Cari Blog Ini

Rabu, 03 Februari 2021

HAK ASASI MANUSIA DALAM TERANG KITAB SUCI DAN AJARAN GEREJA

 

HAK ASASI MANUSIA DALAM TERANG KITAB SUCI DAN AJARAN GEREJA

Isu  pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia  sering menjadi soroton baik di dalam maupun luar negeri. Kasus kekerasan terhadap penganut agama dan keyakinan minoritas oleh kelompok-kelompok tertentu bukan lagi menjadi hal yang luar biasa, tetapi biasa-biasa saja. Aparat negara yang sejatinya melindungi rakyatnya terkesan melakukan pembiaran, sehingga kasus yang sama sering terulang kembali. Indonesia menurut  catatan Komisi HAM PBB, termasuk negara pelanggar HAM terbesar yang memprihatinkan  dan telah mencoreng nilai-nilai dasar kemartabatan manusia Indonesia. Pada umumnya, pelanggaran HAM di Indonesia disebabkan oleh struktur dan sistem politik, ekonomi, dan budaya masyarakat yang diciptakan oleh kaum penguasa dan kaum kaya.

 

Ajaran  Sosial Gereja  menegaskan:  “karena  semua  manusia  mempunyai  jiwa berbudi dan diciptakan menurut  citra Allah, karena mempunyai kodrat dan asal yang sama, serta karena penebusan Kristus, mempunyai panggilan dan tujuan ilahi yang sama, maka kesamaan asasi antara manusia harus senantiasa diakui” (Gaudium et Spes art. 29). Dari ajaran tersebut tampak jelas pandangan Gereja  tentang hak asasi, yakni:

·       Hak yang melekat pada diri manusia sebagai insan ciptaan Allah.

·       Hak ini tidak diberikan kepada seseorang karena kedudukan, pangkat atau situasi. Hak ini dimiliki setiap orang sejak lahir, karena  dia seorang manusia.

·       Hak ini bersifat asasi bagi manusia, karena  kalau hak  ini  diambil, ia tidak  dapat  hidup  sebagai manusia  lagi.

·       Oleh karena itu, hak asasi manusia merupakan tolok ukur dan pedoman yang tidak dapat diganggu gugat dan harus ditempatkan di atas segala aturan hukum.

·       Gereja mendesak diatasinya dan dihapuskannya “setiap bentuk diskriminasi, entah yang bersifat sosial atau  kebudayaan, entah  yang didasarkan  pada jenis kelamin, warna kulit, suku, keadaan sosial, bahasa ataupun  agama... karena berlawanan dengan maksud dan kehendak Allah”

 

Dalam sejarahnya, perjuangan Gereja dalam menegakkan HAM antara lain  melalui terbitnya Ensiklik Mater et Magistra (1961) dan Pacem in Terris (1963) mulai berbicara tentang hak asasi manusia. Konsili Vatikan II (1962–1965) berulang kali berbicara mengenai hak asasi manusia, terutama dalam konstitusi Gaudium et Spes dan Dignitatis Humanae. Tahun 1974 panitia kepausan “Yustita et Pax” menerbitkan sebuah kertas kerja “Gereja dan hak-hak asasi manusia”. Komisi Teologi Internasional mengeluarkan sejumlah tesis mengenai martabat dan hak-hak pribadi manusia.

Kitab Suci mengajarkan bahwa “Allah menciptakan  manusia menurut citraNya sendiri (Kej 9:6). Maksudnya, “kepadanya dikenakan kekuatan yang serupa dengan kekuatan Tuhan sendiri, agar manusia merajai binatang dan unggas” (Sir 17:3-4). Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang berdaulat dan semua hak manusia adalah  hak  mengembangkan  diri  sebagai citra  Allah. Hak  manusia  dilindungi Tuhan,  terutama  bila ia sendiri  tidak  mampu  membela diri.  Bahkan di tempat manusia kehilangan haknya, karena kesalahan dan dosanya sendiri, di sana Tuhan tetap membela dan melindunginya: “ ...apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat; dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah untuk meniadakan yang berarti, supaya jangan ada orang yang memegahkan diri di hadapan Allah” (1Kor 1:27-29).

 

Pokok perhatian kita terhadap fakta saat ini:

-       Hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia adalah; Hak hidup, hak  atas keyakinan keagamaan, hak atas harta  milik, hak politik, hak atas perlindungan hukum, hak atas pekerjaan, hak atas tempat tinggal, hak atas pendidikan, dan sebagainya. Hak-hak tersebut sering dilecehkan oleh orang-perorangan, kelompok, atau negara.

-       Sebab terjadinya pelanggaran HAM di Indonesia  antara  lain disebabkan oleh struktur kemasyarakatan yang diciptakan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dan uang. Mayoritas bangsa Indonesia berada dalam keadaan terjepit dan menjadi bulan-bulanan kaum penguasa dan kaum kaya. Sistem sosial, politik, dan ekonomi yang disusun penguasa dan pengusaha menciptakan  ketergantungan rakyat jelata kepadanya, sehingga mereka dapat bertindak sewenang-wenang.

-       Pembangunan ekonomi, sosial, dan politik dunia dewasa ini belum menciptakan kesempatan yang luas bagi “orang-orang kecil”, melainkan justru mempersempit ruang gerak “orang-orang kecil” untuk mengungkapkan jati dirinya secara penuh. Kita dapat melihatnya dalam lingkup yang besar di dalam percaturan negara dan kita dapat mengalaminya di dalam lingkup yang kecil di lingkungan kita sendiri. Orang-orang kecil tetap saja menjadi orang yang tersisih dan menderita.

-       Ketidakadilan  dan  pelanggaran HAM terhadap  perempuan  disebabkan oleh struktur dan sistem kemasyarakatan yang tidak adil, yang telah diciptakan oleh kaum laki-laki. Laki-laki telah menciptakan masyarakat patriarkhi. Budaya patri- arkhi mengajarkan bahwa garis keturunan anak ditentukan oleh garis dari ayah, maka semua pranata sosial tentang kehidupan dilatarbelakangi oleh pandangan patriarkhi.  Ayah menjadi  penentu  keturunan,  maka dalam proses kehidupan kaum laki-laki menjadi kelompok masyarakat yang berkuasa. Akibatnya, kekua- saan kaum laki-laki menjadi sebuah sistem yang kuat dan dianggap benar.

 

Mendalami Ajaran Kitab Suci

·     Keluaran 3:7-8

7Dan TUHAN berfirman: “Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku mengetahui penderitaan mereka.

8 Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun  mereka keluar dari negeri itu ke suatu negeri yang baik dan luas, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya, ke tempat orang Kanaan, orang Het, orang Amori, orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus.

 

·     Yesaya 10:1-2

1Celakalah mereka  yang menentukan  ketetapan-ketetapan  yang tidak  adil, dan mereka yang mengeluarkan keputusan-keputusan kelaliman,

2untuk menghalang-halangi orang-orang lemah mendapat keadilan dan untuk merebut hak orang-orang sengsara di antara umat-Ku, supaya mereka dapat merampas milik janda-janda, dan dapat menjarah anak-anak yatim!

 

·     Mateus 23:2-4

2“Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa.

3Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajar- kannya tetapi tidak melakukannya.

4Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya.

 

·     Yohanes 8:1-11

1tetapi Yesus pergi ke bukit Zaitun.

2Pagi-pagi benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia duduk dan mengajar mereka.

3Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perem- puan yang kedapatan berbuat zinah.

4Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: “Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah.

5Musa dalam hukum  Taurat  memerintahkan  kita untuk  melempari perempuan- perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?”

6Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh ses- uatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari- Nya di tanah.

7Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.”

8Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah.

9Tetapi setelah mereka mendengar  perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari  yang tertua.  Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya.

10Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: “Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?”

11Jawabnya: “Tidak ada, Tuhan.” Lalu kata Yesus: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”

 

Penjelasan

-       Dalam Kitab Suci perjanjian Lama, kita melihat bahwa orang miskin dan yang tak berdaya mendapat perhatian khusus bagi Tuhan. Maka, hak-hak asasi pertama- tama harus diperjuangkan untuk orang yang lemah dan yang tidak berdaya dalam masyarakat.

-       Dasar perjuangan itu adalah tindakan Tuhan sendiri yang melindungi orang yang tidak mempunyai hak dan kekuatan. Dalam Yes 10: 1-2 dikatakan: “Celakalah mereka yang menentukan  ketetapan-ketetapan yang tidak adil, dan mengeluar- kan keputusan-keputusan kelaliman untuk merebut hak orang-orang sengsara di antara umat-Ku, supaya dapat merampas milik janda-janda dan dapat menjarah anak-anak yatim.”

-       Dalam Kitab Suci Perjanjian baru, kita dapat melihat bahwa pewartaan, sikap, dan tindakan Yesus berpihak pada kaum miskin zaman-Nya. Yesus tidak mengucilkan dan membenci para penguasa dan kaum kaya. Namun, Ia sering menyerang para penguasa agama dan politik yang memperberat hidup orang-orang kecil yang tidak berdaya.

-       Yesus melihat bahwa keterpurukan orang-orang kecil disebabkan oleh kemunafikan dan keserakahan para pemimpin agama dan politik. Yesus mengajak orang- orang kecil untuk mengatasi kekurangan dan kemiskinan mereka dengan kerelaan untuk saling membagi dan memberi. Mereka harus solider satu sama lain. Kekurangan dan kemiskinan yang diderita oleh sebagian besar rakyat disebabkan oleh keserakahan segelintir orang berkuasa dan kaya. Ajaran dan sikap Yesus ini dihayati oleh para pengikut-Nya, yaitu umat perdana yang hidup pada awal Gereja.

-       Yesus berani berdiri pada pihak yang kurang beruntung, pendosa, orang miskin, wanita, orang sakit, dan tersingkir, tanpa memandang suku, agama. dan ras (…baik orang Yahudi maupun  bukan Yahudi). Dengan semangat kasih-Nya yang tanpa pamrih, Yesus rela membela mereka yang tidak mempunyai pembela. Ia berani menghadapi berbagai tantangan bagi mereka yang harus mendapatkan perlakuan yang wajar sebagai pribadi, baik wanita mau- pun lelaki.

 

Menyimak ajaran Gereja tentang HAM

Kesamaan hakiki antara semua orang dan keadilan sosial

Semua orang mempunyai jiwa yang berbudi dan diciptakan menurut gambar Allah, dengan demikian mempunyai kodrat serta asal mula yang sama. Mereka semua ditebus oleh Kristus, dan mengemban panggilan serta tujuan ilahi yang sama pula. Maka harus semakin diakuilah kesamaan dasariah antara semua orang. Memang karena pelbagai kemampuan  fisik maupun  kemacam-ragaman  daya kekuatan  intelektual dan moral tidak dapat semua orang disamakan. Tetapi setiap cara diskriminasi dalam hak-hak asasi pribadi , entah bersifat sosial entah budaya, berdasarkan jenis kelamin, suku, warna kulit, kondisi sosial, bahasa atau agama, harus diatasi dan disingkirkan, karena bertentangan dengan maksud Allah. Sebab sungguh layak disesalkan, bahwa hak-hak asasi pribadi itu dimana-mana belum dipertahankan secara utuh dan aman. Seperti bila seorang wanita tidak diakui wewenangnya untuk dengan bebas memilih suaminya dan menempuh status hidupnya, atau menempuh pendidikan dan meraih kebudayaan yang sama seperti dipandang wajar bagi pria.

Kecuali itu, sungguhpun  antara  orang-orang  terdapat  perbedaan-perbedaan  yang wajar, tetapi kesamaan martabat  pribadi menuntut,  agar dicapailah kondisi hidup yang lebih manusiawi dan adil. Sebab perbedaan-perbedaan yang keterlaluan antara sesama anggota dan bangsa dalam satu keluarga manusia dibidang ekonomi maupun sosial menimbulkan batu sandungan, lagi pula berlawanan dengan keadilan sosial, kesamarataan, martabat pribadi manusia, pun juga merintangi kedamaian sosial dan international.  Adapun  lembaga-lembaga manusiawi, baik swasta maupun  umum, hendaknya  berusaha  melayani  martabat  serta  tujuan  manusia,  seraya sekaligus berjuang  dengan  gigih melawan setiap perbudakan  sosial maupun  politik, serta mengabdi kepada hak-hak asasi manusia di bawah setiap pemerintahan.  Bahkan lembaga-lembaga semacam itu lambat-laun harus menanggapi kenyataan-kenyataan rohani, yang melampaui segala-galanya, juga kalau ada kalanya diperlukan waktu cukup lama untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan (Gaudium et Spes artikel 29).

 

Penjelasan

  • Sepanjang sejarahnya, Gereja dengan berbagai cara telah memperjuangkan nasib orang-orang miskin.
  • Ensiklik-ensiklik para Paus  merupakan   acuan  pertama   bagi  ajaran  sosial Gereja  untuk  memperjuangkan kaum miskin.  Di samping  ensiklik-ensiklik, ada pernyataan dari konferensi-konferensi para Uskup yang membahas tentang pewartaan iman untuk menanggapi tantangan kemasyarakatan dan politik dalam hubungannya dengan rakyat miskin.

 

Menyimak kisah beberapa tokoh pejuang HAM  Katolik

-       Ibu Theresa dari Calkuta

Ibu Theresa dari Calkuta, begitulah ia biasanya disapa. Hidupnya secara total ia abdikan  bagi Tuhan  melalui karya caritatif, melayani orang-orang sakit, orang lapar dan yang tersingkirkan. Ia bersama para pengikutnya dari biara yang didirikannya “Ordo Cinta Kasih”, menelusuri lorong-lorong calkuta yang kumuh dan mengerihkan untuk menolong   mereka yang menderita dan yang sekarat meregang nyawa. Ibu Theresa yang ketika masa hidupnya dijuluki sebagai santa yang hidup itu berusaha mengangkat martabat  kaum miskin dan  menderita  tanpa  pamrih.  Ia pun  diberi predikat sebagai rasul kaum miskin dan hina-hina.

Atas pengabdiannya dalam melayani sesama, Bunda Theresa menerima  peng- hargaan  Templeton  pada  1973, Nobel Perdamaian  pada  1979, dan  penghargaan tertinggi  warga sipil India,  Bharat  Ratna,  pada  1980. Selain itu,  dia  dijadikan Warga Negara Kehormatan Amerika Serikat pada 1996. Bunda Theresa wafat pada 5 September 1997, dalam usia 87 tahun. Dalam sambutan pemakamannya, Nawaz Sharif, Perdana  Menteri  Pakistan,  menyatakan,  “Bunda Theresa adalah  seorang individu langka dan unik, yang tinggal lama untuk tujuan lebih tinggi. Pengabdian seumur hidupnya untuk merawat orang miskin, orang sakit, dan kurang beruntung, merupakan salah satu contoh pelayanan tertinggi untuk umat manusia.”Sementara mantan Sekretaris Jenderal PBB, Javier Perez de Cuellar, mengatakan, “Ia  (Bunda Theresa) adalah pemersatu bangsa. Ia adalah perdamaian di dunia ini.”

Pada  tahun  2003 oleh Paus Yohanes Paulus II diangkat  sebagai beata (yang berbahagia), satu langka sebelum menjadi seorang Santa. Pada tahun  2013, PBB kembali memberikan penghargaan atas jasa kemanusiaannya itu dengan menetapkan tanggal 5 September sebagai hari amal sedunia.

 

-       Uskup Agung Helder Camara

Uskup Agung Helder Camera dari  Olinda  di Brasilia terkenal sebagai uskup pelayan dan  pengabdi  kaum  miskin.  Ia  mempertaruhkan   segala-galanya untuk kaum miskin. Uang hadiah Nobel yang diperolehnya digunakannya untuk membeli tanah  bagi kaum miskin. Ia menentang  kapitalisme dan  kaum penguasa kaliber internasional.  Ia sering dimusuhi  oleh orang yang berkuasa dan orang kaya dan rumahnya sering ditembaki oleh penembak-penembak gelap suruhan para penguasa. Akhirnya, nyawanya ia pertaruhkan demi kaum miskin. Ia mati ditembak pada saat mempersembahkan Ekaristi Kudus di gereja persis pada saat mengucapkan kata-kata konsekrasi: “Inilah tubuh-Ku yang dikorbankan bagimu” dan “Inilah darah-Ku yang ditumpahkan bagimu.”

 

Penjelasan

Atas dasar harkat dan martabat manusia sebagaimana yang  diajarkan dan diteladankan  Yesus, maka Ibu Theresa dan Uskup Helder Camara memperjuangkan HAM sampai akhir hayat hidupnya.

 

Menyimak cerita tentang upaya Gereja Katolik dalam memperjuang- kan HAM di Indonesia

Romo Mangunwijaya, Pr

Romo Mangun terlahir dengan nama lengkap Yusuf Bilyarta Mangunwijaya pada 6 Mei 1929 di  Semarang. Ia pernah mengalami masa revolusi fisik melawan Belanda untuk  membebaskan  negeri ini dari  belenggu penjajahan  yang menyengsarakan rakyat. Beliau pernah bergabung ke dalam prajurit Tentara Keamanan Rakyat (TKR) batalyon X divisi III yang bertugas di Benteng Vrederburg, Yogyakarta. Ia sempat ikut dalam pertempuran  di Ambarawa, Magelang, dan Mranggen. Rangkaian peristiwa hidup tersebut membuat Romo Mangun mengenal arti humanisme. Ia menyaksikan sendiri rakyat Indonesia menderita, kelaparan, terancam jiwanya, dan bahkan mati sia-sia akibat aksi militer Belanda yang mencaplok wilayah Republik. Berangkat dari pengalaman hidup inilah, Romo Mangun bertekad untuk sepenuhnya mengabdikan diri  pada  rakyat. Putu  Wijaya, seorang dramawan  dan  novelis pernah  bertutur, “Romo Mangun adalah seorang yang sangat dekat dengan rakyat. Dia selalu berpihak kepada mereka yang tertindas. Contohnya, kepeduliannya pada warga Kali Code dan Kedung Ombo. Perhatiannya selalu kepada rakyat sederhana, miskin, disingkirkan, dan tertindas.”

Sumber: Buku “Kotak Hitam Sang Burung Manyar, Kebijaksanaan dan Kisah Hidup Romo Mangunwijaya”, oleh YSuyatno Hadiatmojo, Pr, Galang Press, Yogyakarta, 201

 

Penjelasan

  • Romo Mangun Wijaya, merupakan salah satu pejuang HAM di Indonesia. Sebagai pengikut Yesus, ia berkomitmen untuk membela orang-orang kecil, orang miskin, serta orang-orang yang tertindas sampai akhir hayat hidupnya.
  • Gereja Katolik Indonesia, baik secara lembaga ataupun  secara komunitas, atau perorangan  ikut berjuang menegakkan HAM di Indonesia. Misalnya perjuangan membela hak-milik warga dalam kasus pertambangan di Flores, di Sumatra Utara, di Papua, dan sebagainya.
  • Konferensi  Waligereja  Indonesia   (KWI)  dalam  banyak  surat   gembalanya menyerukan  supaya hak-hak  rakyat kecil diperhatikan  dan  ditegakkan. KWI selalu berpegang teguh pada ajaran sosial Gereja yang antara lain menegaskan bahwa “karena semua manusia mempunyai jiwa berbudi dan diciptakan menurut citra Allah, karena mempunyai kodrat dan asal yang sama, serta karena penebusan Kristus mempunyai panggilan dan tujuan ilahi yang sama, maka kesamaan asasi antara manusia harus senantiasa diakui” (Gaudium et Spes, Art. 29).
  • Pandangan Gereja tentang hak asasi, yakni hak yang melekat pada diri manusia sebagai insan ciptaan Allah. “Hak ini tidak diberikan kepada seseorang karena kedudukan, pangkat atau situasi; hak ini dimiliki setiap orang sejak lahir, karena dia seorang manusia. Hak ini bersifat asasi bagi manusia, karena jika hak ini diambil, ia tidak dapat hidup sebagai manusia lagi. Oleh karena itu, hak asasi manusia merupakan tolok ukur dan pedoman yang tidak dapat diganggu-gugat dan harus ditempatkan di atas segala aturan hukum.
  • Gereja mendesak diatasinya dan dihapuskannya “setiap bentuk diskriminasi, entah yang bersifat sosial atau kebudayaan, entah yang didasarkan pada jenis kelamin, warna kulit, suku, keadaan sosial, bahasa ataupun agama, karena berlawanan dengan maksud dan kehendak Allah” (Gaudium et Spes, Art. 29).
  • KWI dan hampir semua keuskupan membentuk lembaga yang antara lain memperjuangkan hak asasi manusia dari rakyat kecil itu, misalnya: Komisi Keadilan dan Perdamaian, Migran dan Perantau; Komisi Hubungan Antara Agama dan Kepercayaan; Sekretariat Gender  Pemberdayaan Perempuan. Lembaga-lembaga tersebut telah bekerja keras, antara lain: Mengadakan pendidikan dan pelatihan tentang HAM kepada para fasilitator dan masyarakat luas supaya mereka mengetahui dan menyadari akan hak-haknya dan kemudian terlibat untuk turut memperjuangkan haknya; Mengadakan berbagai lembaga advokasi untuk  membela hak-hak rakyat; Memperluas jaringan kerjasama dengan pihak mana saja untuk memperjuangkan HAM.

 

Refleksi

Gereja hendaknya mawas diri dan mencoba menegakkan hak-hak asasi manusia di kalangannya sendiri. Kalau tidak ada keadilan dalam lingkungan Gereja sendiri, maka Gereja baik Imam maupun Awam tidak berhak berbicara mengenai keadilan. Gereja juga tidak berhak berbicara kalau orang-orang Katolik sendiri tidak sungguh-sungguh terlibat dalam perjuangan bangsa di segala bidang pembangunan. Tidak ada keadilan tanpa perjuangan. Dalam usaha memperjuangkan keadilan, kaum beriman dapat memperoleh pedoman dan dukungan dari ajaran sosial Gereja. Tetapi pengarahan umum itu belum menjamin, sejauh belum ada kaidah tindakan menanggapi situasi konkret. Untuk membentuk kaidah-kaidah itu, perlu ada pengamatan cermat atas kehidupan sosial di lingkungan konkret (analisis sosial). Jadi, guna membela hak-hak asasi manusia, masih harus dicari cara-cara rasional, perumusan  yang tepat, dan perencanaan bagi tindakan yang efektif. Dalam hal ini Gereja seluruhnya harus berjuang, tetapi semua anggota, Imam, dan Awam, mengambil bagian menurut tempat dan panggilannya masing-masing.

Gereja harus berjuang bersama antar-warga masyarakat. Dalam semua kegiatan konkret itu, perhatian Gereja seharusnya menjadi “tanda dan pelindung martabat luhur pribadi manusia”(GS 76). Hak-hak asasi dan semua tata hukum lainnya hanya akan terlaksana, kalau dalam masyarakat ada kesadaran etis yang mengikat. Maka tidak cukup bila Gereja hanya menyumbangkan kritik dan celaan. Gereja masih harus berusaha membangun keterpaduan antar-warga masyarakat dalam semangat cinta kasih dan  perdamaian.  Menegakkan keterpaduan  dalam  masyarakat merupakan sumbangan  khas  kelompok-kelompok  agama. Bersama dengan  orang  beragama lain, dan orang-orang yang berkehendak baik, umat Kristen harus memperjuangkan keadilan dalam persaudaraan dengan semua orang.