HUKUMAN MATI
PENDAHULUAN
Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan
(atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas
seseorang akibat perbuatannya. Menurut wikipedia.org. pada
tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk
Indonesia. Dari data tersebut 94% praktik hukuman mati hanya dilakukan di
beberapa negara, misalnya: Iran, Tiongkok, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.
PENDAHULUAN
Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan
hukuman mati:
·
Hukuman
pancung: hukuman dengan cara potong kepala,
·
Sengatan
listrik: hukuman dengan cara duduk di kursi yang kemudian
dialiri listrik bertegangan tinggi.
·
Hukuman
gantung: hukuman dengan cara digantung di tiang gantungan.
·
Suntik mati: hukuman dengan cara disuntik obat
yang dapat membunuh.
·
Hukuman
tembak: hukuman dengan cara menembak jantung seseorang, biasanya pada
hukuman ini terpidana harus menutup mata untuk tidak melihat.
·
Rajam:
hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati.
Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang
meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis
hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada tahun 1998 dan tahun
2002 tentang hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan
menunjukkan, praktik hukuman mati lebih buruk
daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek
jera pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan
masalah kesejahteraan dan kemiskinan suatu masyarakat, maupun berfungsi
atau tidaknya institusi penegakan hukum. Dukungan hukuman mati didasari argumen
di antaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah
banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika
pada hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh lagi jika tidak
jera, pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi karena
sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih
luas. Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis
yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman.
Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan
terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri, keluarga,
kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban. Lain halnya bila memang
keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat
yang jelas. Hingga Juni
2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati, termasuk Indonesia,
dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktik
hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk
seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori
kejahatan pidana biasa, 30 negara melakukan moratorium (de facto tidak
menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi
(penghapusan) terhadap hukuman mati.
Praktek hukuman mati juga kerap dianggap
bersifat bias, terutama bias kelas dan bias ras. Di AS, sekitar 80%
terpidana mati adalah orang non kulit putih dan berasal dari kelas bawah.
Sementara di berbagai negara banyak terpidana mati yang merupakan warga
negara asing tetapi tidak diberikan penerjemah selama proses
persidangan.Kesalahan vonis pengadilan sejak 1973, 123 terpidana mati
dibebaskan di AS setelah ditemukan bukti baru bahwa mereka tidak bersalah atas
dakwaan yang dituduhkan kepada mereka. Dari jumlah itu 6 kasus pada tahun
2005 dan 1 kasus pada tahun 2006. Beberapa di antara mereka dibebaskan di
saat-saat terakhir akan dieksekusi. Kesalahan-kesalahan ini umumnya terkait
dengan tidak bekerja baiknya aparatur kepolisian dan kejaksaan, atau juga
karena tidak tersedianya pembela hukum yang baik. Dalam rangka menghindari
kesalahan vonis mati terhadap terpidana mati, sedapat mungkin aparat hukum yang
menangani kasus tersebut adalah aparat yang mempunyai pengetahuan luas dan
sangat memadai, sehingga sumber daya manusia yang disiapkan dalam rangka
penegakan hukum dan keadilan adalah sejalan dengan tujuan hukum yang akan
menjadi pedoman di dalam pelaksanaannya, dengan kata lain khusus dalam
penerapan vonis mati terhadap pidana mati tidak adalagi unsur politik yang
dapat memengaruhi dalam penegakan hukum dan keadilan dimaksud.
Di Indonesia sudah puluhan atau ratusan orang
dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana) peninggalan kolonial Belanda. Bahkan
selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian
besar merupakan narapidana politik. Walaupun amandemen kedua konstitusi
UUD ‘45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, tetapi peraturan
perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman
hukuman mati.Kelompok pendukung hukuman mati
beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup
dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak
disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak
tersebut patut dihukum mati. Pada tahun 2006 tercatat ada 11 peraturan
perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati,
seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU
Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen
dan RUU Rahasia Negara. Vonis atau hukuman mati mendapat dukungan yang luas
dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pemungutan suara yang dilakukan media
di Indonesia pada umumnya menunjukkan 75% dukungan untuk adanya vonis mati.
(World Coalition Against the Death Penalty dlm. http://www.worldcoalition.org/)
Ensiklik
Evangelium Vitae dari Paus Yohanes Paulus II
menegaskan kembali apa yang telah dikemukakan dalam Katekismus dan juga
yang dikemukakan oleh konferensi para Uskup. Kebenaran dari upaya pertahanan
diri yang sah serta tujuan sebuah hukuman. Adapun yang menjadi tujuan utama hukuman yang
dijatuhkan oleh masyarakat adalah “untuk memulihkan kekacauan yang diakibatkan
oleh pelanggaran” dan juga demi menjamin ketertiban dalam masyarakat.
Dalam kaitan dengan upaya memulihkan kekacauan dan menjamin ketertiban dalam
masyarakat, ketika menunjuk pada pertanyaan apakah eksekusi seorang yang
bersalah diijinkan, ajaran Paus tentang persoalan ini nampaknya cukup tegas. Ia
menulis: “Sudah jelaslah,
bahwa supaya tujuan-tujuan itu tercapai, hakekat dan
beratnya hukuman harus dievaluasi dan diputuskan secara cermat, dan
jangan sampai ekstrem melaksanakan hukuman mati kecuali bila memang
perlu. Dengan kata lain, bila tanpa itu sudah tidak mungkin lagi melindungi
masyarakat.”
Dengan menekankan pada perlunya
evaluasi atas hukuman yang dijatuhkan, Paus Yohanes Paulus II tidak menyangkal ajaran tradisional
mengenai hak penguasa dalam menjatuhkan hukuman mati. Karenanya, ia
memang tidak menolak legitimasi hukum pada umumnya, namun demikian ia
menentang aplikasi hukuman mati dalam dunia modern. Di sini
Bapa Suci lebih lanjut menjelaskan perbedaan antara status sah hak untuk
melaksanakannya di dalam keadaan tertentu dan kebutuhan untuk penggunaan
hak itu dalam dunia sekarang. Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa status
sah yang memungkinkan pelaksanaan hukuman mati ini tidak terletak lagi pada
pertimbangan berat ringannya suatu tindak kejahatan yang
dilakukan, tetapi pada ketidakmampuan masyarakat di dalam mempertahankan dirinya
dengan cara-cara lain. Menurutnya, status ketidakmampuan masyarakat
melindungi dan mempertahankan dirinya dengan cara-cara lain adalah
faktor yang menentukan di dalam memutuskan apakah hukuman mati
diperbolehkan atau tidak bagi seseorang yang melakukan kejahatan. Sejalan
dengan itu, sejak masyarakat kita dapat menghukum yang melakukan kejahatan
serius dengan hukuman penjara seumur hidup, Bapa Suci menilai bahwa bukan lagi
sebuah kebutuhan mutlak untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai upaya mempertahankan
dan melindungi masyarakat.
Dalam masyarakat, baik di Indonesia maupun
dunia internasional, hukuman mati masih terus diperdebatkan. Di beberapa
negara, hukuman mati sudah dihapuskan, sementara negara lain masih terus
memberlakukan, seperti di Indonesia hukuman mati dilakukan dengan cara
ditembak. Perlu diketahui bahwa cara pandangan tentang hukuman mati sangat
dipengaruhi oleh latarbelakang agama dan budaya pada wilayah kawasan
tersebut.
Kitab Suci Perjanjian Lama
Allah seringkali menyatakan
kemurahan-Nya ketika berhadapan dengan
kesalahan yang seharusnya dianggap bisa dijatuhi hukuman mati. Hal ini nampak
misalnya ketika Daud melakukan perzinahan dan pembunuhan berencana, namun Allah
tidak menuntut nyawanya diambil (2 Samuel 11:1-5; 4-17; 12:13). Contoh
lain dapat dilihat di dalam kisah tentang Kain yang membunuh saudaranya Habel.
Dalam kisah ini nampak bahwa Allah menghukum Kain yang telah membunuh
saudaranya Habel, tetapi Allah tidak menjatuhkan hukuman mati
atasnya.“Sekali-kali tidak! Barangsiapa yang membunuh Kain akan dibalaskan
kepadanya tujuh kali lipat.”Kemudian TUHAN menaruh tanda pada Kain, supaya ia
jangan dibunuh oleh siapapun yang bertemu dengan dia” (Kejadian 4:15).
Dari sisi ini dapat
dilihat bahwa nampaknya Perjanjian Lama mengajarkan tentang pelaksanaan
hukuman mati sejauh menyangkut persoalan/ kesalahan
yang bersifat serius dan biasanya menyangkut kejahatan terhadap
masyarakat. Hal ini misalnya menyangkut pelanggaran terhadap
perjanjian dengan Tuhan yang darinya dianggap bisa mendatangkan hukuman/
kutukan bagi bangsa Israel. Maka untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan
Allah, para pelanggar ini harus dikeluarkan dari masyarakat. Tentu saja di sini yang dimaksudkan
dengan dikeluarkan dari lingkungan masyarakat
artinya dihukum dengan hukuman mati, dan hukuman mati
yang umumnya dijalankan adalah dengan cara dirajam dengan batu. Hal ini juga berhubungan erat dengan
pengertian mereka tentang penyelenggaraan Tuhan, yakni bahwa yang berkuasa atas
hidup dan mati hanyalah Tuhan sendiri. Dia merupakan
sumber dan pemelihara segalanya, termasuk hukum. Oleh karena
itu, yang melanggar perjanjian yang telah dibuat dengan umat-Nya dapat
diserahkan kepada kematian oleh kuasa-Nya dan dalam nama-Nya.
Namun
di sisi lain, Tuhan adalah maha pengampun yang tidak
serta merta menghendaki kematian orang berdosa. Dalam konteks ini,
Perjanjian Lama juga memperlihatkan secara jelas tentang Tuhan yang Maha Pengampun
dan murah hati. Ini nampak dalam sabda-Nya kepada Yehezkiel: “Katakanlah kepada
mereka: Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH, Aku tidak berkenan
kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang
fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup. Bertobatlah, bertobatlah dari
hidupmu yang jahat itu! Mengapakah kamu akan mati, hai kaum Israel?” (Yehezkiel
33:11)
Dengan
demikian nampak bahwa Allah memang menghukum yang bersalah, namun
Dia tidak menghendaki orang berdosa itu mati, Allah lebih menghendaki agar ia
bertobat dan kembali kepada jalan yang benar. Dari sini nampak adanya semacam
cara pendidikan dari Allah yang masih mau memberi
kesempatan kepada yang bersalah untuk bisa berubah.
Kitab Suci Perjanjian Baru
Perjanjian Baru tidak memiliki ajaran yang spesifik tentang persoalan
hukuman mati. Namun gagasan Perjanjian Lama yang menekankan
prinsip mata ganti mata diubah di dalam Perjanjian Baru dengan
menekankan “hukum kasih dan pembebasan”. Dalam hal ini Perjanjian Baru
menghadirkan suatu hukum baru yang merupakan sebuah penyempurnaan dari hukum
lama, yakni hukum cinta kasih dengan menekankan perlunya mengasihani musuh.
Hukum ini dikemukakan oleh Yesus ketika harus diperhadapkan dengan kenyataan
banyaknya kecenderungan balas dendam yang terjadi di lingkungan bangsa-Nya.
(Kenneth R. Overberg, S.J., Respect Life:The Bible And The Death Penalty Today)
Dalam kata-kata dan tindakan-Nya, Yesus menunjukkan
kepada para murid-Nya untuk menghindari semangat balas dendam dan
mengusahakan cinta kasih. Cinta adalah prinsip yang harus dipadukan dalam
kata-kata dan tindakan.Dengan mengajarkan tentang semangat
hidup dalam kasih, Yesus mau menunjukkan bahwa semangat balas
dendam janganlah menjadi motivasi terdalam dalam setiap tindakan manusia
apalagi menjadi motivasi untuk menghakimi sesama.
Dalam kotbah di bukit,
Yesus menetapkan dan menjelaskan hukum baru. Dia
memerintahkan kepada para pengikutnya untuk melepaskan tidak hanya
perbuatan-perbuatan jahat, tetapi juga kecenderungan jahat yang
timbul dari mereka.“Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek
moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi
Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus
dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke
Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka
yang menyala- nyala.” (Matius 5:21-22).
Selain itu, hukum baru yang dikemukakan Yesus
akan menghapus semua hal yang membatasi perwujudan kasih para pengikut-Nya, di
mana Ia menekankan tentang kasih yang tak terbatas. “Kamu telah mendengar
firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu:
Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan
siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi
kirimu….Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah
musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi
mereka yang menganiaya kamu.”(Matius 5:38-39; 43-44. Bandingkan pula Matius
22:34-40; Markus 12:28-34; Lukas 10:25-28).
Dengan ini sesungguhnya Yesus mau menunjukkan bahwa semua manusia
adalah orang yang tak luput dari dosa dan
karenanya tidak mempunyai hak untuk menghakimi satu sama lain
(Matius 7:1-7). Dalam kasus tentang perempuan yang kedapatan berzinah, Yesus
berkata kepada orang-orang yang ingin melemparinya dengan batu:
“Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang
pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” (Yohanes 8:7).
Dari apa yang bisa ditemukan dalam Perjanjian
Baru, nampaknya Yesus dalam arti tertentu tidak menyetujui dijalankannya
praktik hukuman mati. Namun demikian itu bukanlah berarti Dia
menyetujui adanya kejahatan, tetapi terutama yang
diajarkan-Nya adalah tentang kasih Allah yang begitu agung, kasih yang
selalu rela untuk mengampuni dan mau memberi kesempatan bagi semua orang untuk
berubah (Yohanes 8:11).
Membahas Ajaran Gereja tentang hukuman mati
Katekismus Gereja Katolik
Dalam kaitannya dengan perintah kelima,
Katekismus mempertimbangkan topik ini dalam dua perspektif, yakni dari hak
untuk mempertahankan diri dan dari perspektif efek yang ditimbulkan dari sebuah
hukuman (KGK art. 2263-2267). Dalam kaitannya dengan persoalan pertama
tentang hak untuk mempertahankan diri, Katekismus
membedakan antara “upaya pertahanan diri
dan masyarakat yang dilakukan secara sah” dan
pembunuhan yang dilakukan secara sengaja. Menurut Katekismus, pertahanan
diri yang sah bukanlah sebuah perkecualian dan dispensasi untuk suatu
pembunuhan yang dilakukan secara sengaja. Keduanya berada dalam level
yang sangat berbeda.
Dalam kaitannya dengan upaya pertahanan diri,
Katekismus menekankan: “Cinta kepada diri sendiri merupakan dasar ajaran
susila. Dengan demikian adalah sah menuntut haknya atas kehidupannya sendiri.
Siapa yang membela kehidupannya, tidak bersalah karena pembunuhan, juga apabila
ia terpaksa menangkis penyerangannya dengan satu pukulan yang mematikan(KGK,
art. 2264)
Katekismus Gereja Katolik juga menekankan bahwa
pembelaan kesejahteraan umum masyarakat menuntut agar penyerang dihalangi untuk
menyebabkan kerugian. Karena alasan ini, maka ajaran Gereja sepanjang sejarah
mengakui keabsahan hak dan kewajiban dari kekuasaan politik yang sah,
menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan beratnya kejahatan, tanpa
mengecualikan hukuman mati dalam kejadian-kejadian yang
serius (KGK, art. 2266). Prinsip inilah yang berlaku bagi negara dalam
melaksanakan kewajibannya untuk menjaga keselamatan orang banyak dan melindungi
warganya dari malapetaka. Sebab itu, negara dapat menyatakan dan memaklumkan
perang melawan penyerang dari luar komunitasnya sama seperti individu memiliki
hak yang sah untuk mempertahankan diri.
Berdasarkan pemahaman di atas, Gereja Katolik pada prinsipnya
menjunjung tinggi hak negara untuk melaksanakan hukuman mati
atas penjahat-penjahat tertentu. Walau Gereja menjunjung tinggi
tradisi ajaran yang mengijinkan hukuman mati untuk tindak kejahatan yang
berat, tetapi ada beberapa persyaratan serius yang harus dipenuhi guna
melaksanakan otoritas tersebut, yakni apakah cara ini merupakan
satu-satunya kemungkinan untuk melindungi masyarakat
atau adakah cara-cara tidak berdarah lainnya? Apakah dengan
demikian pelaku dijadikan “tak lagi dapat mencelakai orang lain”? Apakah pelaku
memiliki kemungkinan untuk meloloskan diri? Apakah kasus ini merupakan suatu
kasus khusus yang menjamin bahwa hukuman yang demikian tidak akan sering
dilakukan? Karena itu Katekismus juga menegaskan; “Sejauh cara-cara tidak berdarah mencukupi, untuk membela
kehidupan manusia terhadap penyerang dan untuk melindungi peraturan resmi dan
keamanan manusia, maka yang berwenang harus membatasi dirinya pada cara-cara
ini, karena cara-cara itu lebih menjawab syarat-syarat konkret bagi
kesejahteraan umum dan lebih sesuai dengan martabat manusia.”(KGK, art.
2267).
Thomas dari Aquino
Dengan hukuman mati, dan dengan hukuman pada
umumnya, masyarakat mendenda perbuatan seseorang yang di pengadilan
terbukti salah. Dengan sanksi hukuman dinyatakan bahwa masyarakat tidak
dapat menerima dan menyetujui perbuatan jahat. Dengan menjatuhkan hukuman,
masyarakat membela diri, yaitu dengan meringkus penjahat dan dengan demikian
mengancam penjahat-penjahat lain. Melalui hukuman, keonaran sosial akibat
kejahatan akan dibereskan, dan diharapkan bahwa penjahat pun memperbaiki diri
dan kembali menjadi anggota masyarakat yang biasa. Prinsip ini sudah dirumuskan
oleh Santo Tomas dari Aquino: “Kesejahteraan bersama lebih tinggi nilainya
daripada kesejahteraan perorangan. Kesejahteraan perorangan perlu dikurangi
sedikit guna menegakkan kesejahteraan umum.”
Paus Yohanes Paulus II
Ensiklik Evangelium Vitae dari Paus Yohanes
Paulus II yang membahas tentang martabat hidup manusia. Di
dalam ensiklik tersebut, Paus menegaskan kembali apa yang telah dikemukakan
dalam Katekismus dan juga yang dikemukakan oleh konferensi para uskup.
Dengannya, Paus menegaskan lagi kebenaran dari upaya pertahanan
diri yang sah serta tujuan sebuah hukuman. Adapun yang
menjadi tujuan utama hukuman yang dijatuhkan oleh masyarakat adalah “untuk
memulihkan kekacauan yang diakibatkan oleh pelanggaran” dan juga demi menjamin
ketertiban dalam masyarakat (KGK, art. 2267)
Dalam kaitan dengan upaya memulihkan kekacauan
dan menjamin ketertiban dalam masyarakat, ketika menunjuk pada pertanyaan
apakah eksekusi seorang yang bersalah diijinkan, ajaran Paus tentang persoalan
ini nampaknya cukup tegas. Ia menulis: “Sudah jelaslah, bahwa supaya
tujuan-tujuan itu tercapai, hakekat dan beratnya hukuman
harus dievaluasi dan diputuskan secara cermat, dan jangan sampai kepada
ekstrem melaksanakan hukuman mati kecuali bila memang perlu. Dengan kata
lain, bila tanpa itu sudah tidak mungkin lagi melindungi masyarakat.” (Paus
Yohanes Paulus II, Evangelium Vitae, terj.R. Hardawirjana, SJ, Jakarta:
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1997), art.56 paragraf 2.)
Dengan menekankan pada perlunya evaluasi atas
hukuman yang dijatuhkan, Yohanes Paulus II tidak menyangkal ajaran tradisional
mengenai hak penguasa dalam menjatuhkan hukuman mati. Karenanya, ia memang
tidak menolak legitimasi hukum pada umumnya, namun demikian ia menentang
aplikasi hukuman mati dalam dunia modern. Di sini Bapa Suci lebih lanjut
menjelaskan perbedaan antara status sah hak untuk melaksanakannya di dalam
keadaan tertentu dan kebutuhan untuk penggunaan hak itu dalam dunia sekarang.
Yohanes Paulus II menegaskan bahwa status sah yang memungkinkan pelaksanaan
hukuman mati ini tidak terletak lagi pada pertimbangan berat ringannya suatu
tindak kejahatan yang dilakukan, tetapi pada ketidakmampuan masyarakat di dalam
mempertahankan dirinya dengan cara-cara lain. Menurutnya, status
ketidakmampuan masyarakat melindungi dan mempertahankan
dirinya dengan cara-cara lain adalah faktor yang menentukan di dalam
memutuskan apakah hukuman mati diperbolehkan atau tidak bagi seseorang yang
melakukan kejahatan. Sejalan dengan itu, sejak masyarakat
kita dapat menghukum yang melakukan kejahatan serius
dengan hukuman penjara seumur hidup, Bapa Suci menilai bahwa bukan lagi sebuah
kebutuhan mutlak untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai
upaya mempertahankan dan melindungi masyarakat.
“Mengenai soal ini makin kuatlah kecenderungan di
dalam Gereja maupun dalam masyarakat sipil, untuk meminta supaya
hukuman itu diterapkan secara sangat terbatas, atau bahkan
dihapus sama sekali.” (ibid)
Singkatnya, menjatuhkan hukuman
mati ketika itu tidak mutlak perlu karena
hukuman mati merupakan sebuah tindakan yang melanggar ajaran Gereja Katolik
yang sejak semula selalu dengan tegas mengulagi perintah
jangan membunuh. Pandangan Gereja yang demikian tentang
hukuman mati ini dirasakan sejalan dengan martabat
manusia dan juga dengan rencana Allah sendiri. Selain itu, hal ini juga sejalan
dengan tujuan utama hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang yang berbuat
jahat, yakni untuk memulihkan kekacauan yang diakibatkan oleh pelanggaran yang
dilakukan seseorang(bdk. KGK, art. 2266). Atas dasar ini, maka Gereja melihat
bahwa pemerintah wajib memenuhi tujuan mempertahankan kepentingan umum,
serta menjamin keamanan rakyatnya sekaligus memberikan dorongan dan bantaun
kepada pelaku kejahatan/pelanggaran untuk bisa
mendapatkan rehabilitasi.(bdk. KGK, art. 2266.)
Pandangan ini didasarkan pada ajaran Gereja
mengenai kekudusan hidup manusia dan martabat manusia, yang menentang tindakan
mengakhiri hidup manusia. Namun demikian, hak untuk hidup merupakan dasar dari
kewajiban untuk melindungi serta memelihara hidup diri sendiri.(bdk. KGK, art.
2264)
Meresapi teks
Tidak banyak menolong, bila kejahatan hanya
ditangkis dengan kekerasan senjata. Tidak mungkin mengadakan
keadilan dan menjamin hidup bersama yang aman di luar
tata hukum atau tanpa pengadilan yang
jujur. Tidaklah sesuai dengan semangat Kristen,
bahwa perbuatan jahat yang membawa
penderitaan dibalas dengan penderitaan juga. Menurut moral Kristen,
hukuman berkaitan dengan suatu kesalahan moral. Narapidana memikul beban
kesalahannya. Namun orang Kristen mengimani bahwa semua beban dosa telah
dipikul oleh Kristus, yang telah mati bagi dosa kita dan adalah perdamaian
kita. Maka menurut keinginan Kristiani, bukan beban kejahatan yang harus
dikenakan pada orang jahat, melainkan pendamaian Kristus yang mesti diwujudkan.
Dalam hal “hukuman” kita juga bertanya, “bagaimana kita makin memelihara
hidup?” (Iman Katolik, KWI)
- 1. Bagaimana Ensiklik Evangelium Vitae dari Paus Yohanes Paulus II memandang hukuman mati?
- 2. Bagaimana Perjanjian Lama memandang hukuman mati?
- 3. Bagaimana Perjanjian Baru memandang hukuman mati?
- 4. Bagaimana Gereja Katolik memandang hukuman mati?