SENGSARA DAN
WAFAT YESUS
Kematian merupakan peristiwa
yang amat sangat biasa. Apapun yang hidup pasti suatu saat akan mati. Kematian
seolah menjadi titik akhir dari kehidupan manusia, setelah itu ia lenyap bagai
ditelan bumi. Tetapi, iman Kristiani justru menegaskan, bahwa seharusnya
kematian dihayati sebagai pintu masuk pada kehidupan baru, kehidupan kekal
bersama dengan Allah. Maka persoalannya adalah: bagaimana manusia mempersiapkan dan menghayati kematian?
Sengsara dan kebangkitan Yesus bagi orang Katolik
merupakan dasar iman. Untuk lebih memahaminya, akan diuraikan mengenai:
·
Alasan Yesus dijatuhi hukuman mati.
·
Kisah sengsara dan wafat Yesus.
·
Makna sengsara dan wafat Yesus.
Bertolak dari itu semua, kita
memaknai peristiwa sengsara dan wafat
Yesus itu dalam kehidupan sehari-hari.
Wafat Yesus adalah kenyataan historis. Kisah
sengsara yang kita miliki sekarang, sebagaimana termuat di dalam keempat Injil,
sesungguhnya tidak pertama-tama menyampaikan fakta apa yang sesungguhnya
terjadi dan bagaimana kronologinya, melainkan merupakan suatu pewartaan tentang
makna kisah sengsara Yesus bagi jemaat. Namun, pewartaan itu jelas dilandasi oleh kenyataan historis bahwa Yesus
benar-benar menderita sengsara dan wafat di kayu salib. Untuk itu, para
kita perlu melihat akta
sejarah, latar belakang, dan sebab-musabab Yesus dijatuhi hukuman mati.
Selain itu, kita perlu pula
membahas kisah sengsara dan wafat Yesus menurut Injil. Di sini tidak akan
mambahas kisah sengsara dan wafat Yesus menurut keempat Injil, tetapi hanya
membahas menurut Injil Lukas saja. Sebab, kisah sengsara
dalam Injil Lukas memperlihatkan
segi kemanusiaan Yesus. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan jika
ada keinginan untuk menyoroti kisah sengsara dari Injil lain atau
keempat-empatnya.
Sengsara dan wafat Yesus
merupakan tanda terbesar
kasih Allah kepada manusia:
“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia
ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya
setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan memperoleh hidup
yang kekal” (Yohanes 3: 16). Allah Bapa menyerahkan Putera-Nya untuk menderita dan wafat demi keselamatan manusia.
Sengsara dan wafat
Yesus juga merupakan tanda agung dari
Kerajaan Allah. Yesus telah mewartakan Kerajaan Allah melalui
kata-kata dan perbuatan. Yesus menyadari
bahwa kesaksian yang paling kuat
dalam mewartakan dan memperjuangkan Kerajaan Allah ialah kesediaan-Nya
untuk mati demi Kerajaan Allah yang diperjuangkan-Nya. Maka, Yesus berani
menghadapi risiko ini dengan penuh kesadaran dan tanpa takut. Yesus yakin
dengan sikap-Nya yang konsekuen dan berani menghadapi maut akan memberanikan
pula semua murid-Nya dan pengikut-pengikut-Nya untuk mewartakan dan
memperjuangkan Kerajaan Allah walaupun harus mempertaruhkan nyawanya.
Menyimak kisah Santo Maximillian Kolbe yang berkorban bagi sesamanya:
Santo
Maximilian Kolbe, Martir
Maximilian Kolbe lahir di
Zdunska-Wola, dekat Lodz Polandia pada
tanggal 7 Januari 1894. Ia kemudian dipermandikan dengan nama Raymond. Setelah
dewasa, ia masuk biara Fransiskan dan mengambil nama Maximilianus. Kaul
kebiaraannya yang pertama diucapkannya pada tahun 1911. Sebagai seorang biarawan Fransiskan,
Maximilian dikenal sebagai seorang yang saleh. Pada tahun 1917, ia mendirikan
Militia Maria Immaculata di Roma untuk memajukan kebaktian kepada Bunda Maria
yang dikandung tanpa noda. Pada tahun 1918, Maximilian ditahbiskan menjadi imam
dan kemudian kembali ke Polandia untuk berkarya disana. Di Polandia, ia
menyebarkan berbagai tulisan tentang Bunda Maria dalam buletin ‘Militia Maria
Immaculata’. Selain itu ia mendirikan biara di Niepokalanov pada tahun 1927
untuk memberi tempat pada 800 biarawan. Biara yang sama didirikannya di Jepang
dan India. Di kemudian hari, ia menjadi superior sendiri. Itulah sekilas kebesaran
dan karya Maximilian.
Tuhan mencobai Maximilian yang saleh dan setia ini melebihi orang-
orang lain. Kiranya benar juga bahwa semakin kuat dan besar iman seseorang,
semakin berat juga cobaan yang harus dialami, demi memurnikan imannya dan
mempertinggi kesuciannya. Pada tahun 1939 Gespato, Jerman yang keji itu memasuki
wilayah Polandia. Diktator Jerman itu
yakin bahwa untuk mematahkan
semangat orang Polandia perlulah menahan, memenjarakan dan membunuh para pemimpinnya, baik pololik, maupun keagamaan
dan para ahlinya. Lebih-lebih pers Polandia harus dihancurkan.
Maximilian Kolbe dikenal sebagai
seorang penulis dan editor majalah. Maka ia ditangkap oleh Gestapo dan
diasingkan ke Lamsdorf, Jerman dan
dimasukkan ke dalam kamp konsentrasi Amstitz. Pernah ia dilepaskan, tetapi
kemudian ditangkap lagi pada tahun 1941, dan
dipenjarakan di Pawiak, lalu dipindahkan
ke kamp konsentrasi Auscwitz. Di
kamp konsentrasi ini, Maximilian dengan
diam-diam menjalankan tugasnya sebagai imam bagi para tahanan yang ada disana.
Dengan kondisi tubuh yang kurus kering, Maximilian turut serta dalam kerja
paksa. TBC yang dideritanya semakin parah karena kerja paksa itu.
Pada suatu hari seorang sersan bernama Gajowniczek dijatuhi hukuman
mati. Karena sangat takut, ia
berteriak-teriak menyebut
anak-anak dan istrinya. Mendengar
teriakan sersan itu, Maximilian
Kolbe maju dengan tegap
untuk meminta menggantikan sersan malang itu. “Daripada sersan yang beranak-istri ini mati,
lebih baiklah saya yang mati. Karena toh saya tidak beranak-istri”, kata
Maximilian. Bersama dengan para sandera lainnya, Maximilian tidak diberi makan
dan minum. Namun ia bisa bertahan sebagai korban terakhir, dan baru mati
setelah disuntik dengan carbolic acid.
Sumber: www.imankatolik.or.id/kalender/14Agu.html
Berdasarkan kisah tersebut,
mari kita merenungkan beberapa hal berikut:
·
Kecenderungan manusia zaman sekarang adalah berupaya menyelamatkan dan
membahagiakan diri sendiri atau keluarga dari pada berkorban demi orang lain.
Bahkan ada orang tertentu demi menjaga keselamatan dan
kebahagiaan diri dan keluarganya, mereka membangun dinasti kekuasaan, yang
meliputi seluruh bidang kehidupan. Maka orang-orang seperti Maximilian
Kolbe, bagi sebagian orang zaman sekarang bagaikan cerita yang aneh. Bagaimana
mungkin demi menyelamatkan orang lain seseorang harus kehilangan nyawanya?
·
Tetapi sesungguhnya dalam kadar yang berbeda,
pengorbanan seseorang demi orang lain yang dikasihinya merupakan tindakan
yang terjadi sampai sekarang ini. Contoh konkret kita alami sendiri
dalam keluarga. Hampir semua orang tua seringkali mengutamakan kebahagiaan dan kesejahteraan anak-anaknya
dari pada memikirkan kesenangannya sendiri. Mereka bahkan rela melupakan
impiannya, harapan-harapannya, bahkan
nyawanya semata-mata demi
kebahagiaan anak-anak yang dikasihinya.
·
Sebagai orang Katolik, kita beruntung memiliki tokoh yang lebih hebat lagi
dalam berkorban demi kebahagiaan orang lain. Tokoh itu adalah Yesus Kristus.
Ia rela menanggung sengsara hingga wafat semata-mata demi kesetiaanNya kepada
Allah dan demi kecintaannya kepada manusia.
Konteks Sengsara dan wafat Yesus, orang-orang yang terlibat dalam
Penyaliban Yesus, dan Kisah Sengsara Yesus
1)
Konteks
Sosial Menjelang Penangkapan,
Pengadilan, dan Penyaliban Yesus
a)
Konteks
Perayaan Paskah
Sengsara dan wafat Yesus terjadi
menjelang Perayaan Paskah Yahudi. Paskah Yahudi adalah perayaan untuk memperingati peristiwa pembebasan
bangsa Israel dari perbudakan bangsa Mesir. Mereka menghayati peristiwa
tersebut sebagai wujud
keterlibatan Allah yang menyelamatkan. Perayaan ini berlangsung selama
tujuh hari dan menjadi pekan roti tak beragi. Pada saat Perayaan Paskah itu,
seluruh rakyat dari berbagai pelosok berziarah ke Yerusalem.
Menjelang
perayaan Paskah Yahudi tersebut, Yesus dan
murid-murid-Nya juga pergi ke
Yerusalem. Ketika Yesus memasuki
kota Yerusalem, Yesus disambut
sebagai Raja, malamnya Ia mengadakan perjamuan perpisahan bersama para murid-Nya. Selesai perjamuan malam,
Yesus berdoa di Taman Getsemani. Di situlah Yesus ditangkap dan diadili.
Keesokan harinya Ia disalibkan.
b)
Pemberontakan
terhadap Pemerintah Roma
Pada zaman
Yesus, situasi Palestina
tidaklah tenteram. Selalu
ada usaha-usaha untuk melawan pemerintah Romawi, seperti yang dilakukan orang-orang
Zelot. Hal ini menyebabkan tentara Romawi selalu siap siaga
mengantisipasi kejadian serupa, terutama
saat Perayaan Paskah. Dan untuk
menyenangkan orang-orang Yahudi, pemerintah Romawi mempunyai kebiasaan membebaskan
tawanan pada hari Paskah.
Kondisi
semacam itu dimanfaatkan para
pemuka agama Yahudi untuk menghukum
Yesus. Mereka yang selama ini merasa terancam dengan pewartaan Yesus, menyampaikan
isu kepada pemerintah Romawi bahwa Yesus
dan pengikutnya sebagai kelompok yang akan melakukan pemberontakan. Isu
tersebut ditanggapi dengan menangkap Yesus ketika sedang berdoa di Taman
Getsemani dan menghadapkan Yesus kepada Ponsius Pilatus, Herodes, dan Kayafas. Walaupun tidak ditemukan kesalahan
apapun, dan demi menjaga ketenteraman, akhirnya mereka menjatuhkan hukuman mati
kepada Yesus. Dan mereka pun membebaskan Barabas ( bandingkan Markus 15: 7)
c)
Munculnya
Mesias-Mesias Palsu
Pada zaman Yesus, selain
berkembang berbagai paham Kerajaan Allah, muncul pula orang-orang yang mengaku
diri sebagai Mesias,
antara lain Yudas dari Galilea dan Simon dari Bar Kokhba. Kepada para
murid-Nya, Yesus pernah mengingatkan agar berkati-hati. “Waspadalah supaya jangan ada orang yang menyesatkan kamu! Sebab banyak
orang akan datang dengan memakai nama-Ku dan berkata: Akulah Mesias, dan mereka
akan menyesatkan banyak orang” (Matius 24:4-5).
Kehadiran
mereka memunculkan kekhawatiran pemerintah Roma. Sebab, biasanya kemunculan seorang
mesias (terutama yang bersifat politis) akan disusul adanya pemberontakan.
Rupanya pemerintah Romawi mengenal Yesus, dan
mereka tidak menaruh
kekhawatiran yang besar terhadap Yesus dibandingkan dengan mesias lainnya.
Hal itu terbukti dalam proses pengadilan, mereka tidak menemukan kesalahan
Yesus sedikitpun dan berusaha membebaskan Yesus. Pilatus mengetahui bahwa tindakan Yesus berkaitan dengan
hidup keagamaan dan bukan politis.
Namun,
orang Yahudi tidak mau mengambil risiko dengan Yesus itu. Yesus pernah membuat
kehebohan di Bait Allah. Kalau terjadi lagi, pasukan Romawi dapat menyerbu Bait
Allah. Padahal, banyak penduduk Yerusalem menggantungkan hidupnya pada Bait
Allah. Bait Allah sebagai tempat ziarah merupakan sumber nafkah bagi mereka.
Maka lebih baik mereka memilih Barabas untuk dibebaskan.
2)
Mereka
yang Berperan dalam Peristiwa Pengadilan dan Penyaliban Yesus
a)
Para
Pemuka Agama Yahudi: Para Imam dan Ahli Taurat
Ajaran dan
tindakan Yesus dianggap oleh
para pemuka agama Yahudi sebagai ancaman bagi kewibawaan mereka, yang selama ini dianggap sebagai kelompok
yang terpercaya dalam menjaga kemurnian agama Yahudi saat itu. Apalagi, menurut
mereka Yesus tidak
mempunyai legalitas yang memadai untuk
melakukan hal tersebut, berhubung,
ia hanyalah seseorang yang berasal dari wilayah yang udik dan dari
keluarga miskin, anak seorang tukang kayu (Markus 6:3), berasal dari
Galilea, desa yang tidak punya tradisi kenabian (Yohanes 7:52). Maka tindakan Yesus dipandang sebagai bentuk
hujatan terhadap Allah, yang pada akhirnya dapat membahayakan bangsa Yahudi
sendiri.
Beberapa
tindakan Yesus yang dianggap melanggar aturan
agama Yahudi
· Yesus bergaul dengan orang-orang
yang dianggap najis dan sampah masyarakat: Ia
makan dengan pemungut
bea cukai dan
orang berdosa, padahal menurut
orang Yahudi, orang-orang
seperti mereka harus dijauhi, sebab bila kita bergaul dengan mereka kita
ikut najis
•
Yesus dianggap melanggar hukum Taurat: Yesus menyatakan semua makanan halal; Ia menyembuhkan pada hari
Sabat; Ia tidak berpuasa.
•
Yesus dianggap melanggar
adat saleh: Yesus berbicara dengan perempuan kafir; Ia membela wanita pezinah; Ia
makan dengan tangan najis.
•
Yesus dianggap mencampuri urusan para pemuka agama: Yesus mengusir para pedagang di Bait
Allah, padahal Dia dianggap tidak mempunyai hak apa-apa terhadap urusan Bait
Allah.
b)
Para
Pejabat Pemerintahan Yang berkuasa
Pada zaman
Yesus, sekalipun ada
beberapa pejabat setempat yang diberi kuasa dan kedudukan,
tetapi secara umum pemerintahan
dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah penjajah Romawi. Mereka terlibat dalam
peristiwa sengsara dan wafat Yesus, sebab demi menjaga kuasa dan kedudukannya, mereka membiarkan
Yesus yang tak bersalah dihukum mati.
3) Kisah
Sengsara dan Wafat Yesus
Kisah
Sengsara dan wafat Yesus dapat kita temukan dalam keempat Injil. Mereka, yaitu
Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes masing-masing dengan caranya sendiri
menampilkan kisah sengsara dan wafat Yesus. Masing-masing menampilkan secara
berbeda sesuai dengan latar belakang mereka dan jemaat yang dituju. Walaupun
demikian banyak unsur yang sama yang ditampilkan. Kisah sengsara yang termuat di dalam empat lnjil
sesungguhnya tidak pertama-tama dimaksudkan sebagai laporan pandangan mata
tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kisah sengsara yang dituliskan di dalam keempat Injil itu pertama-tama hendak mewartakan makna sengsara
dan wafat Yesus bagi jemaat beriman. Namun pewartaan itu jelas dilandasi oleh
kenyataan historis, yaitu bahwa Yesus sungguh-sungguh menderita sengsara dan
wafat di kayu salib.
Dalam
uraian berikut, kita akan menyimak Kisah sengsara dan wafat Yesus yang
disampaikan oleh penulis Injil Lukas, yang adalah murid Yesus. Secara garis
besar, Lukas mengisahkan kisah sengsara Yesus dalam empat adegan:
a)
Yesus ditangkap di Taman Getsemani (Lukas 22:39-53)
Lukas
memulai kisahnya dengan menceritakan Yesus yang pergi ke Bukit Zaitun atau
Taman Getsemani, untuk berdoa. Dalam bagian ini Lukas menyoroti tentang pribadi
Yesus. Sebagai manusia biasa, Yesus merasakan ketegangan dan ketakutan yang luar biasa.
Ketakutan yang hebat itu digambarkan oleh Lukas dengan kata-kata “Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah
yang bertetesan ke tanah” (Lukas 22:44). Demikian pula. doa yang diucapkan
Yesus sepintas menggambarkan keingin Yesus untuk terhindar dari resiko kematian
yang akan dihadapi-Nya: ”Ya Bapa-Ku,
jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku……”. Tetapi berkat
kekuatan yang diberikan oleh malaikat Tuhan, akhirnya Yesus berani berkata: “… tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan
kehendak-Mulah yang terjadi” (Lukas 22: 42). Kata-kata Yesus diakhir doanya
sama sekali bukan sikap pasrah pada
nasib. Kata-kata itu
mengungkapkan sikap penyerahan diri secara total kepada Bapa.
Yudas salah
seorang murid Yesus yang berkhianat
telah menjual Yesus kepada
orang-orang yang memusuhi-Nya.
Ia memanfaatkan kebiasaan Yesus berdoa di tempat-tempat yang sepi untuk
menyerahkan-Nya kepada orang yang telah membayarnya. Di tengah penangkapan
terjadi insiden ketika
salah seorang murid-Nya
menyerang hamba imam besar sampai
telinganya putus. Tetapi yang menarik adalah: Yesus menyembuhkan orang
yang memusuhinya itu. Adegan penangkapan ditutup dengan pernyataan Yesus
yang menegaskan bahwa penangkapan diriNya menjadi tanda bahwa kuasa kegelapan
sudah datang (ayat 53)
b)
Petrus Menyangkal Yesus, Yesus di hadapan Mahkamah Agama
Setelah
ditangkap, Yesus digiring
ke rumah Imam besar. Semalaman ia dicaci, dimaki, dan disiksa. Di
situlah Petrus menyangkal Yesus sampai tiga kali. Esok harinya, barulah sidang
diadakan dihadiri para pemuka agama dan
pemuka masyarakat Yahudi. Yesus
diinterogasi berkaitan dengan pengakuan sebagai Anak Allah. Dengan penuh
ketenangan Yesus menjawab semua pertanyaan mereka. Jawaban Yesus itu
menjengkelkan tokoh-tokoh agama dan masyarakat Yahudi, tetapi karena mereka
tidak punya kuasa untuk menghukum, maka
mereka membawa Yesus ke hadapan Pilatus.
c)
Yesus di hadapan Pilatus dan Herodes (Lukas 23:1-25)
Di
hadapan Pilatus para pemuka agama
dan masyarakat Yahudi menuduh
Yesus sebagai penghasut
untuk tidak membayar pajak dan
terutama mengaku sebagai Kristus atau
Raja. Yesus membenarkan pengakuannya. Tetapi Pilatus tidak
menemukan kesalahan yang dapat dijadikan
alasan untuk menghukum Yesus.
Lukas
menceritakan, bahwa kebetulan saat itu di Yerusalem sedang ada Raja Herodes,
Raja Provinsi Galilea. Pilatus
mengirim Yesus kepada Herodes untuk diadili. Tetapi karena Yesus
bungkam, akhirnya Herodes
mengirim Yesus kembali kepada Pilatus. Pilatus tetap pada keputusan bahwa Yesus tidak bersalah,
dan hendak membebaskan Yesus setelah menyiksanya terlebih dahulu.
Sikap
Pilatus mendatangkan kemarahan
orang Yahudi, mereka mendesak Pilatus untuk menghukum
mati Yesus, dan membebaskan
Barabas sang penjahat dan pemberontak.
d)
Yesus disalibkan, Wafat dan Dimakamkan (Lukas 23:26-56)
Injil Lukas
menyatakan bahwa yang
mengarak Yesus ke Golgota tidak hanya para prajurit Romawi, melainkan juga imam-imam
kepala dan para pemimpin Yahudi. Lukas mengisahkan juga perjumpaan Yesus
dengan sekelompok orang Yahudi bukan murid Yesus, yang tersentuh oleh
sengsara-Nya. Mereka adalah penduduk sebuah kota yang telah membunuh nabi-nabi
dan menolak semua tawaran rahmat Yesus. Kota mereka telah diramalkan akan
runtuh rata dengan tanah dan diinjak-injak
oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah (bdk. Lukas 21:20-24). Yesus menyapa mereka dengan sebutan putri-putri
Yerusalem.
Lukas
menunjukkan pribadi Yesus
yang tidak mempunyai dendam sedikitpun terhadap mereka yang telah menyiksa dan
menyalibkan-Nya. Di atas kayu salib, Yesus justru berdoa bagi mereka: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka
tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 22:34). Kata-kata pengampunan itu
ditanggapi dengan ejekan oleh pemimpin Yahudi, serdadu, dan salah seorang dari
penjahat yang disalibkan dekat Yesus. Bagi salah seorang penjahat yang lain,
kata-kata pengampunan Yesus itu semakin menyadarkan dia. Dia sadar bahwa
hukuman salib setimpal dengan perbuatannya. Ia juga menyatakan bahwa
sesungguhnya Yesus tidak bersalah. Pengakuan penjahat itu dijawab Yesus dengan
janji kerahiman, bahwa dia akan bersama Yesus masuk dalam Kerajaan Surga. Ketika itu
hari sudah kira-kira
jam dua belas, lalu
kegelapan meliputi daerah itu sampai jam tiga, sebab matahari tidak
bersinar. Dan tirai Bait Allah terbelah dua. Lalu Yesus berseru dengan suara
nyaring: ”Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu
Kuserahkan nyawa-Ku.” Dan sesudah berkata demikian, Ia wafat. Lukas ingin
menegaskan, bahwa wafat Yesus merupakan penyerahan diri Yesus sepenuh-penuhnya
kepada Bapa.
Wafat Yesus menurut Lukas disertai dengan kejadian alam yang
sangat dahsyat:
·
Kegelapan
yang meliputi seluruh daerah itu pada tengah hari (lihat Lukas 23: 44).
Kegelapan
di tengah hari hendak menggambarkan, bahwa dengan wafat Yesus, untuk sementara,
kuasa kegelapan secara terang-terangan seolah menang dan menguasai manusia. Manusia
hidup dalam ketidakberdayaan, sebab maut telah menguasainya, hidup manusia akan
diliputi kecemasan dan ketakutan
dan tanpa harapan.
Tetapi bukan itu
yang sesungguhnya terjadi, sebab kegelapan yang terjadi saat wafat Yesus
merupakan wujud keterlibatan Allah atas wafat Yesus. Melalui kegelapan yang
diciptakan- Nya, Allah mau menyatakan terang kehidupan baru yang akan muncul.
Dari kegelapan lahirlah Mesias yang membuka sejarah keselamatan baru bagi semua
bangsa di dunia.
·
Tirai
Bait Allah terbelah dua.
Tanda kedua
yang menyertai wafat Yesus adalah terbelahnya tirai Bait Allah menjadi dua
(lihat Lukas 23: 45). Di dalam Bait Allah terpasang tirai yang berfungsi
memisahkan ruang khusus untuk para imam dan orang-orang yang percaya (yang
berada di bagian depan dekat dengan altar/mezbah) dengan orang pada umumnya.
Orang yang ada di ruangan bagian belakang hanya bisa melihat orang-orang yang
di bagian depan secara samar-samar.
Sedangkan orang-orang kafir, wanita
dan anak- anak hanya boleh berada di
halaman luar Bait Allah, karena dianggap tidak pantas berada di Bait Allah.
Mereka tidak boleh melihat dan masuk dalam ruang kudus di Bait Allah.
Saat Yesus
wafat, tirai Bait Allah terbelah dua, dari atas ke bawah. Kejadian tersebut
merupakan simbol, bahwa berkat wafat
Yesus tidak ada lagi sekat antarmanusia,
semua manusia dibukakan pintu
untuk memandang dan dekat dengan Allah. Tak ada satu lembaga atau
seorang manusiapun yang mempunyai kuasa untuk menghalanginya. Allah yang
diwartakan Yesus adalah Allah yang terbuka bagi semua bangsa, bukan milik
bangsa atau kelompok tertentu.
Kejadian alam yang dahsyat
membuat orang-orang yang ikut dalam penyaliban Yesus ketakutan. Mereka akhirnya
sadar dan mengakui bahwa sesungguhnya
Yesus tidak bersalah, sebagaimana dikatakan oleh kepala pasukan. Hal itu
pula yang mendorong mereka menyesal dan bertobat, banyak dari mereka yang
pulang sambil memukul-mukul dada.
Kisah sengsara Injil Lukas
ditutup dengan permintaan Yusuf dari Arimatea, seorang yang baik
dan benar serta yang tidak setuju atas penyaliban
Yesus, meminta mayat Yesus dan untuk mengadakan upacara penguburan sebagaimana mestinya; sementara
perempuan-perempuan Galilea menyediakan rempah-rempah sampai penguburan
selesai.
Secara
keseluruhan, kisah sengsara Yesus yang dituliskan Lukas hendak menekankan bahwa
penyaliban Yesus merupakan keselamatan Allah memberikan pengampunan dan rahmat
penyembuhan bagi semua manusia melalui dan oleh Yesus.
4)
Makna
Sengsara Dan Wafat Yesus
a) Wafat Yesus adalah Konsekuensi
atas Pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah
Sejak
sebelum melaksanakan tugas
perutusan-Nya mewartakan
Kerajaan Allah, Yesus rupanya sadar
akan konsekuensi yang harus ditangggung-Nya. Injil Lukas (dan
dua injil sinoptik lainnya) menuliskan bahwa tiga kali dalam perjalanan karya-Nya,
Yesus memberitahukan kepada para murid-Nya tentang nasib yang akan dialaminya
(Lukas 9: 22-27; Lukas 9:43-45; Lukas 18:31-34). Konsekuensi pewartaan Kerajaan
Allah yang dilakukan-Nya terjadi seusai Dia berpuasa berupa tawaran dari kekuatan
jahat (iblis) yang berusaha membelokkan
arah tugas Yesus. Di desanya
sendiri di Nazareth, Provinsi Galilea, Ia juga mendapat penolakan dari
masyarakat kampungnya. Ia juga mendapat halangan dan rintangan dari para
murid-Nya sendiri yang tidak memahami siapa diriNya. Dan terutama datang dari
para pemuka agama Yahudi. Mereka inilah yang akhirnya menyalibkan Yesus hingga
wafat.
b) Wafat Yesus sebagai Tanda
Ketaatan dan Kesetiaan-Nya pada Bapa
Sikap
Yesus untuk tidak melarikan diri dari
sengsara yang akan dihadapi-Nya semakin
mengukuhkan tekad yang pernah diucapkan- Nya. Dalam satu
kesempatan, Yesus pernah berkata: ”Makanan-Ku
ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya”
(Yohanes 4: 34). Yesus setia kepada kehendak Bapa-Nya, Ia taat sampai mati.
Yesus menebus ketidaktaatan manusia kepada Allah melalui ketaatan-Nya.”Jadi,
sama seperti ketidaktaatan satu orang, semua orang telah menjadi orang berdosa,
demikian pula oleh ketaatan satu orang, semua orang menjadi orang yang benar”
(Roma 5: 19). Dengan ketaatan-Nya
sampai mati, Yesus menyelesaikan tugas-Nya
sebagai hamba yang menderita; seperti yang dikatakan dalam Yesaya 53:
10-12.
c) Wafat Yesus adalah Tanda
Solidaritas-Nya dengan Manusia
Wafat Yesus ”untuk
orang-orang Yahudi suatu
batu sandungan dan untuk
orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan” (1Korintus 1:23). Tetapi menurut
Paulus, bagi orang-orang yang percaya akan Allah, peristiwa Yesus disalibkan
mempunyai arti baru. ”Untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi maupun
orang yang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmah Allah. Sebab,
yang bodoh dari Allah lebih besar hikmahnya daripada manusia (1Korintus 1:
24-25). Dalam diri Yesus yang wafat disalibkan itu Allah berkarya.
Dalam
peristiwa salib, kita dapat mengenal pernyertaan Allah dalam hidup manusia.
Allah yang berbelas kasih tidak pernah meninggalkan manusia. Sekalipun manusia
mengalami kesengsaraan dan penderitaan, Allah tetap menjadi Allah yang selalu
beserta kita (Immanuel). Kesengsaraan dan wafat Yesus menjadi tanda agung
kehadiran Kerajaan Allah karena memberi kesaksian tentang Allah yang
sebenarnya, yakni Allah Yang Mahakasih.
Melalui
diri Yesus Allah menunjukkan
solidaritasnya dengan manusia. Ia
telah senasib dengan manusia sampai kepada kematian, bahkan kematian yang
paling hina. Tidak ada wujud solidaritas yang lebih hebat daripada kematian
Yesus. Yesus rela mati disalib di antara dua penjahat. Ia telah menjadi
manusia, sama dengan kaum tersisih dan terbuang.
d) Wafat Yesus bukti bahwa Allah
Mengasihi Manusia
Wafat
Yesus menjadi tanda dan sekaligus bukti nyata, bahwa Allah sangat mengasihi
manusia. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah
mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal,
supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh
hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk
menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia (Yohanes 3:16-17).
Yesus sendiri menegaskan hal tersebut kepada murid- muridNya, sebelum sengsara dan wafat-Nya: “Tidak ada kasih yang lebih besar
dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya”.
(Yohanes 15:13)
e) Kematian Yesus Menyelamatkan
Manusia
Wafat
Yesus di salib bukan kejadian yang serba kebetulan, tetapi merupakan bagian
dari misteri penyelamatan Allah bagi semua manusia, yang sudah direncanakan
sejak awal mula, dan yang sudah dinubuatkan Nabi Yesaya dalam Perjanjian Lama
(lihat Yesaya 52:13-53:12). Itulah sebabnya Paulus mengatakan: ”Kristus telah mati karena dosa-dosa kita
sesuai dengan Kitab Suci” (1Korintus 15: 3).
Yesus
bersedia wafat di salib untuk mempersatukan kembali manusia yang berdosa
dengan Allah. Hal ini
ditegaskan oleh Petrus
dalam suratnya yang pertama: ”Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari
cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan
barang yang fana, bukan pula dengan perak dan emas, melainkan dengan darah yang
mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda
dan tak bercacat. (1 Petrus 1: 18-19). Santo Paulus berkata: ”Dialah yang tidak
mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita
dibenarkan oleh Allah” (2Korintus 5: 21).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar