Cari Blog Ini

Senin, 08 Februari 2021

BUDAYA KEKERASAN VERSUS BUDAYA KASIH

BUDAYA KEKERASAN VERSUS  BUDAYA KASIH

Sejak  zaman dahulu, masyarakat Indonesia terkenal sebagai masyarakat yang ramah. Syair lagu “Nusantaraku” ciptaan A. Riyanto menggambarkannya sebagai berikut:

 

“tak ada negeri seindah persada nusantara

Terkenal manis budi bahasa dan lemah lembut perangainya

Mereka saling mengenal dan saling menghargai hak asasi... ”

 

Namun, gambaran manusia Indonesia dalam syair lagu tersebut  kini harus dikoreksi kembali. Betapa tidak, kini manusia Indonesia mudah terpicu untuk bertikai dan bahkan tidak segan-segan menggunakan kekerasan berdarah. Di media massa, tiada hari tanpa berita tentang kekerasan di negeri ini. Masalah-masalah yang sepele saja dapat  memicu  kekerasan yang besar antar-kampung,  antar-kampus,  antar-sekolah, antar-etnis,  suku, dan agama.

 

Fenomena kekerasan di Indonesia kini menjadi budaya, yaitu budaya kekerasan. Menurut Prof. Dawam Raharjo, istilah “budaya kekerasan” adalah sebuah contradictio in terminis (pertentangan dalam istilah). Agaknya istilah itu semula berasal dari ucapan menyindir bahwa “kekerasan telah membudaya”. Maksudnya adalah bahwa kekerasan telah menjadi perilaku umum. Frekuensi pemberitaannya di media massa mempertegas bahwa gejolaknya sangat nampak dalam masyarakat. Tindak kekerasan yang umum terjadi bisa dilakukan secara individual maupun secara kolektif atau bersama-sama. Kekerasan yang dilakukan secara kolektif lebih berbahaya dibandingkan kekerasan yang dilakukan secara individual. Karena selain jumlah pelakunya lebih banyak, juga karena efek yang ditimbulkan lebih destruktif.

 

Dilihat dari segi dimensi maka tampak kekerasan fisik dan psikologis. Sementara dari segi rupa-rupa wajah: ada kekerasan sosial, kekerasan kultural, kekerasan etnis, kekerasan gender. Ada beberapa penyebab kekerasan,yaitu:

·     Analisis “teori konflik” menemukan alasan kekerasan berbagai bentuk “perbedaan kepentingan”   kelompok-kelompok masyarakat sehingga kelompok yang satu ingin menguasai bahkan mencaplok kelompok lain.

·     Analisis “fungsionalisme struktural” berpendapat bahwa hampir semua kerusuhan berdarah di Indonesia disebabkan oleh disfungsi sejumlah institusi sosial, terutama lembaga politik yang menunjang integritas Indonesia sebagai satu bangsa.

 

Budaya Kekerasan dan Konflik di Tanah Air

a.       Pengertian kekerasan kultural

Kekerasan budaya yakni nilai-nilai budaya yang di gunakan untuk membenarkan dan  mengesahkan  penggunaan kekerasan langsung atau tidak langsung. Wujud dari kekerasan tersebut adalah pidato para pemimpin, dalil-dalil dalam agama, dan beragam poster yang membangkitkan dorongan untuk menjalankan kekerasan sehingga kekerasan ini menjadi sah secara budaya dan mendapatkan legitimasi.

 

Kekerasan dan konflik memiliki hubungan yang sangat erat karena kekerasan adalah merupakan aktualisasi daripada konflik. Konflik itu sendiri menempatkan dirinya pada alam bawah sadar manusia atau di otak kita. Jadi kekerasan itu berangkat terlebih dahulu dari konflik yang tersimpan dalam memori kita kemudian berujung pada terjadinya benturan fisik atau psikis.

 

Masyarakat Indonesia sangat majemuk secara budaya, etnis dan agama. Kemajemukan ini, apabila tidak dikelola dengan baik dan benar, dapat menimbulkan konflik dan kekerasan. Kekerasan yang sering terjadi di negeri kita menunjukkan rupa-rupa dimensi dan rupa-rupa wajah.

 

b.      Rupa-rupa dimensi kekerasan

1)    Kekerasan langsung

Kekerasan langsung adalah kekerasan yang dilakukan oleh satu atau sekelompok orang pada pihak lain dengan menggunakan alat kekerasan. Seringkali lebih bersifat fisik dan secara langsung, jelas siapa subjek, siapa objek, siapa korban, dan siapa pelakunya. Seperti contoh penganiayaan, pembunuhan, dan lain-lain. Jadi identifikasi paling mendasar tentang  kekerasan langsung adalah dengan adanya korban luka maupun meninggal.

2)    Kekerasan tidak langsung

Kekerasan tidak langsung adalah kebalikan dari kekerasan langsung, di mana lebih bersifat psikis. Contohnya, kasus gizi buruk. Keadaan itu bukan akibat ulah kekerasan yang dilakukan secara langsung tetapi lebih kepada akibat tatanan sistem politik, sosial-budaya, dan ekonomi yang tidak adil atau tidak seimbang dalam menjalankan perannya. Contoh lain dari kekerasa tidak langsung adalah pembalasan dendam, pengasingan, blokade, dan diskriminasi.

 

c.        Wajah-wajah kekerasan

Dimensi kekerasan di atas ini dapat kita lihat dalam bentuk-bentuk kekerasan yang akhir-akhir ini hadir dalam skala frekuensi yang makin meningkat di Indonesia.

1)    Kekerasan Sosial

Kekerasan sosial adalah situasi diskriminatif yang mengucilkan sekelompok orang agar tanah atau harta milik mereka dapat dijarah dengan alasan “pembangunan negara”. Payung pembangunan seperti sebuah tujuan yang boleh menghalalkan segala cara. Ada sekelompok orang atau wilayah tertentu yang sepertinya tanpa henti mengusung “stigma” dari penguasa. Stigmatisasi yang biasanya berlanjut dengan “marginalisasi” dan berujung pada “viktimasi”. Mereka yang mengusung “stigma” tertentu sepertinya layak ditertibkan, disingkirkan, diperlakukan tidak manusiawi, atau dibunuh.

2)    Kekerasan Kultural

Kekerasan kultural terjadi ketika ada pelecehan, penghancuran nilai-nilai budaya minoritas demi hegemoni penguasa. Kekerasan kultural sangat mengandaikan “stereotype” dan  “prasangka-prasangka kultural”. Dalam konteks ini, keseragaman dipaksakan,  perbedaan  harus  dimusuhi,  bahkan dilihat  sebagai momok yang menakutkan. Apa yang menjadi milik kebudayaan daerah tertentu dijadikan budaya nasional tanpa sebuah proses yang demokratis, dan budaya daerah lainnya dilecehkan.

3)    Kekerasan Etnis

Kekerasan etnis  berupa  pengusiran  atau  pembersihan  sebuah  etnis  karena  ada ketakutan  menjadi  bahaya atau  ancaman  bagi kelompok tertentu.  Suku tertentu dianggap tidak layak bahkan mencemari wilayah tertentu  dengan berbagai alasan. Suku yang tidak disenangi harus hengkang dari tempat yang sudah menjadi miliknya bertahun-tahun dan didiaminya secara turun-temurun.

4)    Kekerasan Keagamaan

Kekerasan keagamaan terjadi ketika ada “fanatisme, fundamentalisme, dan eksklusivisme” yang melihat agama lain sebagai musuh. Kekerasan atas nama agama ini, umumnya, dipicu oleh pandangan agama yang sempit atau absolut. Menganiaya atau membunuh penganut agama lain dianggap sebagai sebuah tugas luhur. Kekerasan atas nama agama sering berpijak pada slogan: “Allah harus dibela oleh manusia.”

5)    Kekerasan Gender

Kekerasan gender adalah situasi di mana hak-hak perempuan dilecehkan atau dihilangkan. Budaya patriarkhi  dihayati  sebagai peluang  untuk  tidak  atau  kurang  memperhitungkan peranan perempuan. Kultur pria atau budaya maskulin sangat dominan dan kebangkitan wanita dianggap aneh dan mengada-ada. Perkosaan terhadap hak perempuan dilakukan secara terpola dan sistematis.

6)    Kekerasan Politik

Kekerasan politik adalah kekerasan yang terjadi dengan paradigma “politik adalah panglima”. Demokratisasi adalah sebuah proses seperti yang didiktekan oleh penguasa. Ada ekonomi, manajemen, dan agama versi penguasa. Karena politik adalah panglima, maka paradigma politik harus diamankan lewat pendekatan keamanan. Semua yang berbicara vokal dan kritis harus dibungkam dengan segala cara termasuk dengan cara isolasi atau penjara. Tidak ada partai oposisi dan kalau ada partai itu tidak lebih hanya sebagai boneka. Dalam konteks ini, “single majority” adalah sesuatu yang sangat ideal. Indoktrinasi adalah sarana ampuh yang harus dilestarikan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sistem monopartai adalah kehendak Tuhan.

7)    Kekerasan  Militer

Kekerasan militer  berdampingan  dengan  kekerasan politik. Kekerasan terjadi karena ada militerisasi semua bidang kehidupan masyarakat. Cara pandang dan tata nilai militer merasuk sistem sosial masyarakat. Dalam jenis kekerasan ini terjadi banyak sekali hal-hal seperti: pembredelan pers, larangan  berkumpul,  dan  pendekatan keamanan (security approach) sering diterapkan.

8)    Kekerasan Terhadap Anak-Anak

Anak-anak di bawah umur  dipaksa bekerja dengan jaminan  yang sangat rendah sebagai pekerja murah.  Prostitusi anak-anak tidak ditanggapi aneh karena dilihat sebagai sumber nafkah bagi keluarga. Dalam pendidikan, misalnya, masih merajalela ideologi-ideologi pendidikan yang fanatik. Konservatisme pendidikan dan fundamentalisme  pendidikan  tidak dicermati dan  tidak dihindari  sehingga anak tumbuh dan berkembang secara tidak sehat.

9)    Kekerasan Ekonomi

Kekerasan ekonomi paling nyata ketika masyarakat yang sudah tidak berdaya secara ekonomis diperlakukan secara tidak manusiawi. Ekonomi pasar bebas, dan bukannya pasar adil, telah membawa kesengsaraan bagi rakyat miskin.

10)Kekerasan Lingkungan Hidup

Sebuah sikap dan tindakan yang melihat dunia dengan sebuah tafsiran eksploitatif. Bumi manusia tidak dilihat lagi secara akrab dan demi kehidupan manusia itu sendiri.

 

d.      Resolusi konflik.

Lebih mudah untuk menawarkan resolusi konflik jika terlebih dahulu kita mengetahui jenis kekerasan apa yang terjadi , Kekerasan langsung, tidak langsung atau kekerasan budaya.

·     Jika jenis kekerasan yang terjadi adalah kekerasan langsung maka yang paling tepat adalah dengan menggunakan kakuatan diluar kedua belah pihak yang berkonflik dan tentu harus lebih kuat.

·     Jika kekerasan yang terjadi adalah kekerasan tidak langsung maka yang paling tepat di gunakan adalah memutuskan mata rantai yang menyebabkan kekerasan struktural tersebut terus berlangsung. Caranya adalah dengan memberikan pengetahuan kepada generasi selanjutnya bahwa kekerasan itu harus di hentikan dan menyediakan mediator yang telah di setujui oleh kedua belah pihak, serta menjalin, dan menjaga komunikasi yang baik dan seimbang. Sehingga yang menjadi inti dari struktur itu adalah pengertian tentang nilai-nilai positif yang akan berujung  pada berhentinya kekerasan struktural  tersebut  yang mengarah pada gerakan massif.

e.       Mengembangkan Budaya Non-Violence dan Budaya Kasih.

Konflik dan kekerasan yang sering terjadi karena adanya perbedaan kepentingan. Untuk mengatasi konflik dan kekerasan, kita dapat mencoba usaha-usaha preventif dan usaha-usaha mengelola konflik dan kekerasan, jika konflik dan kekerasan sudah terjadi.

1.    Usaha-usaha Membangun Budaya Kasih sebelum Terjadi Konflik dan Kekerasan

Banyak konflik dan kekerasan terjadi karena terdorong oleh kepentingan tertentu. Fanatisme kelompok sering disebabkan oleh kekurangan pengetahuan dan merasa diri terancam oleh kelompok lain. Untuk itu perlu diusahakan beberapa hal.

1)    Dialog dan komunikasi.

2)    Kerja  sama  atau  membentuk   jaringan  lintas  batas  untuk  memperjuangkan kepentingan umum.

2.    Usaha-usaha Membangun Budaya Kasih Sesudah Terjadi Konflik dan Kekerasan

Usaha untuk  membangun  budaya kasih sesudah terjadi konflik dan kekerasan sering disebut “pengelolaan atau managemen konflik dan kekerasan”. Ada tahapan langkah yang dapat dilakukan:

1)    Langkah Pertama; konflik atau kekerasan perlu diceritakan kembali oleh yang menderita. Kekerasan bukanlah sesuatu yang abstrak atau interpersolnal melainkan personal, pribadi, maka perlu dikisahkan kembali.

2)    Langkah Kedua; Mengakui kesalahan dan minta maaf serta penyesalan dari pihak atau kelompok yang melakukan kekerasan atau menjadi penyebab konflik dan kekerasan. Pengakuan ini harus  dilakukan secara publik dan  terbuka, sebuah pengakuan jujur tanpa mekanisme bela diri.

3)    Langkah Ketiga; Pengampunan dari korban kepada yang melakukan kekerasan.

4)    Langkah Keempat; Rekonsiliasi.

 

Mendalami Ajaran Kitab Suci tentang Budaya Kasih

YESUS DITANGKAP (Mat 26: 47-56)

47Waktu Yesus masih berbicara datanglah Yudas, salah seorang dari kedua belas murid itu, dan bersama-sama dia serombongan besar orang yang membawa pedang dan pentung, disuruh oleh imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi. 48Orang yang menyerahkan Dia telah memberitahukan tanda ini kepada mereka: “Orang yang akan kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia”. 49Dan segera ia maju mendapatkan Yesus dan berkata: “Salam Rabi”, lalu mencium Dia. 50Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Hai sahabat, untuk itulah engkau datang?” Maka majulah mereka memegang Yesus dan menangkap-Nya. 51Tetapi seorang dari mereka yang menyertai Yesus mengulurkan tangannya, menghunus pedangnya dan menetakkannya kepada hamba Imam Besar sehingga putuslah telinganya. 52 Maka kata Yesus kepadanya: “Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang. 53Atau kau sangka, bahwa Aku tidak dapat berseru kepada Bapa-Ku, supaya Ia segera mengirim lebih dari dua belas pasukan malaikat membantu Aku?

54Jika begitu, bagaimanakah akan digenapi yang tertulis dalam Kitab Suci, yang mengatakan, bahwa harus terjadi demikian?” 55Pada saat itu Yesus berkata kepada orang banyak: “Sangkamu Aku ini penyamun, maka kamu datang lengkap dengan pedang dan  pentung  untuk  menangkap  Aku? Padahal tiap-tiap  hari Aku duduk mengajar di Bait Allah, dan kamu tidak menangkap Aku. 56Akan tetapi semua ini terjadi supaya genap yang ada tertulis dalam kitab nabi-nabi”. Lalu semua murid itu meninggalkan Dia dan melarikan diri.

 

Penjelasan

1.       Yesus bukan saja mengajak kita untuk tidak menggunakan kekerasan menghadapi musuh-musuh,  tetapi juga untuk mencintai musuh-musuh dengan tulus. Yesus mengajak kita untuk mengembangkan budaya kasih dengan mencintai sesama, bahkan mencintai musuh (lih. Luk 6: 27-36).

2.       Pesan Yesus untuk kita memang sangat radikal dan bertolak belakang dengan kebiasaan, kebudayaan, dan keyakinan gigi ganti gigi yang kini sedang berlaku. Kasih yang berdimensi keagamaan sungguh melampaui kasih manusiawi. Kasih Kristiani tidak terbatas pada lingkungan keluarga karena hubungan darah; tidak terbatas pada lingkungan kekerabatan atau suku; tidak terbatas pada lingkungan daerah atau idiologi atau agama. Kasih Kristiani menjangkau semua orang, bahkan termasuk kepada musuh-musuh kita.

3.       Dasar kasih Kristiani adalah keyakinan dan kepercayaan bahwa semua orang adalah putra dan putri Bapa kita yang sama di surga. Dengan menghayati cinta yang demikian, kita meniru cinta Bapa di Surga, yang memberi terang matahari dan curah hujan kepada semua orang (orang baik maupun orang jahat).

4.       Mengembangkan budaya kasih untuk melawan budaya kekerasan memang tidak mudah. Dalam kehidupan sehari-hari, kita merasa betapa sulitnya untuk berbuat baik dan mencintai orang yang membuat kita sakit hati.

5.       Apabila kita memiliki kebenaran maka kebenaran itu akan memerdekakan kita untuk berbuat kasih kepada sesama (bdk. Yoh 8:32)

6.       Apabila kita sungguh hidup dalam Kristus maka kita akan menjadi pembawa damai dan hidup tanpa memperhitungkan kesalahan atau pelanggaran yang dibuat orang lain. Iman dalam Kristus Yesus menjadikan kita juru damai dalam setiap perselisihan (bdk. 2 Kor 5:17-19)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar