Cari Blog Ini

Selasa, 16 Februari 2021

SENGSARA DAN WAFAT YESUS

SENGSARA DAN WAFAT YESUS

 

Kematian merupakan peristiwa yang amat sangat biasa. Apapun yang hidup pasti suatu saat akan mati. Kematian seolah menjadi titik akhir dari kehidupan manusia, setelah itu ia lenyap bagai ditelan bumi. Tetapi, iman Kristiani justru menegaskan, bahwa seharusnya kematian dihayati sebagai pintu masuk pada kehidupan baru, kehidupan kekal bersama dengan Allah. Maka persoalannya adalah: bagaimana manusia mempersiapkan dan menghayati kematian?

 

Sengsara dan kebangkitan Yesus bagi orang Katolik merupakan dasar iman. Untuk lebih memahaminya, akan diuraikan mengenai:

·       Alasan Yesus dijatuhi hukuman mati.

·       Kisah sengsara dan wafat Yesus.

·       Makna sengsara dan wafat Yesus.

Bertolak dari itu semua, kita memaknai  peristiwa sengsara dan wafat Yesus itu dalam kehidupan sehari-hari.

 

Wafat Yesus adalah kenyataan historis. Kisah sengsara yang kita miliki sekarang, sebagaimana termuat di dalam keempat Injil, sesungguhnya tidak pertama-tama menyampaikan fakta apa yang sesungguhnya terjadi dan bagaimana kronologinya, melainkan merupakan suatu pewartaan tentang makna kisah sengsara Yesus bagi jemaat. Namun, pewartaan itu jelas dilandasi oleh kenyataan historis bahwa Yesus benar-benar menderita sengsara dan wafat di kayu salib. Untuk itu, para kita perlu melihat akta sejarah, latar belakang, dan sebab-musabab Yesus dijatuhi hukuman mati.

Selain itu, kita perlu pula membahas kisah sengsara dan wafat Yesus menurut Injil. Di sini tidak akan mambahas kisah sengsara dan wafat Yesus menurut keempat Injil, tetapi hanya membahas menurut  Injil Lukas saja. Sebab, kisah sengsara dalam Injil Lukas memperlihatkan segi kemanusiaan Yesus. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan jika ada keinginan untuk menyoroti kisah sengsara dari Injil lain atau keempat-empatnya.

 

Sengsara dan wafat Yesus merupakan tanda terbesar kasih Allah kepada manusia: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia  ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan memperoleh hidup yang kekal” (Yohanes 3: 16). Allah Bapa menyerahkan Putera-Nya untuk  menderita dan wafat demi keselamatan manusia.

 

Sengsara dan  wafat  Yesus juga  merupakan  tanda  agung  dari  Kerajaan Allah. Yesus telah mewartakan Kerajaan Allah melalui kata-kata dan perbuatan. Yesus menyadari  bahwa kesaksian yang paling kuat  dalam mewartakan dan memperjuangkan Kerajaan Allah ialah kesediaan-Nya untuk mati demi Kerajaan Allah yang diperjuangkan-Nya. Maka, Yesus berani menghadapi risiko ini dengan penuh kesadaran dan tanpa takut. Yesus yakin dengan sikap-Nya yang konsekuen dan berani menghadapi maut akan memberanikan pula semua murid-Nya dan pengikut-pengikut-Nya untuk mewartakan dan memperjuangkan Kerajaan Allah walaupun harus mempertaruhkan nyawanya.

 

Menyimak kisah Santo Maximillian Kolbe yang berkorban bagi sesamanya:

 

Santo Maximilian Kolbe, Martir

Maximilian  Kolbe lahir di Zdunska-Wola,  dekat Lodz Polandia pada tanggal 7 Januari 1894. Ia kemudian dipermandikan dengan nama Raymond. Setelah dewasa, ia masuk biara Fransiskan dan mengambil nama Maximilianus. Kaul kebiaraannya yang pertama diucapkannya pada tahun  1911. Sebagai seorang biarawan Fransiskan, Maximilian dikenal sebagai seorang yang saleh. Pada tahun 1917, ia mendirikan Militia Maria Immaculata di Roma untuk memajukan kebaktian kepada Bunda Maria yang dikandung tanpa noda. Pada tahun 1918, Maximilian ditahbiskan menjadi imam dan kemudian kembali ke Polandia untuk berkarya disana. Di Polandia, ia menyebarkan berbagai tulisan tentang Bunda Maria dalam buletin ‘Militia Maria Immaculata’. Selain itu ia mendirikan biara di Niepokalanov pada tahun 1927 untuk memberi tempat pada 800 biarawan. Biara yang sama didirikannya di Jepang dan India. Di kemudian hari, ia menjadi superior sendiri. Itulah sekilas kebesaran dan karya Maximilian.

Tuhan  mencobai Maximilian  yang saleh dan setia ini melebihi orang- orang lain. Kiranya benar juga bahwa semakin kuat dan besar iman seseorang, semakin berat juga cobaan yang harus dialami, demi memurnikan imannya dan mempertinggi kesuciannya. Pada tahun 1939 Gespato, Jerman yang keji itu  memasuki  wilayah Polandia. Diktator Jerman itu  yakin  bahwa untuk mematahkan semangat orang Polandia perlulah menahan, memenjarakan dan membunuh  para pemimpinnya, baik pololik, maupun keagamaan dan para ahlinya. Lebih-lebih pers Polandia harus dihancurkan.

Maximilian  Kolbe dikenal sebagai seorang penulis dan editor majalah. Maka ia ditangkap oleh Gestapo dan diasingkan ke Lamsdorf, Jerman  dan dimasukkan ke dalam kamp konsentrasi Amstitz. Pernah ia dilepaskan, tetapi kemudian  ditangkap lagi pada tahun  1941, dan  dipenjarakan di Pawiak, lalu dipindahkan  ke kamp  konsentrasi Auscwitz. Di kamp  konsentrasi ini, Maximilian dengan diam-diam menjalankan tugasnya sebagai imam bagi para tahanan yang ada disana. Dengan kondisi tubuh yang kurus kering, Maximilian turut serta dalam kerja paksa. TBC yang dideritanya semakin parah karena kerja paksa itu.

Pada suatu hari seorang sersan bernama Gajowniczek dijatuhi hukuman mati.  Karena sangat takut,  ia  berteriak-teriak menyebut  anak-anak  dan istrinya. Mendengar teriakan  sersan itu,  Maximilian  Kolbe maju  dengan tegap untuk  meminta  menggantikan sersan malang itu.  “Daripada sersan yang beranak-istri ini mati, lebih baiklah saya yang mati. Karena toh saya tidak beranak-istri”, kata Maximilian. Bersama dengan para sandera lainnya, Maximilian tidak diberi makan dan minum. Namun ia bisa bertahan sebagai korban terakhir, dan baru mati setelah disuntik dengan carbolic acid.

Sumber: www.imankatolik.or.id/kalender/14Agu.html

 

Berdasarkan kisah tersebut, mari kita merenungkan beberapa hal berikut:

·     Kecenderungan manusia zaman sekarang adalah berupaya menyelamatkan dan membahagiakan diri sendiri atau keluarga dari pada berkorban demi orang lain. Bahkan ada orang tertentu  demi menjaga keselamatan dan kebahagiaan diri dan keluarganya, mereka membangun dinasti kekuasaan, yang meliputi seluruh bidang kehidupan. Maka orang-orang seperti Maximilian Kolbe, bagi sebagian orang zaman sekarang bagaikan cerita yang aneh. Bagaimana mungkin demi menyelamatkan orang lain seseorang harus kehilangan nyawanya?

·     Tetapi sesungguhnya dalam kadar yang berbeda, pengorbanan seseorang demi  orang  lain yang dikasihinya merupakan  tindakan  yang terjadi sampai sekarang ini. Contoh konkret kita alami sendiri dalam keluarga. Hampir  semua orang tua seringkali mengutamakan  kebahagiaan dan kesejahteraan anak-anaknya dari pada memikirkan kesenangannya sendiri. Mereka bahkan rela melupakan impiannya, harapan-harapannya, bahkan  nyawanya  semata-mata  demi  kebahagiaan  anak-anak  yang dikasihinya.

·     Sebagai orang Katolik, kita beruntung memiliki tokoh yang lebih hebat lagi dalam berkorban demi kebahagiaan orang lain. Tokoh itu adalah Yesus Kristus. Ia rela menanggung sengsara hingga wafat semata-mata demi kesetiaanNya kepada Allah dan demi kecintaannya kepada manusia.

 

Konteks Sengsara dan wafat Yesus, orang-orang yang terlibat dalam Penyaliban Yesus, dan Kisah Sengsara Yesus

1)      Konteks Sosial Menjelang Penangkapan,  Pengadilan, dan  Penyaliban Yesus

a)      Konteks Perayaan Paskah

Sengsara dan wafat Yesus terjadi menjelang Perayaan Paskah Yahudi. Paskah Yahudi adalah perayaan untuk memperingati peristiwa pembebasan bangsa Israel dari perbudakan bangsa Mesir. Mereka menghayati peristiwa tersebut sebagai wujud keterlibatan Allah yang menyelamatkan. Perayaan ini berlangsung selama tujuh hari dan menjadi pekan roti tak beragi. Pada saat Perayaan Paskah itu, seluruh rakyat dari berbagai pelosok berziarah ke Yerusalem.

Menjelang perayaan  Paskah  Yahudi tersebut,  Yesus dan  murid-murid-Nya juga pergi ke  Yerusalem. Ketika Yesus memasuki  kota Yerusalem, Yesus disambut  sebagai Raja, malamnya  Ia  mengadakan perjamuan  perpisahan bersama  para murid-Nya. Selesai perjamuan malam, Yesus berdoa di Taman Getsemani. Di situlah Yesus ditangkap dan diadili. Keesokan harinya Ia disalibkan.

b)      Pemberontakan terhadap Pemerintah Roma

Pada zaman Yesus, situasi Palestina tidaklah tenteram. Selalu ada usaha-usaha untuk melawan pemerintah Romawi, seperti yang dilakukan orang-orang Zelot. Hal ini menyebabkan tentara  Romawi selalu siap siaga mengantisipasi kejadian serupa, terutama  saat Perayaan Paskah. Dan untuk  menyenangkan  orang-orang  Yahudi, pemerintah  Romawi mempunyai kebiasaan membebaskan tawanan pada hari Paskah.

Kondisi semacam itu  dimanfaatkan  para  pemuka  agama Yahudi untuk  menghukum  Yesus. Mereka yang selama ini merasa terancam dengan pewartaan Yesus, menyampaikan isu  kepada pemerintah Romawi bahwa Yesus dan pengikutnya sebagai kelompok yang akan melakukan pemberontakan. Isu tersebut ditanggapi dengan menangkap Yesus ketika sedang berdoa di Taman Getsemani dan menghadapkan Yesus kepada Ponsius Pilatus, Herodes, dan  Kayafas. Walaupun tidak ditemukan kesalahan apapun, dan demi menjaga ketenteraman, akhirnya mereka menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus. Dan mereka pun membebaskan Barabas ( bandingkan Markus 15: 7)

c)       Munculnya Mesias-Mesias Palsu

Pada zaman Yesus, selain berkembang berbagai paham Kerajaan Allah, muncul  pula orang-orang  yang mengaku  diri  sebagai Mesias, antara lain Yudas dari Galilea dan Simon dari Bar Kokhba. Kepada para murid-Nya, Yesus pernah mengingatkan agar berkati-hati. “Waspadalah supaya jangan ada orang yang menyesatkan kamu! Sebab banyak orang akan datang dengan memakai nama-Ku dan berkata: Akulah Mesias, dan mereka akan menyesatkan banyak orang” (Matius 24:4-5).

Kehadiran mereka memunculkan kekhawatiran pemerintah Roma. Sebab, biasanya kemunculan seorang mesias (terutama yang bersifat politis) akan disusul adanya pemberontakan. Rupanya pemerintah Romawi mengenal Yesus, dan  mereka  tidak  menaruh  kekhawatiran yang besar terhadap Yesus dibandingkan dengan mesias lainnya. Hal itu terbukti dalam proses pengadilan, mereka tidak menemukan kesalahan Yesus sedikitpun dan berusaha membebaskan Yesus. Pilatus mengetahui bahwa tindakan Yesus berkaitan dengan hidup keagamaan dan bukan politis.

Namun, orang Yahudi tidak mau mengambil risiko dengan Yesus itu. Yesus pernah membuat kehebohan di Bait Allah. Kalau terjadi lagi, pasukan Romawi dapat menyerbu Bait Allah. Padahal, banyak penduduk Yerusalem menggantungkan hidupnya pada Bait Allah. Bait Allah sebagai tempat ziarah merupakan sumber nafkah bagi mereka. Maka lebih baik mereka memilih Barabas untuk dibebaskan.

 

2)      Mereka yang Berperan dalam Peristiwa Pengadilan dan Penyaliban Yesus

a)      Para Pemuka Agama Yahudi: Para Imam dan Ahli Taurat

Ajaran  dan  tindakan  Yesus dianggap  oleh  para  pemuka  agama Yahudi sebagai ancaman  bagi kewibawaan mereka,  yang selama ini dianggap sebagai kelompok yang terpercaya dalam menjaga kemurnian agama Yahudi saat itu. Apalagi, menurut mereka Yesus tidak mempunyai legalitas yang memadai untuk  melakukan hal tersebut, berhubung,  ia hanyalah seseorang yang berasal dari wilayah yang udik dan dari keluarga miskin, anak seorang tukang kayu (Markus 6:3), berasal dari Galilea, desa yang tidak punya tradisi kenabian (Yohanes 7:52). Maka tindakan Yesus dipandang sebagai bentuk hujatan terhadap Allah, yang pada akhirnya dapat membahayakan bangsa Yahudi sendiri.

Beberapa tindakan Yesus yang dianggap melanggar aturan  agama Yahudi

·     Yesus bergaul dengan orang-orang yang dianggap najis dan sampah masyarakat: Ia  makan  dengan  pemungut  bea  cukai  dan  orang berdosa,  padahal  menurut   orang  Yahudi,  orang-orang   seperti mereka harus dijauhi, sebab bila kita bergaul dengan mereka kita ikut najis

      Yesus dianggap melanggar hukum Taurat: Yesus menyatakan semua  makanan halal; Ia menyembuhkan pada hari Sabat; Ia tidak berpuasa.

      Yesus dianggap melanggar  adat  saleh:  Yesus berbicara  dengan perempuan  kafir; Ia membela wanita pezinah; Ia makan  dengan tangan najis.

      Yesus dianggap mencampuri urusan para pemuka  agama: Yesus mengusir para pedagang di Bait Allah, padahal Dia dianggap tidak mempunyai hak apa-apa terhadap urusan Bait Allah.

b)      Para Pejabat Pemerintahan Yang berkuasa

Pada  zaman  Yesus,  sekalipun  ada  beberapa  pejabat  setempat yang diberi kuasa dan kedudukan, tetapi secara umum  pemerintahan dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah  penjajah Romawi. Mereka terlibat dalam peristiwa sengsara dan wafat Yesus, sebab demi menjaga kuasa dan kedudukannya, mereka membiarkan Yesus yang tak bersalah dihukum mati.

 

3)      Kisah Sengsara dan Wafat Yesus

Kisah Sengsara dan wafat Yesus dapat kita temukan dalam keempat Injil. Mereka, yaitu Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes masing-masing dengan caranya sendiri menampilkan kisah sengsara dan wafat Yesus. Masing-masing menampilkan secara berbeda sesuai dengan latar belakang mereka dan jemaat yang dituju. Walaupun demikian banyak unsur yang sama yang ditampilkan.  Kisah sengsara yang termuat di dalam empat lnjil sesungguhnya tidak pertama-tama dimaksudkan sebagai laporan pandangan mata tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kisah sengsara yang dituliskan  di dalam keempat Injil itu  pertama-tama hendak mewartakan makna sengsara dan wafat Yesus bagi jemaat beriman. Namun pewartaan itu jelas dilandasi oleh kenyataan historis, yaitu bahwa Yesus sungguh-sungguh menderita sengsara dan wafat di kayu salib.

Dalam uraian berikut, kita akan menyimak Kisah sengsara dan wafat Yesus yang disampaikan oleh penulis Injil Lukas, yang adalah murid Yesus. Secara garis besar, Lukas mengisahkan kisah sengsara Yesus dalam empat adegan:

a)      Yesus ditangkap di Taman Getsemani (Lukas 22:39-53)

Lukas memulai kisahnya dengan menceritakan Yesus yang pergi ke Bukit Zaitun atau Taman Getsemani, untuk berdoa. Dalam bagian ini Lukas menyoroti tentang pribadi Yesus. Sebagai manusia biasa, Yesus merasakan ketegangan dan ketakutan yang luar biasa. Ketakutan yang hebat itu digambarkan oleh Lukas dengan kata-kata “Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah” (Lukas 22:44). Demikian pula. doa yang diucapkan Yesus sepintas menggambarkan keingin Yesus untuk terhindar dari resiko kematian yang akan dihadapi-Nya: ”Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku……”. Tetapi berkat kekuatan yang diberikan oleh malaikat Tuhan, akhirnya Yesus berani berkata: “… tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Lukas 22: 42). Kata-kata Yesus diakhir doanya sama sekali bukan  sikap pasrah pada nasib. Kata-kata itu mengungkapkan sikap penyerahan diri secara total kepada Bapa.

Yudas salah seorang murid Yesus yang berkhianat  telah menjual Yesus kepada  orang-orang   yang  memusuhi-Nya.  Ia memanfaatkan kebiasaan Yesus berdoa di tempat-tempat yang sepi untuk menyerahkan-Nya kepada orang yang telah membayarnya. Di tengah penangkapan terjadi  insiden  ketika  salah  seorang  murid-Nya  menyerang  hamba imam besar sampai telinganya putus. Tetapi yang menarik adalah: Yesus menyembuhkan  orang  yang memusuhinya itu. Adegan penangkapan ditutup dengan pernyataan Yesus yang menegaskan bahwa penangkapan diriNya menjadi tanda bahwa kuasa kegelapan sudah datang (ayat 53)

b)      Petrus Menyangkal Yesus, Yesus di hadapan Mahkamah Agama

Setelah ditangkap, Yesus digiring ke rumah Imam besar. Semalaman ia dicaci, dimaki, dan disiksa. Di situlah Petrus menyangkal Yesus sampai tiga kali. Esok harinya, barulah sidang diadakan dihadiri para pemuka agama dan  pemuka  masyarakat Yahudi. Yesus diinterogasi berkaitan dengan pengakuan sebagai Anak Allah. Dengan penuh ketenangan Yesus menjawab semua pertanyaan mereka. Jawaban Yesus itu menjengkelkan tokoh-tokoh agama dan masyarakat Yahudi, tetapi karena mereka tidak punya kuasa untuk  menghukum,  maka  mereka  membawa  Yesus ke hadapan Pilatus.

c)       Yesus di hadapan Pilatus dan Herodes (Lukas 23:1-25)

Di hadapan  Pilatus para pemuka agama dan  masyarakat Yahudi menuduh  Yesus sebagai penghasut  untuk  tidak membayar pajak dan terutama  mengaku  sebagai Kristus  atau  Raja. Yesus membenarkan pengakuannya. Tetapi Pilatus tidak menemukan  kesalahan yang dapat dijadikan alasan untuk menghukum Yesus.

Lukas menceritakan, bahwa kebetulan saat itu di Yerusalem sedang ada Raja Herodes, Raja Provinsi Galilea. Pilatus mengirim Yesus kepada Herodes untuk diadili. Tetapi karena Yesus bungkam, akhirnya Herodes mengirim Yesus kembali kepada Pilatus. Pilatus tetap pada keputusan bahwa Yesus tidak bersalah, dan hendak membebaskan Yesus setelah menyiksanya terlebih dahulu.

Sikap Pilatus  mendatangkan  kemarahan  orang  Yahudi,  mereka mendesak Pilatus untuk  menghukum  mati Yesus, dan  membebaskan Barabas sang penjahat dan pemberontak.

d)      Yesus disalibkan, Wafat dan Dimakamkan (Lukas 23:26-56)

Injil Lukas menyatakan bahwa yang mengarak Yesus ke Golgota tidak hanya para prajurit Romawi, melainkan juga imam-imam kepala dan para pemimpin Yahudi. Lukas mengisahkan juga perjumpaan Yesus dengan sekelompok orang Yahudi bukan murid Yesus, yang tersentuh oleh sengsara-Nya. Mereka adalah penduduk sebuah kota yang telah membunuh nabi-nabi dan menolak semua tawaran rahmat Yesus. Kota mereka telah diramalkan akan runtuh  rata dengan tanah dan diinjak-injak oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah (bdk. Lukas 21:20-24). Yesus menyapa mereka dengan sebutan putri-putri Yerusalem.

Lukas menunjukkan pribadi Yesus yang tidak mempunyai dendam sedikitpun terhadap mereka yang telah menyiksa dan menyalibkan-Nya. Di atas kayu salib, Yesus justru berdoa bagi mereka: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 22:34). Kata-kata pengampunan itu ditanggapi dengan ejekan oleh pemimpin Yahudi, serdadu, dan salah seorang dari penjahat yang disalibkan dekat Yesus. Bagi salah seorang penjahat yang lain, kata-kata pengampunan Yesus itu semakin menyadarkan dia. Dia sadar bahwa hukuman salib setimpal dengan perbuatannya. Ia juga menyatakan bahwa sesungguhnya Yesus tidak bersalah. Pengakuan penjahat itu dijawab Yesus dengan janji kerahiman, bahwa dia akan bersama Yesus masuk dalam Kerajaan Surga. Ketika  itu  hari  sudah  kira-kira  jam  dua  belas, lalu  kegelapan meliputi daerah itu sampai jam tiga, sebab matahari tidak bersinar. Dan tirai Bait Allah terbelah dua. Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: ”Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” Dan sesudah berkata demikian, Ia wafat. Lukas ingin menegaskan, bahwa wafat Yesus merupakan penyerahan diri Yesus sepenuh-penuhnya kepada Bapa.

Wafat Yesus menurut  Lukas disertai dengan kejadian alam yang sangat dahsyat:

·     Kegelapan yang meliputi seluruh daerah itu pada tengah hari (lihat Lukas 23: 44).

Kegelapan di tengah hari hendak menggambarkan, bahwa dengan wafat Yesus, untuk sementara, kuasa kegelapan secara terang-terangan seolah menang dan menguasai manusia. Manusia hidup dalam ketidakberdayaan, sebab maut telah menguasainya, hidup manusia akan diliputi kecemasan dan ketakutan  dan  tanpa  harapan.  Tetapi  bukan  itu  yang sesungguhnya terjadi, sebab kegelapan yang terjadi saat wafat Yesus merupakan wujud keterlibatan Allah atas wafat Yesus. Melalui kegelapan yang diciptakan- Nya, Allah mau menyatakan terang kehidupan baru yang akan muncul. Dari kegelapan lahirlah Mesias yang membuka sejarah keselamatan baru bagi semua bangsa di dunia.

·     Tirai Bait Allah terbelah dua.

Tanda kedua yang menyertai wafat Yesus adalah terbelahnya tirai Bait Allah menjadi dua (lihat Lukas 23: 45). Di dalam Bait Allah terpasang tirai yang berfungsi memisahkan ruang khusus untuk para imam dan orang-orang yang percaya (yang berada di bagian depan dekat dengan altar/mezbah) dengan orang pada umumnya. Orang yang ada di ruangan bagian belakang hanya bisa melihat orang-orang yang di bagian depan secara samar-samar.  Sedangkan orang-orang  kafir, wanita dan  anak- anak hanya boleh berada di halaman luar Bait Allah, karena dianggap tidak pantas berada di Bait Allah. Mereka tidak boleh melihat dan masuk dalam ruang kudus di Bait Allah.

Saat Yesus wafat, tirai Bait Allah terbelah dua, dari atas ke bawah. Kejadian tersebut merupakan  simbol, bahwa berkat wafat Yesus tidak ada lagi sekat antarmanusia,  semua manusia  dibukakan  pintu  untuk memandang dan dekat dengan Allah. Tak ada satu lembaga atau seorang manusiapun yang mempunyai kuasa untuk menghalanginya. Allah yang diwartakan Yesus adalah Allah yang terbuka bagi semua bangsa, bukan milik bangsa atau kelompok tertentu.

 

Kejadian alam yang dahsyat membuat orang-orang yang ikut dalam penyaliban Yesus ketakutan. Mereka akhirnya sadar dan mengakui bahwa sesungguhnya Yesus tidak bersalah, sebagaimana dikatakan oleh kepala pasukan. Hal itu pula yang mendorong mereka menyesal dan bertobat, banyak dari mereka yang pulang sambil memukul-mukul dada.

Kisah sengsara Injil Lukas ditutup  dengan permintaan  Yusuf dari Arimatea, seorang yang baik dan  benar  serta yang tidak setuju atas penyaliban Yesus, meminta mayat Yesus dan untuk mengadakan upacara penguburan  sebagaimana mestinya; sementara perempuan-perempuan Galilea menyediakan rempah-rempah sampai penguburan selesai.

Secara keseluruhan, kisah sengsara Yesus yang dituliskan Lukas hendak menekankan bahwa penyaliban Yesus merupakan keselamatan Allah memberikan pengampunan dan rahmat penyembuhan bagi semua manusia melalui dan oleh Yesus.

 

4)      Makna Sengsara Dan Wafat Yesus

a)  Wafat Yesus adalah Konsekuensi atas Pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah

Sejak sebelum  melaksanakan  tugas  perutusan-Nya  mewartakan Kerajaan  Allah, Yesus rupanya  sadar  akan  konsekuensi  yang harus ditangggung-Nya. Injil Lukas (dan dua injil sinoptik lainnya) menuliskan bahwa tiga kali dalam perjalanan karya-Nya, Yesus memberitahukan kepada para murid-Nya tentang nasib yang akan dialaminya (Lukas 9: 22-27; Lukas 9:43-45; Lukas 18:31-34). Konsekuensi pewartaan Kerajaan Allah yang dilakukan-Nya terjadi seusai Dia berpuasa berupa tawaran dari  kekuatan  jahat  (iblis) yang berusaha  membelokkan  arah  tugas Yesus. Di desanya sendiri di Nazareth, Provinsi Galilea, Ia juga mendapat penolakan dari masyarakat kampungnya. Ia juga mendapat halangan dan rintangan dari para murid-Nya sendiri yang tidak memahami siapa diriNya. Dan terutama datang dari para pemuka agama Yahudi. Mereka inilah yang akhirnya menyalibkan Yesus hingga wafat.

b) Wafat Yesus sebagai Tanda Ketaatan dan Kesetiaan-Nya pada Bapa

Sikap Yesus untuk  tidak melarikan diri dari sengsara yang akan dihadapi-Nya  semakin mengukuhkan  tekad yang pernah  diucapkan- Nya. Dalam  satu  kesempatan,  Yesus pernah  berkata: ”Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yohanes 4: 34). Yesus setia kepada kehendak Bapa-Nya, Ia taat sampai mati. Yesus menebus ketidaktaatan manusia kepada Allah melalui ketaatan-Nya.”Jadi, sama seperti ketidaktaatan satu orang, semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang, semua orang menjadi orang yang benar” (Roma 5: 19). Dengan ketaatan-Nya  sampai  mati,  Yesus menyelesaikan  tugas-Nya  sebagai hamba yang menderita; seperti yang dikatakan dalam Yesaya 53: 10-12.

c)  Wafat Yesus adalah Tanda Solidaritas-Nya dengan Manusia

Wafat  Yesus ”untuk  orang-orang  Yahudi  suatu  batu  sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan” (1Korintus 1:23). Tetapi menurut Paulus, bagi orang-orang yang percaya akan Allah, peristiwa Yesus disalibkan mempunyai arti baru. ”Untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi maupun orang yang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmah Allah. Sebab, yang bodoh dari Allah lebih besar hikmahnya daripada manusia (1Korintus 1: 24-25). Dalam diri Yesus yang wafat disalibkan itu Allah berkarya.

Dalam peristiwa salib, kita dapat mengenal pernyertaan Allah dalam hidup manusia. Allah yang berbelas kasih tidak pernah meninggalkan manusia. Sekalipun manusia mengalami kesengsaraan dan penderitaan, Allah tetap menjadi Allah yang selalu beserta kita (Immanuel). Kesengsaraan dan wafat Yesus menjadi tanda agung kehadiran Kerajaan Allah karena memberi kesaksian tentang Allah yang sebenarnya, yakni Allah Yang Mahakasih.

Melalui diri Yesus Allah menunjukkan  solidaritasnya dengan manusia.  Ia telah senasib dengan  manusia  sampai kepada kematian, bahkan kematian yang paling hina. Tidak ada wujud solidaritas yang lebih hebat daripada kematian Yesus. Yesus rela mati disalib di antara dua penjahat. Ia telah menjadi manusia, sama dengan kaum tersisih dan terbuang.

d) Wafat Yesus bukti bahwa Allah Mengasihi Manusia

Wafat Yesus menjadi tanda dan sekaligus bukti nyata, bahwa Allah sangat mengasihi manusia. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan  Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia (Yohanes 3:16-17). Yesus sendiri menegaskan hal tersebut kepada murid- muridNya,  sebelum sengsara dan  wafat-Nya: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya”. (Yohanes 15:13)

e)  Kematian Yesus Menyelamatkan Manusia

Wafat Yesus di salib bukan kejadian yang serba kebetulan, tetapi merupakan bagian dari misteri penyelamatan Allah bagi semua manusia, yang sudah direncanakan sejak awal mula, dan yang sudah dinubuatkan Nabi Yesaya dalam Perjanjian Lama (lihat Yesaya 52:13-53:12). Itulah sebabnya Paulus mengatakan: ”Kristus telah mati karena dosa-dosa kita sesuai dengan Kitab Suci” (1Korintus 15: 3).

Yesus bersedia wafat di salib untuk mempersatukan kembali manusia yang  berdosa  dengan  Allah. Hal  ini  ditegaskan  oleh  Petrus  dalam suratnya yang pertama: ”Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak dan emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat. (1 Petrus 1: 18-19). Santo Paulus berkata: ”Dialah yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (2Korintus 5: 21).

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar