PANGGILAN HIDUP MEMBIARA/RELIGIUS
Indikator
1. Menjelaskan
arti hidup membiara/religius berdasarkan kisah hidup St.Theresa dari
Kanak-kanak Yesus.
2. Menjelaskan
apa inti hidup membiara/religius (LG 42, 44)
3. Menjelaskan
makna kaul hidup membiara/religius (Luk 10: 1-12; Mat 10: 5-15; Yoh 14: 23-24;
Flp 2: 7-8)
Bahan Kajian
1. Arti
dan hakikat hidup membiara/religius.
2. Inti
hidup membiara/religius.
3. Makna
kaul hidup membiara/religius.
4. Bentuk
hidup selibat lainnya.
Sumber Belajar
1. Kitab
Suci Perjanjian Baru.
2. Dokpen
KWI (penterj) 1993, Dokumen Konsili Vatikan II, Obor, Jakarta.
3. KWI,
1995. Iman Katolik, Kanisius, Yogyakarta.
4. Kongregasi
Ajaran Iman. 1995. Katekismus Gereja Katolik, Nusa Indah, Ende Flores.
5. CLC.
2000. Ensiklopedi Orang Kudus. PT Enka P: Jakarta.
6. Darminta,
J. SJ. 1975. Hidup Berkaul. Kanisius: Yogyakarta.
Pendekatan
Saintifik dan kateketis.
Metode
Cerita, dialog, tanya-jawab,
diskusi, penugasan, informasi.
Sarana
1. Kitab
Suci Perjanjian Baru.
2. Kotan
Daniel Boli & Sugiono Leo. 2014. Buku Siswa Kelas XII Pendidikan Agama
Katolik dan Budi Pekerti, Puskurbuk: Jakarta.
3. Cerita
Kehidupan.
Pemikiran Dasar
Aneh, tetapi nyata! Itulah
pendapat banyak orang tentang teman atau kerabatnya yang menentukan jalan
hidupnya sebagai biarawan atau biarawati. Tidak jarang kita mendengar cerita
tentang banyak orang tua yang menentang keras anaknya yang ingin menjadi
pastor, suster, atau bruder. Tetapi tidak sedikit orang tua yang mendorong atau
mendukung anaknya yang memilih jalan hidup membiara. Bagi mereka yang sudah
menjadi biarawan atau biarawati, ketika ditanya mengapa mau menjalani hidup
seperti itu, mereka menjawab bahwa itulah panggilan hidup. Menjadi seorang
biarawan atau biarawati itu sebuah pilihan hidup. Bagi mereka, hidup membiara
itu merupakan jawaban atas panggilan Tuhan untuk melayani dan menguduskan
dunia.
Hidup membiara adalah salah
satu bentuk hidup selibat yang dijalani oleh mereka yang dipanggil untuk
mengikuti Kristus secara tuntas (total dan menyeluruh), dengan mengikuti
nasihat Injil. Hidup membiara adalah corak hidup, bukan fungsi gerejawi. Dengan
kata lain, hidup membiara adalah suatu corak atau cara hidup yang di dalamnya
orang hendak bersatu dan mengikuti Kristus secara tuntas, melalui kaul yang
mewajibkannya untuk hidup menurut tiga nasihat injil, yakni keperawanan,
kemiskinan, dan ketaatan (bdk. LG 44). Dengan mengucapkan kaul keperawanan,
orang membaktikan diri secara total dan menyeluruh kepada Kristus. Dengan
mengucapkan kaul kemiskinan, orang berjanji akan hidup secara sederhana dan
rela menyumbangkan apa saja demi kerasulan. Dan dengan mengucapkan kaul
ketaatan, orang berjanji akan patuh kepada pimpinannya dan rela membaktikan
diri kepada hidup dan kerasulan bersama. Kaul-kaul tersebut bukan inti hidup
membiara. Inti hidup membiara adalah
persatuan erat dengan
Kristus melalui penyerahan
diri secara total dan menyeluruh kepada-Nya. Hal itu diusahakan untuk
dijalani melalui ketiga kaul yang disebutkan di atas. Bentuk hidup selibat
lainnya adalah hidup tidak
menikah, yang dijalani oleh
kaum awam, demi Kerajaan Surga. Mereka memilih tidak menikah bukan karena
menilai hidup berkeluarga itu jelek atau bernilai rendah, melainkan demi
Kerajaan Surga (bdk. Mat 19: 12). Dalam hidup tidak menikah mereka menemukan
dan menghayati suatu nilai yang luhur, yakni melalui doa dan karya memberikan
cintanya kepada semua orang sebagai ungkapan kasih mereka kepada Allah.
Pada kegiatan pembelajaran
ini, peserta didik dibimbing untuk memahami bahwa hidup membiara dan hidup
selibat lainnya adalah panggilan dari Tuhan, merupakan rahmat, pemberian
cuma-cuma dari Tuhan bagi orang-orang yang dipilih-Nya. Meskipun merupakan
rahmat, kita bisa memohon hidup semacam itu kepada Tuhan. Oleh karenanya, siswa,
yang sudah mulai memikirkan pilihan cara hidupnya kelak, perlu diajak untuk
bertanya kepada dirinya sendiri apakah Tuhan memanggilnya untuk menjalani hidup
membiara atau hidup selibat lainnya.
Kegiatan Pembelajaran
Doa Pembuka
Allah, pencipta semesta, Engkau
memanggil setiap insan kepada keselamatan, dan Engkau mengharapkan tanggapan
dari mereka. Kami bersyukur begitu banyak orang telah menanggapi panggilan-Mu.
Dan untuk melayani mereka yang sudah Kau himpun, Engkau berkenan memanggil pula
pelayan-pelayan khusus bagi jemaat.
Bapa, panenan-Mu sungguh
melimpah, tetapi para penuai sangatlah kurang. Ketika menyaksikan tuaian yang
begitu banyak, Yesus sendiri mendesak, “Mintalah kepada Tuan yang empunya
tuaian supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu.” Maka kami
mohon, sudilah Engkau memanggil pekerja-pekerja untuk melayani umat-Mu.
Perlengkapilah umat-Mu dengan nabi yang akan bernubuat demi nama-Mu, yang akan
menegurkan umat-Mu kalau berbuat salah, dan menunjukkan jalan-Mu sendiri.
Bangkitkanlah rasul untuk mewartakan sabda-Mu. Bangkitkanlah guru untuk
mengajar kaum beriman, dan gembala untuk menuntun kami menemukan makanan yang
berlimpah bagi jiwa raga kami. Semoga mereka semua dapat ikut serta dalam peran
Kristus sendiri: memimpin, mengajar, dan menguduskan kami semua, agar kami
semua tidak kekurangan suatu apa. Demi Kristus, Tuhan kami. Amin.
(Sumber : Puji Syukur nomer
182)
Langkah Pertama: Mendalami
Arti dan Inti Hidup Membiara/Religius
1. Menyimak kisah hidup orang kudus
Guru mengajak peserta didik
untuk menyimak kisah berikut ini.
Santa Theresia dari
Kanak-kanak Yesus
Theresia Martin dilahirkan di
kota Alençon, Perancis, pada tanggal 2 Januari 1873. Ayahnya bernama
Louis Martin dan
ibunya Zelie Guerin.
Pasangan tersebut dikarunia sembilan orang anak, tetapi hanya lima yang
bertahan hidup hingga dewasa. Kelima bersaudara itu semuanya putri dan semuanya
menjadi biarawati! Ketika Theresia masih kanak-kanak, ibunya terserang penyakit
kanker. Pada masa itu, mereka belum memiliki obat-obatan dan perawatan khusus
seperti sekarang.
Para dokter mengusahakan yang
terbaik untuk menyembuhkannya, tetapi penyakit Nyonya Martin bertambah parah.
Ia meninggal dunia ketika Theresia baru berusia empat tahun.
Sepeninggal istrinya, ayah
Theresia memutuskan untuk pindah ke kota Lisieux, di mana kerabat mereka
tinggal. Di sana ada sebuah biara Karmel
di mana para suster berdoa secara khusus untuk kepentingan seluruh dunia.
Ketika Theresia berumur sepuluh tahun, seorang kakaknya, Pauline, masuk biara
Karmel di Lisieux. Hal itu amat berat bagi Theresia. Pauline telah menjadi
“ibunya yang kedua”, merawatnya, dan mengajarinya, serta melakukan semua hal
seperti yang dilakukan ibunya. Theresia sangat kehilangan Pauline hingga ia
sakit parah. Meskipun sudah satu bulan Theresia sakit, tak satu pun dokter yang
dapat menemukan penyakitnya. Ayah Theresia dan keempat saudarinya berdoa
memohon bantuan Tuhan. Hingga, suatu hari patung Bunda Maria di kamar Theresia
tersenyum padanya dan ia sembuh sama sekali dari penyakitnya!
Suatu ketika, Theresia
mendengar berita tentang seorang penjahat yang telah melakukan tiga kali
pembunuhan dan sama sekali tidak merasa menyesal. Theresia mulai berdoa dan
melakukan silih bagi penjahat itu (seperti menghindari hal-hal yang ia sukai
dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang kurang ia sukai). Ia memohon pada
Tuhan untuk mengubah hati penjahat itu. Sesaat sebelum kematiannya, penjahat
itu meminta salib dan mencium Tubuh Yesus yang tergantung di kayu salib.
Theresia sangat bahagia! Ia tahu bahwa penjahat itu telah menyesali dosanya di
hadapan Tuhan.
Theresia sangat mencintai
Yesus. Ia ingin mempersembahkan seluruh hidupnya bagi-Nya. Ia ingin masuk biara
Karmel agar ia dapat menghabiskan seluruh harinya dengan bekerja dan berdoa
bagi orang-orang yang belum mengenal dan mengasihi Tuhan. Tetapi masalahnya, ia
terlalu muda. Jadi, ia berdoa, menunggu dan menunggu. Hingga akhirnya, ketika
umurnya lima belas tahun, atas ijin khusus dari Paus, ia diijinkan masuk biara
Karmelit di Liseux.
Apa yang dilakukan Theresia di
biara? Tidak ada yang istimewa. Tetapi, ia mempunyai suatu rahasia: CINTA.
Suatu ketika Theresia mengatakan, “Tuhan tidak menginginkan kita untuk
melakukan ini atau pun itu, Ia ingin kita mencintai-Nya.” Jadi, Theresia
berusaha untuk selalu mencintai. Ia berusaha untuk senantiasa lemah lembut dan
sabar, walaupun itu bukan hal yang selalu mudah. Para suster biasa mencuci
baju-baju mereka dengan tangan. Seorang suster tanpa sengaja selalu
mencipratkan air kotor ke wajah Theresia. Tetapi Theresia tidak pernah menegur
atau pun marah kepadanya. Theresia juga menawarkan diri untuk melayani suster
tua yang selalu bersungut-sungut dan sering kali mengeluh karena sakitnya.
Theresia berusaha melayani dia seolah- olah ia melayani Yesus. Ia percaya bahwa
jika kita mengasihi sesama, kita juga mengasihi Yesus. Mencintai adalah pekerjaan
yang membuat Theresia sangat bahagia.
Hanya sembilan tahun lamanya
Theresia menjadi biarawati. Ia terserang penyakit tuberculosis (TBC) yang
membuatnya sangat menderita. Kala itu belum ada obat yang dapat menyembuhkan
penyakit TBC. Dokter hanya bisa sedikit menolong. Ketika ajal menjelang,
Theresia memandang salib dan berbisik, “O, aku cinta pada-Nya, Tuhanku, aku
cinta pada-Mu!” Pada tanggal 30 September 1897, Theresia meninggal dunia ketika
usianya masih dua puluh empat tahun. Sebelum wafat, Theresia berjanji
untuk tidak menyerah
pada rahasianya. Ia
berjanji untuk tetap mencintai dan menolong sesama dari Surga. Sebelum
meninggal Theresia mengatakan, “Dari Surga aku akan berbuat kebaikan bagi
dunia.” Dan ia menepati janjinya! Semua orang dari seluruh dunia yang memohon
bantuan St. Theresia untuk mendoakan mereka kepada Tuhan telah memperoleh
jawaban atas doa-doa mereka.
2. Pendalaman Sumber:
Setelah menyimak kisah tentang
St. Theresia dari Kanak-Kanak Yesus, guru mengajak peserta didik untuk
merumuskan pertanyaan-pertanyaan untuk didiskusikan bersama.
Pertanyaan-pertnyaan itu misalnya:
a. Apa
yang dipraktikkan St. Theresia?
b. Apa
hakikat dan makna hidup membiara/religius?
c. Apa
inti hidup membiara/religius?
d. Apa
makna kaul?
e. Bagaimana
caranya memupuk benih panggilan?
f.
Apa saja tantangan dalam hidup
membiara/religius?
Langkah Kedua: Mendalami
Ajaran Gereja tentang Hidup Membiara/Religius
1. Menyimak dokumen
Guru mengajak peserta didik
untuk menyimak dokumen ajaran Gereja berikut ini.
Makna dan arti hidup religius
Dengan kaul-kaul atau ikatan
suci lainnya, dengan caranya yang khas menyerupai kaul, orang beriman Kristiani
mewajibkan diri untuk hidup menurut tiga nasihat Injil tersebut. Ia mengabdikan
diri seutuhnya kepada Allah yang dicintainya mengatasi segala sesuatu. Dengan
demikian ia terikat untuk mengabdi Allah serta meluhurkan-Nya karena alasan
yang baru dan istimewa. Karena baptis ia telah mati bagi dosa dan dikuduskan
kepada Allah. Tetapi supaya dapat memperoleh buah-buah rahmat babtis yang lebih
melimpah, ia menghendaki untuk dengan mengikrarkan nasehat-nasehat Injil dalam
Gereja dibebaskan dari rintangan- rintangan,yang mungkin menjauhkannya dari
cinta kasih yang berkobar dan dari kesempurnaan bakti kepada Allah, dan secara
lebih erat ia disucikan untuk mengabdi Allah. Adapun pentahbisan akan makin
sempurna, apabila dengan ikatan yang lebih kuat dan tetap makin jelas
dilambangkan Kristus, yang dengan ikatan tak terputuskan bersatu dengan Gereja
mempelai-Nya.
Nasihat-nasihat Injil, secara
istimewa menghubungkan mereka itu dengan Gereja dan misterinya. Maka dari itu
hidup rohani mereka juga harus dibaktikan kepada kesejahteraan seluruh Gereja.
Dari situ muncullah tugas, untuk sekadar tenaga dan menurut bentuk khas
panggilannya entah dengan doa atau dengan karya kegiatan, berjerih payah guna
mengakarkan dan mengungkapkan Kerajaan Kristus di hati orang-orang, dan untuk
memperluasnya ke segala penjuru dunia. Oleh karena itu, Gereja melindungi dan
memajukan corak khas pelbagai tarekat religius. Maka pengikraran
nasihat-nasihat Injil merupakan tanda, yang dapat dan harus menarik secara
efektif semua anggota Gereja, untuk menunaikan tugas- tugas panggilan kristiani
dengan tekun. Sebab umat Allah tidak mempunyai kediaman tetap disini, melainkan
mencari kediaman yang akan datang. Maka status religius, yang lebih membebaskan
para anggotanya dari keprihatinan- keprihatinan duniawi, juga lebih jelas
memperlihatkan kepada semua orang beriman harta surgawi yang sudah hadir di
dunia ini, memberi kesaksian akan hidup baru dan kekal yang diperoleh berkat
penebusan Kristus, dan mewartakan kebangkitan
yang akan datang
serta kemuliaan Kerajaan
surgawi. Corak hidup, yang dikenakan
oleh Putra Allah ketika Ia memasuki dunia ini untuk melaksanakan kehendak Bapa,
dan yang dikemukakan-Nya kepada para murid yang mengikuti-Nya, yang diteladan
dan lebih dekat oleh status religius, dan senantiasa dihadirkan dalam Gereja.
Akhirnya status itu juga secara istimewa menampilkan
keunggulan Kerajaan Allah melampaui
segalanya yang serba duniawi, dan menampakkan betapa
pentingnya Kerajaan itu.
Selain itu juga memperlihatkan
kepada semua orang keagungan maha besar kekuatan Kristus yang meraja dan daya
Roh Kudus yang tak terbatas, yang berkarya secara mengagumkan dalam Gereja.
Jadi meskipun status yang terwujudkan dengan pengikraran nasihat-nasihat Injil
itu tidak termasuk susunan hierarkis Gereja, namun tidak dapat diceraikan dari
kehidupan dan kesucian Gereja. (LG 44).
2. Pendalaman
a. Guru
mengajak peserta didik untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan
artikel dalam LG 44.
b. Guru
mengajak peserta didik untuk berdiskusi dengan beberapa pertanyaan:
1) Apa
arti kaul?
2) Apa
arti kaul kemiskinan?
3) Apa
arti kaul ketaatan?
4) Apa
arti kaul keperawanan?
5) Apakah
kaul-kaul, khususnya kaul keperawanan, hanya dapat dihayati dalam hidup
membiara?
3. Peneguhan
Guru dapat memberi penjelasan,
misalnya sebagai berikut:
a. Arti
dan Makna Hidup Membiara
Hidup
membiara merupakan ungkapan hidup manusia, yang menyadari bahwa hidupnya berada
di hadirat Allah. Agar hadirat Allah bisa diungkapkan secara padat dan
menyeluruh, orang melepaskan diri dari segala urusan membentuk hidup
berkeluarga. Hal ini dilakukan mengingat, berdasarkan pengalaman, kesibukan
hidup berkeluarga sangat membatasi kemungkinan untuk mengungkapkan hadirat
Allah secara menyeluruh dan padat.
Dilihat
dari hidup manusia keseluruhan, ternyata hidup membiara mempunyai nilai dan
kepentingannya. Melalui hidup membiara, umat manusia semakin menemukan dimensi
rohani dalam hidupnya. Dari pengalaman hidup yang praktis, orang menyadari
bahwa dalam keterbatasan hidup mereka hadirat Allah tidak dapat dinyatakan
dengan bobot yang sama. Untuk kepentingan itu tampaklah betapa pentingnya hidup
membiara bagi hidup manusia itu.
Hidup
membiara menuntut suatu penyerahan diri secara mutlak dan menyeluruh. Cara
hidup ini merupakan suatu kemungkinan bagi manusia untuk mengembangkan diri dan
pribadinya. Hidup membiara mempunyai amanatnya sendiri, yaitu menunjukkan
dimensi hadirat Allah dalam hidup manusia. Karenanya, hidup membiara juga
disebut panggilan.
b. Inti
Hidup Membiara
Inti
kehidupan membiara, yang juga dituntut dari setiap orang Kristen, ialah
persatuan atau keakraban dengan Kristus. Tugas ataupun karier adalah soal
tambahan. Tanpa keakraban ini maka kehidupan membiara sebenarnya tak memiliki
suatu dasar. Seorang biarawan hendaknya selalu bersatu dengan Kristus dan
menerima pola nasib hidup Yesus Kristus secara radikal bagi dirinya. Oleh
karena itu, semboyan klasik hidup membiara ialah “Mengikuti jejak Tuhan kita
Yesus Kristus”, atau “Meniru Kristus” (Lumen Gentium, Art. 42). Ungkapan ini
tidak boleh ditafsirkan secara lahiriah saja. Mereka yang mengikuti Kristus
berarti “meneladan bentuk kehidupan-Nya” (Lumen Gentium, Art. 44). Akan tetapi,
meneladani harus diusahakan sedemikian rupa sehingga mereka sungguh bersatu dan
menyerupai Kristus.
Untuk dapat
menyerupai dan menyatu
dengan Kristus, orang
harus sering berkomunikasi atau
bertemu dengan Yesus
Kristus. Pertemuan atau
komunikasi yang efektif dan yang paling sering dilakukan ialah doa. Seorang
biarawan yang baik harus sering “tenggelam dalam doa” sebab doa merupakan suatu
daya atau kekuatan untuk dapat meneladani dan bersatu dengan Kristus. Di dalam
doa orang selalu bisa berbicara, mendengar, dan mengarahkan diri kepada
Kristus.
Persatuan erat
dengan Kristus itulah
inti dan tujuan
hidup membiara. Tanpa persatuan
dengan Kristus, hidup membiara akan rapuh karena tidak memiliki dasar. Seorang
biarawan perlu mengusahakan persatuan yang erat dengan Kristus dan menerima
pola hidup Kristus secara radikal (sampai ke akar-akarnya) bagi dirinya
sendiri. Inti hidup membiara didasarkan pada cinta Allah sendiri. Demi
cinta-Nya kepada manusia, Allah mengutus Putra- Nya ke dunia untuk mewartakan,
menjadi saksi, dan melaksanakan karya keselamatan-Nya bagi manusia. Yesus
menjalankan tugas perutusan-Nya secara sempurna dan radikal dengan menyerahkan
diri secara total kepada Bapa-Nya, memiliki dan menggunakan harta benda hanya
sejauh diperlukan untuk melaksanakan karya-Nya, dan taat kepada Bapa-Nya sampai
wafat di kayu salib. Pola hidup semacam itulah yang hendaknya dihayati oleh
seorang biarawan dalam hidupnya, sebagai tanda persatuannya dengan Kristus.
c. Kaul-kaul
dalam Hidup Membiara
1) Kaul
kemiskinan
Memiliki
harta benda adalah hak setiap orang. Dengan mengucapkan dan menghayati kaul
kemiskinan, orang yang hidup membiara melepaskan hak untuk memiliki harta benda
tersebut. Ia hendak menjadi seperti Kristus: dengan sukarela melepaskan haknya
untuk memiliki harta benda.
Untuk dapat
menghayati kaul kemiskinan dengan baik, diperlukan sikap batin rela menjadi
miskin seperti yang dituntut oleh Yesus dari murid- murid-Nya (Lukas 10: 1-12;
lihat juga Matius 10: 5-15). Sikap batin ini perlu diungkapkan dalam bentuk
nyata dalam kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan pengungkapan atau
perwujudan kaul kemiskinan, ada dua aspek yang bisa ditemukan, yaitu aspek
asketis (gaya hidup yang sederhana) dan aspek apostolis. Orang yang mengucapkan
kaul kemiskinan rela menyumbangkan bukan hanya harta bendanya demi kerasulan,
melainkan juga tenaga, waktu, keahlian, dan keterampilan; bahkan segala
kemampuan dan seluruh kehidupan.
2) Kaul
ketaatan
Kemerdekaan
atau kebebasan adalah milik manusia yang sangat berharga. Segala usaha akan
dilakukan orang untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaannya. Dengan
kaul ketaatan, orang memutuskan untuk taat seperti Kristus (Yohanes 14: 23-24;
Filipi 2: 7-8), melepaskan kemerdekaannya, dan taat kepada pembesar (meletakkan
kehendaknya di bawah kehendak pembesar) demi Kerajaan Allah.
Ketaatan
religius adalah ketaatan yang diarahkan kepada kehendak Allah. Ketaatan kepada
pembesar merupakan konkretisasi ketaatan kepada Allah. Maka itu, baik pembesar
maupun anggota biasa perlu bersama-sama mencari dan berorientasi kepada
kehendak Allah.
Dalam kaul
ketaatan pun dapat dibedakan aspek asketis dan aspek apostolis. Dari aspek
asketis, ketaatan religius dimengerti sebagai kepatuhan kepada pembesar,
terutama guru rohani. Sementara, dari aspek apostolis ketaatan religius berarti
kerelaan untuk membaktikan diri kepada hidup dan terutama kerasulan bersama.
3) Kaul
keperawanan
Hidup berkeluarga
adalah hak setiap
orang. Dengan mengucapkan dan menghayati kaul keperawanan,
orang yang hidup membiara melepaskan haknya untuk hidup berkeluarga demi
Kerajaan Allah. Melalui hidup selibat ia mengungkapkan kesediaan untuk
mengikuti dan meneladani Kristus sepenuhnya serta membaktikan diri secara total
demi terlaksananya Kerajaan Allah. Dengan kaul keperawanan, sikap penyerahan
diri seorang Kristen dinyatakan dalam seluruh hidup dan setiap segi. Inti kaul
keperawanan bukanlah “tidak kawin”, melainkan penyerahan secara menyeluruh
kepada Kristus, yang dinyatakan dengan meninggalkan segala-galanya demi Kristus
dan terus-menerus berusaha mengarahkan diri kepada Kristus terutama melalui
hidup doa.
Secara
singkat, ketiga kaul itu dapat dikatakan sebagai suatu sikap radikal untuk
mencintai Bapa (keperawanan), pasrah kepada kehendak Bapa (ketaatan), serta
bergantung dan berharap hanya kepada Bapa (kemiskinan).
Langkah Ketiga: Menghormati
Panggilan Hidup Membiara/Religius
1. Releksi
Guru
mengajak peserta didik untuk menuliskan sebuah refleksi tentang panggilan hidup
membiara.
2. 2. Aksi
a. Guru
meminta peserta didik untuk menuliskan doa untuk para biarawan dan biarawati
dan mengajaknya untuk mendoakannya setiap hari dalam kegiatan doa harian.
b. Guru
meminta peserta didik untuk bersikap hormat pada kaum biarawan dan biarawati,
rohaniwan, dan rohaniwati.
Doa Penutup
Bapa Yang Mahakudus, kami bersyukur kepada-Mu atas
begitu banyak biarawan-biarawati yang dengan tulus dan penuh semangat mengikuti
nasihat-nasihat Injil Putra-Mu. Dengan menjawab panggilan suci ini, mereka
hidup hanya untuk Engkau, karena seluruh hidup dan pelayanan mereka hanya
tertuju kepada-Mu. Semoga penyerahan secara utuh ini mendorong mereka untuk
tekun mengamalkan keutamaan-keutamaan injili, terutama kemiskinan, ketaatan,
dan kemurnian.
Terangilah mereka
agar menyadari kemurnian,
yang mereka ikrarkan demi Kerajaan Surga, sebagai
anugerah yang amat luhur, karena dengan itu mereka terbantu untuk mengasihi
Engkau secara utuh. Semoga prasetya kemiskinan semakin mendekatkan mereka
kepada Kristus yang telah menjadi Bapa untuk kami, dan semakin mendekatkan
mereka juga kepada saudara-saudara yang berkekurangan. Semoga lewat prasetya
ketaatan mereka mampu memadukan diri dengan Kristus yang telah menghampakan
diri karena taat kepada kehendak-Mu.
Bapa, semoga para
biarawan-biarawati selalu membina hubungan yang akrab dengan Engkau lewat doa
pribadi, liturgi, dan bacaan Kitab Suci. Sesudah disegarkan oleh
santapan-santapan suci ini, semoga mereka mampu meneguhkan
saudara-saudaranya, kaum beriman.
Semoga para
biarawan-biarawati selalu membina
kehidupan bersama yang akrab dan hangat, tempat setiap anggota
dapat berbagi suka dan duka, saling menghibur, dan meneguhkan, dan sebagai satu
keluarga semakin akrab dengan Engkau sendiri. Semoga mereka sungguh mewujudkan
persaudaraan sejati, dan memberikan kesaksian betapa indahnya hidup bersama
sebagai saudara, serta semakin mampu memberikan pelayanan kepada jemaat dan
masyarakat.
Demi Kristus, Tuhan,
pengantara kami. Amin.
Tugas:
Peserta didik dibagi dalam
beberapa kelompok kecil melakukan wawancara dengan kaum religius atau
biarawan-biarawati tentang penghayatan, tantangan-tantangan dan apa saja upaya
untuk memelihara panggilan hidup selibatnya.