BUDAYA KEKERASAN VERSUS BUDAYA KASIH
Sejak zaman dahulu, masyarakat Indonesia terkenal
sebagai masyarakat yang ramah. Syair lagu “Nusantaraku” ciptaan A. Riyanto
menggambarkannya sebagai berikut:
“tak ada negeri seindah persada nusantara
Terkenal manis budi bahasa dan lemah lembut perangainya
Mereka saling mengenal dan saling menghargai hak asasi... ”
Namun, gambaran manusia
Indonesia dalam syair lagu tersebut kini
harus dikoreksi kembali. Betapa tidak, kini manusia Indonesia mudah terpicu
untuk bertikai dan bahkan tidak segan-segan menggunakan kekerasan berdarah. Di
media massa, tiada hari tanpa berita tentang kekerasan di negeri ini.
Masalah-masalah yang sepele saja dapat
memicu kekerasan yang besar
antar-kampung, antar-kampus, antar-sekolah, antar-etnis, suku, dan agama.
Fenomena kekerasan di Indonesia kini menjadi budaya,
yaitu budaya kekerasan. Menurut Prof. Dawam Raharjo, istilah “budaya kekerasan” adalah sebuah contradictio in terminis (pertentangan
dalam istilah). Agaknya istilah itu semula berasal dari ucapan menyindir
bahwa “kekerasan telah
membudaya”. Maksudnya adalah bahwa kekerasan telah menjadi perilaku umum. Frekuensi
pemberitaannya di media massa mempertegas bahwa gejolaknya sangat nampak dalam
masyarakat. Tindak kekerasan yang umum terjadi bisa dilakukan secara individual
maupun secara kolektif atau bersama-sama. Kekerasan yang dilakukan secara kolektif lebih berbahaya
dibandingkan kekerasan yang dilakukan secara individual. Karena selain jumlah
pelakunya lebih banyak, juga karena efek yang ditimbulkan lebih destruktif.
Dilihat dari segi dimensi maka
tampak kekerasan fisik dan psikologis. Sementara dari segi rupa-rupa wajah: ada
kekerasan sosial, kekerasan kultural, kekerasan etnis, kekerasan gender. Ada
beberapa penyebab kekerasan,yaitu:
·
Analisis “teori konflik” menemukan alasan kekerasan berbagai
bentuk “perbedaan kepentingan” kelompok-kelompok
masyarakat sehingga kelompok yang satu ingin menguasai bahkan mencaplok
kelompok lain.
·
Analisis “fungsionalisme struktural” berpendapat bahwa hampir
semua kerusuhan berdarah di Indonesia disebabkan oleh disfungsi sejumlah
institusi sosial, terutama lembaga politik yang menunjang integritas Indonesia
sebagai satu bangsa.
Budaya Kekerasan dan Konflik
di Tanah Air
a.
Pengertian
kekerasan kultural
Kekerasan budaya yakni
nilai-nilai budaya yang di gunakan untuk membenarkan dan mengesahkan
penggunaan kekerasan langsung atau tidak langsung. Wujud dari kekerasan tersebut adalah
pidato para pemimpin, dalil-dalil dalam agama, dan beragam poster yang
membangkitkan dorongan untuk menjalankan kekerasan sehingga kekerasan ini
menjadi sah secara budaya dan mendapatkan legitimasi.
Kekerasan dan konflik memiliki
hubungan yang sangat erat karena kekerasan adalah merupakan aktualisasi
daripada konflik. Konflik itu sendiri menempatkan dirinya pada alam bawah
sadar manusia atau di otak kita. Jadi kekerasan itu berangkat terlebih dahulu dari konflik yang tersimpan dalam
memori kita kemudian berujung pada terjadinya benturan fisik atau psikis.
Masyarakat
Indonesia sangat majemuk secara budaya, etnis dan agama. Kemajemukan ini,
apabila tidak dikelola dengan baik dan benar, dapat menimbulkan konflik dan
kekerasan. Kekerasan yang sering terjadi di negeri kita menunjukkan rupa-rupa
dimensi dan rupa-rupa wajah.
b.
Rupa-rupa
dimensi kekerasan
1) Kekerasan langsung
Kekerasan
langsung adalah kekerasan yang
dilakukan oleh satu atau sekelompok orang pada pihak lain dengan menggunakan
alat kekerasan. Seringkali lebih bersifat fisik dan secara langsung, jelas
siapa subjek, siapa objek, siapa korban, dan siapa pelakunya. Seperti
contoh penganiayaan, pembunuhan, dan lain-lain. Jadi identifikasi paling
mendasar tentang kekerasan langsung
adalah dengan adanya korban luka maupun meninggal.
2)
Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung adalah
kebalikan dari kekerasan langsung, di mana lebih bersifat psikis.
Contohnya, kasus gizi buruk. Keadaan itu bukan akibat ulah kekerasan yang
dilakukan secara langsung tetapi lebih kepada akibat tatanan sistem politik, sosial-budaya,
dan ekonomi yang tidak adil atau tidak seimbang dalam menjalankan perannya. Contoh
lain dari kekerasa tidak langsung adalah pembalasan dendam, pengasingan,
blokade, dan diskriminasi.
c.
Wajah-wajah kekerasan
Dimensi
kekerasan di atas ini dapat kita lihat dalam bentuk-bentuk kekerasan yang
akhir-akhir ini hadir dalam skala frekuensi yang makin meningkat di Indonesia.
1)
Kekerasan Sosial
Kekerasan
sosial adalah situasi
diskriminatif yang mengucilkan sekelompok orang agar tanah atau harta milik
mereka dapat dijarah dengan alasan “pembangunan negara”. Payung
pembangunan seperti sebuah tujuan yang boleh menghalalkan segala cara. Ada
sekelompok orang atau wilayah tertentu yang sepertinya tanpa henti mengusung
“stigma” dari penguasa. Stigmatisasi yang biasanya berlanjut dengan
“marginalisasi” dan berujung pada “viktimasi”. Mereka yang mengusung “stigma”
tertentu sepertinya layak ditertibkan, disingkirkan, diperlakukan tidak
manusiawi, atau dibunuh.
2)
Kekerasan Kultural
Kekerasan
kultural terjadi ketika ada
pelecehan, penghancuran nilai-nilai budaya minoritas demi hegemoni penguasa.
Kekerasan kultural sangat mengandaikan “stereotype”
dan “prasangka-prasangka kultural”.
Dalam konteks ini, keseragaman dipaksakan, perbedaan
harus dimusuhi, bahkan dilihat sebagai momok yang menakutkan. Apa yang
menjadi milik kebudayaan daerah tertentu dijadikan budaya nasional tanpa sebuah
proses yang demokratis, dan budaya daerah lainnya dilecehkan.
3)
Kekerasan Etnis
Kekerasan
etnis berupa pengusiran atau pembersihan
sebuah etnis karena
ada ketakutan menjadi bahaya atau
ancaman bagi kelompok tertentu. Suku tertentu dianggap tidak layak bahkan
mencemari wilayah tertentu dengan
berbagai alasan. Suku yang tidak disenangi harus hengkang dari tempat yang
sudah menjadi miliknya bertahun-tahun dan didiaminya secara turun-temurun.
4)
Kekerasan Keagamaan
Kekerasan
keagamaan terjadi ketika ada “fanatisme,
fundamentalisme, dan eksklusivisme” yang melihat agama lain sebagai musuh.
Kekerasan atas nama agama ini, umumnya, dipicu oleh pandangan agama yang sempit
atau absolut. Menganiaya atau membunuh penganut agama lain dianggap sebagai
sebuah tugas luhur. Kekerasan atas nama agama sering berpijak pada slogan:
“Allah harus dibela oleh manusia.”
5)
Kekerasan Gender
Kekerasan
gender adalah situasi di mana
hak-hak perempuan dilecehkan atau dihilangkan. Budaya patriarkhi dihayati
sebagai peluang untuk tidak
atau kurang memperhitungkan peranan perempuan. Kultur
pria atau budaya maskulin sangat dominan dan kebangkitan wanita dianggap aneh
dan mengada-ada. Perkosaan terhadap hak perempuan dilakukan secara terpola dan
sistematis.
6)
Kekerasan Politik
Kekerasan
politik adalah kekerasan yang
terjadi dengan paradigma “politik adalah panglima”. Demokratisasi adalah sebuah
proses seperti yang didiktekan oleh penguasa. Ada ekonomi, manajemen,
dan agama versi penguasa. Karena politik adalah panglima, maka paradigma
politik harus diamankan lewat pendekatan keamanan. Semua yang berbicara vokal
dan kritis harus dibungkam dengan segala cara termasuk dengan cara isolasi atau
penjara. Tidak ada partai oposisi dan kalau ada partai itu tidak lebih hanya
sebagai boneka. Dalam konteks ini, “single
majority” adalah sesuatu yang sangat ideal. Indoktrinasi adalah sarana
ampuh yang harus dilestarikan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sistem
monopartai adalah kehendak Tuhan.
7)
Kekerasan Militer
Kekerasan
militer berdampingan dengan
kekerasan politik. Kekerasan
terjadi karena ada militerisasi semua bidang kehidupan masyarakat. Cara
pandang dan tata nilai militer merasuk sistem sosial masyarakat. Dalam jenis
kekerasan ini terjadi banyak sekali hal-hal seperti: pembredelan pers,
larangan berkumpul, dan pendekatan
keamanan (security approach) sering
diterapkan.
8)
Kekerasan Terhadap Anak-Anak
Anak-anak di bawah umur dipaksa bekerja dengan jaminan yang sangat rendah sebagai pekerja murah. Prostitusi anak-anak tidak ditanggapi aneh
karena dilihat sebagai sumber nafkah bagi keluarga. Dalam pendidikan, misalnya,
masih merajalela ideologi-ideologi pendidikan yang fanatik. Konservatisme
pendidikan dan fundamentalisme
pendidikan tidak dicermati
dan tidak dihindari sehingga anak tumbuh dan berkembang secara
tidak sehat.
9)
Kekerasan Ekonomi
Kekerasan
ekonomi paling nyata ketika
masyarakat yang sudah tidak berdaya secara ekonomis diperlakukan secara tidak
manusiawi. Ekonomi pasar bebas, dan bukannya pasar adil, telah membawa
kesengsaraan bagi rakyat miskin.
10)Kekerasan Lingkungan Hidup
Sebuah
sikap dan tindakan yang melihat dunia dengan sebuah tafsiran eksploitatif. Bumi manusia tidak
dilihat lagi secara akrab dan demi kehidupan manusia itu sendiri.
d.
Resolusi
konflik.
Lebih mudah
untuk menawarkan resolusi konflik jika terlebih dahulu kita mengetahui jenis
kekerasan apa yang terjadi , Kekerasan langsung, tidak langsung atau kekerasan
budaya.
·
Jika jenis kekerasan yang terjadi adalah kekerasan langsung maka
yang paling tepat adalah dengan menggunakan kakuatan diluar kedua belah pihak
yang berkonflik dan tentu harus lebih kuat.
·
Jika kekerasan yang terjadi adalah kekerasan tidak langsung
maka yang paling tepat di gunakan adalah memutuskan mata rantai yang
menyebabkan kekerasan struktural tersebut terus berlangsung. Caranya adalah
dengan memberikan pengetahuan kepada generasi selanjutnya bahwa kekerasan itu
harus di hentikan dan menyediakan mediator yang telah di setujui oleh kedua
belah pihak, serta menjalin, dan menjaga komunikasi yang baik dan seimbang.
Sehingga yang menjadi inti dari struktur itu adalah pengertian tentang nilai-nilai
positif yang akan berujung pada
berhentinya kekerasan struktural
tersebut yang mengarah pada
gerakan massif.
e.
Mengembangkan
Budaya Non-Violence dan Budaya Kasih.
Konflik dan
kekerasan yang sering terjadi karena adanya perbedaan kepentingan. Untuk
mengatasi konflik dan kekerasan, kita dapat mencoba usaha-usaha preventif dan usaha-usaha mengelola konflik
dan kekerasan, jika konflik dan kekerasan sudah terjadi.
1.
Usaha-usaha
Membangun Budaya Kasih sebelum Terjadi Konflik dan Kekerasan
Banyak
konflik dan kekerasan terjadi karena terdorong oleh kepentingan tertentu.
Fanatisme kelompok sering disebabkan oleh kekurangan pengetahuan dan merasa
diri terancam oleh kelompok lain. Untuk itu perlu diusahakan beberapa hal.
1)
Dialog dan komunikasi.
2)
Kerja sama atau
membentuk jaringan lintas
batas untuk memperjuangkan kepentingan umum.
2.
Usaha-usaha
Membangun Budaya Kasih Sesudah Terjadi Konflik dan Kekerasan
Usaha
untuk membangun budaya kasih sesudah terjadi konflik dan
kekerasan sering disebut “pengelolaan atau managemen konflik dan kekerasan”.
Ada tahapan langkah yang dapat dilakukan:
1) Langkah Pertama; konflik atau kekerasan perlu diceritakan kembali oleh yang menderita.
Kekerasan bukanlah sesuatu yang abstrak atau interpersolnal melainkan personal,
pribadi, maka perlu dikisahkan kembali.
2) Langkah Kedua; Mengakui kesalahan dan minta maaf serta penyesalan dari pihak atau
kelompok yang melakukan kekerasan atau menjadi penyebab konflik dan kekerasan.
Pengakuan ini harus dilakukan secara
publik dan terbuka, sebuah pengakuan
jujur tanpa mekanisme bela diri.
3) Langkah Ketiga; Pengampunan dari korban kepada yang melakukan kekerasan.
4) Langkah Keempat; Rekonsiliasi.
Mendalami Ajaran Kitab Suci
tentang Budaya Kasih
YESUS
DITANGKAP (Mat 26: 47-56)
47Waktu Yesus masih berbicara datanglah Yudas, salah seorang
dari kedua belas murid itu, dan bersama-sama dia serombongan besar orang yang
membawa pedang dan pentung, disuruh oleh imam-imam kepala dan tua-tua bangsa
Yahudi. 48Orang yang menyerahkan Dia telah memberitahukan tanda ini
kepada mereka: “Orang yang akan kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia”. 49Dan
segera ia maju mendapatkan Yesus dan berkata: “Salam Rabi”, lalu mencium Dia. 50Tetapi
Yesus berkata kepadanya: “Hai sahabat, untuk itulah engkau datang?” Maka
majulah mereka memegang Yesus dan menangkap-Nya. 51Tetapi seorang
dari mereka yang menyertai Yesus mengulurkan tangannya, menghunus pedangnya dan
menetakkannya kepada hamba Imam Besar sehingga putuslah telinganya. 52 Maka
kata Yesus kepadanya: “Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab
barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang. 53Atau kau
sangka, bahwa Aku tidak dapat berseru kepada Bapa-Ku, supaya Ia segera mengirim
lebih dari dua belas pasukan malaikat membantu Aku?
54Jika begitu, bagaimanakah akan digenapi yang tertulis
dalam Kitab Suci, yang mengatakan, bahwa harus terjadi demikian?” 55Pada
saat itu Yesus berkata kepada orang banyak: “Sangkamu Aku ini penyamun, maka
kamu datang lengkap dengan pedang dan
pentung untuk menangkap
Aku? Padahal tiap-tiap hari Aku
duduk mengajar di Bait Allah, dan kamu tidak menangkap Aku. 56Akan
tetapi semua ini terjadi supaya genap yang ada tertulis dalam kitab nabi-nabi”.
Lalu semua murid itu meninggalkan Dia dan melarikan diri.
Penjelasan
1. Yesus
bukan saja mengajak kita untuk tidak menggunakan kekerasan menghadapi musuh-musuh, tetapi juga untuk mencintai musuh-musuh dengan tulus. Yesus
mengajak kita untuk mengembangkan
budaya kasih dengan mencintai sesama, bahkan mencintai musuh (lih. Luk 6: 27-36).
2. Pesan
Yesus untuk kita memang sangat radikal dan bertolak belakang dengan kebiasaan,
kebudayaan, dan keyakinan gigi ganti gigi yang kini sedang berlaku. Kasih yang berdimensi keagamaan
sungguh melampaui kasih manusiawi. Kasih Kristiani tidak terbatas pada lingkungan keluarga
karena hubungan darah; tidak terbatas pada lingkungan kekerabatan atau suku;
tidak terbatas pada lingkungan daerah atau idiologi atau agama. Kasih Kristiani
menjangkau semua orang, bahkan termasuk kepada musuh-musuh kita.
3. Dasar kasih Kristiani adalah
keyakinan dan kepercayaan bahwa semua orang adalah putra dan putri Bapa kita
yang sama di surga. Dengan menghayati cinta yang demikian, kita meniru
cinta Bapa di Surga, yang memberi terang matahari dan curah hujan kepada semua
orang (orang baik maupun orang jahat).
4. Mengembangkan budaya kasih untuk
melawan budaya kekerasan memang tidak mudah. Dalam kehidupan
sehari-hari, kita merasa betapa sulitnya untuk berbuat baik dan mencintai orang
yang membuat kita sakit hati.
5. Apabila kita memiliki kebenaran
maka kebenaran itu akan memerdekakan kita untuk berbuat kasih kepada sesama
(bdk. Yoh 8:32)
6. Apabila kita sungguh hidup dalam
Kristus maka kita akan menjadi pembawa damai dan hidup tanpa memperhitungkan
kesalahan atau pelanggaran yang dibuat orang lain. Iman dalam Kristus
Yesus menjadikan kita juru damai dalam setiap perselisihan (bdk. 2 Kor 5:17-19)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar