Cari Blog Ini

Jumat, 26 Februari 2021

TANTANGAN DAN PELUANG UMAT KATOLIK DALAM MEMBANGUN BANGSA DAN NEGARA SEPERTI YANG DIKEHENDAKI TUHAN

 

TANTANGAN DAN PELUANG UMAT KATOLIK DALAM MEMBANGUN BANGSA DAN NEGARA SEPERTI YANG DIKEHENDAKI TUHAN


Bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami suatu krisis secara fundamental dan menyeluruh. Banyaknya masalah yang berupa ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan yang dihadapi Indonesia datang bertubi-tubi. Ditambah lagi masalah-masalah bencana alam yang memang sudah menjadi bagian dari alam Indonesia, dan juga karena proses perusakan hutan secara masif dan sistematis untuk kepentingan bisnis kalangan tertentu. Krisis yang dialami Indonesia ini menjadi sangat multidimensional. Mulai dari krisis ekonomi yang tidak kunjung berhenti, sehingga berdampak pula pada krisis sosial dan politik, yang pada perkembanganya justru menyulitkan upaya pemulihan ekonomi. Konflik horizontal dan vertikal yang terjadi dalam kehidupan sosial, disertai dengan lemahnya penegakan hukum, tentu sangat berpotensi melahirkan disintegrasi bangsa. Apalagi bila melihat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural seperti beragamnya suku, budaya daerah, agama dan berbagai aspek politik lainnya, serta kondisi geografis sebagai negara kepulauan yang tersebar dari Sabang sampai ke Merakue. Semua ini merupakan tantangan besar yang apabila tidak dikelola dengan baik maka akan sangat mengganggu proses pembangunan untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang sejahtera, adil dan makmur sesuai cita-cita para pendiri bangsa ini.

 

Umat Katolik Indonesia sebagai bagian dari integral dari bangsa Indonesia tentu saja ikut bertanggungjawab atas krisis yang sedang terjadi. Tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah tantangan bagi umat Katolik juga. Karena itu tantangan-tantangan yang ada dapat menjadi peluang bagi umat Katolik untuk ikut merestorasi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang lebih baik. Gereja Katolik mealalui Konsili Vatikan II  mengajarkan antara lain bahwa “...Gereja, yang bertumpu pada cinta kasih Sang Penebus, menyumbangkan bantuannya, supaya di dalam kawasan bangsa sendiri dan antara bangsa-bangsa makin meluaslah keadilan dan cinta  kasih. Dengan mewartakan kebenaran Injil, dan dengan menyinari semua bidang manusiawi melalui ajaran-Nya dan melalui kesaksian umat kristen, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warganegara.” (KV II, GS art. 76). Dalam kancah tanggungjawab bersama dalam pembangunan bangsa Indonesia, sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan, bahkan sampai saat ini, sudah banyak tokoh-tokoh Katolik, baik lokal maupun nasional di pelbagai sektor kehidupan, memberikan sumbangsihnya bagi bangsa Indonesia. Kita memiliki beberapa pahlawan nasional, sebut saja; Yosafat Sudarso, Slamet Riyadi, Adisucipto, Mgr. Sugiyapranoto, I.J. Kasimo, Frans Seda dan lain sebagainya.

 

BERBAGAI KRISIS DI INDONESIA

Kita telah menemukan berbagai macam tantangan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia yaitu: krisis etika politik, krisis ekonomi, merebaknya aliaran fundamentalisme radikal, lemahnya penegakan hukum, dan bencana alam serta kerusakan lingkungan. Berdasarkan masalah-masalah yang merupakan tantangan itu, apa peluang bagi umat Katolik untuk membangun bangsa sesuai kehendak Tuhan sebagaimana yang diajarkan Gereja dalam bidang berikut:

 

1.      Krisis Etika Politik

Etika  Politik  di  Indonesia  masih  carut  marut.  Politik  hanya  dipahami secara pragmatis sebagai sarana untuk mencari kekuasaan dan kekayaan bagi pribadi-pribadi dan golongan sendiri. Politik yang berkembang saat ini, khususnya oleh partai politik lebih bersifat transaksional yaitu untuk membagi-bagi kekuasaan dan berujung pada praktik politik uang. Banyak kepala daerah, dan para pejabat lembaga negara lainnya, baik eksekutif, legislatif, dan yudislatif (polisi, jaksa, hakim) kini berurusan dengan KPK karena terlibat kasus korupsi yang tentu saja merugikan pembangunan bagi kesejahteraan rakyat.

2.      Krisis Ekonomi

Masyarakat Indonesia   kini masih dilanda krisis ekonomi. Banyak yang masih  hidup  di  bawah  garis  kemiskinan,  padahal  Indonesia  sendiri dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Dengan berkembangnya neoliberalisme saat ini, orang kaya akan semakin kaya, dan orang miskin akan semakin miskin. Orang miskin, bahkan para pedagang kecil atau menengah sekalipun, tidak pernah akan mampu bersaing dengan para pedagang besar atau orang-orang kaya.

3.      Merebaknya aliran fundamentalisme radikal

Kini merebak berbagai aliran fundamental radikal di Indonesia. Fundamentalisme itu pandangan yang berpusat pada diri manusia, sehingga manusia menjadi tolok ukurnya. Karena itu fundamentalisme prinsipnya “menutup diri” terhadap kebenaran dari paham di luar dirinya. Akhirnya, fundamentalisme dapat berakhir pada arogansi terhadap orang lain, kekerasan demi mencapai tujuannya sendiri. Fundamentalisme radikal tidak hanya terbatas pada aliran agama tertentu, tetapi juga suku bahkan daerah. Nampaknya setelah diberlakukan sistem otonomi daerah, dan otonomi khusus, terjadilah gerakan daerahisme. Mereka berusaha menolak dan bahkan “mengusir” orang dari daerah lain, khususnya dalam urusan pejabat pemerintahan, atau pengangkatan PNS dengan istilah mengutamakan putra daerah.

4.      Lemahnya penegakan hukum di Indonesia

Dalam berbagai kasus penegakan hukum baik perdata maupun pidana, banyak terjadi ketidakadilan. Keadilan hukum hanya tajam untuk orang di bawah tetapi tumpul untuk orang yang di atas. Artinya bahwa  keadilan hukum di lembaga peradilan hanya diberlakukan bagi masyarakat kecil yang lemah secara ekonomi, karena mereka tidak mampu menyogok para penegak hukum. Di sisi lain para penguasa dan kaum kaya raya dapat membeli para penegak hukum sehingga mereka bisa bebas dari hukuman, atau minimal mendapat hukuman ringan. Dalam beberapa kasus, seorang pencopet atau maling ayam, dihukum jauh lebih berat daripada seorang koruptor yang telah mencuri uang negara ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah. Publik Indonesia pun sudah mengetahui bagaimana banyak koruptor kelas kakap yang sedang mendekam di penjara tetapi dapat berkeliaran bebas di luar dan berpesta pora serta melancong ke mana-mana.

5.      Berbagai bencana dan kerusakan alam

Bencana alam dan kerusakan alam menjadi tantangan nyata di hadapan kita. Bencana alam bisa disebabkan oleh kondisi alam itu sendiri, seperti gempa  bumi,  dan  letusan  gunung  berapi.  Namun  bencana  alam  juga dapat disebabkan oleh perbuatan manusia sendiri, seperti penggundulan dan pembakaran hutan untuk berbagai tujuan; penebangan pohon secara serampangan sehingga menimbulkan bencana longsor dan banjir bandang yang merenggut jiwa dan harta. Kerusakan alam juga disebabkan oleh limbah industri yang mematikan ekosistem di sekitarnya.

 

PANDANGAN GEREJA

1.      Krisis Etika Politik

Situasi Etika Politik di Indonesia masih carut marut. Gereja Katolik perlu memperjuangkan agar politik tidak hanya dipahami secara pragmatis sebagai sarana untuk mencari kekuasaan dan kekayaan, melainkan sebagai suatu jerih payah untuk membuat transformasi situasi masyarakat yang kacau menjadi masyarakat yang tertata dan mampu menciptakan kesejahteraan umum.

Relasi Gereja dan Negara untuk kepentingan terwujudnya kesejahteraan umum dinyatakan oleh Konsili sebagai berikut: “Negara dan Gereja bersifat otonom tidak saling tergantung dibidang masing-masing. Akan tetapi keduanya, kendati atas dasar yang berbeda, melayani panggilan pribadi dan sosial orang-orang yang sama. Pelaksanaan itu akan lebih efektif jika negara dan Gereja menjalin kerja sama yang sehat, dengan mengindahkan situasi  setempat  dan  sesama.  Sebab  manusia  tidak  terkungkung  dalam tata duniawi saja, melainkan juga mengabdi kepada panggilannya untuk kehidupan kekal. Gereja, yang bertumpu pada cinta kasih Sang Penebus, menyumbangkan bantuannya, supaya di dalam kawasan bangsa sendiri dan antara bangsa-bangsa makin meluaslah keadilan dan cinta kasih. Dengan mewartakan kebenaran Injil, dan dengan menyinari semua bidang manusiawi melalui ajaran-Nya dan melalui kesaksian umat kristen, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warganegara.” (KV II, GS art. 76)

2.      Krisis Ekonomi

Krisis ekonomi telah lama membelit masyarakat Indonesia pada umumnya. Inti persoalannya adalah kebijakan perekonomian pemerintah hanya uuntuk mengejar target produksi sementara masyarakat Indonesia dikorbankan demi keuntungan perekonomian sektor formal. Untuk masalah pemiskinan secara ekonomi tersebut, Konsili Vatikan mengajarkan bahwa; “Makna-tujuan yang paling inti produksi itu bukanlah semata-mata bertambahnya hasil produksi, bukan pula keuntungan atau kekuasaan, melainkan pelayanan kepada  manusia,  yakni  manusia  seutuhnya,  dengan  mengindahkan tata  urutan  kebutuhan-kebutuhan  jasmaninya  maupun  tuntutan-tuntutan hidupnya di bidang intelektual, moral, rohani, dan keagamaan; katakanlah: manusia siapa saja, kelompok manusia mana pun juga, dari setiap suku dan wilayah dunia. Oleh karena itu kegiatan ekonomi harus dilaksanakan menurut metode-metode dan kaidah-kaidahnya sendiri, dalam batas-batas moralitas sehingga terpenuhilah rencana Allah tentang manusia”. (KV II GS art. 64). Harapan Konsili itu jelas, perekonomian mesti terutama mengabdi kepentingan perkembangan manusia, sehingga titik berat perkembangan ekonomi bukan sekedar keuntungan semata mata! Di sinilah tantangan sekaligus sebagai peluang bagi umat Katolik dan umat beragama dan berkepercayaan lainnya untuk mengembangkan ekonomi yang berpihak pada kesejahteraan rakyat.

3.      Merebaknya aliran fundamentalisme radikal

Fundamentalisme itu pandangan yang berpusat pada diri manusia, sehingga manusia menjadi tolok ukurnya. Karena itu fundamentalisme prinsipnya “menutup diri” terhadap kebenaran dari paham di luar dirinya.  Akhirnya fundamentalisme dapat berakhir pada   arogansi terhadap orang lain, kekerasan demi mencapai tujuannya sendiri. Berhadapan  dengan  berbagai  aliran  itu,  kepentingan  kehadiran  Gereja tidak lain adalah mendorong gerakan “kebebasan beragama” dan “gerakan humanisme sejati, yang tertuju pada Allah.” Demi kepentingan gerakan kebebasan beragama, Konsili Vatikan II, secara khusus menyatakannya “bahwa pribadi manusia berhak atas kebebasan beragama. Kebebasan itu berarti, bahwa semua orang harus kebal terhadap paksaan dari pihak orang- orang perorangan maupun kelompok-kelompok sosial atau kuasa manusiawi mana pun juga, sedemikian rupa, sehingga dalam hal keagamaan tak seorang pun dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya, atau dihalang-halangi untuk  dalam  batas-batas  yang  wajar  bertindak  menurut suara  hatinya, baik sebagai perorangan maupun dimuka umum, baik sendiri maupun bersama dengan orang-orang lain. Selain itu Konsili menyatakan, bahwa hak menyatakan kebebasan beragama sungguh didasarkan pada martabat pribadi manusia, sebagaimana dikenal berkat sabda Allah yang diwahyukan dan dengan akal-budi. Hak pribadi manusia atas kebebasan beragama harus diakui dalam tata hukum masyarakat sedemikian rupa, sehingga menjadi hak sipil.”(KV II, Dignitatis Humanae, art. 1). Terhadap cara pandang yang sempit dan picik dan merasa benar sendiri, Paulus VI menunjukkan nilai humanisme yang semestinya menjadi nilai universal dalam masyarakat dunia,   “Tujuan mutakhir ialah humanisme yang terwujudkan seutuhnya. Dan tidakkah itu berarti pemenuhan manusia seutuhnya dan tidap manusia? Humanisme yang picik, terkungkung dalam dirinya tidak terbuka bagi nilai-nilai roh dan bagi Allah yang menjadi Sumbernya,  barangkali  nampaknya  saja  berhasil,  sebab  manusia  dapat berusaha menta kenyataan duniawi tanpa Allah. Akan tetapi, bila kenyataan-kenyataan itu tertutup bagi Allah, akhirnya justru akan berbalik melawan manusia. Humanisme yang tertutup bagi kenyataan lain jadi tidak manusiawi. Humanisme yang sejati menunjukkan jalan kepada Allah serta mengakui tugas yagn menjadi pokok panggilan kita, tugas yang menyajikan kepada kita makna sesungguhya hidup manusiawi. Bukan manusialah norma mutakhir manusia. Manusia hanya menjadi sungguh manusiawi bila melampaui diri sendiri. Menurut Blaise Pascal, “ Manusia secara tidak terbatas mengungguli martabatnya” (Paulus VI, Populorum Progressio art. 42)

4.      Lemahnya penegakan hukum di Indonesia

Dari segi lemahnya penegakan hukum, kita harus berusaha mengubah mindset peranan hukum dalam masyarakat, bahwa hukum bukan sarana untuk mempermudah agar “kasus-kasus” Pidana dan Perdata diperlakukan sebagai “komoditi”, tetapi hukum berfungsi untuk mempermudah pelaksanaan hidup bersama yang memungkinkan terciptanya kesejahteraan umum. Konsili Vatikan II   menegaskan bahwa “Pelaksanaan kekuasaan politik, baik dalam masyarakat sendiri, maupun di lembaga-lembaga yang mewakili negara, selalu harus berlangsung dalam batas-batas tata moral, untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang diartikan secara dinamis, menurut tata perundang-undangan yang telah dan harus ditetapkan secara sah. Maka para warganegara wajib patuh-taat berdasarkan hati nurani mereka. Dari situ jelas jugalah tanggung jawab, martabat dan kewibawaan para penguasa. (KV II GS art. 73).

Dalam Kitab Suci, kita dapat melihat bagaimana Yesus menuntut bangsa Yahudi supaya taat kepada hukum Taurat sebab pada dasarnya hukum Taurat dibuat demi kebaikan dan keselamatan manusia (bdk. Mat 5: 17-43). Satu titik pun tidak boleh dihilangkan dari hukum Taurat. Ia hanya menolak hukum Taurat yang sudah dimanipulasi, di mana hukum tidak diabdikan untuk manusia, tetapi manusia diabdikan untuk hukum. Segala hukum, peraturan, dan perintah harus diabdikan untuk tujuan kemerdekaan manusia. Maksud terdalam dari setiap hukum adalah membebaskan (atau menghindarkan) manusia dari segala sesuatu yang (dapat) menghalangi manusia untuk berbuat baik. Demikian pula tujuan hukum Taurat. Sikap Yesus terhadap hukum Taurat dapat diringkas dengan mengatakan bahwa Yesus selalu memandang hukum Taurat dalam terang hukum kasih. Mereka yang tidak peduli dengan maksud dan tujuan hukum, hanya asal menepati huruf hukum, akan bersikap legalistis: pemenuhan hukum secara lahiriah sedemikian rupa sehingga semangat hukum kerap kali dikurbankan. Misalnya, ketika kaum Farisi menerapkan peraturan mengenai hari Sabat dengan cara yang merugikan perkembangan manusia, Yesus mengajukan protes demi tercapainya tujuan peraturan itu sendiri, yakni kesejahteraan manusia: jiwa dan raga. Menurut keyakinan awal orang Yahudi sendiri, peraturan mengenai hari Sabat adalah karunia Allah demi kesejahteraan manusia (bdk. Ul 5: 12-15; Kel 20: 8-11; Kej 2: 3). Akan tetapi, sejak pembuangan Babilonia (587-538 SM), peraturan itu oleh para rabi cenderung ditambah dengan larangan-larangan yang sangat rumit. Memetik butir gandum sewaktu melewati ladang yang terbuka tidak dianggap sebagai pencurian. Kitab Ulangan yang bersemangat perikemanusiaan mengizinkan perbuatan tersebut. Akan tetapi, hukum seperti yang ditafsirkan para rabi melarang orang menyiapkan makanan pada hari Sabat dan karenanya juga melarang menuai dan menumbuk gandum pada hari Sabat. Dengan demikian, para rabi menulis hukum mereka sendiri yang bertentangan dengan semangat perikemanusiaan Kitab Ulangan. Hukum ini   menjadi beban, bukan lagi bantuan guna mencapai kepenuhan hidup sebagai manusia. Oleh karena itu Yesus mengajukan protes. Ia mempertahankan maksud Allah yang sesungguhnya dengan peraturan mengenai Sabat itu. Yang dikritik Yesus bukanlah aturan mengenai hari Sabat sebagai pernyataan kehendak Allah, melainkan cara hukum itu ditafsirkan dan diterapkan. Mula-mula, aturan mengenai hari Sabat adalah hukum sosial yang bermaksud memberikan kepada manusia waktu untuk beristirahat, berpesta, dan bergembira setelah enam hari bekerja. Istirahat dan pesta itu memungkinkan manusia untuk selalu mengingat siapa sebenarnya dirinya dan untuk apakah ia hidup. Sebenarnya, peraturan mengenai hari Sabat mengatakan kepada kita bahwa masa depan kita bukanlah kebinasaan, melainkan pesta. Dan, pesta itu sudah boleh mulai kita rayakan sekarang dalam hidup di dunia ini, dalam perjalanan kita menuju Sabat yang kekal. Cara unggul mempergunakan hari Sabat ialah dengan menolong sesama (bdk.Mrk 3: 1-5). Hari Sabat bukan untuk mengabaikan kesempatan berbuat baik. Pandangan Yesus tentang Taurat adalah pandangan yang bersifat memerdekakan, sesuai dengan maksud yang sesungguhnya dari hukum Taurat.

5.      Berbagai bencana dan kerusakan alam

Bencana alam dan kerusakan alam menantang Gereja untuk berefleksi, “Di manakah Gereja itu hidup, bukankah lingkungan hidup juga sangat krusial untuk hidup Gereja di tengah dunia? Maka persoalan perusakan lingkungan hidup itu tidak hanya masalah dunia, tetapi juga masalah Gereja. Paus Paulus VI, dalam Ensiklik Populorum Progressio, art. 21, menegaskan “Bukan saja lingkungan materiil terus menurus merupakan anaman pencemaran dan sampah, penyakit baru dan daya penghancur, melainkan lingkungan hidup manusiawi tidak lagi dikendalikan oleh manusia, sehingga menciptakan lingkungan yang untuk masa depan mungkin sekali tidak tertanggung lagi. Itulah persoalan sosial berjangkau luas, yang sedang memprihatinkan  segenap  keluarga  manusia.”  Dengan  demikian,  Gereja juga ditantang untuk terlibat dalam dunia pertanian yang sudah rusak karena perusakan sistematis sehingga merusak tatanan dan fungsi lingkungan hidup. Tepatlah Konsili Vatikan II mendesak pentingnya membangun kondisi kerja untuk para petani sehingga mereka mampu mengembangkan diri sebagai manusia utuh: “Perlu diusahakan dengan sungguh-sungguh, supaya semua orang menyadari baik haknya atas kebudayaan, maupun kewajibannya yang mengikat, untuk mengembangkan diri dan membantu pengembangan diri sesama. Sebab kadang-kadang ada situasi hidup dan kerja, yang menghambat usaha-usaha manusia di bidang kebudayaan dan menghancurkan seleranya untuk  kebudayaan.  Hal  itu  secara  khas  berlaku  bagi  para  petani  dan kaum buruh; bagi mereka itu seharusnya diciptakan kondisi-kondisi kerja sedemikian rupa, sehingga tidak menghambat melainkan justru mendukung pengambangan diri mereka sebagai manusia”. (KV II, GS art. 60).

 


 

Menggali Inspirasi dari  Tokoh Nasional Katolik

Menyimak cerita

 

IJ Kasimo dan Politik Bermartabat

“Nama Ignatius Joseph Kasimo (1900-1986) tidak setenar nama-nama tokoh pergerakan kemerdekaan lainnya. Namun, ketika praksis berpolitik belakangan ini cenderung menjadi komoditas dan tempat mencari kedudukan, sosok Kasimo menjadi referensi aktual. Bersama orang-orang seangkatan, seperti Natsir dan Prawoto, tujuan Kasimo berpolitik itu jernih, untuk rakyat dan bukan untuk dapat banyak honor,” kata sejarawan Anhar Gonggong seputar ketokohan IJ Kasimo dalam sejarah pergerakan kemerdekaan. Kasimo memberi teladan bahwa berpolitik itu pengorbanan tanpa pamrih. Berpolitik  selalu  memakai  beginsel  atau  prinsip  yang  harus  dipegang teguh. Berpolitik menjadi bermartabat. Moto salus populi suprema lex (kepentingan rakyat hukum tertinggi), kata Jakob Oetama, Pemimpin Umum Harian Kompas, merupakan cermin etika politik yang nyaris jadi klasik dari tangan Kasimo. Masuk ke gelanggang politik merupakan panggilan hidup, sikap dan perbuatannya jauh dari motivasi memperkaya diri, keluarga, dan kelompok. Kasimo seorang negarawan sejati.

Menyambung  Jakob  Oetama,  di  mata  Harry  Tjan  Silalahi,  Kasimo adalah manusia berkarakter. Berkorban tanpa pamrih, hidup sederhana. Kesederhanaan menjadi kesalehan hidup. Karena itu, Kasimo dianugerahi  umur panjang. Meninggal dalam usia 86 tahun, 1 Agustus 1986, tidak pernah korup berkat pendidikan Barat yang membedakan ”milikku” dan

”milik negara”, mine and yours.

Dari Jawa Meng-Indonesia

Kalaupun kemudian Kasimo dikenal sebagai politisi Katolik, kata Jakob Oetama dan Harry Tjan Silalahi, bahkan dikenang sebagai Bapak Politik Umat Katolik Indonesia, iman Katoliknya memberi inspirasi, memperkuat sikap dan pandangan idealisme. Meskipun selalu berpakaian Jawa lengkap, Kasimo lebur dalam upaya mengajak dan menyadarkan bahwa umat Katolik bukanlah umat Katolik di Indonesia, tetapi umat Katolik Indonesia bagian utuh dari kemajemukan bangsa Indonesia. ”Dari Jawa mengindonesia,” tegas Harry Tjan. Lahir sebagai anak kedua dari 7 bersaudara dari pasangan Dalikem- Ronosentika, seorang prajurit Keraton Yogyakarta, Kasimo tampil memperjuangkan hak-hak anak jajahan. Ia berjuang lewat Volksraad, lewat partai, tidak dengan menampilkan sikap sektarian, tetapi berdasar platform kebangsaan yang majemuk.

Partai Katolik bukanlah partai konvensional, melainkan partai yang mendasarkan diri pada ajaran dan moralitas Katolik. Mengenai posisi golongan Katolik, kata Daniel Dhakidae, Pemimpin Redaksi Majalah Prismadi Hindia Belanda tahun 1930-an golongan Katolik dianggap seperti golongan ”paria” di India. Karena itu, kehadirannya tidak diperhitungkan.

Dalam kondisi demikian, peran pastor-pastor Belanda yang Katolik di Hindia Belanda menjadi serba salah. Pastor Frans van Lith SJ merupakan satu dari antara mereka yang bersimpati dan kemudian memihak orang bumiputra. Menurut JB Sudarmanto yang melakukan penelitian tentang Kasimo, setahun setelah diangkat sebagai anggota Volksraad tanggal 19 Juli 1932, Kasimo melontarkan pernyataan, ”Tuan Ketua! Dengan ini saya menyatakan bahwa suku bangsa-suku bangsa Indonesia yang berada di bawah kekuasaan negeri Belanda, menurut kodratnya mempunyai hak serta kewajiban untuk membina eksistensinya sendiri sebagai bangsa.”

Kasimo  juga  ikut  serta  dalam  Petisi  Soetardjo  yang  diajukan  pada  15 Juli 1936. Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, berkat diangkatnya Kasimo menjadi anggota penuh delegasi RI untuk perundingan dengan pihak Belanda dari Partai Katolik, dan Supeno dari Partai Sosialis, Belanda bersedia bertemu Indonesia di meja perundingan. Bersama Kolonel AH Nasution, Kasimo—Ketua Partai Katolik (1924-1960)—menjalankan fungsi pemerintahan negara dengan membentuk Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD). Kerja sama erat dalam kedudukannya sebagai pejabat KPPD di Jawa dengan Markas Komando di Jawa lewat penandatanganan bersama menghasilkan banyak keputusan sebagai legalitas formal Pemerintah Pusat RI di Jawa ketika bergerilya semasa Clash II.

Partai politik, bagi Kasimo, merupakan sarana dan bukan tujuan. Itu pula yang menjadikan Kasimo berbesar hati menerima Partai Katolik RI yang dia dirikan berfusi ke Partai Demokrasi Indonesia tahun 1972. Dosen Sejarah Gereja, RL Hasto Rosariyanto SJ, menggarisbawahi pendapat orang tentang kesamaan ketokohan Kasimo dan Cory Aquino. Mereka bertemu dalam kegiatan politik yang digerakkan oleh cinta tanah air, sederhana, dan jujur. Sebuah bentuk keluhuran yang di hari-hari ini menjadi amat mewah, terlebih saat berpolitik tidak lagi didasarkan atas keberpihakan memperjuangkan kepentingan rakyat....”  (St. Sularto/Kompas, 8 Okt. 2010)

 

c.    Peneguhan

1)   Semua warga negara berhak ikut serta menentukan hidup kenegaraan. Dalam hal ini, Gereja sejalan apa yang diharapkan negara bahwa perlunya  partisipasi rakyat dalam mengusahakan maupun menikmati pembangunan. Maka bagi Gereja sebagai persekutuan iman dalam negara demokrasi seperti Indonesia ini, mitra utama dalam dialog ialah rakyat yang bernegara. Namun dalam dialog itu peranan pemimpin negara dan pemimpin Gereja sangat menentukan.

2)   Gereja  memperjuangkan  masyarakat  “partisipatoris”,  yaitu  “suatu partisipasi aktif para warga masyarakat, secara perorangan maupun bersama-sama dalam kehidupan dan pemerintahan negara mereka” (GS.73), supaya mereka dapat ”bertanggungjawab” terhadap politik negara. Suatu pluralisme dalam pandangan para warga negara mengenai usulan politis (GS.76; OA.46) dianggap wajar, apalagi bila seluruh masyarakat ikut serta dalam kepentingan negaranya. Bahkan, perbedaan pendapat mengenai hal-hal politik itu di dalam kalangan umat Katolik sendiri dipandang sebagai pantas pula.

3)   Dalam rangka hubungan antara Gereja Katolik dan Negara Republik Indonesia, beberapa bidang pantas diberi perhatian khusus:

a)    Dalam usaha pembangunan; Gereja melihat peranannya yang khas dalam usaha  membangun  mentalitas  sehat,  memberi  motivasi yang tepat, kuat serta mengena, membina sikap dedikasi dan kesungguhan, menyumbangkan etika pembangunan serta memupuk sikap optimis. Oleh karena itu pimpinan Gereja mengharapkan seluruh umat beriman mau melibatkan diri dan bersikap kritis konstruktif, dengan jujur menilai tujuan dan sasaran pembangunan maupun upaya-upaya dan cara-cara melaksanakannya.

b)   Gereja merasa wajib memperjuangkan dan menegakkan martabat manusia sebagai pribadi yang bernilai di hadapan Allah. Sikap dan   peranan   Gereja   berdasarkan   motivasi   manusiawi   dan Kristiani semata-mata. Oleh karena itu Gereja merasa prihatin atas pelanggaran hak-hak dasar dan hukum, atas kemiskinan dan keterbelakangan yang masih diderita oleh banyak warga negara. Bila demi pengembangan dan perlindungan nilai-nilai kemanusiaan, Gereja berperanan kritis, ia menghindari bertindak konfrontatif dan menggunakan jalur-jalur yang tersedia dan berusaha sendiri memberi kesaksian.

c)    Pimpinan Gereja mengharapkan supaya para ahli dan tokoh masyarakat yang beragama Katolik mau berpartisipasi dalam pembangunan sesuai dengan keahlian dan panggilan masing-masing. Dalam hal ini mereka hendaknya dijiwai oleh semangat Injil dan memberi teladan kejujuran dan keadilan yang pantas dicontoh oleh generasi penerus.

d)   Sesuai dengan perutusan Yesus Kristus sendiri yang diteruskan-Nya, Gereja merasa solider dengan kaum miskin. Ia membantu semua yang kurang mampu tanpa membedakan agama mereka, kalau mereka mau memanfaatkan bantuan ini untuk melangkah keluar dari lingkaran setan yang mengurung mereka.

e)    Gereja mendukung sepenuhnya usaha pemerintah memupuk rasa toleransi dan kerukunan antarumat beragama.

f)     Gereja mendukung segala usaha berswadaya, merangsang inisiatif dalam segala bidang hidup kemasyarakatan, budaya, dan bernegara. Dengan demikian, potensi, bakat, dan keterlibatan para warga negara dikembangkan sesuai dengan tujuan Negara Indonesia seperti dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, Gereja memegang prinsip subsidiaritas, agar apa saja yang dapat dilaksanakan oleh para warga negara sendiri atau oleh kelompok/ satuan/organisasi pada tingkat yang lebih rendah, jangan diambil alih oleh pihak yang lebih tinggi kedudukannya. Dengan demikian, bahaya etatisme dalam segala bidang dapat dicegah. (lihat Buku Iman Katolik, KWI, 1995).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar