HAK ASASI MANUSIA DALAM TERANG KITAB SUCI
DAN AJARAN GEREJA
Isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di
Indonesia sering menjadi soroton baik di
dalam maupun luar negeri. Kasus kekerasan terhadap penganut agama dan keyakinan
minoritas oleh kelompok-kelompok tertentu bukan lagi menjadi hal yang luar
biasa, tetapi biasa-biasa saja. Aparat negara yang sejatinya melindungi
rakyatnya terkesan melakukan pembiaran, sehingga kasus yang sama sering
terulang kembali. Indonesia menurut
catatan Komisi HAM PBB, termasuk negara pelanggar HAM terbesar yang
memprihatinkan dan telah mencoreng nilai-nilai
dasar kemartabatan manusia Indonesia. Pada umumnya, pelanggaran HAM di
Indonesia disebabkan oleh struktur dan sistem politik, ekonomi, dan budaya
masyarakat yang diciptakan oleh kaum penguasa dan kaum kaya.
Ajaran Sosial Gereja
menegaskan: “karena semua
manusia mempunyai jiwa berbudi dan diciptakan menurut citra Allah, karena mempunyai kodrat dan asal
yang sama, serta karena penebusan Kristus, mempunyai panggilan dan tujuan ilahi
yang sama, maka kesamaan
asasi antara manusia harus senantiasa diakui” (Gaudium et Spes art. 29).
Dari ajaran tersebut tampak jelas pandangan Gereja tentang hak asasi, yakni:
·
Hak
yang melekat pada diri manusia sebagai insan ciptaan Allah.
·
Hak
ini tidak diberikan kepada seseorang karena kedudukan, pangkat atau situasi.
Hak ini dimiliki setiap orang sejak lahir, karena dia seorang manusia.
·
Hak
ini bersifat asasi bagi manusia, karena
kalau hak ini diambil, ia tidak dapat
hidup sebagai manusia lagi.
·
Oleh
karena itu, hak asasi manusia merupakan tolok ukur dan pedoman yang tidak dapat
diganggu gugat dan harus ditempatkan di atas segala aturan hukum.
·
Gereja
mendesak diatasinya dan dihapuskannya “setiap bentuk diskriminasi, entah
yang bersifat sosial atau kebudayaan,
entah yang didasarkan pada jenis kelamin, warna kulit, suku,
keadaan sosial, bahasa ataupun agama... karena berlawanan dengan maksud dan
kehendak Allah”
Dalam sejarahnya, perjuangan
Gereja dalam menegakkan HAM antara lain
melalui terbitnya Ensiklik
Mater et Magistra (1961) dan Pacem in Terris (1963) mulai berbicara tentang hak asasi manusia.
Konsili Vatikan II (1962–1965) berulang kali berbicara mengenai hak asasi
manusia, terutama dalam konstitusi Gaudium et Spes dan Dignitatis Humanae. Tahun 1974 panitia kepausan “Yustita et Pax” menerbitkan
sebuah kertas kerja “Gereja dan hak-hak asasi manusia”. Komisi Teologi
Internasional mengeluarkan sejumlah tesis mengenai martabat dan hak-hak pribadi
manusia.
Kitab Suci mengajarkan bahwa
“Allah menciptakan manusia menurut
citraNya sendiri (Kej 9:6).
Maksudnya, “kepadanya dikenakan kekuatan yang serupa dengan kekuatan Tuhan
sendiri, agar manusia merajai binatang dan unggas” (Sir 17:3-4). Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang berdaulat
dan semua hak manusia adalah hak mengembangkan
diri sebagai citra Allah. Hak
manusia dilindungi Tuhan, terutama
bila ia sendiri tidak mampu
membela diri. Bahkan di tempat
manusia kehilangan haknya, karena kesalahan dan dosanya sendiri, di sana Tuhan
tetap membela dan melindunginya: “ ...apa yang lemah bagi dunia, dipilih
Allah untuk memalukan apa yang kuat; dan apa yang tidak terpandang dan yang
hina bagi dunia, dipilih Allah untuk meniadakan yang berarti, supaya jangan ada
orang yang memegahkan diri di hadapan Allah” (1Kor 1:27-29).
Pokok perhatian kita terhadap
fakta saat ini:
- Hak-hak dasar yang dimiliki oleh
setiap manusia adalah; Hak
hidup, hak atas keyakinan keagamaan, hak
atas harta milik, hak politik, hak atas
perlindungan hukum, hak atas pekerjaan, hak atas tempat tinggal, hak atas pendidikan,
dan sebagainya. Hak-hak tersebut sering dilecehkan oleh
orang-perorangan, kelompok, atau negara.
- Sebab terjadinya pelanggaran HAM
di Indonesia antara lain disebabkan oleh struktur kemasyarakatan
yang diciptakan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dan uang.
Mayoritas bangsa Indonesia berada dalam keadaan terjepit dan menjadi
bulan-bulanan kaum penguasa dan kaum kaya. Sistem sosial, politik, dan ekonomi
yang disusun penguasa dan pengusaha menciptakan
ketergantungan rakyat jelata kepadanya, sehingga mereka dapat bertindak
sewenang-wenang.
- Pembangunan ekonomi, sosial, dan
politik dunia dewasa ini belum menciptakan kesempatan yang luas bagi
“orang-orang kecil”, melainkan justru mempersempit ruang gerak “orang-orang
kecil” untuk mengungkapkan jati dirinya secara penuh. Kita dapat
melihatnya dalam lingkup yang besar di dalam percaturan negara dan kita dapat
mengalaminya di dalam lingkup yang kecil di lingkungan kita sendiri.
Orang-orang kecil tetap saja menjadi orang yang tersisih dan menderita.
- Ketidakadilan dan
pelanggaran HAM terhadap
perempuan disebabkan oleh
struktur dan sistem kemasyarakatan yang tidak adil, yang telah diciptakan oleh
kaum laki-laki. Laki-laki telah menciptakan masyarakat patriarkhi.
Budaya patri- arkhi mengajarkan bahwa garis keturunan anak ditentukan oleh
garis dari ayah, maka semua pranata sosial tentang kehidupan dilatarbelakangi
oleh pandangan patriarkhi. Ayah
menjadi penentu keturunan,
maka dalam proses kehidupan kaum laki-laki menjadi kelompok masyarakat
yang berkuasa. Akibatnya, kekua- saan kaum laki-laki menjadi sebuah sistem yang
kuat dan dianggap benar.
Mendalami Ajaran Kitab Suci
· Keluaran 3:7-8
7Dan
TUHAN berfirman: “Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku
di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh
pengerah-pengerah mereka, ya, Aku mengetahui penderitaan mereka.
8
Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan
menuntun mereka keluar dari negeri itu
ke suatu negeri yang baik dan luas, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan
madunya, ke tempat orang Kanaan, orang Het, orang Amori, orang Feris, orang
Hewi dan orang Yebus.
· Yesaya 10:1-2
1Celakalah
mereka yang menentukan ketetapan-ketetapan yang tidak
adil, dan mereka yang mengeluarkan keputusan-keputusan kelaliman,
2untuk
menghalang-halangi orang-orang lemah mendapat keadilan dan untuk merebut hak
orang-orang sengsara di antara umat-Ku, supaya mereka dapat merampas milik janda-janda,
dan dapat menjarah anak-anak yatim!
· Mateus 23:2-4
2“Ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa.
3Sebab
itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu,
tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka
mengajar- kannya tetapi tidak melakukannya.
4Mereka
mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi
mereka sendiri tidak mau menyentuhnya.
· Yohanes 8:1-11
1tetapi
Yesus pergi ke bukit Zaitun.
2Pagi-pagi
benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia
duduk dan mengajar mereka.
3Maka
ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perem- puan
yang kedapatan berbuat zinah.
4Mereka
menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: “Rabi,
perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah.
5Musa
dalam hukum Taurat memerintahkan
kita untuk melempari perempuan-
perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?”
6Mereka
mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh ses- uatu untuk
menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari- Nya di
tanah.
7Dan
ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Ia pun bangkit berdiri lalu
berkata kepada mereka: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia
yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.”
8Lalu
Ia membungkuk pula dan menulis di tanah.
9Tetapi
setelah mereka mendengar perkataan itu,
pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua.
Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap
di tempatnya.
10Lalu
Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: “Hai perempuan, di manakah mereka?
Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?”
11Jawabnya:
“Tidak ada, Tuhan.” Lalu kata Yesus: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah,
dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
Penjelasan
- Dalam
Kitab Suci perjanjian Lama, kita melihat bahwa orang miskin dan yang tak
berdaya mendapat perhatian khusus bagi Tuhan. Maka, hak-hak asasi pertama- tama harus diperjuangkan untuk
orang yang lemah dan yang tidak berdaya dalam masyarakat.
- Dasar perjuangan itu adalah tindakan
Tuhan sendiri yang melindungi orang yang tidak mempunyai hak dan kekuatan.
Dalam Yes 10: 1-2 dikatakan: “Celakalah mereka yang menentukan ketetapan-ketetapan yang tidak adil, dan
mengeluar- kan keputusan-keputusan kelaliman untuk merebut hak orang-orang
sengsara di antara umat-Ku, supaya dapat merampas milik janda-janda dan dapat
menjarah anak-anak yatim.”
- Dalam
Kitab Suci Perjanjian baru, kita dapat melihat bahwa pewartaan, sikap, dan
tindakan Yesus berpihak pada kaum miskin zaman-Nya. Yesus tidak mengucilkan dan membenci para penguasa
dan kaum kaya. Namun, Ia sering menyerang para penguasa agama dan politik yang
memperberat hidup orang-orang kecil yang tidak berdaya.
- Yesus
melihat bahwa keterpurukan orang-orang kecil disebabkan oleh kemunafikan dan
keserakahan para pemimpin agama dan politik. Yesus mengajak orang- orang kecil untuk mengatasi
kekurangan dan kemiskinan mereka dengan kerelaan untuk saling membagi dan
memberi. Mereka harus solider satu sama lain. Kekurangan dan kemiskinan
yang diderita oleh sebagian besar rakyat disebabkan oleh keserakahan segelintir
orang berkuasa dan kaya. Ajaran dan sikap Yesus ini dihayati oleh para
pengikut-Nya, yaitu umat perdana yang hidup pada awal Gereja.
- Yesus berani berdiri pada pihak
yang kurang beruntung, pendosa, orang miskin, wanita, orang sakit, dan
tersingkir, tanpa memandang suku, agama. dan ras (…baik orang Yahudi maupun bukan
Yahudi). Dengan semangat kasih-Nya yang tanpa pamrih, Yesus rela membela
mereka yang tidak mempunyai pembela. Ia berani menghadapi berbagai tantangan
bagi mereka yang harus mendapatkan perlakuan yang wajar sebagai pribadi, baik
wanita mau- pun lelaki.
Menyimak ajaran Gereja tentang HAM
Kesamaan
hakiki antara semua orang dan keadilan sosial
Semua orang mempunyai jiwa yang berbudi dan diciptakan
menurut gambar Allah, dengan demikian mempunyai kodrat serta asal mula yang
sama. Mereka semua
ditebus oleh Kristus, dan mengemban panggilan serta tujuan ilahi yang sama pula. Maka
harus semakin diakuilah kesamaan dasariah antara semua orang. Memang karena
pelbagai kemampuan fisik maupun kemacam-ragaman daya kekuatan
intelektual dan moral tidak dapat semua orang disamakan. Tetapi setiap cara diskriminasi dalam
hak-hak asasi pribadi , entah bersifat sosial entah budaya, berdasarkan jenis
kelamin, suku, warna kulit, kondisi sosial, bahasa atau agama, harus diatasi
dan disingkirkan, karena bertentangan dengan maksud Allah. Sebab sungguh
layak disesalkan, bahwa hak-hak asasi pribadi itu dimana-mana belum
dipertahankan secara utuh dan aman. Seperti bila seorang wanita tidak diakui
wewenangnya untuk dengan bebas memilih suaminya dan menempuh status hidupnya,
atau menempuh pendidikan dan meraih kebudayaan yang sama seperti dipandang
wajar bagi pria.
Kecuali itu, sungguhpun antara
orang-orang terdapat perbedaan-perbedaan yang wajar, tetapi kesamaan martabat pribadi menuntut, agar dicapailah kondisi hidup yang lebih
manusiawi dan adil. Sebab perbedaan-perbedaan yang keterlaluan antara
sesama anggota dan bangsa dalam satu keluarga manusia dibidang ekonomi maupun
sosial menimbulkan batu sandungan, lagi pula berlawanan dengan keadilan sosial,
kesamarataan, martabat pribadi manusia, pun juga merintangi kedamaian sosial
dan international. Adapun lembaga-lembaga manusiawi, baik swasta
maupun umum, hendaknya berusaha
melayani martabat serta
tujuan manusia, seraya sekaligus berjuang dengan
gigih melawan setiap perbudakan
sosial maupun politik, serta
mengabdi kepada hak-hak asasi manusia di bawah setiap pemerintahan. Bahkan lembaga-lembaga semacam itu
lambat-laun harus menanggapi kenyataan-kenyataan rohani, yang melampaui
segala-galanya, juga kalau ada kalanya diperlukan waktu cukup lama untuk
mencapai tujuan yang dimaksudkan (Gaudium et Spes artikel 29).
Penjelasan
- Sepanjang sejarahnya, Gereja dengan berbagai cara telah memperjuangkan nasib orang-orang miskin.
- Ensiklik-ensiklik para Paus merupakan acuan pertama bagi ajaran sosial Gereja untuk memperjuangkan kaum miskin. Di samping ensiklik-ensiklik, ada pernyataan dari konferensi-konferensi para Uskup yang membahas tentang pewartaan iman untuk menanggapi tantangan kemasyarakatan dan politik dalam hubungannya dengan rakyat miskin.
Menyimak kisah beberapa tokoh
pejuang HAM Katolik
- Ibu Theresa dari Calkuta
Ibu Theresa
dari Calkuta, begitulah ia biasanya disapa. Hidupnya secara total ia
abdikan bagi Tuhan melalui karya caritatif, melayani orang-orang
sakit, orang lapar dan yang tersingkirkan. Ia bersama para pengikutnya dari
biara yang didirikannya “Ordo Cinta Kasih”, menelusuri lorong-lorong calkuta
yang kumuh dan mengerihkan untuk menolong
mereka yang menderita dan yang sekarat meregang nyawa. Ibu Theresa yang
ketika masa hidupnya dijuluki sebagai santa yang hidup itu berusaha mengangkat
martabat kaum miskin dan menderita
tanpa pamrih. Ia pun
diberi predikat sebagai rasul kaum miskin dan hina-hina.
Atas
pengabdiannya dalam melayani sesama, Bunda Theresa menerima peng- hargaan
Templeton pada 1973, Nobel Perdamaian pada
1979, dan penghargaan
tertinggi warga sipil India, Bharat
Ratna, pada 1980. Selain itu, dia
dijadikan Warga Negara Kehormatan Amerika Serikat pada 1996. Bunda
Theresa wafat pada 5 September 1997, dalam usia 87 tahun. Dalam sambutan
pemakamannya, Nawaz Sharif, Perdana
Menteri Pakistan, menyatakan,
“Bunda Theresa adalah seorang
individu langka dan unik, yang tinggal lama untuk tujuan lebih tinggi.
Pengabdian seumur hidupnya untuk merawat orang miskin, orang sakit, dan kurang
beruntung, merupakan salah satu contoh pelayanan tertinggi untuk umat
manusia.”Sementara mantan Sekretaris Jenderal PBB, Javier Perez de Cuellar, mengatakan,
“Ia (Bunda Theresa) adalah pemersatu
bangsa. Ia adalah perdamaian di dunia ini.”
Pada tahun
2003 oleh Paus Yohanes Paulus II diangkat sebagai beata (yang berbahagia), satu langka
sebelum menjadi seorang Santa. Pada tahun
2013, PBB kembali memberikan penghargaan atas jasa kemanusiaannya itu
dengan menetapkan tanggal 5 September sebagai hari amal sedunia.
- Uskup Agung Helder Camara
Uskup Agung
Helder Camera dari Olinda di Brasilia terkenal sebagai uskup pelayan
dan pengabdi kaum
miskin. Ia mempertaruhkan segala-galanya untuk kaum miskin. Uang
hadiah Nobel yang diperolehnya digunakannya untuk membeli tanah bagi kaum miskin. Ia menentang kapitalisme dan kaum penguasa kaliber internasional. Ia sering dimusuhi oleh orang yang berkuasa dan orang kaya dan
rumahnya sering ditembaki oleh penembak-penembak gelap suruhan para penguasa.
Akhirnya, nyawanya ia pertaruhkan demi kaum miskin. Ia mati ditembak pada saat
mempersembahkan Ekaristi Kudus di gereja persis pada saat mengucapkan kata-kata
konsekrasi: “Inilah tubuh-Ku yang dikorbankan bagimu” dan “Inilah darah-Ku yang
ditumpahkan bagimu.”
Penjelasan
Atas dasar harkat dan martabat
manusia sebagaimana yang diajarkan dan
diteladankan Yesus, maka Ibu Theresa dan
Uskup Helder Camara memperjuangkan HAM sampai akhir hayat hidupnya.
Menyimak cerita tentang upaya
Gereja Katolik dalam memperjuang- kan HAM di Indonesia
Romo Mangunwijaya, Pr
Romo Mangun terlahir dengan
nama lengkap Yusuf Bilyarta Mangunwijaya pada 6 Mei 1929 di Semarang. Ia pernah mengalami masa revolusi
fisik melawan Belanda untuk
membebaskan negeri ini dari belenggu penjajahan yang menyengsarakan rakyat. Beliau pernah
bergabung ke dalam prajurit Tentara Keamanan Rakyat (TKR) batalyon X divisi III
yang bertugas di Benteng Vrederburg, Yogyakarta. Ia sempat ikut dalam
pertempuran di Ambarawa, Magelang, dan
Mranggen. Rangkaian peristiwa hidup tersebut membuat Romo Mangun mengenal arti
humanisme. Ia menyaksikan sendiri rakyat Indonesia menderita, kelaparan,
terancam jiwanya, dan bahkan mati sia-sia akibat aksi militer Belanda yang
mencaplok wilayah Republik. Berangkat dari pengalaman hidup inilah, Romo Mangun
bertekad untuk sepenuhnya mengabdikan diri
pada rakyat. Putu Wijaya, seorang dramawan dan
novelis pernah bertutur, “Romo
Mangun adalah seorang yang sangat dekat dengan rakyat. Dia selalu berpihak
kepada mereka yang tertindas. Contohnya, kepeduliannya pada warga Kali Code dan
Kedung Ombo. Perhatiannya selalu kepada rakyat sederhana, miskin, disingkirkan,
dan tertindas.”
Sumber: Buku “Kotak Hitam Sang Burung
Manyar, Kebijaksanaan dan Kisah Hidup Romo Mangunwijaya”, oleh YSuyatno
Hadiatmojo, Pr, Galang Press, Yogyakarta, 201
Penjelasan
- Romo Mangun Wijaya, merupakan salah satu pejuang HAM di Indonesia. Sebagai pengikut Yesus, ia berkomitmen untuk membela orang-orang kecil, orang miskin, serta orang-orang yang tertindas sampai akhir hayat hidupnya.
- Gereja Katolik Indonesia, baik secara lembaga ataupun secara komunitas, atau perorangan ikut berjuang menegakkan HAM di Indonesia. Misalnya perjuangan membela hak-milik warga dalam kasus pertambangan di Flores, di Sumatra Utara, di Papua, dan sebagainya.
- Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dalam banyak surat gembalanya menyerukan supaya hak-hak rakyat kecil diperhatikan dan ditegakkan. KWI selalu berpegang teguh pada ajaran sosial Gereja yang antara lain menegaskan bahwa “karena semua manusia mempunyai jiwa berbudi dan diciptakan menurut citra Allah, karena mempunyai kodrat dan asal yang sama, serta karena penebusan Kristus mempunyai panggilan dan tujuan ilahi yang sama, maka kesamaan asasi antara manusia harus senantiasa diakui” (Gaudium et Spes, Art. 29).
- Pandangan Gereja tentang hak asasi, yakni hak yang melekat pada diri manusia sebagai insan ciptaan Allah. “Hak ini tidak diberikan kepada seseorang karena kedudukan, pangkat atau situasi; hak ini dimiliki setiap orang sejak lahir, karena dia seorang manusia. Hak ini bersifat asasi bagi manusia, karena jika hak ini diambil, ia tidak dapat hidup sebagai manusia lagi. Oleh karena itu, hak asasi manusia merupakan tolok ukur dan pedoman yang tidak dapat diganggu-gugat dan harus ditempatkan di atas segala aturan hukum.
- Gereja mendesak diatasinya dan dihapuskannya “setiap bentuk diskriminasi, entah yang bersifat sosial atau kebudayaan, entah yang didasarkan pada jenis kelamin, warna kulit, suku, keadaan sosial, bahasa ataupun agama, karena berlawanan dengan maksud dan kehendak Allah” (Gaudium et Spes, Art. 29).
- KWI dan hampir semua keuskupan membentuk lembaga yang antara lain memperjuangkan hak asasi manusia dari rakyat kecil itu, misalnya: Komisi Keadilan dan Perdamaian, Migran dan Perantau; Komisi Hubungan Antara Agama dan Kepercayaan; Sekretariat Gender Pemberdayaan Perempuan. Lembaga-lembaga tersebut telah bekerja keras, antara lain: Mengadakan pendidikan dan pelatihan tentang HAM kepada para fasilitator dan masyarakat luas supaya mereka mengetahui dan menyadari akan hak-haknya dan kemudian terlibat untuk turut memperjuangkan haknya; Mengadakan berbagai lembaga advokasi untuk membela hak-hak rakyat; Memperluas jaringan kerjasama dengan pihak mana saja untuk memperjuangkan HAM.
Refleksi
Gereja hendaknya mawas diri dan mencoba menegakkan
hak-hak asasi manusia di kalangannya sendiri. Kalau tidak ada keadilan
dalam lingkungan Gereja sendiri, maka Gereja baik Imam maupun Awam tidak berhak
berbicara mengenai keadilan. Gereja juga tidak berhak berbicara kalau
orang-orang Katolik sendiri tidak sungguh-sungguh terlibat dalam perjuangan
bangsa di segala bidang pembangunan. Tidak ada keadilan tanpa perjuangan. Dalam usaha memperjuangkan
keadilan, kaum beriman dapat memperoleh pedoman dan dukungan dari ajaran sosial
Gereja. Tetapi pengarahan umum itu belum menjamin, sejauh belum ada
kaidah tindakan menanggapi situasi konkret. Untuk membentuk kaidah-kaidah itu,
perlu ada pengamatan cermat atas kehidupan sosial di lingkungan konkret
(analisis sosial). Jadi,
guna membela hak-hak asasi manusia, masih harus dicari cara-cara rasional,
perumusan yang tepat, dan perencanaan
bagi tindakan yang efektif. Dalam hal ini Gereja seluruhnya harus
berjuang, tetapi semua anggota, Imam, dan Awam, mengambil bagian menurut tempat
dan panggilannya masing-masing.
Gereja harus berjuang bersama antar-warga masyarakat. Dalam semua kegiatan konkret itu, perhatian Gereja seharusnya menjadi “tanda dan pelindung martabat luhur pribadi manusia”(GS 76). Hak-hak asasi dan semua tata hukum lainnya hanya akan terlaksana, kalau dalam masyarakat ada kesadaran etis yang mengikat. Maka tidak cukup bila Gereja hanya menyumbangkan kritik dan celaan. Gereja masih harus berusaha membangun keterpaduan antar-warga masyarakat dalam semangat cinta kasih dan perdamaian. Menegakkan keterpaduan dalam masyarakat merupakan sumbangan khas kelompok-kelompok agama. Bersama dengan orang beragama lain, dan orang-orang yang berkehendak baik, umat Kristen harus memperjuangkan keadilan dalam persaudaraan dengan semua orang.