sanksi pidana" tersebut. Selain mengajarkan bahwa aborsi adalah tidak bermoral, Gereja Katolik juga kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan publik dan melakukan tindakan-tindakan untuk menentang legalitasnya.

POKOK BAHASAN 20
SAKRAMEN PERKAWINAN

Mari kita menyimak dokumen berikut :
Kitab Hukum Kanonik kan.1055 §1 : Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.

Kitab Hukum Kanonik kan.1056: Ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.

Dari dokumen tersebut terlihat bahwa :
Perkawinan Katolik menurut KHK kan.1055 §1 adalah perjanjian (foedus) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk kebersamaan hidup. Definisi ini menunjuk pada dasar utama perkawinan yang merupakan sebuah sakramen.
Catatan: Latar belakang definisi ini adalah dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes art. 48). GS dan KHK tidak lagi mengartikan perkawinan sebagai kontrak melainkan sebuah perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita.

Perkawinan mempunyai tiga tujuan yaitu: 1)kesejahteraan suami-isteri, 2)kelahiran anak, dan 3)pendidikan anak.  Setiap kali kita merenungkan dalamnya arti Perkawinan sebagai gambaran kasih Allah sendiri, kita perlu bersyukur dan tertunduk kagum. Begitu dalamnya kasih Allah pada kita manusia, betapa tak terukurnya rencanaNya bagi kita. Melalui Perkawinan kita dibawa untuk memahami misteri kasih-Nya, dan mengambil bagian di dalam misteri itu. Di dalam Perkawinan kita belajar dari Kristus, untuk memberikan diri kita (self-giving) kepada orang lain, yaitu kepada pasangan kita dan anak-anak yang dipercayakan kepada kita. Dengan demikian, kita menemukan arti hidup kita, dan tak dapat dipungkiri, inilah yang disebut ‘kebahagiaan’, dan dalam ikatan kasih yang tulus dan total ini, masing-masing anggota keluarga menguduskan satu sama lain.
Jadi secara garis besar, sakramen perkawinan mempunyai tujuan untuk mempersatukan suami istri, menjadikan suami istri dapat mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah, dan akhirnya dengan sakramen perkawinan ini suami dan istri dapat saling menguduskan, sampai kepada tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan sejati dalam Kerajaan Surga.

Sejak awal mula Allah menghendaki persatuan antara pria dan wanita, yang diwujudkan secara mendalam di dalam Perkawinan. Perkawinan ini dimaksudkan Allah untuk menggambarkan kasih-Nya, yaitu kasih dalam kehidupan-Nya sendiri sebagai Allah Tritunggal, dan kasih-Nya kepada manusia yang tak pernah berubah. Keluhuran Perkawinan juga dinyatakan oleh Kristus, yang mengangkat nilai Perkawinan dengan menjadikannya gambaran akan kasih-Nya kepada Gereja-Nya. Karena itu Perkawinan Katolik bersifat tetap seumur hidup, setia, monogami, dan terbuka terhadap kelahiran baru.

Dengan memiliki ciri-ciri yang demikian, Perkawinan merupakan ‘sakramen’, yaitu tanda kehadiran Allah di dunia dan tanda cinta Kristus kepada GerejaNya sebagai mempelaiNya.  Dengan kata lain,  sesungguhnya Allah menggabungkan kasih suami istri dengan kasihNya sendiri kepada umat manusia melalui Kristus. Oleh karena sifatnya yang sakramental itulah, suami adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi istrinya, dan istri adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi suaminya. Jadi tepat jika dikatakan bahwa sakramen Perkawinan melibatkan tiga pihak, yaitu, suami, istri dan di atas segalanya, Kristus sendiri.

Perkawinan Katolik itu pada dasarnya berciri satu pria dengan satu wanita dan tak terceraikan. Kita menyebutnya sifat Monogam dan Indissolubile. Monogam berarti satu suami  dengan satu istri, sedang indissolubile berarti, setelah terjadi perkawinan antara orang-orang yang dibaptis (ratum)secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan (consummatum), maka perkawinan menjadi tak terceraikan, kecuali oleh kematian (bdk. KHK kan. 1141).

POKOK BAHASAN 21
SELIBAT

Selibat berasal dari kata Latin caelibatus berarti hidup tidak menikah.  Adolf J. Heuken, SJ menjelaskan, Gereja Katolik Ritus Latin menuntut para imam mereka tidak menikah seumur hidup dan taat pada kemurnian pribadi dalam pikiran dan perbuatan. Selibat merupakan ungkapan penyerahan diri secara total kepada Allah dan kehendak-Nya demi pelayanan kepada Allah dan sesama dengan tidak menikah. Dengan kata lain, selibat merupakan cara hidup yang memilih untuk tidak menikah demi Kerajaan Allah. Paus Yohanes Paulus II membarui semangat selibat dengan mengajarkan bahwa semangat hidup berselibat, miskin, dan taat pada kehendak Allah secara radikal. Sikap ini merupakan sikap hidup Yesus sendiri yang seharusnya meresapi seluruh umat beriman. Mereka yang memilih cara hidup selibat seperti itu  adalah orang-orang tertahbis (Paus, Uskup, Imam dan Diakon) dan biarawan/wati (bruder, suster biara, dan para frater).

POKOK BAHASAN 22
HIDUP MEMBIARA

                Inti hidup membiara adalah persatuan atau keakraban dengan Kristus dan menghidupi pola nasib Kristus secara radikal (LG art. 42 dan 44). Untuk itu, biarawan-biarawati mengucapkan kaul atau janji setia yang diucapkan sebagai tekad untuk mengabdi dan bersatu dengan Allah. Dengan kata lain, persatuan yang erat dan penyerahan diri secara total serta menyeluruh kepada Allah dilakukan dengan mengucapkan dan melaksanakan tiga kaul dalam hidupnya yaitu: kaul kemiskinan, kaul ketaatan, dan keperawanan.
                Dengan mengucapkan kaul kemiskinan, orang yang mengucapkan dan menghayati hidup membiara melepaskan hak untuk memiliki harta benda. Ia rela miskin seperti yang dituntut oleh Yesus kepada murid-muridNya (Luk 10,1-12 dan Mat 10,5-15). Sikap batin ini harus dihayati dan diungkapkan dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari.
                Dengan mengucapkan kaul ketaatan seseorang memutuskan untuk taat seperti Kristus yang taat kepada Allah (Yoh 14,23-24; Flp 2,7-8). Bentuk nyata dari ketaatan ini adalah meletakkan kehendaknya di bawah kehendak pembesar dan statuta biara demi Kerajaan Allah (aspek asketis) dan ketaatan religius atau kerelaan untuk membaktikan diri kepada hidup kerasulan bersama (aspek apostolik).
                Dengan kaul keperawanan seseorang melepaskan hak hidupnya untuk berkeluarga dan meneladan Kristus seutuhnya demi Kerajaan Allah. Dengan demikian mereka memilih untuk hidup selibat.

POKOK BAHASAN 23
KERJA

Kerja Sebagai Partisipasi dalam Kegiatan Sang Pencipta
Menurut Konsili Vatikan II: ”Bagi kaum beriman ini merupakan keyakinan: kegiatan manusia baik perorangan maupun kolektif, atau usaha besar-besaran itu sendiri, yang dari zaman ke zaman dikerahkan  oleh banyak orang untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup mereka, memang sesuai dengan rencana Allah. Sebab manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, menerima titah-Nya, supaya menaklukkan bumi beserta segala sesuatu yang terdapat padanya, serta menguasai dunia dalam keadilan dan kesucian; ia mengemban perintah untuk mengakui Allah sebagai Pencipta segala-galanya, dan mengarahkan diri beserta seluruh alam kepada-Nya, sehingga dengan terbawahnya segala sesuatu kepada mausia nama Allah sendiri dikagumi di seluruh bumi”.
Kegiatan Allah di dunia itu selalu berlangsung, seperti dikatakan oleh Kristus: ”Bapa-Ku tetap masih berkarya...”: Ia berkarya dengan kuasa pencipta-Nya dengan melestarikan bumi, yang dipanggil-Nya untuk berada dari ketiadaan, dan Ia berkarya dengan kuasa penyelamat-Nya dalam hati mereka, yang sejak semula telah ditetapkan-Nya untuk ”beristirahat” dalam persatuan dengan diri-Nya di ”rumah Bapa”Nya. Oleh karena itu kerja manusia pun tidak hanya memerlukan istirahat setiap ”hari ketujuh”, melainkan tidak dapat pula terdiri hanya dari penggunaan tenaga manusiawi dalam kegiatan lahir. Kerja harus membuka peluang bagi manusia untuk menyiapkan diri, dengan semakin menjadi seperti yang dikehendaki oleh Allah, bagi ”istirahat” yang disediakan oleh Tuhan bagi para hamba dan sahabat-Nya. Kesadaran, bahwa kerja manusia ialah partisipasi dalam kegiatan Allah, menurut Konsili, bahkan harus meresapi ”pekerjaan sehari-hari yang biasa sekali. Sebab pria maupun wanita, yang-sementara mencari nafkah bagi diri maupun keluarga mereka-melakukan pekerjaan mereka sedemikian rupa sehingga sekaligus berjasa-bakti bagi masyarakat, memang dengan tepat dapat berpandangan, bahwa dengan jerih-payah itu mereka mengembangkan karya Sang Pencipta, ikut memenuhi kepentingan sesama saudara, dan menyumbangkan  kegiatan mereka pribadi demi terlaksananya rencana ilahi dalam sejarah”.
Kesadaran, bahwa melalui kerja manusia berperan serta dalam karya penciptaan merupakan motif yang terdalam untuk bekerja di pelbagai sektor. ”Jadi”-menurut Konstitusi ”Lumen Gentium”-”kaum beriman wajib mengakui makna sedalam-dalamnya, nilai serta tujuan segenap alam tercipta, yakni: demi kemuliaan Allah. Lagi pula mereka wajib saling membantu juga melalui kegiatan duniawi untuk hidup dengan lebih suci, supaya dunia diresapi semangat Kristus, dan dengan lebih tepat mencapai tujuannya dalam keadilan, cinta kasih dan damai....Maka dengan kompetensinya di bidang profan serta dengan kegiatannya, yang dari dalam diangkat oleh rahmat Kristus, hendaklah mereka memberi sumbangan yang andal, supaya hal-hal tercipta dikelola dengan kerja manusia, keahlian teknis, serta kebudayaan yang bermutu, menurut penetapan Sang Pencipta dan dalam cahaya Sabda-Nya”(LE 25).
Dalam Ensiklik Centesimus Annus dikatakan, “....Sumber pertama segala sesuatu yang baik ialah karya Allah sendiri yang menciptakan bumi dan manusia, serta mengurniakan bumi kepada manusia, supaya manusia dengan jerih-payahnya menguasainya dan menikmati buah-hasilnya (bdk. Kej 1:28-29). Allah menganugerahkan bumi kepada seluruh umat manusia, supaya bumi menjadi sumber kehidupan bagi semua anggotanya, tanpa mengecualikan atau mengutamakan siapapun juga. Itulah yang menjadi dasar mengapa harta-benda bumi diperuntukkan bagi semua orang. Sebab berkat kesuburannya dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia; bumi merupakan kurnia Allah yang pertama untuk menjadi sumber kehidupan baginya. Tetapi bumi tidak menghasilkan buah-buahnya tanpa tanggapan manusia yang khusus terhadap anugerah Allah, atau: tanpa kerja. Melalui kerja manusia dengan menggunakan akal-budi dan kebebasannya menguasai bumi, dan menjadikannya kediaman yang layak bagi dirinya. Begitulah manusia menjadikan miliknya sebagian bumi yang diperolehnya dengan bekerja. Itulah asal- milik perorangan. Sudah jelaslah ia terikat kewajiban untuk tidak menghalang-halangi sesamanya mendapat bagiannya dari kurnia Allah. Bahkan ia harus bekerja sama dengan mereka untuk bersama-sama menguasai seluruh bumi...” (CA 31).

Dengan demikian, nilai-nilai iman Katolik berdasarkan dokumen Gereja di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
Pertama, orang bekerja dalam rangka mencari nafkah dan mencukupi kebutuhan-kebutuhannya, biasanya kebutuhan yang dasar. Bekerja pada tataran ini dapat dialami sebagai beban yang berat. Orang bekerja karena terpaksa. Misalnya, seseorang sebenarnya bercita-cita bekerja dalam bidang pendidikan. Tetapi karena tidak ada lowongan kerja dalam bidang itu, dia terpaksa bekerja sebagai pekerja di pabrik, karena tidak ada pekerjaan lain, sementara dia harus mencukupi kebutuhan-kebutuhan saya sehari-hari.
Kedua, orang bekerja sebagai aktualisasi diri. Karena kemampuannya dan kesempatan yang tersedia, dia bisa memilih pekerjaan mana yang akan ia lakukan sesuai dengan yang ia inginkan. Dengan pilihan kerja itu, ia mencapai cita-citanya. Ia merasa bahagia, gembira, mengalami kepuasan batin yang besar. Dengan pekarjaanya itu merasa berkembang sebagai pribadi.
Ketiga, kerja dalam rangka mewujudkan bagian doa yang setiap hari kita ucapkan "datanglah Kerajaan-Mu". Sebagai orang beriman, kita semua menerima tugas perutusan untuk mengikuti Yesus Kristus mewartakan Kerajaan Allah. Melalui kerja manusia dengan menggunakan akal-budi dan kebebasannya menguasai bumi, dan menjadikannya kediaman yang layak bagi dirinya. Kerajaan Allah adalah realitas yang sangat nyata: ketika orang merasa lebih aman berkendara di jalan raya; ketika orang mendapat keadilan di lembaga peradilan; ketika pada usahawan menjalankan usahanya dengan fairness. Pendek kata, iman kita harus menjadi inspirasi untuk memberi makna kepada pekerjaan kita, membuat kita yakin bahwa pekerjaan kita, apapun jenisnya, adalah bagian dari usaha kita untuk mewujudkan doa kita "datanglah Kerajaan-Mu", membuat hidup bersama menjadi semakin manusiawi, semakin damai dan sejahtera.
Keempat, kerja sebagai partisipasi dalam kegiatan Sang Pencipta. Artinya, melalui kerja manusia mengembangkan karya Sang Pencipta, ikut memenuhi kepentingan sesama saudara, dan menyumbangkan  kegiatan mereka pribadi demi terlaksananya rencana ilahi dalam sejarah.

                Kerja adalah setiap kegiatan manusia yang diarahkan untuk kemajuan rohani dan jasmani manusia yang memerlukan pemikiran dan tenaga.
                Makna kerja dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu:
  1. Segi ekonomis: memenuhi dan menyelenggarakan kebutuhan-kebutuhan hidup yang primer.
  2. Segi sosiologis: untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Kegiatan tersebut juga mencerminkan keterlibatan unsur manusia dalam karya ciptaan Allah.
  3. Segi antropologis: untuk membina dan membentuk diri dan pribadinya dan bisa menjadi teman bagi sesamanya dengan menggunakan akal budi, kehendak, tenaga, daya kreatif, serta tanggung jawab dan kesejahteraan umum.

Tujuan kerja adalah mencari nafkah , memajukan teknik dan kebudayaan, menyempurnakan dirisendiri, dan memuliakan Tuhan.
Makna religius dari bekerja adalah:
·         Allah memerintahkan manusia untuk bekerja. Manusia menjadi wakil Allah di dunia ini untuk mengurus dan menjadi pekerja yang menyelenggarakan ciptaan Tuhan.
·         Manusia menjadi rekan kerja Allah dalam dunia ini.
·         Dengan bekerja, manusia mendekatkan diri dengan Allah.

Namun dalam bekerja manusia butuh pula beristirahat sebab dalam Kej 1:1-2:3 dikatakan bahwa Allah bekerja selama 6 hari dan pada hari ketujuh, Allah beristirahat. Ia pun memerintahkan manusia untuk beristirahat (Kel 20:10).

Doa memiliki peranan penting dalam pekerjaan kita, yaitu:
·         Sebagai ungkapan syukur kepada Allah karena bisa bekerja.
·         Kerja menjadi sarana bagi kita untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah.
·         Menjadi daya dorong bagi kita untuk bekerja lebih tekun, tabah, dan tawakal.
·         Memurnikan pola, motivasi, dan orientasi kerja kita.
·         Doa, karya, dan kerja adalah kesatuan tindakan yang menjadikannya sebagai persembahan yang kudus kepada Allah
·         Sebagai ungkapan syukur kepada Allah karena sanggup menyelesaikan pekerjaan yang dipercayakan kepada kita.





POKOK BAHASAN 24
BERDIALOG DENGAN KRISTEN PROTESTAN: KEKHASAN GEREJA KATOLIK  DAN PROTESTAN

Persamaan antara Gereja Katolik dan Gereja Protestan jelas sangat banyak dan menyangkut hal-hal yang sangat fundamental karena berasal dari Yesus Kristus yang diakui oleh keduanya sebagai Kepala Gereja. Keduanya mengakui Allah yang sama, para nabi, Kitab Suci, dan Syahadat yang sama. Hanya ada sejumlah perbedaan penafsiran dan penekanan, yaitu:

KEKHASAN GEREJA KATOLIK
KEKHASAN GEREJA PROTESTAN
Tekanan ada pada sakramen dan pada segi sakramen (tanda kelihatan) dari karya keselamatan Allah.
Tekanan pada sabda/pewartaan dan pada segi misteri karya Allah.
Kultis, yang mementingkan kurban (Ekaristi). Hubungan dengan Gereja menentukan hubungan dengan Kristus.
Profetis, yang terpusat pada sabda (pewartaan). Hubungan dengan Kristus menentukan hubungan dengan Gereja
Gereja secara hakiki bersifat hirarkis
Segala pelayanan gerejawi adalah ciptaan manusia
Kitab Suci dibaca dan dipahami di bawah pimpinan hirarki
Setiap orang membaca dan mengartikan Kitab Suci
Jumlah Kitab Suci 73, termasuk Deuterokanonika.
Jumlah Kitab Suci 66 buah, tidak menerima Deuterokanonika.
Ada 7 sakramen
Ada 2 sakramen yaitu sakramen baptis dan ekaristi / perjamuan. (kedua sakramen ini kira-kira setara dengan Sakramen Baptis dan Ekaristi dalam Gereja Katolik, tetapi tidak persis sama karena alasan teologis dan praksisnya).
Ada devosi kepada para kudus.
Tidak menerima devosi para kudus.

                Gerakan ekumenis adalah kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha yang diadakan dan ditujukan untuk mendukung kesatuan umat Kristen. Sejalan dengan saran dari Dekrit tentang Ekumene (UR art. 4) maka untuk mendukung kesatuan umat Kristen itu yang dapat kita lakukan antara lain:
  • Menghindari kata-kata, penilaian, perbuatan yang dapat menimbulkan hubungan yang kurang baik antar-umat Kristiani.
  • Melaksanakan dialog, baik dialog kehidupan maupun dialog karya.
  • Mengadakan dialog di bidang doktrin dan teologi sehingga masing-masing agama dapat saling belajar dan saling mengisi.
  • Doa bersama atau ibadat bersama sejauh memungkinkan dapat dirayakan sebagai puncak dari suatu kegiatan yang bersifat ekumenis.

POKOK BAHASAN 25
SAKRAMEN YANG DIAKUI OLEH GEREJA KATOLIK DAN GEREJA PROTESTAN
Munculnya reformasi yang dilakukan oleh Martin Luhter, meragukan akan keberadaan sakramen dalam Gereja Katolik. Karena Katolik menyatakan ada 7 Sakramen (Baptis, Tobat, Ekaristi, Krisma, Minyak Suci, Perkawinan, dan Imamat), sedangkan Martin Luther menyatakan hanya ada 2 Sakramen yaitu : Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus.  Hal itu  menjadi pokok perdebatan  antara para teolog pada zaman reformasi. Sakramen-sakramen gereja ternyata mendapat perhatian yang lebih khusus dalam pembahasan-pembahasan, khususnya menyangkut substansi sakramen tersebut, termasuk maknanya masing-masing, bahkan juga menyangkut  soal-soal praktis (bdk. Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, Jakarta,  BPK-Gunung Mulia 1999, hlm. 206-209, juga lih. Konfessi Augsburg, Jakarta, BPK-Gunung Mulia, 1993, hlm. 27-28, 45).
Menurut Gereja-Gereja Protestan,  sakramen yang diakui adalah “Baptisan” dan “Perjamuan Kudus”. Allah yang mendirikan, menetapkan, memerintah, mensahkan baptisan itu dan perjamuan kudus, yang melaluinya Allah memberikan berkat dan pengampunan dosa (Bnd. A. J. Lohe, An Explanation of Luther Small Cateshism, Adelaide, Lutheran  Publishing House 1970, hlm. 106-107).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Gereja Katolik dan Gereja Protestan sama-sama mengakui Baptis dan Perjamuan Kudus (dalam Gereja Katolik disebut dangan nama Ekaristi) sebagai sakramen. Namun, secara khusus mengenai Perjamuan Kudus yang diterima oleh Katolik dan Protestan terdapatlah sejumlah hal yang membuatnya setara namun tak sama, yaitu :
1.       Apostolic Succession (Jalur Apostolik): Gereja Katolik, menerapkan apa yang telah menjadi Tradisi Suci Gereja sejak awal, mensyaratkan adanya sakramen Imamat untuk dapat menjadikan sakramen Ekaristi sebagai sakramen yang sah. Artinya, perkataan konsekrasi atau “kata-kata/ doa Yesus untuk merubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus oleh kekuatan Roh Kudus” harus dilakukan oleh imam yang ditahbiskan oleh Uskup yang mempunyai jalur apostolik, yang kalau ditelusuri maka rahmat tahbisan yang diperoleh dari penumpangan tangan ini adalah berasal dari para rasul, yang menerima mandat dari Yesus sendiri. Dengan demikian, Gereja Katolik tidak dapat mengakui keabsahan Ekaristi dari gereja lain, kecuali dari Gereja Timur Ortodox yang juga mempunyai tahbisan yang sah (mempunyai jalur apostolik), sehingga sakramen yang dilakukan dalam gereja mereka juga sah. Gereja Anglikan, juga gereja Protestan kehilangan jalur apostolik ini, sehingga Gereja Katolik tidak mengakui keabsahan sakramen Ekaristi mereka. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:
KGK 1400    Persekutuan-persekutuan Gereja yang muncul dari Reformasi, yang terpisah dari Gereja Katolik, “terutama karena tidak memiliki Sakramen Tahbisan, sudah kehilangan hakikat misteri Ekaristi yang otentik dan sepenuhnya” (UR 22). Karena alasan ini, maka bagi Gereja Katolik tidak mungkin ada interkomuni Ekaristi dengan persekutuan-persekutuan ini. “Kendati begitu, bila dalam Perjamuan Kudus mereka mengenangkan wafat dan kebangkitan Tuhan, mereka mengimani, bahwa kehidupan terdapat dalam persekutuan dengan Kristus, dan mereka mendambakan kedatangan-Nya kembali dalam kemuliaan” (UR 22).
2.       Transubstantiatio (Trans-substansiasi) dan Consubstantiatio (Konsubstansiasi): Gereja Katolik mengajarkan bahwa roti dan anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus setelah konsekrasi (disebut: trans-substansiasi). Ini artinya, bahwa yang termakan atau sisa dari Roti yang sudah dikonsekrasi adalah benar-benar Tubuh Kristus. Ini menyebabkan Gereja Katolik menyimpannya dalam tabernakel, dan juga ada doa Adorasi, yaitu doa di depan Sakramen Maha Kudus. Beberapa gereja Protestan mengakui konsubstansiasi, yang berarti roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan darah Kristus setelah dikonsekrasi dan dimakan/diminum. Jadi bagi gereja Protestan, sisa roti dan anggur yang tidak termakan/terminum bukanlah tubuh dan darah Kristus, namun hanya roti dan anggur biasa.



POKOK BAHASAN 26
MENGANALISIS DOKUMEN GEREJA KATOLIK TENTANG MENGHARGAI KEKHASAN AGAMA LAIN DAN BENTUK-BENTUK DIALOG DENGAN UMAT BERAGAMA LAIN

Nostra Aetate art. 2
Sudah sejak dahulu kala hingga sekarang ini diantara pelbagai bangsa terdapat suatu kesadaran tentang daya-kekuatan yang gaib, yang hadir pada perjalanan sejarah dan peristiwa-peristiwa hidup manusia; bahkan kadang-kadang ada pengakuan  terhadap Kuasa ilahi yang tertinggi atau pun Bapa. Kesadaran dan pengakuan tadi meresapi kehidupan bangsa-bangsa itu dengan semangat religius yang mendalam. Adapun agama-agama, yang terikat pada perkembangan kebudayaan, berusaha menanggapi masalah-masalah tadi dengan faham-faham yang lebih rumit dan bahasa yang lebih terkembangkan. Demikianlah dalam hinduisme manusia menyelidiki misteri ilahi dan mengungkapkannya dengan kesuburan mitos-mitos yang melimpah serta dengan usaha-usaha filsafah yang mendalam. Hinduisme mencari pembebasan dari kesesakan keadaan kita entah melalui bentuk-bentuk hidup berulah-tapa atau melalui permenungan yang mendalam, atau dengan mengungsi kepada Allah penuh kasih dan kepercayaan. Buddhisme dalam pelbagai alirannya mengakui, bahwa dunia yang serba berubah ini sama sekali tidak mencukupi, dan mengajarkan kepada manusia jalan untuk dengan jiwa penuh bakti dan kepercayaan memperoleh keadaan kebebasan yang sempurna, atau – entah dengan usaha sendiri entah berkat bantuan dari atas – mencapai penerangan yang tertinggi. Demikian pula agama-agama lain, yang terdapat diseluruh dunia, dengan pelbagai cara berusaha menanggapi kegelisahan hati manusia, dengan menunjukkan berbagai jalan, yakni ajaran-ajaran serta kaidah-kaidah hidup maupun upacara-upacara suci.
Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci di dalam agama-agama ini. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.
Maka Gereja mendorong para puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka.

Beberapa hal pokok yang diperlihatkan oleh dokumen diatas memperihatkan sikap Gereja yang menghargai agama lain, yaitu:
A.      Persamaan yang nyata dalam agama-agama yang berbeda itu dinyatakan bahwa semua agama memiliki sumber dan tujuan yang sama, yakni Allah.
B.      Sikap Gereja terhadap agama dan kepercayaan lain adalah :
  1. mendukung terciptanya kerukunan dan persaudaraan sejati dalam kebersamaan dengan agama dan kepercayaan yang berbeda.
  2. Gereja perlu menghargai agama dan kepercayaan lain sebagai ungkapan toleransinya.
  3. Gereja dapat merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, dari agama-agama lain yang  juga memiliki nilai kebenaran.
  4. Hal konkret yang dapat dilakukan Gereja dalam membangun kerukunan adalah Gereja perlu membangun kebersamaan dan sikap terbuka terhadap agama dan kepercayaan lain melalui dialog dan kerjasama. Macam-macam dialog yang dapat dilakukan:
·         DIALOG KARYA, keterlibatan dan kebersamaan dalam karya bersama, misalnya terlain dalam organisasi, pengelolaan karya sosial, pendidikan, kerja bakti bersama dll.
·         DIALOG KEHIDUPAN, keterlibatan dan kebersamaan dalam kehidupan nyata sehingga terjalin kerukunan Misalnya, saling memberi salam, silaturahmi, saling mendukung, bertegur sapa, sharing pengalaman hidup, menjalin persahabatan dan persaudaraan
·         DIALOG IMAN, keterlibatan dalam saling mengembangkan iman masing-masing , misalnya melalui pemahaman akan nilai iman orang lain, memperdalam iman sendiri, saling tukar pendapat tentang pandangan iman, saling belajar akan kekayaan rohani agama-agama lain.



Tentang Penulis :
A. Donny Reston, lahir di Makassar, memperoleh Gelar S-1 (Sarjana Sastra) dari Fakultas Pontifical Teologi Wedabhakti (FTW), Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (2004) dan Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Makassar (2007). Lulus Sertifikasi Guru Tahun 2010. Menjadi Ketua MGMP Pendidikan Agama Katolik Kota Makassar, Kabupaten Gowa dan Kabupaten Maros periode 2014 – 2017. Saat ini mengajar di SMA Katolik Cenderawasih Makassar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar