TANTANGAN DAN PELUANG UMAT KATOLIK DALAM MEMBANGUN BANGSA DAN NEGARA
SEPERTI YANG DIKEHENDAKI TUHAN
Bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami suatu
krisis secara fundamental dan menyeluruh. Banyaknya masalah yang berupa
ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan yang dihadapi Indonesia datang bertubi-tubi.
Ditambah lagi masalah-masalah
bencana alam yang memang sudah menjadi bagian dari alam Indonesia, dan juga
karena proses perusakan hutan secara masif dan sistematis untuk kepentingan
bisnis kalangan tertentu. Krisis yang dialami Indonesia ini menjadi sangat multidimensional. Mulai
dari krisis ekonomi yang tidak kunjung berhenti, sehingga berdampak pula pada krisis sosial dan politik, yang pada
perkembanganya justru menyulitkan upaya pemulihan ekonomi. Konflik horizontal dan vertikal
yang terjadi dalam kehidupan sosial, disertai dengan lemahnya penegakan hukum, tentu
sangat berpotensi melahirkan disintegrasi
bangsa. Apalagi bila melihat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa
yang plural seperti beragamnya suku, budaya daerah, agama dan berbagai aspek
politik lainnya, serta kondisi geografis sebagai negara kepulauan yang tersebar
dari Sabang sampai ke Merakue. Semua ini merupakan tantangan besar yang apabila
tidak dikelola dengan baik maka akan sangat mengganggu proses pembangunan untuk mewujudkan kehidupan
bangsa yang sejahtera, adil dan makmur sesuai cita-cita para pendiri
bangsa ini.
Umat Katolik Indonesia sebagai bagian dari
integral dari bangsa Indonesia tentu saja ikut bertanggungjawab atas krisis
yang sedang terjadi. Tantangan
yang dihadapi bangsa Indonesia adalah tantangan bagi umat Katolik juga.
Karena itu tantangan-tantangan yang ada dapat menjadi peluang bagi umat Katolik
untuk ikut merestorasi bangsa
Indonesia untuk menjadi bangsa yang lebih baik. Gereja Katolik mealalui
Konsili Vatikan II mengajarkan antara
lain bahwa “...Gereja,
yang bertumpu pada cinta kasih Sang Penebus, menyumbangkan bantuannya, supaya di dalam kawasan bangsa
sendiri dan antara bangsa-bangsa makin meluaslah keadilan dan cinta kasih. Dengan mewartakan kebenaran Injil, dan dengan menyinari semua bidang manusiawi
melalui ajaran-Nya dan melalui kesaksian umat kristen, Gereja juga menghormati dan mengembangkan
kebebasan serta tanggung jawab politik para warganegara.” (KV II, GS
art. 76). Dalam kancah tanggungjawab bersama dalam pembangunan bangsa
Indonesia, sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan, bahkan sampai saat ini, sudah
banyak tokoh-tokoh Katolik, baik lokal maupun nasional di pelbagai sektor
kehidupan, memberikan sumbangsihnya bagi bangsa Indonesia. Kita memiliki
beberapa pahlawan nasional, sebut saja; Yosafat Sudarso, Slamet Riyadi,
Adisucipto, Mgr. Sugiyapranoto, I.J. Kasimo, Frans Seda dan lain sebagainya.
BERBAGAI
KRISIS DI INDONESIA
Kita telah menemukan berbagai macam tantangan
yang sedang dihadapi bangsa Indonesia yaitu: krisis etika politik, krisis
ekonomi, merebaknya aliaran fundamentalisme radikal, lemahnya penegakan hukum,
dan bencana alam serta kerusakan lingkungan. Berdasarkan masalah-masalah yang
merupakan tantangan itu, apa peluang bagi umat Katolik untuk membangun bangsa
sesuai kehendak Tuhan sebagaimana yang diajarkan Gereja dalam bidang berikut:
1.
Krisis Etika Politik
Etika Politik
di Indonesia masih
carut marut. Politik hanya dipahami secara pragmatis sebagai sarana
untuk mencari kekuasaan dan kekayaan bagi pribadi-pribadi dan golongan sendiri.
Politik yang berkembang saat ini, khususnya oleh partai politik lebih bersifat transaksional yaitu untuk
membagi-bagi kekuasaan dan berujung pada praktik politik uang. Banyak
kepala daerah, dan para pejabat lembaga negara lainnya, baik eksekutif,
legislatif, dan yudislatif (polisi, jaksa, hakim) kini berurusan dengan KPK
karena terlibat kasus korupsi yang tentu saja merugikan pembangunan bagi
kesejahteraan rakyat.
2.
Krisis Ekonomi
Masyarakat Indonesia kini masih dilanda krisis ekonomi. Banyak yang masih hidup
di bawah garis
kemiskinan, padahal Indonesia
sendiri dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya.
Dengan berkembangnya neoliberalisme saat ini, orang kaya akan semakin kaya, dan orang miskin akan semakin
miskin. Orang miskin, bahkan para pedagang kecil atau menengah
sekalipun, tidak pernah akan mampu bersaing dengan para pedagang besar atau
orang-orang kaya.
3.
Merebaknya aliran
fundamentalisme radikal
Kini merebak berbagai
aliran fundamental radikal di Indonesia. Fundamentalisme itu pandangan yang
berpusat pada diri manusia, sehingga manusia menjadi tolok ukurnya. Karena itu fundamentalisme prinsipnya “menutup
diri” terhadap kebenaran dari paham di luar dirinya. Akhirnya,
fundamentalisme dapat berakhir
pada arogansi terhadap orang lain, kekerasan demi mencapai tujuannya sendiri.
Fundamentalisme radikal tidak hanya terbatas pada aliran agama tertentu, tetapi
juga suku bahkan daerah. Nampaknya setelah diberlakukan sistem otonomi daerah,
dan otonomi khusus, terjadilah gerakan daerahisme. Mereka berusaha menolak dan
bahkan “mengusir” orang dari daerah lain, khususnya dalam urusan pejabat
pemerintahan, atau pengangkatan PNS dengan istilah mengutamakan putra daerah.
4.
Lemahnya penegakan hukum di
Indonesia
Dalam berbagai kasus
penegakan hukum baik perdata maupun pidana, banyak terjadi ketidakadilan. Keadilan hukum hanya tajam untuk
orang di bawah tetapi tumpul untuk orang yang di atas. Artinya
bahwa keadilan hukum di lembaga
peradilan hanya diberlakukan bagi masyarakat kecil yang lemah secara ekonomi,
karena mereka tidak mampu menyogok para penegak hukum. Di sisi lain para
penguasa dan kaum kaya raya dapat membeli para penegak hukum sehingga mereka
bisa bebas dari hukuman, atau minimal mendapat hukuman ringan. Dalam beberapa
kasus, seorang pencopet atau maling ayam, dihukum jauh lebih berat daripada seorang
koruptor yang telah mencuri uang negara ratusan juta atau bahkan miliaran
rupiah. Publik Indonesia pun sudah mengetahui bagaimana banyak koruptor kelas
kakap yang sedang mendekam di penjara tetapi dapat berkeliaran bebas di luar
dan berpesta pora serta melancong ke mana-mana.
5.
Berbagai bencana dan kerusakan
alam
Bencana alam dan
kerusakan alam menjadi tantangan nyata di hadapan kita. Bencana alam bisa disebabkan oleh kondisi alam itu
sendiri, seperti gempa bumi, dan
letusan gunung berapi.
Namun bencana
alam juga dapat disebabkan oleh
perbuatan manusia sendiri, seperti penggundulan dan pembakaran hutan
untuk berbagai tujuan; penebangan pohon secara serampangan sehingga menimbulkan
bencana longsor dan banjir bandang yang merenggut jiwa dan harta. Kerusakan
alam juga disebabkan oleh limbah industri yang mematikan ekosistem di
sekitarnya.
PANDANGAN GEREJA
1.
Krisis Etika Politik
Situasi Etika Politik di
Indonesia masih carut marut. Gereja
Katolik perlu memperjuangkan agar politik tidak hanya dipahami secara pragmatis
sebagai sarana untuk mencari kekuasaan dan kekayaan, melainkan sebagai suatu
jerih payah untuk membuat transformasi situasi masyarakat yang kacau menjadi
masyarakat yang tertata dan mampu menciptakan kesejahteraan umum.
Relasi Gereja dan Negara
untuk kepentingan terwujudnya kesejahteraan umum dinyatakan oleh Konsili
sebagai berikut: “Negara dan
Gereja bersifat otonom tidak saling tergantung dibidang masing-masing.
Akan tetapi keduanya, kendati atas dasar yang berbeda, melayani panggilan pribadi dan sosial orang-orang yang
sama. Pelaksanaan itu akan lebih efektif jika negara dan Gereja menjalin kerja sama yang sehat,
dengan mengindahkan situasi
setempat dan sesama. Sebab
manusia tidak terkungkung
dalam tata duniawi saja, melainkan juga mengabdi kepada panggilannya
untuk kehidupan kekal. Gereja, yang bertumpu pada cinta kasih Sang Penebus,
menyumbangkan bantuannya, supaya di dalam kawasan bangsa sendiri dan antara
bangsa-bangsa makin meluaslah keadilan dan cinta kasih. Dengan mewartakan
kebenaran Injil, dan dengan menyinari semua bidang manusiawi melalui ajaran-Nya
dan melalui kesaksian umat kristen, Gereja juga menghormati dan mengembangkan
kebebasan serta tanggung jawab politik para warganegara.” (KV II, GS art. 76)
2.
Krisis Ekonomi
Krisis ekonomi telah lama
membelit masyarakat Indonesia pada umumnya. Inti persoalannya adalah kebijakan
perekonomian pemerintah hanya uuntuk mengejar target produksi sementara
masyarakat Indonesia dikorbankan demi keuntungan perekonomian sektor formal.
Untuk masalah pemiskinan secara ekonomi tersebut, Konsili Vatikan mengajarkan
bahwa; “Makna-tujuan yang paling inti produksi itu bukanlah semata-mata
bertambahnya hasil produksi, bukan pula keuntungan atau kekuasaan, melainkan
pelayanan kepada manusia, yakni manusia seutuhnya,
dengan mengindahkan tata urutan
kebutuhan-kebutuhan
jasmaninya maupun tuntutan-tuntutan hidupnya di bidang
intelektual, moral, rohani, dan keagamaan; katakanlah: manusia siapa saja,
kelompok manusia mana pun juga, dari setiap suku dan wilayah dunia. Oleh karena
itu kegiatan ekonomi harus
dilaksanakan menurut metode-metode dan kaidah-kaidahnya sendiri, dalam
batas-batas moralitas sehingga terpenuhilah rencana Allah tentang manusia”.
(KV II GS art. 64). Harapan Konsili itu jelas, perekonomian mesti terutama mengabdi kepentingan
perkembangan manusia, sehingga titik berat perkembangan ekonomi bukan sekedar
keuntungan semata mata! Di sinilah tantangan sekaligus sebagai peluang
bagi umat Katolik dan umat beragama dan berkepercayaan lainnya untuk mengembangkan ekonomi yang berpihak
pada kesejahteraan rakyat.
3.
Merebaknya aliran
fundamentalisme radikal
Fundamentalisme itu
pandangan yang berpusat pada diri manusia, sehingga manusia menjadi tolok
ukurnya. Karena itu fundamentalisme prinsipnya “menutup diri” terhadap
kebenaran dari paham di luar dirinya.
Akhirnya fundamentalisme dapat berakhir pada arogansi terhadap orang lain, kekerasan demi
mencapai tujuannya sendiri. Berhadapan
dengan berbagai aliran
itu, kepentingan kehadiran Gereja tidak lain
adalah mendorong gerakan
“kebebasan beragama” dan “gerakan humanisme sejati, yang tertuju pada Allah.”
Demi kepentingan gerakan kebebasan beragama, Konsili Vatikan II, secara khusus
menyatakannya “bahwa pribadi manusia berhak atas kebebasan beragama. Kebebasan
itu berarti, bahwa semua orang harus kebal terhadap paksaan dari pihak orang-
orang perorangan maupun kelompok-kelompok sosial atau kuasa manusiawi mana pun
juga, sedemikian rupa, sehingga dalam hal keagamaan tak seorang pun dipaksa
untuk bertindak melawan suara hatinya, atau dihalang-halangi untuk dalam
batas-batas yang wajar
bertindak menurut suara hatinya, baik sebagai perorangan maupun
dimuka umum, baik sendiri maupun bersama dengan orang-orang lain. Selain itu
Konsili menyatakan, bahwa hak menyatakan kebebasan beragama sungguh didasarkan
pada martabat pribadi manusia, sebagaimana dikenal berkat sabda Allah yang
diwahyukan dan dengan akal-budi. Hak pribadi manusia atas kebebasan beragama
harus diakui dalam tata hukum masyarakat sedemikian rupa, sehingga menjadi hak
sipil.”(KV II, Dignitatis Humanae, art. 1). Terhadap cara pandang yang sempit
dan picik dan merasa benar sendiri, Paulus VI menunjukkan nilai humanisme yang semestinya
menjadi nilai universal dalam masyarakat dunia, “Tujuan mutakhir ialah humanisme yang
terwujudkan seutuhnya. Dan tidakkah itu berarti pemenuhan manusia seutuhnya dan
tidap manusia? Humanisme yang picik, terkungkung dalam dirinya tidak terbuka
bagi nilai-nilai roh dan bagi Allah yang menjadi Sumbernya, barangkali
nampaknya saja berhasil,
sebab manusia dapat berusaha menta kenyataan duniawi tanpa
Allah. Akan tetapi, bila kenyataan-kenyataan itu tertutup bagi Allah, akhirnya
justru akan berbalik melawan manusia. Humanisme yang tertutup bagi kenyataan
lain jadi tidak manusiawi. Humanisme yang sejati menunjukkan jalan kepada Allah
serta mengakui tugas yagn menjadi pokok panggilan kita, tugas yang menyajikan
kepada kita makna sesungguhya hidup manusiawi. Bukan manusialah norma mutakhir
manusia. Manusia hanya menjadi sungguh manusiawi bila melampaui diri sendiri.
Menurut Blaise Pascal, “ Manusia secara tidak terbatas mengungguli martabatnya”
(Paulus VI, Populorum Progressio art. 42)
4.
Lemahnya penegakan hukum di
Indonesia
Dari segi lemahnya
penegakan hukum, kita harus
berusaha mengubah mindset peranan hukum dalam masyarakat, bahwa hukum
bukan sarana untuk mempermudah agar “kasus-kasus” Pidana dan Perdata
diperlakukan sebagai “komoditi”, tetapi hukum berfungsi untuk mempermudah pelaksanaan hidup bersama yang
memungkinkan terciptanya kesejahteraan umum. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa “Pelaksanaan kekuasaan
politik, baik dalam masyarakat sendiri, maupun di lembaga-lembaga yang mewakili
negara, selalu harus berlangsung dalam batas-batas tata moral, untuk mewujudkan
kesejahteraan umum yang diartikan secara dinamis, menurut tata
perundang-undangan yang telah dan harus ditetapkan secara sah. Maka para
warganegara wajib patuh-taat berdasarkan hati nurani mereka. Dari situ jelas
jugalah tanggung jawab, martabat dan kewibawaan para penguasa. (KV II GS art.
73).
Dalam Kitab Suci, kita
dapat melihat bagaimana Yesus menuntut bangsa Yahudi supaya taat kepada hukum
Taurat sebab pada dasarnya hukum Taurat dibuat demi kebaikan dan keselamatan
manusia (bdk. Mat 5: 17-43). Satu titik pun tidak boleh dihilangkan dari hukum
Taurat. Ia hanya menolak hukum Taurat yang sudah dimanipulasi, di mana hukum
tidak diabdikan untuk manusia, tetapi manusia diabdikan untuk hukum. Segala hukum, peraturan, dan
perintah harus diabdikan untuk tujuan kemerdekaan manusia. Maksud terdalam dari
setiap hukum adalah membebaskan (atau menghindarkan) manusia dari segala
sesuatu yang (dapat) menghalangi manusia untuk berbuat baik. Demikian
pula tujuan hukum Taurat. Sikap Yesus terhadap hukum Taurat dapat diringkas
dengan mengatakan bahwa Yesus
selalu memandang hukum Taurat dalam terang hukum kasih. Mereka yang
tidak peduli dengan maksud dan tujuan hukum, hanya asal menepati huruf hukum,
akan bersikap legalistis: pemenuhan hukum secara lahiriah sedemikian rupa
sehingga semangat hukum kerap kali dikurbankan. Misalnya, ketika kaum Farisi
menerapkan peraturan mengenai hari Sabat dengan cara yang merugikan
perkembangan manusia, Yesus mengajukan protes demi tercapainya tujuan peraturan
itu sendiri, yakni kesejahteraan manusia: jiwa dan raga. Menurut keyakinan awal
orang Yahudi sendiri, peraturan mengenai hari Sabat adalah karunia Allah demi
kesejahteraan manusia (bdk. Ul 5: 12-15; Kel 20: 8-11; Kej 2: 3). Akan tetapi,
sejak pembuangan Babilonia (587-538 SM), peraturan itu oleh para rabi cenderung
ditambah dengan larangan-larangan yang sangat rumit. Memetik butir gandum
sewaktu melewati ladang yang terbuka tidak dianggap sebagai pencurian. Kitab
Ulangan yang bersemangat perikemanusiaan mengizinkan perbuatan tersebut. Akan
tetapi, hukum seperti yang ditafsirkan para rabi melarang orang menyiapkan
makanan pada hari Sabat dan karenanya juga melarang menuai dan menumbuk gandum
pada hari Sabat. Dengan demikian, para rabi menulis hukum mereka sendiri yang
bertentangan dengan semangat perikemanusiaan Kitab Ulangan. Hukum ini menjadi beban, bukan lagi bantuan guna
mencapai kepenuhan hidup sebagai manusia. Oleh karena itu Yesus mengajukan
protes. Ia mempertahankan maksud Allah yang sesungguhnya dengan peraturan
mengenai Sabat itu. Yang dikritik Yesus bukanlah aturan mengenai hari Sabat
sebagai pernyataan kehendak Allah, melainkan cara hukum itu ditafsirkan dan
diterapkan. Mula-mula, aturan mengenai hari Sabat adalah hukum sosial yang
bermaksud memberikan kepada manusia waktu untuk beristirahat, berpesta, dan
bergembira setelah enam hari bekerja. Istirahat dan pesta itu memungkinkan
manusia untuk selalu mengingat siapa sebenarnya dirinya dan untuk apakah ia
hidup. Sebenarnya, peraturan mengenai hari Sabat mengatakan kepada kita bahwa
masa depan kita bukanlah kebinasaan, melainkan pesta. Dan, pesta itu sudah
boleh mulai kita rayakan sekarang dalam hidup di dunia ini, dalam perjalanan
kita menuju Sabat yang kekal. Cara unggul mempergunakan hari Sabat ialah dengan
menolong sesama (bdk.Mrk 3: 1-5). Hari Sabat bukan untuk mengabaikan kesempatan
berbuat baik. Pandangan Yesus tentang Taurat adalah pandangan yang bersifat
memerdekakan, sesuai dengan maksud yang sesungguhnya dari hukum Taurat.
5.
Berbagai bencana dan kerusakan
alam
Bencana alam dan
kerusakan alam menantang Gereja untuk berefleksi, “Di manakah Gereja itu hidup,
bukankah lingkungan hidup juga sangat krusial untuk hidup Gereja di tengah
dunia? Maka persoalan perusakan
lingkungan hidup itu tidak hanya masalah dunia, tetapi juga masalah Gereja.
Paus Paulus VI, dalam Ensiklik Populorum Progressio, art. 21, menegaskan “Bukan
saja lingkungan materiil terus menurus merupakan anaman pencemaran dan sampah,
penyakit baru dan daya penghancur, melainkan lingkungan hidup manusiawi tidak lagi
dikendalikan oleh manusia, sehingga menciptakan lingkungan yang untuk masa
depan mungkin sekali tidak tertanggung lagi. Itulah persoalan sosial berjangkau
luas, yang sedang memprihatinkan segenap keluarga
manusia.” Dengan demikian,
Gereja juga ditantang
untuk terlibat dalam dunia pertanian yang sudah rusak karena perusakan
sistematis sehingga merusak tatanan dan fungsi lingkungan hidup.
Tepatlah Konsili Vatikan II mendesak
pentingnya membangun kondisi kerja untuk para petani sehingga mereka mampu mengembangkan
diri sebagai manusia utuh: “Perlu diusahakan dengan sungguh-sungguh,
supaya semua orang menyadari baik haknya atas kebudayaan, maupun kewajibannya
yang mengikat, untuk mengembangkan diri dan membantu pengembangan diri sesama.
Sebab kadang-kadang ada situasi hidup dan kerja, yang menghambat usaha-usaha
manusia di bidang kebudayaan dan menghancurkan seleranya untuk kebudayaan.
Hal itu secara
khas berlaku bagi
para petani dan kaum buruh; bagi mereka itu seharusnya
diciptakan kondisi-kondisi kerja sedemikian rupa, sehingga tidak menghambat
melainkan justru mendukung pengambangan diri mereka sebagai manusia”. (KV II,
GS art. 60).
Menggali Inspirasi dari Tokoh
Nasional Katolik
Menyimak cerita
IJ Kasimo dan Politik Bermartabat
“Nama Ignatius Joseph Kasimo (1900-1986) tidak
setenar nama-nama tokoh pergerakan kemerdekaan lainnya. Namun, ketika praksis
berpolitik belakangan ini cenderung menjadi komoditas dan tempat mencari
kedudukan, sosok Kasimo menjadi referensi aktual. Bersama orang-orang
seangkatan, seperti Natsir dan Prawoto, tujuan Kasimo berpolitik itu jernih,
untuk rakyat dan bukan untuk dapat banyak honor,” kata sejarawan Anhar Gonggong
seputar ketokohan IJ Kasimo dalam sejarah pergerakan kemerdekaan. Kasimo
memberi teladan bahwa berpolitik itu pengorbanan tanpa pamrih. Berpolitik selalu
memakai beginsel atau
prinsip yang harus
dipegang teguh. Berpolitik menjadi bermartabat. Moto salus populi
suprema lex (kepentingan rakyat hukum tertinggi), kata Jakob Oetama, Pemimpin
Umum Harian Kompas, merupakan cermin etika politik yang nyaris jadi klasik dari
tangan Kasimo. Masuk ke gelanggang politik merupakan panggilan hidup, sikap dan
perbuatannya jauh dari motivasi memperkaya diri, keluarga, dan kelompok. Kasimo
seorang negarawan sejati.
Menyambung
Jakob Oetama, di
mata Harry Tjan
Silalahi, Kasimo adalah manusia
berkarakter. Berkorban tanpa pamrih, hidup sederhana. Kesederhanaan menjadi
kesalehan hidup. Karena itu, Kasimo dianugerahi
umur panjang. Meninggal dalam usia 86 tahun, 1 Agustus 1986, tidak
pernah korup berkat pendidikan Barat yang membedakan ”milikku” dan
”milik negara”, mine and yours.
Dari Jawa Meng-Indonesia
Kalaupun kemudian Kasimo dikenal sebagai politisi
Katolik, kata Jakob Oetama dan Harry Tjan Silalahi, bahkan dikenang sebagai
Bapak Politik Umat Katolik Indonesia, iman Katoliknya memberi inspirasi,
memperkuat sikap dan pandangan idealisme. Meskipun selalu berpakaian Jawa
lengkap, Kasimo lebur dalam upaya mengajak dan menyadarkan bahwa umat Katolik
bukanlah umat Katolik di Indonesia, tetapi umat Katolik Indonesia bagian utuh
dari kemajemukan bangsa Indonesia. ”Dari Jawa mengindonesia,” tegas Harry Tjan.
Lahir sebagai anak kedua dari 7 bersaudara dari pasangan Dalikem- Ronosentika,
seorang prajurit Keraton Yogyakarta, Kasimo tampil memperjuangkan hak-hak anak
jajahan. Ia berjuang lewat Volksraad, lewat partai, tidak dengan menampilkan
sikap sektarian, tetapi berdasar platform kebangsaan yang majemuk.
Partai Katolik bukanlah partai konvensional,
melainkan partai yang mendasarkan diri pada ajaran dan moralitas Katolik.
Mengenai posisi golongan Katolik, kata Daniel Dhakidae, Pemimpin Redaksi
Majalah Prismadi Hindia Belanda tahun 1930-an golongan Katolik dianggap seperti
golongan ”paria” di India. Karena itu, kehadirannya tidak diperhitungkan.
Dalam kondisi demikian, peran pastor-pastor
Belanda yang Katolik di Hindia Belanda menjadi serba salah. Pastor Frans van
Lith SJ merupakan satu dari antara mereka yang bersimpati dan kemudian memihak
orang bumiputra. Menurut JB Sudarmanto yang melakukan penelitian tentang
Kasimo, setahun setelah diangkat sebagai anggota Volksraad tanggal 19 Juli
1932, Kasimo melontarkan pernyataan, ”Tuan Ketua! Dengan ini saya menyatakan
bahwa suku bangsa-suku bangsa Indonesia yang berada di bawah kekuasaan negeri
Belanda, menurut kodratnya mempunyai hak serta kewajiban untuk membina
eksistensinya sendiri sebagai bangsa.”
Kasimo
juga ikut serta
dalam Petisi Soetardjo
yang diajukan pada
15 Juli 1936. Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, berkat diangkatnya
Kasimo menjadi anggota penuh delegasi RI untuk perundingan dengan pihak Belanda
dari Partai Katolik, dan Supeno dari Partai Sosialis, Belanda bersedia bertemu
Indonesia di meja perundingan. Bersama Kolonel AH Nasution, Kasimo—Ketua Partai
Katolik (1924-1960)—menjalankan fungsi pemerintahan negara dengan membentuk
Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD). Kerja sama erat dalam kedudukannya
sebagai pejabat KPPD di Jawa dengan Markas Komando di Jawa lewat
penandatanganan bersama menghasilkan banyak keputusan sebagai legalitas formal
Pemerintah Pusat RI di Jawa ketika bergerilya semasa Clash II.
Partai politik, bagi Kasimo, merupakan sarana dan
bukan tujuan. Itu pula yang menjadikan Kasimo berbesar hati menerima Partai
Katolik RI yang dia dirikan berfusi ke Partai Demokrasi Indonesia tahun 1972.
Dosen Sejarah Gereja, RL Hasto Rosariyanto SJ, menggarisbawahi pendapat orang
tentang kesamaan ketokohan Kasimo dan Cory Aquino. Mereka bertemu dalam
kegiatan politik yang digerakkan oleh cinta tanah air, sederhana, dan jujur.
Sebuah bentuk keluhuran yang di hari-hari ini menjadi amat mewah, terlebih saat
berpolitik tidak lagi didasarkan atas keberpihakan memperjuangkan kepentingan
rakyat....” (St. Sularto/Kompas, 8 Okt. 2010)
c.
Peneguhan
1)
Semua warga negara berhak ikut serta menentukan hidup kenegaraan.
Dalam hal ini, Gereja sejalan apa yang diharapkan negara bahwa perlunya partisipasi rakyat dalam mengusahakan maupun
menikmati pembangunan. Maka bagi Gereja sebagai persekutuan iman dalam negara demokrasi seperti
Indonesia ini, mitra utama
dalam dialog ialah rakyat yang bernegara. Namun dalam dialog itu peranan
pemimpin negara dan pemimpin Gereja sangat menentukan.
2)
Gereja memperjuangkan masyarakat
“partisipatoris”, yaitu “suatu partisipasi aktif para warga
masyarakat, secara perorangan maupun bersama-sama dalam kehidupan dan
pemerintahan negara mereka” (GS.73), supaya mereka dapat ”bertanggungjawab” terhadap politik
negara. Suatu pluralisme dalam pandangan para warga negara mengenai usulan
politis (GS.76; OA.46) dianggap wajar, apalagi bila seluruh masyarakat ikut
serta dalam kepentingan negaranya. Bahkan, perbedaan pendapat mengenai hal-hal
politik itu di dalam kalangan umat Katolik sendiri dipandang sebagai pantas
pula.
3)
Dalam rangka hubungan antara Gereja Katolik dan Negara Republik
Indonesia, beberapa bidang pantas diberi perhatian khusus:
a)
Dalam usaha pembangunan; Gereja melihat peranannya yang khas dalam usaha membangun
mentalitas sehat, memberi
motivasi yang tepat, kuat serta mengena, membina sikap dedikasi dan
kesungguhan, menyumbangkan etika pembangunan serta memupuk sikap optimis.
Oleh karena itu pimpinan Gereja mengharapkan seluruh umat beriman mau
melibatkan diri dan bersikap kritis konstruktif, dengan jujur menilai tujuan
dan sasaran pembangunan maupun upaya-upaya dan cara-cara melaksanakannya.
b)
Gereja merasa wajib
memperjuangkan dan menegakkan martabat manusia sebagai pribadi yang bernilai di
hadapan Allah.
Sikap dan peranan Gereja
berdasarkan motivasi manusiawi
dan Kristiani semata-mata. Oleh karena itu Gereja merasa prihatin atas
pelanggaran hak-hak dasar dan hukum, atas kemiskinan dan keterbelakangan yang
masih diderita oleh banyak warga negara. Bila demi pengembangan dan
perlindungan nilai-nilai kemanusiaan, Gereja berperanan kritis, ia menghindari
bertindak konfrontatif dan menggunakan jalur-jalur yang tersedia dan berusaha
sendiri memberi kesaksian.
c)
Pimpinan Gereja mengharapkan supaya
para ahli dan tokoh masyarakat yang beragama Katolik mau berpartisipasi dalam pembangunan
sesuai dengan keahlian dan panggilan masing-masing. Dalam hal ini mereka
hendaknya dijiwai oleh semangat Injil dan memberi teladan kejujuran dan
keadilan yang pantas dicontoh oleh generasi penerus.
d)
Sesuai dengan perutusan Yesus Kristus sendiri yang diteruskan-Nya, Gereja merasa solider dengan
kaum miskin. Ia membantu semua yang kurang mampu tanpa membedakan agama
mereka, kalau mereka mau memanfaatkan bantuan ini untuk melangkah keluar dari
lingkaran setan yang mengurung mereka.
e)
Gereja mendukung sepenuhnya
usaha pemerintah memupuk rasa toleransi dan kerukunan antarumat beragama.
f)
Gereja mendukung segala usaha
berswadaya, merangsang inisiatif dalam segala bidang hidup kemasyarakatan,
budaya, dan bernegara. Dengan demikian, potensi, bakat, dan keterlibatan para warga negara
dikembangkan sesuai dengan tujuan Negara Indonesia seperti dirumuskan dalam
Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, Gereja memegang prinsip subsidiaritas,
agar apa saja yang dapat dilaksanakan oleh para warga negara sendiri atau oleh
kelompok/ satuan/organisasi pada tingkat yang lebih rendah, jangan diambil alih
oleh pihak yang lebih tinggi kedudukannya. Dengan demikian, bahaya etatisme
dalam segala bidang dapat dicegah. (lihat Buku Iman Katolik, KWI, 1995).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar