Dipersembahkan
untuk anak-anakku terkasih,
Siswa-siswi SMA/SMK beragama Katolik yang sedang mempersiapkan diri menghadapi USBN dan UN.
Siswa-Siswi Katolik terutama Siswa-Siswi yang selama masa pendidikannya di SMA atau SMK belum mendapatkan Pendidikan Agama Katolik (dan Budi Pekerti) di sekolah karena ketiadaan guru atau kesulitan untuk mengakses buku-buku penunjang mata pelajaran tersebut.
Di
dalam blog ini saya berusaha semaksimal mungkin membantu kalian dengan
menyediakan materi minimal mengikuti kriteria Standar Kompetensi Lulusan Mata
Pelajaran Pendidikan Agama Katolik (dan Budi Pekerti) sebagai persiapan kalian
menghadapi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) 2018. Besar harapan saya, tulisan ini, bukan sekedar menghadapi USBN tetapi juga berguna
bagi hidupmu dan perkembangan imanmu.
Bagi
Rekan-Rekan Guru dan semua saja yang peduli, berkompeten dan berkepentingan,
jika ada yang kurang berkenan dalam penulisan materi ini, segala koreksi
kiranya selalu diperlukan.
Bagi yang ingin materinya dalam bentuk dokumen (pdf), silahkan wa ke
nomor: 085100025994, atau ID LINE : donnyreston
MATERI KHUSUS PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (DAN BUDI PEKERTI)
BERDASARKAN KISI-KISI USBN
TAHUN 2018
POKOK BAHASAN 1
PERUMPAMAAN TENTANG TALENTA [ Mat 25 : 14 – 30 ]
Marilah kita menyimak
perumpamaan tentang Talenta tersebut (Mat 25 : 14 – 30):
14 “Sebab
hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang yang mau bepergian ke luar negeri, yang
memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka.
15 Yang
seorang diberikannya lima talenta, yang seorang lagi dua dan yang seorang lain
lagi satu, masing-masing menurut kesanggupannya, lalu ia berangkat.
16 Segera
pergilah hamba yang menerima lima talenta itu. Ia menjalankan uang itu lalu
beroleh laba lima talenta.
17 Hamba
yang menerima dua talenta itu pun berbuat demikian juga dan berlaba dua
talenta.
18 Tetapi
hamba yang menerima satu talenta itu pergi dan menggali lobang di dalam tanah
lalu menyembunyikan uang tuannya.
19 Lama
sesudah itu pulanglah tuan hamba-hamba itu lalu mengadakan perhitungan dengan
mereka.
20 Hamba
yang menerima lima talenta itu datang dan ia membawa laba lima talenta,
katanya: Tuan, lima talenta tuan percayakan kepadaku; lihat, aku telah beroleh
laba lima talenta.
21 Maka
kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik
dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu
tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam
kebahagiaan tuanmu.
22 Lalu
datanglah hamba yang menerima dua talenta itu, katanya: Tuan, dua talenta tuan
percayakan kepadaku; lihat, aku telah beroleh laba dua talenta.
23 Maka
kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik
dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil,
aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah
dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.
24 Kini
datanglah juga hamba yang menerima satu talenta itu dan berkata: Tuan, aku tahu
bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak
menabur dan yang memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam.
25 Karena
itu aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah: Ini,
terimalah kepunyaan tuan!
26 Maka
jawab tuannya itu: Hai kamu, hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu,
bahwa aku menuai di tempat di mana aku tidak menabur dan memungut dari tempat
di mana aku tidak menanam?
27 Karena
itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan
uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya.
28 Sebab
itu ambillah talenta itu dari padanya dan berikanlah kepada orang yang
mempunyai sepuluh talenta itu.
29 Karena
setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan.
Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apa pun juga yang ada padanya akan diambil
dari padanya.
30 Dan
campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap.
Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.”
Secara garis besar, ada
tiga orang yang diberikan Lima, Dua, dan Satu Talenta. Maknanya :
·
Setiap orang mempunyai talenta paling sedikit satu.
·
Jumlah talenta setiap orang berbeda.
·
Jika talenta itu dikembangkan, maka tuannya akan melipatgandakannya.
·
jika tidak dikembangkan maka tuannya akan mengambilnya kembali.
·
Yang mengembangkan talentanya akan memperoleh kebahagiaan.
·
Yang tidak mengembangkan akan memperoleh penderitaan.
Pada ayat 27, Talenta
diterjemahkan sebagai “uang”. Sebenarnya, secara literal “Talenta” adalah
ukuran timbangan dimana “1” Talenta sama dengan “60 Mina” atau sama dengan “34
Kg”.
Tuhan Yesus menceritakan
tentang perumpamaan tersebut untuk memberikan pengertian yang mudah untuk
dipahami tentang kemampuan, bakat, sumber daya dan kesempatan yang
dianugerahkan Tuhan kepada manusia.
Ada beberapa gagasan yang
dapat kita peroleh dari perumpamaan tersebut :
·
Yesus memberikan gambaran seorang tuan yang memberikan
talenta kepada hamba-hambanya. ( Mat 25: 14 – 30).
·
Setiap orang diberi
talenta oleh Tuhan maka talenta itu harus
dikembangkan dan dikelola sebagaimana mestinya. Mengembangkan talenta
sebagaimana mestinya adalah panggilan dan tuntutan orang beriman kristiani.
·
Kita harus mengelola dan mengembangkan bakat dan kemampuan yang kita
miliki sesuai dengan kemampuan masing-masing.
·
Kita harus seperti hamba yang pertama dan hamba yang kedua yang
mengembangkan talenta yang mereka punya dengan baik.
·
Kita tidak boleh mencontoh hamba yang ketiga, yang hanya mengubur
talentanya, tanpa berusaha untuk mengembangkannya. Hamba yang diberi satu
talenta tersebut melambangkan orang yang tidak mau mengembangkan bakat dan
kemampuan yang diberikan Tuhan
·
Allah akan sedih dan kecewa karena kita hanya memendam bakat yang kita
miliki. Terlebih jika kita merasa iri hati terhadap kemampuan yang orang lain
miliki.
POKOK BAHASAN 2
MANUSIA SEBAGAI CITRA ALLAH
·
Kata “citra” mungkin lebih
tepat diartikan sebagai gambaran. Yang menggambarkan! Kalau kita mirip dengan
ibu kita, itu tidak berarti kita sama dengan ibu kita . Tetapi dengan mirip ini
mau menggambarkan sesuatu, bahwa
pada diri kita
entah itu fisiknya, karakternya, sifat-sifatnya ada kesamaan dengan ibu. Dan
kesamaan ini bukan dalam arti yang sebenarnya, tetapi merupakan
gambaran dari ibu. Hasil karya, entah itu seni atau yang
lainnya dapat menggambarkan si penciptanya. Demikian pula
makhluk yang disebut manusia
itu, dapat dikatakan sebagai gambaran atau citra si
penciptanya, yaitu Allah sendiri.
·
Manusia diberi kuasa untuk menguasai alam ciptaan lain. Menguasai alam
berarti menata, melestarikan, mengembangkan, dan menggunakannya secara
bertanggungjawab.
·
Karena manusia diciptakan
sebagai Citra Allah, manusia memiliki martabat sebagai pribadi: ia bukan
hanya sesuatu, melainkan seseorang. Ia mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas
diri sendiri, mengabdikan diri dalam kebebasan, dan hidup dalam kebersamaan
dengan orang lain, dan dipanggil membangun relasi dengan Allah, pencipta-Nya.
·
Persaudaraan sejati
adalah persaudaraan yang
dihayati atas dasar persamaan kodrat sebagai sesama ciptaan
Tuhan dan persamaan kodrat sebagai Citra Allah. Salah satu wujud dari
persaudaraan sejati itu adalah dengan menghargai dan menghormati orang lain,
yaitu, tidak merendahkan martabat orang lain yang berbeda agama, suku, ras,
atau pun golongan orang lain. Konkritnya, tidak mengganggu orang yang sedang
melaksanakan ibadahnya, tidak melakukan tindakan yang bersifat diskriminatif,
tidak mem-bully orang lain, dan lain-lain.
·
Persaudaraan sejati tidak membedakan orang berdasarkan agama, suku,
ras, ataupun golongan, karena semua manusia adalah sama-sama umat Tuhan dan
sama-sama dikasihi Tuhan. Maka setiap orang yang membenci sesamanya, ia
membenci Tuhan.
POKOK BAHASAN 3
SUARA HATI / HATI NURANI
Suara hati secara luas
dapat diartikan sebagai keinsafan akan
adanya kewajiban. Suara hati merupakan kesadaran moral yang timbul dan tumbuh
dalam hati manusia.
Suara hati secara sempit
dapat diartikan sebagai penerapan
kesadaran moral dalam situasi konkret, yang menilai suatu tindakan manusia atas
buruk baiknya.
Suara hati atau hati
nurani merupakan daya atau kemampuan
khusus untuk membedakan perbuatan baik atau perbuatan buruk, serta menilai
baik-buruknya perbuatan itu berdasarkan akal budi.
Mari kita simak kutipan
GS art. 16
berikut :
“Di lubuk hati nuraninya,
manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri, melainkan
harus ditaati. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan
melaksanakan apa yang baik, dan menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu,
suara itu menggemakan dalam lubuk hatinya: jalankan ini, elakkan itu. Sebab
dalam hatinya, manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya
ialah mematuhi hukum itu, dan menurut hukum itu pula ia akan diadili.
Suara hati ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar
suci; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang pesan-Nya menggema dalam
hatinya. Berkat hati nurani dikenallah secara ajaib hukum, yang
dilaksanakan dalam cinta kasih terhadap Allah dan terhadap sesama. Atas
kesetiaan terhadap hati nurani, umat Kristiani bergabung dengan sesama lainnya
untuk mencari kebenaran, dan untuk dalam kebenaran itu memecahkan sekian banyak
persoalan moral, yang timbul baik dalam hidup perorangan maupun dalam kehidupan
kemasyarakatan.”
Menurut dokumen tersebut,
suara hati adalah inti manusia, tempat
Allah menggemakan pesanNya berupa hukum cinta kasih.
Dari dokumen tersebut
terkandung pula makna bahwa suara hati perlu terus dibina dengan setia dan
dengan segala usaha mencari kebenaran. Suara
hati dapat dibina dengan cara:
1. Mengikuti suara hati dalam segala hal
•
Seseorang yang selalu berbuat sesuai dengan hati nuraninya, hati
nurani akan semakin terang dan berwibawa.
•
Seseorang yang selalu mengikuti dorongan suara hati, keyakinannya akan
menjadi sehat dan kuat. Dipercayai orang lain, karena memiliki hati yang murni
dan mesra dengan Allah.
•
“Berbahagialah orang yang murni hatinya, karena mereka akan memandang
Allah.” (Mat 5: 8).
2. Mencari keterangan pada sumber yang baik
•
Dengan membaca: Kitab Suci, Dokumen-Dokumen Gereja, dan buku-buku lain
yang bermutu.
•
Dengan bertanya kepada orang yang punya pengetahuan/ pengalaman dan
dapat dipercaya
•
Ikut dalam kegiatan rohani, misalnya rekoleksi, retret, dsb.
•
Koreksi diri atau introspeksi
•
Koreksi atas diri sangat penting untuk dapat selalu mengarahkan hidup
kita.
3. Menjaga kemurnian hati
•
Menjaga kemurnian hati terwujud dengan melepaskan emosi dan nafsu,
serta tanpa pamrih, yang nampak dalam tiga hal:
a.
Maksud yang lurus (recta intentio): ia konsisten dengan apa yang
direncanakan, tanpa dibelokkan ke kiri atau ke kanan.
b.
Pengaturan emosi (ordinario affectum): ia tidak menentukan keputusan
secara emosional.
c.
Pemurnian hati (purification cordis): tidak ada kepentingan pribadi
atau maksud-maksud tertentu di balik keputusan yang diambil.
•
Hal ini dapat dilatih dengan penelitian batin, seperti merefleksikan
rangkaian kata dan tindakan sepanjang hari itu, berdoa sebelum melakukan
aktivitas, dan lain-lain.
Fungsi / peran hati nurani adalah sebagai berikut:
•
Hati nurani berfungsi
sebagai pegangan, pedoman, atau norma untuk memberi petunjuk atau menilai suatu
tindakan baik atau buruk.
•
Hati nurani berfungsi
sebagai pegangan atau peraturan-peraturan konkret dalam hidup sehari-hari.
•
Hati berfungsi
menyadarkan manusia akan nilai dan harga dirinya.
•
Mengenalkan kepada
manusia hukum ajaib yang dilaksanakan dalam cinta kasih terhadap Allah dan
terhadap sesama.
•
Di dalam hati nurani,
manusia bersama dengan sesamanya mencari kebenaran yang kemudian dapat
memecahkan persoalan moral yang timbul dalam hidup perorangan maupun
kemasyarakatan.
POKOK BAHASAN 4
PENGARUH MEDIA TEKNOLOGI
Pada masa kini teknologi
media menjadi salah satu pemberi informasi yang paling berpengaruh dan sulit
untuk dihindari. Pengaruh tersebut dapat positif dan dapat pula negatif.
Berhadapan dengan informasi yang disampaikan oleh oleh teknologi media tersebut,
sebagai orang Kristiani, kita diajak untuk bersikap kritis terhadap semua
informasi yang kita terima. Sikap kritis membuat kita dapat membedakan mana hal
yang baik dan mana yang buruk, mana yang positif dan mana yang negatif.
Ada beberapa upaya yang
dapat kita lakukan untuk membina sikap kritis kita terhadap media massa, di
antaranya adalah:
- Banyak membaca buku tentang media
- Mengikuti pelatihan dan pendidikan media, kalau ada
- Melatih diri untuk melihat dan mendengar tayangan berbagai media dengan kritis
- Bertanya dan belajar banyak dari orang-orang yang tahu dan berpengalaman tentang media
Pada zaman Yesus, jenis
media yang ada, mungkin hanya berupa buku dan kitab. Kitab yang paling
dihormati dan ditaati oleh masyarakat Yahudi adalah Kitab Taurat yang mengatur
tentang berbagai hak dan kewajiban yang bertujuan untuk keselamatan umat.
Tetapi, kaum agamawan banyak memanipulasi Kitab tersebut sehingga menjadi beban
bagi umat. Salah satu contohnya adalah peraturan tentang Hari Sabat (Mrk
2:23-28).
Dalam kisah tersebut
nampak bahwa Yesus menyikapi Hukum Taurat mengenai Hari Sabat itu dengan
kritis. Paradigma terhadap peraturan tersebut ditolak oleh Yesus dengan
mengatakan bahwa peraturan tentang hari Sabat itu adalah demi keselamatan
manusia, bukan manusia demi hari Sabat. Makna
sikap kritis Yesus ini bagi kita adalah bahwa kita harus membedakan yang baik
dan yang jahat/buruk, mana yang berguna bagi keselamatan manusia dan mana yang
tidak. Keselamatan manusia menjadi pilihan yang paling penting bagi Yesus dalam
hidup dan karyaNya.
POKOK BAHASAN 5
PENGELOMPOKAN KITAB SUCI PERJANJIAN LAMA
Bagian pertama Kitab Suci
disebut Perjanjian Lama. Kitab Suci
Perjanjian Lama adalah kitab yang berisi perjanjian antara Allah dan
manusia sebelum Yesus Kristus lahir. Artinya perjanjian antara Allah dan umat
Israel (makanya, kitab ini juga merupakan kitab iman bangsa Israel). Isi
perjanjian tersebut adalah: “Allah adalah Allah umat Israel dan Israel adalah
umat Allah. Allah akan melindungi dan memelihara umat Israel apabila umat
Israel setia dan taat kepada Allah. Apabila mereka tidak setia Allah akan
mendatangkan malapetaka dan kutuk bagi mereka.“ Singkatnya, dalam KSPL
diceritakan hal ikhwal perjanjian antara Allah dan manusia yakni manusia setia
atau tidak setia terhadap perjanjian; dan bagaimana perjanjian itu terlaksana
atau tidak.
Kitab Suci Perjanjian
Lama (KSPL) adalah kitab iman bangsa Israel (bukan riwayat hidup dan sejarah
bangsa Israel). Oleh karena itu, bisa saja terjadi bahwa tokoh-tokoh dalam
perjanjian lama adalah tokoh sejarah dan mempunyai latar belakang sejarah namun
KSPL terutama memuat refleksi iman bangsa Israel yang berelasi dengan
Allah/Yahwe.
Kitab Suci Perjanjian Lama
memuat 46 kitab yang yang dibagi dalam 4 kelompok:
1.
5 Kitab Pentateukh. Pentateukh dalam bahasa
Yunani berarti, lima jilid, lima gulungan. Dalam bahasa Ibrani disebut
Torah/Taurat. Kelima kitab tersebut adalah :
a.
Kitab Kejadian : mengisahkan tentang
kejadian dunia dan awal umat Israel.
b.
Kitab Keluaran : mengisahkan tentang umat Israel waktu mengungsi ke
Mesir, keluar dari Mesir dan mengembara di padang gurun.
c.
Kitab Imamat : memuat tata
upacara ibadat umat Israel yang ditetapkan Musa waktu mengembara di padang
gurun.
d.
Kitab Bilangan : melanjutkan
kisah pengalaman umat Israel di padang gurun sampai mereka tiba di perbatasan
Kanaan Palestina. Disebut Kitab Bilangan, karena dalam Kitab Bilangan terdapat
banyak angka, daftar.
e.
Kitab Ulangan : menceritakan
kembali hal ikhwal umat Israel di padang gurun dan hukum yang diumumkan waktu
itu.
2. 16 Kitab Sejarah: Yosua, Hakim-Hakim, Rut, 1-2 Samuel, 1-2 Raja, 1-2 Tawarikh, Ezra, Nehemia,
Tobit, Yudit, Ester, 1-2 Makabe.
3. 7 Kitab Puisi/Kitab Kebijaksanaan: Ayub, Mazmur, Amsal,
Pengkhotbah, Kidung Agung, Kebijaksanaan Salomo, Putera Sirakh.
4. 18 Kitab Para Nabi: kitab yang berisi kumpulan nubuat/khotbah para
nabi: Yesaya, Yeremia, Ratapan, Barukh, Yehezkiel, Daniel, Hosea, Yoel, Amos,
Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zafanya, Hagai, Zakaria, Maleakhi. Ada empat
nabi besar, yakni: Yesaya, Yeremia,
Yehezkiel, Daniel. Disebut nabi besar karena kitabnya tebal-tebal. Ada 12
nabi kecil, disebut nabi kecil karena kitabnya tipis-tipis.
POKOK BAHASAN 6
KERAJAAN ALLAH
Paham atau pengertian
“Kerajaan Allah” tidak muncul begitu saja pada zaman Yesus tetapi sudah
berkembang sejak Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Lama, bangsa Israel sering menyebut Allah (Yahwe) sebagai Raja. Allah diimani
mereka sebagai Raja yang kuat, yang berkuasa, yang berdaulat. Kekuatan,
kekuasaan dan kedaulatan Allah itu misalnya dialami oleh bangsa Israel
dalam peristiwa penyeberangan Laut Merah (lih. Kel 15:11-13; Ul 3:24; Bil 23:21
dst). Sebagai Raja, Allah adalah Raja yang adil (baca Mzm 146:6-10), yang
melindungi orang miskin (lih. Im 25: 35-55). Raja yang Mulia (Mzm 24: 8,10)
Raja yang berkuasa atas seluruh bumi (lih. Mzm 47:8), dan berkuasa untuk
selama-lamanya (Mzm 29:10).
Namun dalam hidupnya
bangsa Israel sebagai bangsa terpilih, seringkali mereka tidak setia kepada
Allah Sang Raja yang selalu setia kepada mereka. Mereka sering menjauh dari
Allah. Perbuatan dosa inilah yang menyebabkan mereka jatuh dalam pembuangan dan
penindasan oleh bangsa lain. Pada masa bangsa Israel mengalami penindasan,
Allah tetap menunjukkan kesetiaan-Nya dengan mewartakan kehendak-Nya melalui
perantaraan para Nabi. Para Nabi menegaskan bahwa akan tiba saatnya Allah akan
membela mereka, Allah akan membangun suatu dunia baru, dengan hati yang baru
(lih. Yeh 36:24-28), dengan perjanjian baru (lih. Yer 31:31-34). Dunia baru itu
Allah untuk semua bangsa (lih. Yes 2:1-5;19:16-25). Dalam dunia baru itu Allah
akan menegakkan kembali pemerintahan-Nya melalui anak-Nya sendiri, “dan namanya
disebut orang Penasehat ajaib, Allah yang perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai”
(Yes 9:5). Melalui kekuasaan-Nya yang besar Ia akan menegakkan kembali damai
sejahtera seperti pada pemerintahan Raja Daud. Dan ketika Yesus hidup, pada
saat itu bangsa Israel berada dalam penjajahan bangsa Romawi. Yesus
menghidupkan kembali harapan tegak-Nya Kerajaan Allah seperti yang pernah
dilakukan oleh para Nabi. Bagaimana masyarakat Yahudi pada zaman Yesus memahami
pengertian tentang Kerajaan Allah?
Pada umumnya masyarakat
Yahudi pada saat itu sesungguhnya mempunyai harapan tentang tegaknya kembali
pemerintahan dan kekuasaan Allah atas bangsa mereka. Namun penghayatan mereka
antara orang per orang maupun antar kelompok berbeda. Dalam bangsa Yahudi saat
itu ditemukan beberapa paham tentang makna Kerajaan Allah, diantaranya adalah
sebagai berikut.
1. Kerajaan Allah yang bersifat Politis
Paham
Kerajaan Allah bersifat politis ini beranggapan bahwa Kerajaan Allah yang
damai dan sejahtera hanya akan terwujud bila Allah tampil sebagai seorang tokoh
politik yang dengan gagah berani mampu memimpin bangsa Israel melawan penjajah
Romawi dan para penindas rakyat.
2. Kerajaan Allah yang Bersifat Apokaliptis
Paham
Kerajaan Allah yang bersifat Apokaliptis ini memandang Kerajaan Allah akan
tercapai bila Allah menunjukkan kuasa-Nya dengan menggoncangkan
kekuatan-kekuatan langit dan bumi. Pada saat itulah Allah akan membangkitkan
suatu dunia baru. Dan mereka menganggap penderitaan yang dialami bukan
akhir segala-galanya, kelak pada akhir zaman Allah akan menegakkan
Kerajaan-Nya dan membebaskan manusia dari segala penderitaan.
3. Paham Kerajaan Allah yang Bersifat Yuridis-Religius
/ Legalisme
Allah
sekarang sudah meraja secara hukum, sedangkan pada akhir zaman Allah menyatakan
kekuasaan-Nya sebagai Raja semesta alam dengan menghakimi sekalian bangsa. Mereka memandang Hukum
Taurat sebagai wujud Kekuasaan Allah yang mengatur manusia. Maka mereka yang
sekarang taat kepada hukum Taurat sudah menjadi warga Kerajaan Allah.
Tetapi, jika tidak melakukan apa yang dituntut dalam hukum Taurat mereka tidak
akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Mesias sebagai tokoh agama yang
mampu menegakkan hukum Taurat. Inilah paham Kerajaan Allah yang diyakini oleh
para tokoh agama Yahudi yakni Para Imam dan Ahli Taurat, termasuk para nabi.
Bagaimana pandangan Yesus
sendiri tentang Kerajaan Allah? Tema pokok pewartaan Yesus adalah Kerajaan
Allah. Yesus mengawali karya pelayanan-Nya di Galilea dengan memberitakan Kabar
Baik: “Saatnya telah genap; Kerajaan
Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mrk 1:15). Kerajaan Allah, yaitu Allah yang datang sebagai Raja, sudah dekat. Ciri
khas pewartaan Yesus ialah bahwa kedatangan Allah sebagai Raja Penyelamat
dinyatakan akan terjadi dengan segera. (Mrk 1:15; 13:29;Mat 10:7, Luk
17:20-21,37). Bagi Yesus pewartaan Kerajaan mempunyai arti yang khusus. Pertama
karena Kerajaan Allah paling pokok dalam sabda dan karya Yesus. Tetapi juga
karena Kerajaan mempunyai ciri-ciri khas dalam pewartaan Yesus. Bagi Yesus
kedatangan Kerajaan mendesak, karena kemalangan manusia hampir tidak tertahan
lagi. Maka belas-kasihan dan kerahiman Allah juga tidak akan tertunda lagi.
Bagi Yohanes kemalangan zaman itu berarti hukuman dari Allah (lih. Mat 3:7- 8
dst.), bagi Yesus justru ajakan bertobat (Luk 13:3.5). Kemalangan menjadi tanda
kedatangan Allah yang maharahim. Pewartaan Kerajaan adalah pewartaan kerahiman
Allah dan karena itu merupakan warta pengharapan. Kerajaan Allah berarti turun
tangan Allah untuk menyelamatkan, untuk membebaskan dunia secara total dari
kuasa kejahatan (lih. Luk 10:18). Maka sabda Yesus tertuju kepada orang yang
menderita (lih. ”Sabda bahagia”: Luk 6:20-23 dsj.). Pewartaan Yesus bukan
janji-janji lagi. Dan dalam diri Yesus, Kerajaan Allah telah datang, “Pada hari
ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya” (Baca Luk 4:14-32). Singkatnya,
Kerajaan Allah adalah ketika Allah
meraja melalui sabda dan tindakan Yesus dan akan mencapai kepenuhanNya pada
akhir zaman.
Pewartaan
Yesus mengenai Kerajaan Allah ditujukan kepada pertobatan manusia dan
kepercayaan kepada Injil. Ia memanggil orang supaya siap siaga menerima
Kerajaan Allah bila datang. Dalam hubungan ini mengesanlah betapa ditekankan
oleh Yesus sifat “rahmat” Kerajaan: “Bapa memberikan Kerajaan” (Luk 12:32; juga
22:29). Oleh karena itu orang harus menerima Kerajaan “seperti kanak-kanak”
(Mrk 10:14 dsj.; lih. juga Luk 6:20 dsj.). Tawaran rahmat itu sekaligus
merupakan tuntutan mutlak: “Kamu tidak dapat sekaligus mengabdi kepada Allah
dan kepada mamon (uang)” (Mat 6:24). Kerajaan Allah adalah panggilan dan tawaran
rahmat Allah, dan manusia harus menerimanya dengan sikap iman yang dinyatakan
dalam perbuatan yang baik, sebab Kerajaan Allah, kendatipun berarti Allah dalam
kerahiman-Nya, juga merupakan kenyataan bagi manusia. Kerajaan Allah harus
diwujudnyatakan dalam kehidupan manusia. Pengharapan akan Kerajaan tidak
tertuju kepada suatu peristiwa yang akan terjadi dalam masa yang akan datang,
melainkan diarahkan kepada Allah sendiri dan menjadi kenyataan dalam penyerahan
itu sendiri, kalau manusia boleh bertemu dengan Allah.
Kesimpulannya, Kerajaan Allah yang
diwartakan oleh Yesus meliputi :
•
Kedatangan Allah sebagai
Raja Penyelamat dinyatakan akan terjadi dengan segera.
•
Pewartaan Kerajaan Allah
adalah pewartaan Kerahiman Allah dan karena itu merupakan warta pengharapan.
•
Pewartaan Yesus mengenai
Kerajaan Allah ditujukan kepada pertobatan
manusia, supaya tiap orang siap siaga menerima Kerajaan Allah bila datang.
•
Kerajaan Allah adalah
panggilan dan tawaran rahmat Allah, dan manusia harus menerimanya dengan sikap
iman yang dinyatakan dalam perbuatan yang baik.
POKOK BAHASAN 7
TUJUH KARUNIA ROH KUDUS
Rasul
Yohanes menulis, “Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih
karunia demi kasih karunia” (Yohanes 1:16). Kasih karunia mengalir dari
kepenuhan Allah yang telah menjelma menjadi manusia, menderita, wafat di kayu
salib, bangkit dan kemudian naik ke Surga. Penderitaan dan kematian Kristus di
kayu salib menyebabkan rahmat Allah mengalir secara berlimpah kepada umat
manusia. Peran dari Roh Kudus adalah membagikan rahmat yang berlimpah ini
kepada umat manusia dalam bentuk:
(1)
rahmat pembantu (Actual
Grace);
(2)
rahmat yang menetap
(Habitual Grace);
(3)
Tujuh Karunia Roh Kudus
(4)
Karunia karismatik membangun
jemaat;
(5)
Roh Kudus memelihara dan
membimbing Gereja Katolik.
Kali ini kita akan
membahas secara khusus tentang 7 karunia Roh Kudus. Dalam
tradisi Gereja Katolik dikenal ada tujuh karunia Roh Kudus (bdk Yes 11:2). Ke
tujuh karunia tersebut adalah:
a.
Roh kebijaksanaan: Karunia kebijaksanaan ini
memungkinkan seseorang mampu melihat segala sesuatu dari kacamata ilahi. Orang
yang memiliki karunia ini dapat menimbang segala sesuatu dengan tepat,
mempunyai sudut pandang yang jelas akan kehidupan, melihat segala yang terjadi
dalam kehidupan sebagai rahmat Tuhan yang perlu disyukuri, sehingga ia tetap mampu
bersukacita sekalipun di dalam penderitaan. Karunia ini memungkinkan seseorang
menjalani kehidupan sehari-hari dengan pandangan terarah kepada Tuhan.
b.
Roh pengertian: Karunia pengertian adalah karunia yang memungkinkan kita mengerti
kedalaman misteri iman, mengerti apa yang sebenarnya diajarkan oleh Kristus dan
misteri iman seperti apakah yang harus kita percayai. Karunia ini memberikan
kedalaman pengertian akan Kitab Suci, kehidupan rahmat, pertumbuhan dalam
sakramen-sakramen, dan juga kejelasan akan tujuan akhir kita, yaitu Surga.
Karunia ini mendorong agar apapun yang kita lakukan mengarah pada tujuan akhir
hidup ini.
c.
Roh nasihat: Karunia Roh Kudus ini adalah karunia untuk mampu memberikan petunjuk
jalan yang harus ditempuh seseorang agar dapat memberikan kemuliaan yang lebih
besar bagi nama Tuhan. Karunia ini menerangi kebajikan kebijaksanaan, yang
dapat memutuskan dengan baik, pada waktu, tempat dan keadaan tertentu. Karunia
ini perlu dijalankan dengan benar-benar mendengarkan Roh Kudus, membiarkan diri
dibimbing olehNya, sehingga apapun nasihat dan keputusan yang kita berikan
sesuai dengan kehendak Allah.
d.
Roh keperkasaan: Karunia keperkasaan adalah keberanian untuk mengejar yang baik dan
tidak takut dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang menghalangi tercapainya
kebaikan tersebut. Karunia keperkasaan dari Roh Kudus adalah keberanian untuk
mencapai misi yang diberikan oleh Tuhan, bukan berdasarkan pada kemampuan diri
sendiri, namun bersandar pada kemampuan Tuhan. Melalui karunia ini, Roh Kudus
memberikan kekuatan kepada kita untuk yakin dan percaya akan kekuatan Allah.
Allah dapat menggunakan kita yang terbatas dalam banyak hal untuk memberikan
kemuliaan bagi nama Tuhan. (1 Korintus 1:27-29).
e.
Roh pengenalan: Karunia pengenalan memberikan kemampuan kepada kita untuk menilai
ciptaan dengan semestinya dan melihat kaitannya dengan Sang Penciptanya (bdk. Kebijaksanaan
Salomo 13:1- 3) Dengan karunia ini, seseorang dapat memberikan makna akan
hal-hal sederhana yang dilakukannya setiap hari dan mengangkat ke tingkat yang
lebih tinggi, yaitu sebagai jalan kekudusan. Ini berarti semua profesi harus
dilakukan dengan jujur dapat menjadi cara untuk bertumbuh dalam kekudusan.
Semua hal di dunia ini dapat dilihat dengan kaca mata Allah, dan dihargai sebagaimana
Allah menghargai masing-masing ciptaan-Nya.
f.
Roh takut akan Tuhan: Takut akan Tuhan adalah
takut akan penghukuman Tuhan, takut bahwa dirinya akan terpisah dari Tuhan.
Ketakutan pada tahap ini membantu seseorang dalam pertobatan awal. Namun,
bukankah Rasul Yohanes mengatakan bahwa dalam kasih tidak ada ketakutan? (lihat
Yohanes 4:18) Takut akan penghukuman Tuhan akan berubah menjadi takut
menyedihkan hati Tuhan, kalau didasarkan pada kasih. Inilah yang disebut takut
karena kasih, seperti anak yang takut menyedihkan hati bapanya.
g.
Roh kesalehan: Karunia kesalehan adalah karunia Roh Kudus yang membentuk hubungan
kita dengan Allah seperti anak dengan bapa; dan pada saat yang bersamaan,
membentuk hubungan persaudaraan yang baik dengan sesama. Karunia ini
menyempurnakan kebajikan keadilan, yaitu keadilan kepada Allah, yang diwujudkan
dengan agama, dan keadilan kepada sesama. Karunia kesalehan memberikan kita
kepercayaan kepada Allah yang penuh kasih, sama seperti seorang anak percaya
kepada bapanya. Hal ini memungkinkan karena kita telah menerima Roh yang
menjadikan kita anak-anak Allah, yang dapat berseru “Abba, Bapa!” (lihat Roma
8:15). Dengan hubungan kasih seperti ini, kita dapat melakukan apa saja yang
diminta oleh Allah dengan segera, karena percaya bahwa Allah mengetahui yang
terbaik. Dalam doa, orang ini menaruh kepercayaan yang besar kepada Allah,
karena percaya bahwa Allah memberikan yang terbaik, sama seperti seorang bapa
akan memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Mereka yang menerima karunia
kesalehan akan memberikan penghormatan kepada Bunda Maria, para malaikat, para
kudus, Gereja, sakramen, karena mereka semua berkaitan dengan Allah. Juga,
mereka yang diberi karunia ini, juga akan membaca Kitab Suci dengan penuh
hormat dan kasih, karena Kitab Suci merupakan surat cinta dari Allah kepada
manusia. Dalam hubungannya dengan sesama, karunia kesalehan dapat menempatkan
sesama sebagai saudara/i di dalam Kristus, karena Allah mengasihi seluruh umat
manusia dan menginginkan agar mereka juga mendapatkan keselamatan. Mereka yang
saleh ini akan menjadi lebih bermurah hati kepada sesama. Dan dalam derajat
yang lebih tinggi, mereka bersedia memberikan dirinya demi kebaikan bersama.
POKOK BAHASAN 8
MAKNA SENGSARA DAN WAFAT YESUS
1.
Kematian Yesus adalah konsenkuensi pewartaanNya tentang Kerajaan Allah.
Pewartaan Yesus dan tindakanNya yang sangat
radikal, sangat menyinggung penguasa, tua-tua bangsa
Yahudi,
imam kepala, dan ahli-ahli Taurat. Mereka bersekongkol untuk membunuh Yesus. Namun Yesus tidak gentar
menghadapi kematian.
2.
Wafat Yesus sebagai tanda ketaatan dan kesetiaanNya
kepada BapaNya.
Yesus menyadari bahwa kematian adalah bagian dari
kehendak BapaNya ”…makananku ialah melakukan kehendak Dia yang
mengutus aku dan menyelesaikan pekerjaanNya” (Yoh4:34).
Yesus setia kepadaNya. Ia taat sampai mati. Dengan ketaatannya
sampai mati, Yesus menyelesaikan tugasNya sebagai hamba yang menderita (bdk.Yes
53:10-12).
3.
Kematian Yesus tanda solidaritasnya pada manusia.
Allah dalam diri Yesus solider dengan
manusia.
Allah dalam diri Yesus senasib dengan manusia sampai
kematianNya. Allah dalam diri Yesus tidak pernah meninggalkan
manusia,
sekalipun manusia mengalami penderitaan. Allah tetap
beserta kita (Emmanuel). Bercermin dari situ, kita pun diharuskan
menunjukkan solidaritas kita terhadap mereka yang menderita.
4.
Kematian Yesus menyelamatkan manusia.
Kematian Yesus merupakan bagian dari misteri
penyelamatan Allah. Paulus dalam pengakuan imannya mengatakan: ”… Kristus telah
mati karena dosa-dosa kita sesuai dengan kitab suci” (1 Kor 15:3). Yesus untuk
kepentingan kita.(lih. 1Ptr 1:18-19; 2Kor 5:21). Kematian Yesus mempersatukan
kita kembali dengan Allah. Rekonsilasi antara manusia dengan Allah terjadi
berkat kematian Yesus di salib.
POKOK BAHASAN 9
MAKNA KEBANGKITAN DAN KENAIKAN YESUS
1)
Makna Kebangkitan Yesus bagi
iman kita
a.
Kebangkitan Yesus mensahkan
dan melegitimasi apa yang dilakukan da n diajarkanNya. Semua kebenaran yang
diajarkaNya mendapat pembenaran.
b.
Kebangkitan Yesus,
terpenuhilah nubuat-nubuat Perjanjian Lama (bdk. Luk 24:26-27) dan juga apa
yang dijanjikan Yesus sendiri semasa hidupNya di dunia (bdk. Mat 28:6).
c.
Kebangkitan Yesus menegaskan
ke-Allahan Yesus (lih. Yoh 8:28). Kebangkitan Yesus menerangkapn bahwa Ia
sungguh-sungguh Putra Allah
2)
Makna kebangkitan Yesus bagi
perjuangan hidup manusia di dunia :
a.
Kita menerima Allah sebagai Raja, kekuatan, dan dukungan. Yesus selalu mengandalkan Allah dalam seluruh hidupNya. Oleh karena itu
Yesus tidak pernah gentar menghadapi tandangan hidup termasuk kematian. Yesus
mengajak kita untuk selalu juga mendoakan Allah dalam seluruh perjuangan hidup
di dunia ini.
b.
Mencintai sesama tanpa batas. Yesus semasa
hidupNya mencintai semua orang tanpa batas, tanpa melihat perbedaan termasuk
musuh-musuhNya.
c.
Berjuang untuk memerdekakan manusia.
Yesus sangat menjunjung martabat manusia. Yesus sangat tidak menginginkan
manusia dilecehkan oleh hukum dan peraturan Hukum diabdikan untuk manusia dan
bukan sebaliknya. Yesus mengajak orang untuk berjuang menjunjung tinggi
martabat setiap orang.
3)
Makna kenaikan Yesus ke
Surga
Dari perspektif teologi, kebangkitan dan kenaikan Yesus ke Surga mau
mengungkapkan kebenaran iman yang sama, yakni Yesus telah dimuliakan oleh BapaNya
sesudah Ia melaksanakan tugasnya di dunia ini. Makna kenaikan Yesus:
a.
Menggambarkan langkah masuk yang defenitif kodrat manusiawi Yesus ke dalam kemuliaan
Allah di Surga, darn dari Surga Ia akan datang kembali.
b.
Yesus sebagai kepala Gereja,
telah mendahului kita masuk ke dalam Kerajaan Surga supaya kita semua sebagai
anggota TubuhNya akan hidup bersama Dia untuk selama-lamanya.
c.
Karena Yesus telah masuk
kedalam kemuliaan bersama BapaNya, maka Yesus tanpa henti-hentinya bertindak
sebagai Pengantara yang senantiasa mencurahkan Roh Kudus kepada manusia.
POKOK BAHASAN 10
SIMBOL-SIMBOL ROH KUDUS
Dalam Kitab Suci, ada 8
simbol yang menandakan turunnya Roh Kudus, yaitu :
1.
Air : Dalam upacara
Pembaptisan, air adalah lambang tindakan Roh Kudus, karena sesudah menyerukan
Roh Kudus, air menjadi tanda sakramental yang berdaya guna bagi kelahiran
kembali. Seperti pada kelahiran kita yang pertama, kita tumbuh dalam air
ketuban, maka air Pembaptisan adalah tanda bahwa kelahiran kita untuk kehidupan
ilahi, dianugerahkan kepada kita dalam Roh Kudus. Jadi Roh dalam pribadi-Nya
adalah air yang menghidupkan, yang mengalir dari Kristus yang disalibkan dan
yang memberi kita kehidupan abadi (1 Kor 12:13).
2.
Urapan : Salah satu lambang Roh
Kudus adalah juga urapan dengan minyak, malahan sampai [urapan minyak] menjadi
sinonim dengan [Roh Kudus]. Dalam inisiasi Kristen, urapan adalah tanda
sakramental dalam Sakramen Penguatan,.
Tetapi untuk mengerti sepenuhnya bobot nilai dari lambang ini, orang harus
kembali ke urapan pertama, yang Roh Kudus kerjakan, yaitu Urapan Yesus.
“Khristos” (terjemahan dari kata bahasa Ibrani “Mesias”) berarti “yang diurapi
dengan Roh Allah”. Dalam Perjanjian Lama sudah ada orang yang “diurapi” Tuhan;
terutama Daud adalah seorang yang diurapi. Tetapi Yesus secara khusus adalah
Dia yang diurapi Allah: kodrat manusiawi yang Putera terima, diurapi sepenuhnya
oleh Roh Kudus. Oleh Roh Kudus, Yesus menjadi “Kristus”. Perawan Maria
mengandung Yesus dengan perantaraan Roh Kudus, yang mengumumkan-Nya melalui
malaikat pada kelahiran-Nya sebagai Kristus, dan yang membawa Simeon ke dalam
kenisah, supaya ia dapat melihat Dia yang diurapi Tuhan. Roh Kudus-lah yang
memenuhi Kristus, dan kekuatan-Nya keluar dari Kristus, waktu Ia melakukan
penyembuhan dan karya-karya keselamatan. Pada akhirnya Ia jualah yang
membangkitkan Yesus dari antara orang mati. Dalam kodrat manusiawi-Nya, yang
adalah pemenang atas kematian, setelah sepenuhnya dan seutuhnya menjadi
“Kristus”, Yesus memberikan Roh Kudus secara berlimpah ruah, sampai
“orang-orang kudus” dalam persatuan-Nya dengan kodrat manusiawi Putera Allah
menjadi “manusia sempurna” dan “menampilkan Kristus dalam kepenuhan-Nya” (Ef
4:13).
3.
Api : Sementara air
melambangkan kelahiran dan kesuburan kehidupan yang dianugerahkan dalam Roh
Kudus, api melambangkan daya transformasi perbuatan Roh Kudus. Nabi Elia, yang
“tampil bagaikan api dan perkataannya bagaikan obor yang menyala” (Sir 48:1),
dengan perantaraan doanya menarik api turun atas kurban di Gunung Karmel —
lambang api Roh Kudus yang mengubah apa yang Ia sentuh. Yohanes Pembaptis, yang
mendahului Tuhan “dalam roh dan kuasa Elia” (Luk 1:17) mengumumkan Kristus
sebagai Dia, yang “akan membaptis dengan Roh Kudus dan dengan api” (Luk 3:16).
Mengenai Roh ini Yesus berkata: “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan
betapa Aku harapkan, api itu telah menyala” (Luk 12:49). Dalam “lidah-lidah seperti api” Roh Kudus turun atas para rasul pada
pagi hari Pentakosta dan memenuhi mereka (Kis 2:3-4).
4.
Awan dan Sinar : Kedua lambang ini selalu
berkaitan satu sama lain, ketika Roh Kudus menampakkan Diri. Sejak masa teofani
Perjanjian Lama, awan — baik yang gelap maupun yang cerah — menyatakan Allah
yang hidup dan menyelamatkan, dengan menyelubungi kemuliaan-Nya yang
adikodrati. Demikian juga dengan Musa di Gunung Sinai, dalam kemah wahyu dan
selama perjalanan di padang gurun; pada Salomo waktu pemberkatan kenisah. Semua
gambaran ini telah dipenuhi dalam Roh Kudus oleh Kristus. Roh turun atas
Perawan Maria dan “menaunginya”, supaya ia mengandung dan melahirkan Yesus (Luk
1:35). Di atas gunung transfigurasi, [Roh Kudus] datang dalam awan “yang
menaungi” Yesus, Musa, Elia, Petrus, Yakobus, dan Yohanes, dan “satu suara
kedengaran dari dalam awan: Inilah Anak-Ku yang Kupilih dengarkanlah Dia” (Luk
9:34-35). “Awan” yang sama itu akhirnya menyembunyikan Yesus pada hari
Kenaikan-Nya ke surga dari pandangan para murid (Kis 1:9); pada hari
kedatangan-Nya awan itu akan menyatakan Dia sebagai Putera Allah dalam segala
kemuliaan-Nya.
5.
Meterai : Meterai adalah sebuah
lambang yang erat berkaitan dengan pengurapan. Kristus telah disahkan oleh
“Bapa dengan meterai-Nya” (Yoh 6:27) dan di dalam Dia, Bapa juga memeteraikan
tanda milik-Nya atas kita. Karena gambaran meterai (bahasa Yunani “sphragis”)
menandakan akibat pengurapan Roh Kudus yang tidak terhapuskan dalam penerimaan
Sakramen Pembaptisan, Penguatan, dan Tahbisan (Imamat), maka ia dipakai dalam
berbagai tradisi teologis untuk mengungkapkan “karakter” yang tidak
terhapuskan, tanda yang ditanamkan oleh ketiga Sakramen yang tidak dapat
diulangi itu.
6.
Tangan : Yesus menyembuhkan orang sakit dan memberkati
anak-anak kecil, dengan meletakkan tangan ke atas mereka. Atas Nama-Nya para
Rasul melakukan hal yang sama. Melalui peletakan tangan para rasul, Roh Kudus
diberikan. Surat kepada umat Ibrani memasukkan peletakan tangan dalam
“unsur-unsur pokok” ajarannya. Dalam epiklese sakramentalnya, Gereja
mempertahankan tanda pencurahan Roh Kudus ini yang mampu mengerjakan segala
sesuatu.
7.
Jari : “Dengan jari Allah”
Yesus mengusir setan (Luk 11:20). Sementara perintah Allah ditulis dengan “jari
Allah” atas loh-loh batu (Kel 31:18); “surat Kristus” yang ditulis oleh para
rasul, “ditulis dengan Roh Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan
pada loh-loh daging yaitu di dalam hati manusia” (2 Kor 3:3). Madah “Veni
Creator Spiritus” berseru kepada Roh Kudus sebagai “jari tangan kanan Bapa”
(digitus Paternae dexterae).
8.
Merpati : Pada akhir air bah (yang
adalah lambang pembaptisan), merpati — yang diterbangkan oleh Nuh dari dalam
bahtera — kembali dengan sehelai daun zaitun segar di paruhnya sebagai tanda
bahwa bumi sudah dapat didiami lagi. Waktu Kristus naik dari air
Pembaptisan-Nya, Roh Kudus — dalam rupa merpati — turun atas-Nya dan berhenti
di atas-Nya. Roh turun ke dalam hati mereka yang sudah dimurnikan oleh
Pembaptisan dan tinggal di dalamnya. Di beberapa gereja, Ekaristi Suci disimpan
di dalam satu bejana logam yang berbentuk merpati (columbarium) dan digantung
di atas altar. Merpati dalam ikonografi Kristen sejak dahulu adalah lambang Roh
Kudus.
POKOK BAHASAN 11
GEREJA SEBAGAI UMAT ALLAH
Istilah Umat Allah
sebenarnya merupakan istilah yang sudah sangat tua. Istilah itu sudah dipakai
sejak dalam Perjanjian Lama (terdapat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama,
misalnya dalam Kel. 6: 6; 33: 13; Yeh. 36: 28; Ul. 7: 6, 26: 15). Istilah
tersebut kemudian dihidupkan lagi oleh Konsili Vatikan II sebagai paham yang
baru. Paham Gereja sebagai umat Allah dianggap sebagai paham yang cocok atau
relevan dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Paham ini dinilai memiliki
nilai historis dengan umat Allah Perjanjian Lama karena Gereja menganggap diri
sebagai Israel Baru, kelanjutan dari Israel yang lama.
Bertitik
tolak dari Umat Allah dalam Perjanjian Lama, maka pengertian Umat Allah dalam
paham Gereja sekarang ini juga mempunyai hakekat / ciri khas sebagai berikut:
· Umat Allah merupakan suatu pilihan dan panggilan dari Allah sendiri.
Umat Allah adalah bangsa terpanggil, bangsa terpilih.
· Umat Allah dipanggil dan dipilih Allah untuk misi tertentu, yaitu menyelamatkan
dunia.
· Hubungan antara Allah dengan umat-Nya dimeteraikan oleh suatu
perjanjian. Umat harus menaati perintah-perintah Allah dan Allah akan selalu
menepati janji-janjiNya
· Umat Allah selalu dalam perjalanan, melewati padang pasir, menuju Tanah
Terjanji.
Gereja sebagai umat Allah
merupakan persaudaraan/paguyuban keluarga dari orang-orang yang dipanggil oleh
Sabda Allah, dikumpulkan bersama-sama menjadi Tubuh Kristus dan hidup dari
Tubuh Kristus. Sebagai umat Allah, semua anggota Gereja mempunyai martabat yang
sama, tetapi berbeda di dalam fungsi. Jadi Gereja sebagai umat Allah adalah
paguyuban, relasi bersaudara, ikatan kesatuan Bapa, Putra, Roh Kudus, satu
iman, satu kasih, satu pengharapan yang sama derajatnya.
POKOK BAHASAN 12
MODEL – MODEL GEREJA
Ada dua hal yang
ditekankan tentang paham gereja sebagai persekutuan terbuka, yakni segi
persekutuannya dan keterbukaannya (persekutuan yang tidak tertutup). Munculnya
paham Gereja sebagai persekutuan Umat Allah disebabkan antara lain oleh
paham dan penghayatan Gereja institusional yang berkembang sebelum Konsili
Vatikan II, di mana lebih menekankan segi organisatoris dan struktural hierarki
piramidal.:
Gereja yang institusional
dan hirarkis piramidal lebih menonjolkan:
Ø
Organisasi (lahiriah)
yang berstruktur pIramidal, tertata rapi.
Ø
Kepemimpinan tertahbis
atau hierarki:
Hierarki hampir identik dengan Gereja itu sendiri. Suatu institusi, apalagi
institusi besar seperti Gereja Katolik, tentu membutuhkan kepemimpinan yang
kuat.
Ø
Hukum dan peraturan: Untuk menata dan menjaga
kelangsungan suatu institusi, apalagi yang berskala besar, tentu saja
dibutuhkan hukum dan peraturan yang jelas.
Ø
Sikap yang agak
triumfalistik dan tertutup: Gereja merasa sebagai satu-satunya penjamin
kebenaran dan keselamatan. Extra eclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada
keselamatan)
Sedangkan Gereja sebagai
persekutuan umat lebih menonjolkan:
Ø
Hidup persaudaraan karena
iman dan harapan yang sama: Persaudaraan adalah persaudaraan kasih.
Ø
Keikutsertaan semua umat
dalam hidup menggereja: Bukan saja hierarki dan biarawan-biarawati yang
harus aktif dalam hidup menggereja, tetapi seluruh umat.
Ø
Hukum dan peraturan memang perlu, tetapi
dibutuhkan pula peranan hati nurani
dan tanggung jawab pribadi.
Ø Sikap miskin, sederhana, dan terbuka: Rela berdialog dengan
pihak manapun, sebab Gereja yakin bahwa di luar Gereja Katolik terdapat pula
kebenaran dan keselamatan.
POKOK BAHASAN 13
KONSEKUENSI MISI UTAMA GEREJA DALAM DUNIA
Pandangan Gereja sebagai
Umat Allah membawa konsekuensi bagi Gereja itu sendiri, yaitu:
A. Konsekuensi bagi pimpinan Gereja (hierarki)
·
Menyadari fungsi pimpinan
sebagai fungsi pelayanan, pimpinan bukan di atas umat, tetapi di tengah umat
·
Harus peka untuk melihat
dan mendengar kharisma dan karunia-karunia yang tumbuh di kalangan umat.
B. Konsekuensi bagi setiap anggota umat
·
Menyadari dan menghayati
persatuannya dengan umat lain. Orang tidak dapat menghayati kehidupan imannya
secara individu saja.
·
Aktif dalam kehidupan
mengumat, menggunakan segala kharisma, karunia, dan fungsi yang dipercayakan
kepadanya untuk kepentingan misi Gereja di tengah masyarakat. Semua
bertanggungjawab dalam hidup dan misi Gereja.
C. Konsekuensi bagi hubungan awam dan hierarki
Kaum awam bukan lagi
menjadi pelengkap penyerta, melainkan partner hierarki. Awam dan hierarki
memiliki martabat yang sama meskipun menjalankan fungsi yang berbeda-beda.
POKOK BAHASAN 14
HIRARKI
Kata hierarki berasal
dari bahasa Yunani “hierarchy” yang berarti jabatan (hieros) suci (archos). Itu
berarti bahwa yang termasuk dalam hierarki adalah mereka yang mempunyai jabatan karena mendapat penyucian melalui
tahbisan. Maka mereka sering disebut
sebagai kuasa tahbisan. Dan orang yang termasuk hieraki disebut sebagai
para tertahbis. Namun, pada umumnya
hierarki diartikan sebagai tata susunan. Hieraki sebagai pejabat umat beriman
kristiani dipanggil untuk menghadirkan Kristus yang tidak kelihatan sebagai
tubuh-Nya, yaitu Gereja. Dalam tingkatan hieraki tertahbis (hierarchia
ordinis), Gereja terdiri dari Uskup, Imam, dan Diakon (KHK 330-572). Menurut
tata susunan yurisdiksi (hierarchia yurisdictionis), yurisdiksi ada pada Paus
dan para Uskup yang disebut kolegialitas. Kekhasan hierarki terletak pada
hubungan khusus mereka dengan Kristus sebagai gembala umat.
Fungsi
Khusus Hierarki
Seluruh umat Allah
mengambil bagian di dalam tugas Kristus sebagai nabi (mengajar), Imam
(menguduskan), dan Raja (menggembalakan). Pada kenyataannya umat tidak seragam,
maka Gereja mengenal pembagian tugas tiap komponen umat (hierarki,
biarawan/biarawati, dan Awam). Menjalankan tugas dengan cara yang berbeda.
Berdasarkan keterangan yang telah diungkapkan di atas, fungsi khusus hierarki
adalah:
- Menjalankan tugas Gerejani, yakni tugas-tugas yang langsung dan eksplistis menyangkut kehidupan beriman Gereja, seperti: pelayanan sakramen-sakramen, mengajar, dan sebagainya.
- Menjalankan tugas kepemimpinan dalam komunikasi iman. Hierarki mempersatukan umat dalam iman dengan petunjuk, nasihat, dan teladan.
Sehubungan dengan fungsi
tersebut, kita perlu memahami pula tiga point penting yang menjadi corak dalam
kepemimpinan Gereja, yaitu:
- Kepemimpinan merupakan suatu panggilan khusus, dimana campur tangan Tuhan merupakan unsur yang dominan.
- Kepemimpinan dalam Gereja bersifat mengabdi dan melayani dalam arti semurni murninya.
- Kepemimpinan hierarki berasal dari Tuhan, maka tidak dapat dihapus oleh manusia.
POKOK BAHASAN 15
AWAM
Berdasarkan LG art. 31, kaum
awam diartikan sebagai semua orang beriman Kristiani yang tidak termasuk
golongan yang menerima tahbisan suci dan status kebiarawanan yang diakui dalam
Gereja. Pengertian tersebut merupakan definisi tipologis kaum awam.
Definisi awam dalam praktek dan dalam dokumen – dokumen resmi Gereja
dapat dibedakan menjadi:
- Secara teologis, awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan.
Artinya, awam adalah semua orang beriman dan biarawan/wati yang tidak ditahbiskan (bdk. LG 43).
- Secara tipologis, awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan dan juga bukan biarawan (KHK kan. 204 § 1, bdk. LG 31).
Peranan kaum awam tugas kerasulan memiliki 2 (dua) dimensi yang berbeda,
yakni kerasulan internal dan kerasulan eksternal.
- Kerasulan internal atau kerasulan “di dalam Gereja“ adalah kerasulan membangun jemaat. Kerasulan ini lebih diperani oleh jajaran hierarki,walaupun awam dituntut pula untuk mengambil bagian di dalamnya.
- Kerasulan eksternal atau kerasulan “tata dunia” yang memang lebih diperani oleh para awam. Namun harus disadari bahwa kerasulan dalam Gereja bermuara pula ke dunia.
Kerasulan internal kaum awam nampak dalam partisipasi mereka dalam
tri-tugas Gereja yaitu:
- Dalam tugas nabiah, pewartaan sabda (kerygma), menjadi saksi (martyria) awam dapat :
·
mengajar agama sebagai katekis atau guru agama
·
memimpin
pendalaman kitab suci atau pendalaman iman ,dsb
- Dalam tugas imamiah, menguduskan (liturgia), membangun persekutuan (koinonia) seorang awam dapat:
·
memimpin doa dalam pertemuan-pertemuan umat
·
memimpin koor atau nyanyian dalam ibadah
·
membagi komuni sebagai prodiakon
·
menjadi pelayan altar, dsb
- Dalam tugas Gerejawi, memimpin, atau melayani (diakonia) seorang awam dapat:
·
menjadi anggota dewan paroki
·
menjadi ketua seksi, ketua lingkungan atau wilayah,
dsb.
POKOK BAHASAN 16
SIFAT-SIFAT GEREJA
Pada pokok bahasan ini,
kita akan membahas sifat-sifat Gereja yang tentunya mempunyai kaitan dengan
makna dan hakikat Gereja itu sendiri. Syahadat iman Gereja Katolik dirumuskan
dalam doa Credo (credere = percaya). Ada dua rumusan Credo yaitu rumusan pendek
dan rumusan panjang. Syahadat rumusan
pendek disebut Syahadat Para Rasul karena menurut tradisi syahadat ini disusun
oleh para rasul. Syahadat yang panjang disebut Syahadat Nikea yang disahkan
dalam Konsili Nikea (325) yang menekankan keilahian Yesus. Di kemudian hari
lazim disebut sebagai Syadat Nikea-Konstantinopel karena berhubungan dengan
Konsili Konstantinopel I (381). Pada Konsili ini ditekankan keilahian Roh Kudus
yang harus disembah dan dimuliakan bersama Bapa dan Putera. Syahadat inilah
yang lebih banyak digunakan dalam liturgi-liturgi Gereja Katolik. Di dalam
rumusan syahadat panjang itu pada bagian akhir dinyatakan keempat sifat atau
ciri Gereja Katolik : satu, kudus, katolik dan apostolik.
1. Sifat Gereja yang Satu
Gereja
yang satu adalah Gereja yang tampak sebagai perwujudan kehendak tunggal Yesus
Kristus untuk dalam Roh tetap hadir kini di tengah manusia untuk menyelamatkan.
Kesatuan
Gereja itu nampak dalam :
a. Kesatuan iman para anggotanya
b. Kesatuan dalam pimpinannya, yaitu hirarki.
c. Kesatuan dalam kebaktian dan hidup sakramental
Usaha-usaha
yang dapat kita galakkan untuk memperkuat kesatuan ke dalam adalah :
a.
Aktif berpatisipasi dalam kehidupan ber-Gereja.
b.
Setia dan taat kepada persekutuan umat, termasuk hierarki, dsb.
Usaha-usaha
yang dapat kita galakkan untuk menguatkan persatuan antar-Gereja adalah:
a.
Lebih bersifat jujur dan terbuka satu sama lain. Lebih melihat
kesamaan daripada perbedaan.
b.
Mengadakan berbagai kegiatan sosial dan peribadatan bersama, dsb.
2. Sifat Gereja yang Kudus
Gereja
yang kudus berarti Gereja menjadi perwujudan kehendak yang Mahakudus untuk
sekarang juga mau bersatu dengan manusia dan mempersatukan manusia dalam
kekudusannya.
“Di
dalam dunia ini, Gereja sudah ditandai oleh kesucian yang sesungguhnya,
meskipun tidak sempurna” (LG art. 48). Letak ketidaksempurnaannya adalah
menyangkut pelaksanaan insani, sama seperti kesatuannya. Dengan demikian,
meskipun di dunia ini, Gereja tidaklah sempurna namun Gereja sudah ditandai
oleh kesucian.
Kekudusan
Gereja nampak pada:
a.
Sumber darimana Gereja berasal adalah kudus, yaitu Allah Bapa melalui
Putera dan dalam Roh Kudus.
b. Tujuan dan arah Gereja
adalah kudus, yakni Kemuliaan Allah dan penyelamatan umat manusia.
c.
Jiwa Gereja adalah kudus, yakni Roh Kudus sendiri.
d. Unsur-unsur ilahi yang
otentik yang berada di dalam Gereja adalah kudus.
e. Anggotanya adalah kudus
karena ditandai oleh Kristus melalui pembaptisan dan diserahkan kepada Kristus
serta dipersatukan melalui iman, harapan dan cinta yang kudus. Kita semua
dipanggil untuk kekudusan.
Usaha-usaha yang dapat
kita lakukan untuk memperjuangkan kekudusan Gereja adalah:
a. Saling memberi kesaksian untuk hidup sebagai putra – putri Allah
b. Memperkenalkan anggota – anggota Gereja yang sudah hidup secara heroik
untuk mencapai kekudusan
c. Merenungkan dan mendalami Kitab Suci, khususnya ajaran dan hidup Yesus
yang merupakan pedoman dan arah hidup kita, dsb.
3. Sifat Gereja yang Katolik
Katolik
dari kata Latin, catholicus yang berarti universal, menyeluruh, atau umum. Nama
yang sudah dipakai sejak awal abad ke II M, pada masa St. Ignatius dari
Antiokia menjadi Uskup.
Gereja
yang Katolik adalah Gereja dapat hidup di tengah segala bangsa dan memperoleh
warganya dari semua bangsa dan terarah pada seluruh dunia. Selain itu, Gereja
terbuka terhadap semua kemampuan, kekayaan, dan adat-istiadat yang baik dan
luhur tanpa kehilangan jati dirinya, bahkan dapat menjiwai seluruh dunia.
Singkatnya, Gereja bersifat katolik berarti terbuka bagi dunia, tidak terbatas
pada tempat tertentu, bangsa dan kebudayaan tertentu, waktu atau golongan
masyarakat tertentu. Kekatolikan Gereja nampak dalam rahmat dan keselamatan
yang ditawarkannya serta iman dan ajaran Gereja yang bersifat umum, dapat
diterima dan dihayati oleh siapapun juga.
Sehubungan
dengan penggunaan nama “Katolik”, diperlukan dua hal yang hakiki, yaitu
persetujuan dari otoritas Gerejawi yang berwenang dan persetujuan itu tertulis.
Hal ini terungkap pada:
Ø KHK Kan. 300: “ Janganlah satu perserikatan pun memakai nama “Katolik”
tanpa persetujuan otoritas Gerejawi yang
berwenang menurut norma Kan.312.
Ø KHK Kan. 312: “ Otoritas yang berwenang, unutuk mendirikan
perserikatan-perserikatan publik ialah:
1.
Takhta Suci, untuk
perserikatan-perserikatan universal dan internasional.
2.
Konferensi Wali Gereja di
wilayah masing-masing untuk perserikatan Nasional yakni yang berdasarkan
pendiriannya diperuntukkan bagi kegiatan yang meliputi seluruh Negara.
3.
Uskup diosesan di wilayah
masing-masing, tetapi administrator diosesan tidak, untuk
perserikatan-perserikatan diosesan, terkecuali perserikatan – perserikatan yang
pendiriannya menurut priviligi apostolik direservasi bagi orang lain.”
Mewujudkan kekatolikan Gereja dapat dilakukan
dengan cara:
Ø Sikap terbuka dan
menghormati kebudayaan, adat-istiadat, bahkan agama dan bangsa manapun.
Ø Bekerja sama dengan pihak
mana pun yang berkehendak baik untuk mewujudkan nilai-nilai yang luhur di dunia
ini.
Ø Selalu berusaha untuk
memprakarsai dan memperjuangkan suatu dunia yang lebih baik untuk umat manusia.
Ø Untuk setiap orang
kristiani diharapkan memiliki jiwa besar dan keterlibatan penuh dalam kehidupan
bermasyarakat.
4. Sifat Gereja yang Apostolik
Apostolik
berasal dari kata “apostolos” (bhs. Yunani) yang berarti utusan, suruhan, wakil
resmi yang diserahi misi tertentu. Istilah ini juga kemudian dipakai untuk
menyebut para rasul Yesus. Maka, Gereja yang apostolik berarti Gereja yang
berasal dari para rasul dan tetap berpegang teguh pada kesaksian iman mereka.
Hubungan antara Gereja dan para rasul tersebut nampak dalam:
Ø Legitimasi fungsi dan kuasa hirarki dari para rasul.
Ø Ajaran-ajaran Gereja diturunkan dan berasal dari kesaksian para rasul.
Ø Ibadat dan struktur Gereja pada dasarnya berasal dari para rasul.
Usaha-usaha mewujudkan Keapostolikan Gereja
adalah :
Ø Setia mempelajari Injil
sebagai iman Gereja para rasul
Ø Menafsirkan dan
mengevaluasi situasi konkret kita dengan iman Gereja para rasul
Ø Setia dan loyal kepada
hierarki sebagai pengganti para rasul
POKOK BAHASAN 17
BENTUK-BENTUK
PENGUDUSAN GEREJA
Ada beberapa bentuk dan kegiatan pengudusan yang
sering dilakukan di dalam Gereja Katolik, di antaranya adalah: Doa dan doa
resmi Gereja (liturgi), perayaan sakramen-sakramen, perayaan sakramentali,
serta devosi dalam Gereja Katolik.
1.
Doa berarti berkomunikasi
dengan Tuhan secara pribadi; doa juga merupakan ungkapan iman secara pribadi
dan bersama-sama. Oleh sebab itu, doa-doa Kristiani biasanya berakar dari kehidupan
nyata. Doa selalu merupakan dialog yang bersifat pribadi antara manusia dan
Tuhan dalam hidup yang nyata ini. Dalam dialog tersebut, kita dituntut untuk
lebih mendengar daripada berbicara, sebab firman Tuhan akan selalu menjadi
pedoman yang menyelamatkan. Bagi umat Kristiani, dialog ini terjadi di dalam
Yesus Kristus, sebab Dialah satu-satunya jalan dan perantara kita dalam
berkomunikasi dengan Allah. Perantara ini tidak mengurangi sifat dialog antar-pribadi
dengan Allah.
2.
Liturgi merupakan perayaan iman. Perayaan iman tersebut merupakan pengungkapan
iman Gereja, di mana orang yang ikut dalam perayaan iman mengambil bagian dalam
misteri yang dirayakan. Tentu saja bukan hanya dengan partisipasi lahiriah,
tetapi yang pokok adalah hati yang ikut menghayati apa yang diungkapkan dalam
doa. Kekhasan doa Gereja ini merupakan sifat resminya, sebab justru karena itu
Kristus bersatu dengan umat yang berdoa. Dengan bentuk yang resmi, doa umat
menjadi doa seluruh Gereja sebagai mempelai Kristus, berdoa bersama Kristus,
Sang Penyelamat, sekaligus tetap merupakan doa pribadi setiap anggota jemaat.
Dengan demikian, liturgi adalah “karya Kristus, Imam Agung, serta Tubuh-Nya,
yaitu Gereja”. Oleh karena itu, liturgi tidak hanya merupakan “kegiatan suci
yang sangat istimewa”, tetapi juga wahana utama untuk mengantar umat Kristiani
ke dalam persatuan pribadi dengan Kristus (SC 7).
3.
Sakramen berasal dari kata
‘mysterion’ (Yunani), yang dijabarkan dengan kata ‘mysterium’ dan ‘sacramentum’
(Latin). Sacramentum dipakai untuk menjelaskan tanda yang kelihatan dari
kenyataan keselamatan yang tak kelihatan yang disebut sebagai ‘mysterium‘. Sakramen
juga berarti tanda keselamatan Allah yang diberikan kepada manusia ”untuk menguduskan manusia, membangun Tubuh
Kristus dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah”(SC 59). Karena Sakramen
sebagai tanda dan sarana keselamatan, maka menerima dan memahami sakramen
hendaknya ditempatkan dalam kerangka iman dan didasarkan kepada iman. Sakramen biasanya diungkapkan
dengan kata-kata dan tindakan. Maka sakramen dalam Gereja Katolik mengandung
dua unsur hakiki yaitu : Forma (kata-kata yang menjelaskan peristiwa ilahi) dan
Materia (barang atau tindakan tertentu yang kelihatan). Sakramen-Sakramen
dibagi menjadi: Sakramen inisiasi Kristen (Sakramen Pembaptisan, Penguatan, dan
Ekaristi Kudus), Sakramen-Sakramen Penyembuhan (Tobat dan Pengurapan Orang
Sakit), dan Sakramen-Sakramen pelayanan pesersekutuan dan perutusan (Sakramen
Pentahbisan dan Perkawinan) (lih.Kompendium KGK 250 - KGK 1210-1211)
4.
Sakramentali adalah tanda – tanda suci (berupa ibadat/upacara/pemberkatan) yang
mirip dengan sakramen-sakramen. Berkat tanda-tanda suci ini berbagai buah
rohani ditandai dan diperoleh melalui doa-doa permohonan dengan perantaraan
Gereja.
Terdapat aneka ragam
sakramentali, yaitu:
a.
Pemberkatan, yakni pemberkatan orang, benda/barang rohani, tempat,
makanan, dsb. Pemberkatan atas orang atau benda/barang tersebut adalah pujian
kepada Allah dan doa untuk memohon anugerah – anugerah-Nya.
b.
Pemberkatan dalam arti tahbisan rendah, yakni pentahbisan orang dan
benda. Contoh: pentahbisan/pemberkatan lektor, akolit, dan katekis; pemberkatan
benda atau tempat untuk keperluan liturgi, misalnya pemberkatan Gereja/kapel,
altar, minyak suci, lonceng, dan sebagainya.
5.
Devosi (Latin: devotio = penghormatan) adalah bentuk–bentuk penghormatan
kebaktian khusus orang atau umat beriman
kepada rahasia kehidupan Yesus yang tertentu, misalnya kesengsaraan-Nya,
Hati-Nya yang Mahakudus, dsb. Atau devosi kepada orang–orang kudus, misalnya
devosi kepada santo–santa pelindung, Bunda Maria, dsb.
POKOK BAHASAN 18
GEREJA YANG MEWARTAKAN
KABAR GEMBIRA (KERYGMA)
Kerygma berarti pewartaan dan apa yang
diwartakan. Kerygma berkaitan dengan pewartaan Sabda Allah yang berpuncak pada
Yesus Kristus. Dia merupakan puncak dari sejarah pewahyuan Allah karena dalam
Dia, Allah menyelamatkan semua orang. Meskipun Sabda Allah yang menjadi manusia
itu tidak dapat tinggal dalam sejarah manusia tetapi Gereja masih mengenal
bentuk-bentuk lain dari Sabda Allah yang otentik untuk diteruskan kepada semua
orang. Ada
tiga bentuk Sabda Allah dalam Gereja, yaitu:
Ø
Sabda/pewartaan para rasul sebagai daya yang membangun Gereja.
Ø
Sabda Allah dalam Kitab Suci sebagai kesaksian normatif.
Ø Sabda Allah dalam pewartaan aktual Gereja sepanjang zaman.
Secara
umum, ada 2 (dua) pola pewartaan Sabda Allah yang kita kenal yaitu: Pewartaan
verbal (kerygma) dan pewartaan melalui tindakan/kesaksian (martyria). Pewartaan verbal ini memiliki empat bentuk yakni:
§ Khotbah atau Homili : khotbah
adalah pewartaan tematis. Homili adalah pewartaan yang berdasarkan suatu
perikop Kitab Suci. Kedua – duanya merupakan pewartaan dari mimbar, dan harus
menyapa manusia dan dapat menciptakan komunikasi dua arah, bukan satu
arah.
§ Pelajaran Agama: Dalam pelajaran agama
diharapkan para guru agama mendampingi para siswa untuk menemukan makna
hidupnya dalam terang Kitab Suci dan ajaran Gereja. Pelajaran agama adalah
proses pergumulan hidup nyata dalam terang iman.
§ Katakese Umat: adalah kegiatan suatu
kelompok umat, dimana mereka aktif bekomunikasi untuk menafsirkan hidup nyata
dalam terang Injil, yang diharapkan berkelanjutan dengan aksi nyata, sehingga
dapat membawa perubahan dalam masyarakat ke arah yang lebih baik.
§ Pendalaman Kitab Suci: dapat
dilakukan dalam keluarga, kelompok, atau pada kesempatan–kesempatan khusus
seperti pada masa Prapaskah (APP), masa Adven, dan pada bulan Kitab Suci
(September).
Tugas pewartaan
mengaktualisasi Sabda Tuhan yang disampaikan dalam Kristus sebagaimana
diwartakan oleh para rasul. Usaha mengaktualisasi Sabda Tuhan itu mengandaikan
berbagai tuntutan yang harus dipenuhi. Tuntutan-tuntutan tersebut antara lain:
Ø
Mendalami dan menghayati sabda Tuhan yang terkandung dalam Kitab Suci,
ajaran-ajaran resmi Gereja, dan keseluruhan tradisi Gereja.
Ø
Mengenal umat/masyarakat konteksnya sehingga pewartaan yang
disampaikan sungguh menyapa para pendengarnya (bersifat inkulturatif).
POKOK BAHASAN 19
HUBUNGAN GEREJA DAN DUNIA
Konsili Vatikan II sungguh telah memperbaharui Gereja dan hubungannya
dengan dunia. Hubungan yang menjadi lebih baik ini disebabkan karena
Gereja mulai memiliki pandangan baru tentang dunia dan manusia. Ada
baiknya kita melihat pandangan-pandangan baru tentang dunia dan manusia,
kemudian kita melihat hubungan antara Gereja dan dunia serta
alasan-alasan mengapa harus terjalin hubungan yang saling mengisi antara
keduanya.
1.
Pandangan Baru Tentang Dunia dan Manusia.
a. Dunia.
Dunia dilihat sebagai seluruh keluarga manusia dengan segala hal yang
ada di sekelilingnya. Dunia menjadi pentas berlangsungnya sejarah umat manusia.
Dunia diciptakan dan dipelihara oleh cinta kasih Tuhan Pencipta. Dunia yang
pernah jatuh menjadi budak dosa, kini telah dimerdekakan oleh Kristus yang
telah disalibkan dan bangkit pula, untuk menghancurkan kekuasaan setan agar
dunia dapat disusun kembali sesuai dengan rencana Allah dan mencapai
kesempurnaan (GS art. 2)
b.
Manusia.
Menyangkut manusia kita
bicarakan tentang martabat manusia, masyarakat manusia dan karya manusia.
1)
Martabat Manusia.
Sejak dahulu Gereja sudah
selalu mengajarkan bahwa manusia mempunyai martabat yang luhur, karena manusia
diciptakan menurut citra Allah dan dipanggil untuk memanusiawikan dan
mengembangkan diri menyerupai Kristus, di mana citra Allah tampak secara utuh.
Manusia adalah ciptaan
yang memiliki akal budi, kehendak bebas dan hati nurani. Ketiga-tiganya ini
menunjukkan bahwa manusia adalah sebagai citra Allah, walaupun dapat
disalahgunakan sehingga jatuh ke dalam dosa. Manusia sungguh ciptaan yang
istimewa, karena ia diciptakan demi dirinya sendiri, padahal makhluk lain
diciptakan hanya untuk manusia.
2)
Masyarakat Manusia.
Pribadi manusia dan
masyarakat memang saling bergantungan satu sama lain. Hal ini sesuai dengan
rencana Tuhan karena manusia diciptakan sebagai makhluk yang bermasyarakat.
Allah, yang memelihara segala sesuatu sebagai Bapa, menghendaki agar semua
manusia membentuk satu keluarga dan memperlakukan seorang akan yang lain dengan
jiwa persaudaraan (GS art. 24).
3)
Usaha dan Karya Manusia.
Perkembangan dunia di
segala bidang memang dikehendaki Tuhan dan manusia dipilih untuk menjadi “rekan
kerja” Tuhan dalam melaksanakan perkembangan dunia.
Kebenaran ini perlu
disadari pada masa kemajuan Ilmiah dan tehknik ini, supaya manusia tidak salah
langkah. Usaha dan karya manusia apapun bentuknya mempunyai nilai yang luhur,
karena dengan itu manusia menjadi partner Tuhan dalam menyempurnakan dan
menyelamatkan dunia ini. Selanjutnya, dengan berkarya manusia bukan saja
menyempurnakan bumi ini tetapi juga menyempurnakan dirinya sendiri.
2.
Hubungan Antara Gereja dan Dunia.
Menyangkut hubungan
antara Gereja dan dunia dapat diangkat satu dua hal berikut ini :
a.
Gereja Postkonsilier melihat dirinya sebagai “Sakramen Keselamatan”
bagi dunia. Gereja menjadi terang, garam dan ragi bagi dunia. Dunia menjadi
tempat atau ladang, di mana Gereja berbhakti. Dunia tidak dihina dan dijauhi,
tetapi didatangi dan ditawari keselamatan.
b.
Dunia dijadikan mitra Dialog. Gereja dapat menawarkan nilai-nilai
Injili dan dapat mengembangkan kebudayaannya, adat istiadat, alam pikiran, ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga Gereja dapat lebih efektif menjalankan
misinya di dunia.
c.
Gereja tetap menghadapi otonomi dunia dengan sifatnya yang sekuler,
karena di dalamnya terkandung nilai-nilai yang dapat mensejahterakan
manusia dan membangun sendi-sendi kerajaan Allah.
Sebenarnya, Gereja dan dunia manusia merupakan realitas yang sama,
seperti mata uang yang ada dua sisinya. Berbicara tentang Gereja berarti
berbicara tentang dunia manusia. Bagi seorang Kristen berbicara tentang dunia
manusia berarti berbicara tentang Gereja sebagai umat Allah yang sedang
berziarah di dunia ini.
POKOK BAHASAN 20
AJARAN SOSIAL GEREJA
Ajaran Sosial Gereja (ASG) adalah :
·
ajaran Gereja mengenai hak dan kewajiban berbagai anggota masyarakat
dalam hubungannya dengan kebaikan bersama, baik dalam lingkup nasional maupun
internasional.
·
bentuk keprihatinan gereja terhadap dunia umat manusia dalam wujud
dokumen yang perlu disosialisasikan.
Ada
17 dokumen yang memuat ASG atau berkaitan erat dengan ASG, yaitu:
- Rerum Novarum (RN)
- Quadragessimo Anno (QA)
- Mater et Magistra (MM)
- Pacem in Terris)
- Gaudium et Spes (GS)
- Popularum Progressio (PP)
- Octogesima Adveniens (OA)
- Justicia in Mundo
- Evangelii Nuntiandi (EN)
- Redemptor Hominis (RH)
- Dives in Misericordia
- Laborem Exercens (LE)
- Sollicitudo Rei Socialis (SRS)
- Centesimus Annus (CA)
- Novo Millenio Ineunte
- Caritas in Veritate
- Laudato Si'
Peninjauan
sistematis terhadap ASG mengungkapkan prinsip-prinsip dasar, yaitu:
1.
Martabat Manusia
Prinsip ini dasarnya adalah misi Kristus sendiri, yakni keselamatan
seluruh umat manusia. Martabat manusia sebagai citra Allah harus dipulihkan,
dan dicerahkan kembali. Titik pusat perhatian Gereja membangun manusia, bukan
materi.
2.
Berpihak pada kaum Miskin
Pilihan Gereja ini berdasar Visi
Yesus sendiri yang berpihak pada kaum miskin (Luk 4:18-19).
3.
Solidaritas.
Melalui prinsip ini hendak dinyatakan bahwa keperpihakan Gereja
terhadap kaum miskin dan tertindas, bukan sekedar berbelas kasih, namun suatu
ketetapan hati yang mantap dan tekun untuk berkomitmen terhadap kesejahteraan
umum, pada kebaikan semua orang dan setiap individu.
4.
Subsidiaritas
Prinsip ini dalam usaha menyejahterakan kaum miskin dan tertindas,
menuntut partisipasi dari yang diperjuangkan, mereka harus menentukan sendiri,
atau mengambil keputusan sendiri dalam perjuangan menyangkut dirinya.
5.
Kesejahteraan umum
Prinsip ini mengajarkan bahwa setiap orang bertanggungjawab terhadap
kesejahteraan orang lain. Tanggungjawab itu mewajibkan bagi setiap orang untuk
mengambil bagian dalam menyejahterakan setiap individu, kelompok dalam
masyarakat.
POKOK BAHASAN 21
PANDANGAN GEREJA MENGENAI HAK ASASI MANUSIA
Ensiklik Yohanes XXIII Mater
et Magistra (15 Mei 1961) dan terutama Pacem in Terris (11 April
1963) untuk pertama kali merumuskan hak-hak asasi. Kemudian Konsili Vatikan II
(1962-1965) berulang kali berbicara mengenai hak-hak asasi manusia, terutama di
dalam konstitusi. Gaudium et Spes dan deklarasi Dignitatis Humanae
(mengenai kebebasan beragama). Paulus VI dalam ensikliknya Populorum
Progressio (26 Maret 1967) meneruskan pandangan Paus Yohanes. Pada 10
Desember 1974 panitia kepausan “Justitia et Pax” menerbitkan sebuah
kertas-kerja “Gereja dan Hak-hak Asasi Manusia” sebagai pedoman untuk
komisi-komisi nasional. Komisi Teologis Internasional juga mengeluarkan
sejumlah “Tesis mengenai Martabat serta Hak-hak Pribadi Manusia” (6 Oktober
1984). Ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Sollicitudo Rei Socialis,
menjelaskan usaha perkembangan pertama-tama sebagai penegakan hak-hak asasi,
dan Centesimus Annus menyebutnya sebagai dasar demokrasi.
Ajaran Sosial Gereja
menegaskan : Karena semua manusia
mempunyai jiwa berbudi dan diciptakan menurut citra Allah, karena mempunyai
kodrat dan asal yang sama, serta karena penebusan Kristus, mempunyai panggilan
dan tujuan ilahi yang sama, serta karena penebusan Kristus, mempunyai panggilan
dan tujuan ilahi yang sama, serta karen penebusan Kristus, mempunyai panggilan
dan tujuan ilahi yang sama, maka kesamaan asasi antara sesama manusia harus
senantiasa diakui (Gaudium et Spes, artikel 29). Dari ajaran
di atas tampak pandangan Gereja tentang hak asasi manusia adalah :
1. Hak yang melekat pada diri manusia sebagai insan, ciptaan Allah.
2. Hak yang tidak diberikan kepada seseorang karena kedudukan, pangkat,
atau situasi.
3. Hak ini dimiliki setiap orang sejak lahir, karena dia seorang manusia.
4. Hak ini bersifat asasi bagi manusia, karena kalau hak ini diambil, ia
tidak dapat hidup sebagai manusia lagi.
5. Merupakan tolok ukur dan pedoman yang tidak dapat diganggu gugat dan
harus ditempatkan di atas segala aturan hukum.
Dalam dokumen tersebut, Gereja juga mendesak diatasinya dan
dihapuskannya “setiap bentuk diskriminasi, entah yang bersifat sosial atau
kebudayaan, entah yang didasarkan pada jenis kelamin, warna kulit, suku,
keadaan sosial, bahasa ataupun agama … karena berlawanan dengan maksud dan
kehendak Allah” (GS 29).
POKOK BAHASAN 22
TINDAKAN MENGHARGAI HIDUP
(MELAWAN NARKOBA DAN EUTHANASIA)
Dalam Kitab Suci
Perjanjian Lama, perintah Allah “Jangan membunuh!” (Kel
20:13) berarti jangan membunuh orang lain dan jangan membunuh diri sendiri.
Meskipun demikian, dalam dunia Perjanjian Lama, hukuman mati dan pembunuhan
dalam perang diperbolehkan jika orang dengan sengaja melakukan pembunuhan dan
orang yang dibunuh itu tidak bersalah dan tidak membuat perlawanan.
Sedangkan Kitab Suci Perjanjian Baru tidak hanya melarang pembunuhan
tetapi ingin membangun sikap hormat dan kasih akan hidup. Membunuh berarti
membuang sesama dari persaudaraan manusia, entah dengan menghilangkan nyawanya
atau dengan mengkafirkan atau membencinya.
Kenyataannya, pada zaman sekarang ada beberapa gejala
yang memperlihatkan bahwa hidup manusia tidak dihargai lagi. Gejala-gejala tidak
menghormati hidup manusia muncul dalam berbagai bentuk, di antaranya:
1. Menghilangkan nyawa
manusia :
a.
Pembunuhan dan pembantaian manusia
b.
Bunuh diri
c.
Pengguguran kandungan (aborsi)
d.
Euthanasia
e.
Hukuman Mati
f.
Pembunuhan dalam perang
2. Membahayakan hidup
manusia :
a.
Penyalahgunaan Obat-Obatan (Narkoba/NAPZA)
b. Penyebaran HIV/AIDS
melalui seks bebas dan Narkoba jenis suntik.
c.
Balapan liar / mengendarai kendaraan secara ugal-ugalan.
d. Tindakan-tindakan yang
membahayakan hidup manusia.
e. TIndakan-tindakan yang
menekan hidup manusia.
Pokok bahasan kita kali
ini akan dibatasi dengan penjelasan mengenai Euthanasia dan Narkoba.
1. Euthanasia
Berbeda dengan bunuh diri,
Euthanasia melibatkan orang lain, baik yang melakukan penghilangan nyawa atau
pun yang menyediakan sarana. Euthanasia secara harafiah berarti “kematian yang
baik”. Tetapi kemudian lebih diartikan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan
untuk mengakhiri hidup seseorang demi membebaskan diri orang yang akan dibunuh
dari penderitaan yang amat berat.
Ada beberapa jenis euthanasia yaitu berdasarkan segi pelakunya
(compulsory euthanasia dan voluntary euthanasia) dan berdasarkan segi caranya
(euthanasia pasif dan euthanasia aktif)
·
Compulsory euthanasia (mercy killing) yakni bila orang lain memutuskan
kapan hidup seseorang akan diakhiri.
·
Voluntary euthanasia berarti orang itu sendiri yang meminta untuk
mati. Dikatakan euthanasia aktif apabila
seseorang secara aktif dan terencana mempercepat kematian orang lain atau bila
secara medis orang tersebut tidak dapat disembuhkan atau dilakukan atas
permintaan pasien itu sendiri. Dikatakan euthanasia pasif apabila pengobatan yang
sia-sia dihentikan atau diberi obat penangkal sakit yang memperpendek hidupnya,
atau pengobatan apa pun tak berguna lagi.
Kitab suci menyatakan bahwa nyawa
manusia tidak boleh diremehkan. Manusia hidup karena diciptakan dan dikasihi
Allah, maka hidup itu suci. Hidup manusia yang fana ini menunjuk pada
perjumpaan dengan Tuhan setelah hidup yang fana ini dilewati. Kesatuan dengan
Allah dalam perjumpaan pribadi memberikan kepada manusia martabat yang membuat
masa sekarang ini lebih berharga dan suci. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh
menghilangkan nyawanya sendiri, misalnya dengan melakukan bunuh diri atau
euthanasia.
Dalam pandangan moral
Kristiani, bunuh diri dan euthanasia itu dilarang sebab:
·
Manusia pada hakekatnya
mempunyai nilai tak terhingga karena diciptakan oleh Allah. Bahkan kasih manusia yang
terbesar masih kurang dibanding kasih Allah bagi setiap orang. Orang yang
tertekan memerlukan bantuan. Hidup manusia itu suci dan berasal dari Allah.
Itulah sebabnya kebanyakan orang Kristiani akan mengatakan bahwa bunuh diri itu
salah.
·
Bunuh diri dan euthanasia berarti membuang anugrah Allah dan menolak
kemahakuasaan Allah.
·
Bunuh diri dan euthanasia merupakan penyangkalan terhadap Allah karena hanya Tuhan yang berhak atas nyawa seseorang
Ajaran Gereja mengenai Euthanasia:
Gereja
Katolik sungguh menjunjung tinggi kehidupan, karena kehidupan manusia diberikan
dari Allah. Paus Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae, menyatakan secara definitif bahwa pembunuhan
seorang manusia yang tak bersalah selalu merupakan perbuatan imoral/ tidak
bermoral. Pernyataan ini bersifat infallible atau tidak dapat sesat. Dalam artikel 57 dari
dokumen Evangelium
Vitae, dituliskan sebagai berikut:
“Jadi, dengan otoritas yang diberikan Kristus kepada Petrus dan para
penerusnya, dan di dalam persekutuan dengan para uskup Gereja Katolik, saya
menegaskan bahwa tindakan pembunuhan seorang manusia tak bersalah selalu
merupakan tindakan yang sungguh tidak bermoral. Pengajaran ini, berdasarkan
hukum yang tidak tertulis, di mana manusia dalam terang akal budi, menemukannya
dalam hatinya (lih. Rm 2:14-15), ditegaskan kembali oleh Kitab Suci, diteruskan
oleh Tradisi Gereja dan diajarkan oleh Magisterium biasa dan universal”
(Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Lumen Gentium, 25).
Selanjutnya
Kongregasi Doktrin Iman menjelaskan lebih lanjut, demikian:
“Keputusan
sengaja untuk merampas kehidupan seorang manusia selalu merupakan kejahatan
moral dan tidak akan dapat dianggap licit (sesuai aturan), baik sebagai tujuan
ataupun sebagai cara untuk mencapai sebuah tujuan yang baik. Nyatanya, itu
adalah tindakan berat yang menyangkut ketidaktaatan kepada hukum moral, dan sungguh
kepada Tuhan sendiri, Pencipta dan Penjamin hukum tersebut; [tindakan itu]
bertentangan dengan kebajikan mendasar tentang keadilan dan cinta kasih. Tak ada sesuatupun dan tak seorangpun
dapat dengan cara apapun mengizinkan pembunuhan seorang manusia, apakah itu
dalam bentuk janin atau embrio, seorang bayi ataupun dewasa, seorang tua, atau
seseorang yang menderita karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau
seseorang yang dalam keadaan sekarat. Selanjutnya, tak seorangpun diizinkan
untuk meminta dilakukannya tindakan pembunuhan ini, entah bagi dirinya sendiri
atau untuk orang lain yang dipercayakan kepadanya, atau tak seorangpun dapat
menyetujuinya, baik secara eksplisit ataupun implisit. Tidak juga ada otoritas
legitim apapun yang dapat merekomendasikan ataupun mengizinkan tindakan
tersebut” (diterjemahkan
dari Congregation
for the Doctrine of the Faith (CDF), Declaration on Euthanasia Iura et Bona
(5 May 1980), II: AAS 72 (1980), 546).
Selanjutnya,
Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Euthanasia dalam artinya yang sesungguhnya
dimengerti sebagai sebuah tindakan atau pengabaian yang dilakukan dengan tujuan
untuk menyebabkan kematian, dengan maksud untuk meniadakan semua penderitaan….
Sesuai dengan pengajaran Magisterium dari para pendahulu saya, dan dalam
persekutuan dengan para uskup Gereja Katolik, saya menegaskan bahwa euthanasia adalah pelanggaran yang berat
terhadap hukum Tuhan, sebab hal tersebut merupakan pembunuhan seorang manusia
secara disengaja dan secara moral tidak dapat dibenarkan. Ajaran ini
berdasarkan hukum kodrat dan sabda Allah yang tertulis, yang diteruskan oleh
Tradisi Suci Gereja, dan diajarkan oleh Magisterium Gereja” (Evangelium Vitae
65). Demikianlah dalam ajaran Gereja,
euthanasia (secara aktif) dilarang karena tidak sesuai dengan ajaran Gereja
tidak sesuai dengan Ajaran Gereja, melanggar Hak Asasi Manusia, tidak sesuai
ajaran Kitab suci, hanya Tuhan yang berhak atas
nyawa seseorang. Tidak diperbolehkan mempercepat kematian secara aktif dan
terencana, juga jika secara medis ia tidak dapat lagi disembuhkan dan juga
kalau euthanasia dilakukan atas permintaan pasien sendiri apalagi atas alasan
iba.
2. NARKOBA / NAPZA
Ada beberapa jenis Narkoba yaitu narkotika (golongan opiate, golongan kanabis, dan golongan koka),
alkohol, psikotropika, dan
zat-zat adiktif (inhalansia,
misalnya aseton, thinner cat, lem; dan
kafein yang terkandung dalam kopi).
Santo
Paulus menghimbau orang beriman untuk menghormati dirinya karena diri kita
adalah Bait Allah. Itu berarti kekacauan yang terjadi di dalam diri kita juga
kekacauan dalam Bait Allah. Mengkonsumsi Narkoba dan hidup dengan gaya freesex
juga merusak Bait Allah dalam diri kita. Bila Narkoba dan HIV/AIDS telah
merusak manusia maka manusia sulit untuk menggerakkan akal budi, hati dan
perilakunya menurut kehendak Allah.
Yang dapat dilakukan Gereja untuk
menangani masalah HIV / AIDS adalah:
·
Karena masalah
Narkoba/Napza bukan soal kerentanan pribadi, tetapi juga merupakan masalah
politis dan ekonomis, maka Gereja Katolik menyatakan kutukan terhadap kejahatan
pribadi dan sosial yang menyebabkan dan menguntungkan bagi penyalahgunaan
Narkoba/Napza.
·
Memperkuat kesaksian
Injil dari orang-orang beriman yang mengabdikan dirinya kepada pengobatan
pemakai Narkoba menurut teladan Yesus Kristus, yang tidak datang untuk dilayani
melainkan untuk melayani. Konkritnya adalah dengan pendidikan moral, member informasi yang benar
dan baik tentang Narkoba dan HIV/AIDS, dll.
·
Menyatakan cinta kasih ke-Bapa-an Allah yang diarahkan kepada
keselamatan setiap pengguna narkoba dan para penderita HIV/AIDS, melalui cinta
yang mengatasi rasa bersalah.
·
Melakukan tindakan
pengobatan dan rehabilitasi.
·
Memutuskan mata rantai
permintaan atau distribusi Narkoba dengan cara memperkuat pertahanan keluarga
dan pembinaan remaja ditingkat lingkungan, wilayah, dan paroki.
POKOK BAHASAN 23
SAKRAMEN PERKAWINAN
Mari kita
menyimak dokumen berikut :
Kitab Hukum
Kanonik kan.1055
§1 : Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki
dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh
hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri
(bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang
dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.
Kitab Hukum
Kanonik kan.1056: Ciri-ciri
hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan
indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan
kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.
Dari
dokumen tersebut terlihat bahwa :
Perkawinan Katolik menurut
KHK kan.1055 §1 adalah perjanjian
(foedus) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk
kebersamaan hidup. Definisi ini menunjuk pada dasar utama perkawinan yang
merupakan sebuah sakramen.
Catatan: Latar belakang
definisi ini adalah dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes art. 48). GS
dan KHK tidak lagi mengartikan perkawinan sebagai kontrak melainkan sebuah
perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita.
Perkawinan
mempunyai tiga tujuan yaitu: 1)kesejahteraan suami-isteri, 2)kelahiran anak,
dan 3)pendidikan anak. Setiap kali
kita merenungkan dalamnya arti Perkawinan sebagai gambaran kasih Allah sendiri,
kita perlu bersyukur dan tertunduk kagum. Begitu dalamnya kasih Allah pada kita
manusia, betapa tak terukurnya rencanaNya bagi kita. Melalui Perkawinan manusia
dibawa untuk memahami misteri kasih-Nya,
dan mengambil bagian di dalam misteri itu. Di dalam Perkawinan orang beriman
belajar dari Kristus, untuk memberikan diri kita (self-giving) kepada orang lain, yaitu kepada pasangan kita dan
anak-anak yang dipercayakan kepada kita. Dengan demikian, kita menemukan arti
hidup kita, dan tak dapat dipungkiri, inilah yang disebut ‘kebahagiaan’, dan
dalam ikatan kasih yang tulus dan total ini, masing-masing anggota keluarga
menguduskan satu sama lain.
Jadi
secara garis besar, sakramen perkawinan mempunyai tujuan untuk mempersatukan
suami istri, menjadikan suami istri dapat mengambil bagian dalam karya
penciptaan Allah, dan akhirnya dengan sakramen perkawinan ini suami dan istri
dapat saling menguduskan, sampai kepada tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu
kebahagiaan sejati dalam Kerajaan Surga.
Sifat Perkawinan
Katolik itu pada dasarnya berciri satu pria dengan satu wanita dan tak
terceraikan. Kita menyebutnya sifat monogam dan Indissolubile. Monogam berarti satu
suami dengan satu istri, sedang
indissolubile berarti, setelah terjadi perkawinan antara orang-orang yang
dibaptis (ratum) secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan
(consummatum), maka perkawinan menjadi tak terceraikan, kecuali oleh kematian
(bdk. KHK kan. 1141).
Dengan memiliki ciri-ciri
yang demikian, perkawinan merupakan
‘sakramen’, yaitu (1)tanda
cinta Allah kepada manusia dan (2)tanda
cinta Kristus kepada GerejaNya sebagai mempelaiNya. Sakramen adalah tanda
kehadiran Allah yang menyelamatkan manusia. Dalam perkawinan Katolik (3)kehadiran Allah yang mencintai dan menyelamatkan dialami melalui pasangannya. Dengan kata lain,
sesungguhnya Allah menggabungkan
kasih suami istri dengan kasihNya sendiri kepada umat manusia melalui Kristus.
Oleh karena sifatnya yang sakramental itulah, suami adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi istrinya, dan istri adalah
tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi suaminya.
POKOK BAHASAN 24
PERKAWINAN CAMPUR
Pernikahan yang ideal
adalah pernikahan yang bersifat sakramen, yang berarti di antara dua orang yang
dibaptis, terlebih yang dibaptis atau diterima dalam Gereja Katolik. Akan
tetapi, meski tidak ideal, Gereja memberi kemungkinan adanya pernikahan campur,
dengan segala persyaratannya. Meski dispensasi untuk pernikahan campur beda
agama ini sudah cukup lama dipraktekkan, kemungkinan itu makin bisa
dipertanggungjawabkan secara teologis terutama sejak Konsili Vatikan II dan
juga mengingat situasi sosiologis masyarakat. Dalam pandangan teologis, Gereja
Katolik tidak lagi mau memonopoli kebenaran iman dan keselamatan seperti
terungkap dalam jargon lama yang berbunyi ”Extra ecclesiam nulla salus” yang
berarti di luar Gereja (Katolik) tidak ada keselamatan. Sejak Konsili Vatikan
II ada pandangan yang berubah dari Gereja Katolik terhadap gereja-gereja
Kristen lain. Mereka dipandang sebagai saudara, ekumenisme. Sementara itu,
Gereja Katolik juga mengakui bahwa ada juga keselamatan dalam agama lain. Kemudian,
secara sosiologis, Gereja Katolik juga makin realistis bahwa dalam masyarakat
ada pluralitas agama. Artinya, kemungkinan seorang Katolik jatuh cinta dan mau
menikah dengan orang yang tidak Katolik tidak bisa dihindari seratus persen.
Hal ini makin sulit dicegah ketika sarana komunikasi modern makin mempermudah
perjumpaan manusia yang berbeda jenis kelamin.
Dalam khasanah Gereja
Katolik, yang dimaksud pernikahan campur adalah
pernikahan beda Gereja (Mixta Religio) dan beda agama (disparitas cultus).
1. Pernikahan
campur beda Gereja (mixta religio) adalah pernikahan antara dua orang dibaptis,
yang diantaranya satu dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima didalamnya
setelah baptis, dengan seorang anggota Gereja atau persekutuan gerejawi yang
tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja Katolik. Yang dimaksud dengan ’Gereja atau persekutuan
gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja Katolik’ adalah gereja-gereja Kristen atau juga gereja
ortodoks yang tidak mengakui kepemimpinan Paus di Roma. Untuk
konteks Indonesia, itu adalah gereja-gereja Kristen, baik yang tergabung dalam
PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) maupun yang tidak tergabung, serta
beberapa komunitas Katolik Ortodoks. Dalam hal ini, Gereja Katolik mengakui
sah-nya baptis mereka, asal bersifat trinitarian (dibaptis dalam nama Bapa,
Putera dan Roh Kudus) dan dibaptis dengan air. Untuk pernikahan dengan
mereka, diperlukan ijin dari otoritas Gereja yang berwenang. Dalam hal ini
adalah Uskup atau yang ditunjuk olehnya.
2. Pernikahan
campur yang kedua adalah pernikahan campur beda agama (disparitas cultus).
Merujuk ke kanon 1086 § 1, yang dimaksud adalah pernikahan antara dua orang,
yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di
dalamnya dan yang lain tidak dibaptis. Yang dimaksud orang yang tidak dibaptis berarti orang yang beragama
selain Kristen/Katolik, termasuk mereka yang mengikuti aliran kepercayaan dan
juga yang menyatakan diri tidak beragama. Pada dasarnya, pernikahan ini
dilarang, meski, sesuai kanon 1086 §2, dimungkinkan adanya dispensasi, setelah
memenuhi beberapa persyaratan.
Sebenarnya, bobot
’larangan’ antara pernikahan campur beda gereja dan campur beda agama berbeda.
Hal itu tampak dari perbedaan istilah yang dipakai. Untuk pernikahan campur
beda gereja ’hanya’ dibutuhkan ijin dari otoritas gerejawi, sedang untuk
pernikahan beda agama dibutuhkan dispensasi. Dalam pengertian yuridis,
dispensasi berarti pembebasan dari hukum, dan secara implisit mengandaikan
bahwa larangannya lebih berat. Meski begitu, seperti disebut dalam kanon 1086 §
2 tadi, secara umum persyaratannya tidak jauh berbeda. Dua kanon secara
eksplisit menyebutkan syarat-syarat didapatkannya baik ijin maupun dispensasi
itu.
Kanon 1125 - Izin semacam
itu dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar dan
masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
- pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik;
- mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik;
- kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya
Kanon 1126 - Adalah tugas
Konferensi para Uskup untuk menentukan baik cara pernyataan dan janji yang
selalu dituntut itu harus dibuat, maupun menetapkan cara hal-hal itu menjadi
jelas, juga dalam tata-lahir, dan cara pihak tidak katolik diberitahu.
Sehubungan dengan syarat
yang diminta, yang perlu digaris-bawahi adalah jaminan bahwa pihak Katolik
tidak akan meninggalkan Gereja atau berpindah agama. Hal ini tentu saja wajar
karena Gereja ingin menjamin agar umatnya menjaga, dan bahkan memupuk imannya
sebaik-baiknya. Perlu diingat bahwa pernikahan sebagai persatuan dua pribadi
yang unik memerlukan kemampuan untuk saling berkompromi, sementara banyak
ajaran agama tidak bisa dikompromikan karena truth claim masing-masing.
Syarat kedua ini
dijanjikan oleh pihak yang Katolik dengan menandatangani formulir yang telah
disiapkan dan akan dilampirkan dalam permohonan ijin/dispensasi. Dalam hal ini,
pihak yang tidak Katolik memang diminta ikut menandatangani, tetapi dalam
status mengetahui. Artinya, dia mengetahui janji pihak Katolik kepada Gereja.
Pihak yang tidak Katolik tidak perlu ikut berjanji.
Selain itu, ada beberapa
syarat yang terkait dengan kondisi khusus dari pihak yang Katolik, baik kondisi
yang lebih bersifat personal maupun yang bersifat sosial. Dalam lembar
permohonan dispensasi yang diajukan pihak Katolik bersama pastor paroki kepada
otoritas gerejawi yang berwenang, ditulis beberapa contoh. Beberapa alasan yang
bisa menyertai pengajuan itu antara lain: sulit menemukan jodoh lain, bahaya
menikah di luar Gereja, mengesahkan nikah yang telah diteguhkan di luar Gereja,
pergaulan terlalu erat atau telah tinggal serumah, pihak wanita telah
mengandung, wanita sudah superadulta (atau bahasa umumnya ’perawan tua’),
menghindari percekcokan dalam keluarga, calon mempelai miskin, menghindari
sandungan, dan telah berjasa besar bagi masyarakat/Gereja.
Jika persyaratan ini
sudah dipenuhi dan kemudian ijin atau dispensasi diberikan, pasangan yang
berbeda gereja/agama itu bisa menikah di depan pastor Katolik dan dua saksi.
Itu syarat yang paling pokok, dan itulah yang disebut dengan tata peneguhan
kanonik seperti yang telah disebut dalam kanon 1108 di atas. Hal yang lain,
lebih bersifat sekunder, meski untuk tempat, Gereja Katolik mengaturnya dengan
mengatakan dalam kanon 1115 bahwa “Perkawinan hendaknya dirayakan di paroki
tempat salah satu pihak dari mempelai memiliki domisili atau kuasidomisili atau
kediaman sebulan, atau, jika mengenai pengembara, di paroki tempat mereka
sedang berada; dengan izin Ordinaris atau pastor parokinya sendiri perkawinan
itu dapat dirayakan di lain tempat.”
Hal yang sama juga
berlaku untuk pernikahan campur, seperti dikatakan dalam kanon 1118 bahwa :
§ 1. Perkawinan antara
orang-orang Katolik atau antara pihak Katolik dan pihak yang dibaptis bukan
Katolik hendaknya dirayakan di gereja paroki; dapat dilangsungkan di gereja
atau ruang doa lain dengan izin Ordinaris wilayah atau pastor paroki.
§ 2. Ordinaris wilayah
dapat mengizinkan perkawinan dirayakan
di tempat lain yang layak.
§ 3. Perkawinan antara
pihak Katolik dan pihak yang tidak dibaptis dapat dirayakan di gereja atau di
tempat lain yang layak.
Kanon ini memberi
kemungkinan untuk meminta ijin diberkatinya suatu pernikahan di tempat lain
yang bukan Gereja Katolik, misalnya di suatu gereja Kristen lain, dengan
diberkati bersama pendeta dan kesepakatan nikah ditanyakan oleh seorang pastor
Katolik. Tentang kemungkinan ini, ijin bisa dimintakan pada pastor paroki saja.
Dalam situasi yang lebih
berat, otoritas gerejawi (ordinaris wilayah) bisa juga memberikan dispensasi
dari tata peneguhan Kanonik, asal prosedur dan pencatatannya tetap dilakukan
juga di Gereja Katolik. Hal ini dikatakan dalam kanon 1121 § 3
Mengenai perkawinan yang dilangsungkan dengan
dispensasi dari tata peneguhan Kanonik, Ordinaris wilayah yang memberikan
dispensasi hendaknya mengusahakan agar dispensasi dan perayaan dicatat dalam
buku perkawinan baik kuria maupun paroki pihak Katolik, yang pastor parokinya
melaksanakan penyelidikan mengenai status bebasnya; mempelai yang Katolik
diwajibkan secepat mungkin memberitahukan perkawinan yang telah dirayakan
kepada Ordinaris itu atau pastor paroki, juga dengan menyebutkan tempat
perkawinan dirayakan serta tata peneguhan publik yang telah diikuti.
Hal ini dipertegas dalam kanon 1127 § 2 yang
menyebutkan bahwa Jika terdapat kesulitan-kesulitan besar untuk menaati tata
peneguhan Kanonik, Ordinaris wilayah dari pihak Katolik berhak untuk memberikan
dispensasi dari tata peneguhan Kanonik itu dalam tiap-tiap kasus, tetapi
setelah minta pendapat Ordinaris wilayah tempat perkawinan dirayakan, dan demi
sahnya harus ada suatu bentuk publik perayaan; Konferensi para Uskup berhak
menetapkan norma-norma, agar dispensasi tersebut diberikan dengan alasan yang
disepakati bersama.
Kemungkinan dispensasi
ini disebutkan disini juga supaya pasangan itu tidak perlu dua kali mengucapkan
janji, sekali dalam upacara Katolik dan sekali dalam upacara agama lain. Sehubungan
dengan hal ini Gereja Katolik memang menegaskan dalam kanon 1127 § 3 bahwa Dilarang,
baik sebelum maupun sesudah perayaan kanonik menurut norma § 1, mengadakan
perayaan keagamaan lain bagi perkawinan itu dengan maksud untuk menyatakan atau
memperbarui kesepakatan nikah; demikian pula jangan mengadakan perayaan
keagamaan, dimana peneguh katolik dan pelayan tidak katolik menanyakan
kesepakatan mempelai secara bersama-sama, dengan melakukan ritusnya
sendiri-sendiri.
Patut dicatat disini
bahwa yang dilarang adalah perayaan keagamaan yang menyatakan atau
memperbaharui kesepakatan. Jika ada perayaan keagamaan lain untuk berdoa
bersama atau mendoakan, tanpa ada janji ulang, tentunya tidaklah dilarang. Pun,
dalam perayaan ekumenis (dipimpin bersama pendeta dari Gereja Kristen lain),
tidak melanggar larangan ini jika sahabat dekat pihak non-Katolik yang
kebetulan bukan orang Katolik; pelayan Katolik tidak mungkin datang untuk
memberikan pelayanan; Gereja terdekat dan mungkin dihubungi hanyalah Gereja
non-Katolik; bila pihak Katolik ‘KTP’ menikah dengan seorang non-Katolik yang
sangat taat pada agamanya.(Lihat Robertus Rubiyatmoko, Pr, Perkawinan Kristiani
menurut Kitab Hukum Kanonik, diktat kuliah Fakultas Teologi Wedabhakti
Yogyakarta, hal. 124.)
POKOK BAHASAN 25
HALANGAN PERKAWINAN
Secara
umum Gereja Katolik selalu memandang perkawinan sebagai perkawinan yang sah,
kecuali dapat dibuktikan kebalikannya. Menurut Gereja Katolik, ada tiga hal
yang membatalkan perkawinan: I) halangan menikah; II) cacat konsensus; dan III)
cacat forma kanonika. Jika ada satu atau lebih halangan/ cacat ini, yang
terjadi sebelum perkawinan atau pada saat perkawinan diteguhkan, maka
sebenarnya perkawinan tersebut sudah tidak memenuhi syarat untuk dapat disebut
sebagai perkawinan yang sah sejak awal mula, sehingga jika yang bersangkutan
memohon kepada pihak Tribunal Keuskupan, maka setelah melakukan penyelidikan
seksama, atas dasar kesaksian para saksi dan bukti- bukti yang diajukan, pihak
Tribunal dapat mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh
pasangan tersebut. Sebaliknya, jika perkawinan tersebut sudah sah, maka
perkawinan itu tidak dapat dibatalkan ataupun diceraikan, sebab demikianlah
yang diajarkan oleh Sabda Tuhan (lih. Mat 19:5-6).
Berikut ini adalah
penjabaran ketiga hal yang membatalkan perkawinan menurut hukum kanonik Gereja
Katolik:
Ada
bermacam-macam halangan yang menggagalkan perkawinan
- Kurangnya umur (bdk. kan 1083):
Syarat umur yang dituntut oleh kodeks 1983 adalah laki-laki berumur 16
tahun dan perempuan berumur 14 tahun dan bukan kematangan badaniah. Tetapi
hukum kodrati menuntut kemampuan menggunakan akalbudi dan mengadakan penilaian
secukupnya dan “corpus suo tempore habile ad matrimonium”. Hukum sipil sering
mempunyai tuntutan umur lebih tinggi untuk perkawinan dari pada yang dituntut
hukum Gereja. Jika salah satu pihak belum mencapai umur yang ditentukan hukum
sipil, Ordinaris wilayah harus diminta nasehatnya dan izinnya diperlukan
sebelum perkawinan itu bisa dilaksanakan secara sah (bdk kan. 1071, §1, no.3).
Izin semacam itu juga harus diperoleh dari Ordinaris wilayah dalam kasus di
mana orang tua calon mempelai yang belum cukup umur itu tidak mengetahui atau secara
masuk akal tidak menyetujui perkawinan itu (bdk. kan 1071, §1, no.6).
- Impotensi (bdk kan. 1084):
Impotensi itu adalah halangan yang menggagalkan, demi hukum kodrati,
dalam perkawinan. Sebab impotensi itu mencegah suami dan istri mewujudkan
kepenuhan persatuan hetero seksual dari seluruh hidup, badan dan jiwa yang
menjadi ciri khas perkawinan. Yang membuat khas persatuan hidup suami istri
adalah penyempurnaan hubungan itu lewat tindakan mengadakan hubungan seksual
dalam cara yang wajar. Impotensi yang menggagalkan perkawinan, haruslah sudah
ada sebelum perkawinan dan bersifat tetap. Pada waktu perkawinan sudah ada,
bersifat tetap maksudnya impotensi itu terus menerus dan bukan berkala, serta
tidak dapat diobati kecuali dengan operasi tidak berbahaya. Impotensi ada dua
jenis: bersifat absolut dan relatif. Impotensi absolut jika laki-laki atau
perempuan sama sekali impotens. Impotensi relatif jika laki-laki atau perempuan
tertentu ini tidak dapat melaksanakan hubungan seksual. Dalam hal absolut orang
itu tidak dapat menikah sama sekali, dalam impotensi relatif pasangan tertentu
juga tidak dapat menikah secara sah.
- Adanya ikatan perkawinan (bdk. kan 1085):
Ikatan perkawinan terdahulu menjadi halangan yang menggagalkan karena
hukum ilahi. Kan 1085, §1: menghilangkan ungkapan “kecuali dalam hal privilegi
iman” (Jika dibandingkan dengan kodeks 1917). Ungkapan ini berarti jika seorang
yang dibaptis menggunakan privilegi iman walau masih terikat oleh ikatan
perkawinan terdahulu, dia bisa melaksanakan perkawinan secara sah dan ketika
perkawinan baru itu dilaksanakan ikatan perkawinan lama diputuskan.
- Disparitas cultus (bdk. kan 1086):
Perkawinan antara dua orang yang diantaranya satu telah dibaptis dalam
Gereja Katolik atau diterima di dalamnya dan tidak meninggalkannya dengan
tindakan formal, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah. Perlu
dicermati ungkapan “meninggalkan Gereja secara formal” berarti melakukan suatu
tindakan yang jelas menunjukkan etikat untuk tidak menjadi anggota Gereja lagi.
Tindakan itu seperti menjadi warga Gereja bukan Katolik atau agama Kristen,
membuat suatu pernyataan di hadapan negara bahwa dia bukan lagi Katolik. Namun
demikian janganlah disamakan tindakan itu dengan orang yang tidak pergi ke
Gereja Katolik lagi tidak berarti meninggalkan Gereja. Ada dua alasan tentang
norma ini: pertama karena tujuan halangan ini adalah untuk menjaga iman
katolik, tidak ada alasan mengapa orang yang sudah meninggalkan Gereja harus
diikat dengan halangan itu. Kedua, Gereja tidak mau membatasi hak orang untuk
menikah.
Perkawinan yang melibatkan disparitas cultus (beda agama) ini,
sesungguhnya tetap dapat dianggap sah, asalkan: 1) sebelumnya pasangan memohon
dispensasi kepada pihak Ordinaris wilayah/ keuskupan di mana perkawinan akan diteguhkan.
Dengan dispensasi ini, maka perkawinan pasangan yang satu Katolik dan yang
lainnya bukan Katolik dan bukan Kristen tersebut tetap dapat dikatakan sah dan
tak terceraikan; setelah pihak yang Katolik berjanji untuk tetap setia dalam
iman Katolik dan mendidik anak-anak secara Katolik; dan janji ini harus
diketahui oleh pihak yang non- Katolik (lih. kan 1125). 2) Atau, jika pada saat
sebelum menikah pasangan tidak mengetahui bahwa harus memohon dispensasi ke
pihak Ordinaris, maka sesudah menikah, pasangan dapat melakukan Convalidatio
(lih. kann. 1156-1160) di hadapan imam, agar kemudian perkawinan menjadi sah di
mata Gereja Katolik.
- Tahbisan suci (bdk. kan. 1087):
Adalah tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka
yang telah menerima tahbisan suci.
- Kaul kemurnian dalam suatu tarekat religius (bdk. kan. 1088):
Kaul kekal kemurnian secara publik yang dilaksanakan dalam suatu
tarekat religius dapat menggagalkan perkawinan yang mereka lakukan.
- Penculikan dan penahanan (bdk. kan. 1089):
Antara laki-laki dan perempuan yang diculik atau sekurang-kurangnya
ditahan dengan maksud untuk dinikahi, tidak dapat ada perkawinan, kecuali bila
kemudian setelah perempuan itu dipisahkan dari penculiknya serta berada di
tempat yang aman dan merdeka, dengan kemauannya sendiri memilih perkawinan itu.
Bahkan jika perempuan sepakat menikah, perkawinan itu tetap tidak sah, bukan
karena kesepakatannya tetapi karena keadaannya yakni diculik dan tidak
dipisahkan dari si penculik atau ditahan bertentangan dengan kehendaknya.
- Kejahatan (bdk. kan. 1090):
Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang
dengan maksud untuk menikahi orang tertentu melakukan pembunuhan terhadap
pasangan orang itu atau terhadap pasangannya sendiri.
- Hubungan Darah (bdk. kan. 1091):
Alasan untuk halangan ini adalah bahwa perkawinan antara mereka yang
berhubungan dalam tingkat ke satu garis
lurus bertentangan dengan hukum kodrati. Hukum Gereja merang perkawinan di
tingkat lain dalam garis menyamping, sebab melakukan perkawinan di antara
mereka yang mempunyai hubungan darah itu bertentangan dengan kebahagiaan sosial
dan moral suami-isteri itu sendiri dan kesehatan fisik dan mental anak-anak
mereka.
- Hubungan semenda (bdk. kan. 1092):
Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam
tingkat manapun. Kesemendaan adalah hubungan yang timbul akibat dari perkawinan
sah entah hanya ratum atau ratum consummatum. Kesemendaan yang timbul dari
perkawinan sah antara dia orang tidak dibaptis akan menjadi halangan pada hukum
Gereja bagi pihak yang mempunyai hubungan kesemendaan setelah pembaptisan dari
salah satu atau kedua orang itu. Menurut hukum Gereja hubungan kesemendaan
muncul hanya antara suami dengan saudara-saaudari dari isteri dan antara isteri
dengan saudara-saaudara suami. Saudara-saudara suami tidak mempunyai
kesemendaan dengan saudara-saudara isteri dan sebaliknya. Menurut kodeks baru
1983 hubungan kesemendaan yang membuat perkawinan tidak sah hanya dalam garis
lurus dalam semua tingkat.
- Halangan kelayakan publik (bdk. kan. 1093):
Halangan ini muncul dari perkawinan tidak sah yakni perkawinan yang
dilaksanakan menurut tata peneguhan yang dituntut hukum, tetapi menjadi tidak
sah karena alasan tertentu, misalanya cacat dalam tata peneguhan. Halangan ini
muncul juga dari konkubinat yang diketahui publik. Konkubinat adalah seorang
laki-laki dan perempuan hidup bersama tanpa perkawinan atau sekurang-kurangnya
memiliki hubungan tetap untuk melakukan persetubuhan kendati tidak hidup
bersama dalam satu rumah. Konkubinat dikatakan publik kalau dengan mudah
diketahui banyak orang.
- Adopsi (bdk. kan. 1094):
Tidak dapat menikah satu sama lain
dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum yang timbul dari adopsi
dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat kedua. Menurut norma ini pihak
yang mengadopsi dihalangi untuk menikah dengan anak yang diadopsi, dan anak
yang diadopsi dihalangi untuk menikah dengan anak-anak yang dilahirkan dari
orang tua yang mengadopsi dia. Alasannya karena adopsi mereka menjadi
saudara-saudari seketurunan.
POKOK BAHASAN 26
HIDUP BERKELUARGA
“Keluarga
adalah tempat pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan. Supaya keluarga mampu
mencapai kepenuhan hidup dan misinya, diperlukan komunikasi,
hati penuh kebaikan,
kesepakatan suami- isteri, dan
kerja sama orangtua
yang tekun dalam
mendidik anak- anak. Kehadiran
aktif ayah sangat membantu pembinaan mereka dan pengurusan rumah tangga oleh
ibu, terutama dibutuhkan oleh anak-anak yang masih muda, perlu dijamin, tanpa
maksud supaya pengembangan peranan sosial wanita yang sewajarnya dikesampingkan.
Melalui
pendidikan hendaknya anak-anak dibina sedemikian rupa, sehingga ketika sudah
dewasa mereka mampu dengan penuh tanggung jawab mengikuti panggilan mereka;
panggilan religius; serta memilih status hidup mereka. Maksudnya apabila kelak
mereka mengikat diri dalam pernikahan, mereka mampu membangun keluarga sendiri
dalam kondisi-kondisi moril, sosial dan ekonomi yang menguntungkan. Merupakan
kewajiban orang tua atau para pengasuh, membimbing mereka yang lebih muda dalam
membentuk keluarga dengan nasehat bijaksana, yang dapat mereka terima dengan
senang hati. Hendaknya para pendidik itu menjaga jangan sampai memaksa mereka,
langsung atau tidak langsung untuk mengikat pernikahan atau memilih orang
tertentu menjadi jodoh mereka.
Demikianlah keluarga, lingkup
berbagai generasi bertemu
dan saling membantu untuk
meraih kebijaksanaan yang
lebih penuh, dan mempadukan hak
pribadi-pribadi dengan tuntutan hidup sosial lainnya, merupakan dasar bagi
masyarakat. Oleh karena itu, siapa saja yang mampu memengaruhi
persekutuan-persekutuan dan kelompok- kelompok sosial, wajib memberi sumbangan
yang efektif untuk mengembangkan
perkawinan dan hidup berkeluarga.
Hendaknya
pemerintah memandang sebagai kewajibannya yang suci: untuk mengakui, membela
dan menumbuhkan jati diri perkawinan
dan keluarga; melindungi tata susila umum; dan mendukung kesejahteraan rumah
tangga. Hak orangtua untuk melahirkan keturunan dan mendidiknya dalam pangkuan
keluarga juga harus dilindungi. Hendaknya melalui perundang-undangan yang
bijaksana serta pelbagai usaha lainnya, mereka yang malang, karena tidak
mengalami kehidupan berkeluarga, dilindungi dan diringankan beban mereka dengan
bantuan yang mereka perlukan.
Hendaknya
umat kristiani, sambil menggunakan waktu yang ada dan membeda-bedakan yang
kekal dari bentuk-bentuk yang dapat berubah, dengan tekun mengembangkan
nilai-nilai perkawinan dan keluarga, baik melalui kesaksian hidup mereka
sendiri maupun melalui kerja sama dengan sesama yang berkehendak baik. Dengan
demikian mereka mencegah kesukaran-kesukaran, dan mencukupi kebutuhan-kebutuhan
keluarga serta menyediakan keuntungan-keuntungan baginya sesuai dengan tuntutan zaman sekarang. Untuk mencapai
tujuan itu semangat iman kristiani, suara hati moril manusia; dan kebijaksanaan
serta kemahiran mereka yang menekuni ilmu-ilmu suci, akan banyak membantu.
Hasil
penelitian para pakar ilmu-pengetahuan, terutama dibidang biologi, kedokteran,
sosial dan psikologi, dapat berjasa banyak bagi kesejahteraan perkawinan dan keluarga
serta ketenangan hati, melalui pengaturan kelahiran manusia yang dapat di
pertanggung jawabkan.
Berbekalkan
pengetahuan yang memadai tentang hidup berkeluarga, para imam bertugas
mendukung panggilan suami-isteri melalui pelbagai upaya pastoral; pewartaan
sabda Allah; ibadat liturgis; dan bantuan-bantuan rohani lainnya dalam hidup
perkawinan dan keluarga mereka. Tugas para imam pula, dengan kebaikan hati dan
kesabaran meneguhkan mereka ditengah kesukaran-kesukaran, serta menguatkan
mereka dalam cinta kasih, supaya terbentuk keluarga-keluarga yang
sungguh-sungguh berpengaruh baik.
Himpunan-himpunan keluarga,
hendaknya berusaha meneguhkan kaum muda dan para suami-isteri
sendiri, terutama yang baru menikah, melalui ajaran dan kegiatan; hidup kemasyarakatan,
serta kerasulan.
Akhirnya hendaknya
para suami-isteri sendiri,
yang diciptakan menurut gambar
Allah yang hidup dan ditempatkan dalam tata- hubungan antarpribadi yang
autentik, bersatu dalam cinta kasih yang sama, bersatu pula dalam usaha saling
menguduskan supaya mereka, dengan mengikuti Kristus sumber kehidupan, di
saat-saat gembira maupun pengorbanan dalam panggilan mereka, karena cinta kasih
mereka yang setia menjadi saksi-saksi misteri cinta kasih, yang oleh Tuhan
diwahyukan kepada dunia dalam wafat dan
kebangkitan-Nya” (Gaudium et Spes art. 52).
Dari dokumen tersebut,
dapat disimpulkan beberapa point penting :
- Arti dan Makna Keluarga
Keluarga adalah Sekolah
Kemanusiaan yang kaya.
Akan tetapi supaya kehidupan dan
perutusan keluarga dapat mencapai kepenuhan, dituntut komunikasi batin yang
baik, yang ikhlas dalam pendidikan anak. Kehadiran ayah yang aktif sangat
menguntungkan pembinaan anak-anak, perawatan ibu di rumah juga dibutuhkan
anak-anak dan seterusnya. (GS.52)
- Tugas dan tanggung jawab seorang suami/bapak
a)
Suami Sebagai Kepala Keluarga
Sebagai kepala
keluarga suami harus
bisa memberi nafkah lahir-batin kepada istri dan
keluarganya. Mencari nafkah adalah salah satu tugas pokok seorang suami,
sedapatnya tidak terlalu dibebankan kepada isteri dan anak-anak. Untuk menjamin
nafkah ini sang suami hendaknya berusaha memiliki pekerjaan.
b)
Suami Sebagai Partner Istri
Perkawinan
modern menuntut pola hidup partnership. Suami hendaknya menjadi mitra dari
istrinya. Pada masa sekarang ini banyak wanita yang menjadi wanita karier.
Kalau istri adalah wanita karier, maka perlulah suami menjadi pendamping,
penyokong dan pemberi semangat baginya. Dalam kehidupan rumah tangga istri
pasti mempunyai banyak tugas dan pekerjaan. Janganlah membiarkan dia sendiri
yang melakukannya, hanya karena sudah mempunyai pembagian tugas yang jelas
dalam rumah tangga. Banyak istri yang merasa tertekan, merasa tidak
diperhatikan lagi, karena apa saja yang dibuatnya tak pernah masuk dalam
wilayah perhatian suaminya.
c)
Suami Sebagai Pendidik
Orang
sering berpikir dan melemparkan tugas mendidik anak- anak pada istri/ibu,
padahal anak-anak tetap memerlukan sosok ayah dalam pertumbuhan diri dan
pribadi mereka. Sosok ayah tak tergantikan.
- Tugas dan tanggung jawab seorang istri/ibu
a)
Istri sebagai hati dalam keluarga
Suami
adalah kepala keluarga, maka isteri adalah ibu keluarga yang berperan sebagai
hati dalam keluarga. Sebagai hati, istri menciptakan suasana kasih sayang,
ketenteraman, keindahan, dan keharmonisan dalam keluarga.
b)
Istri sebagai mitra dari suami
Sebagai
mitra, istri dapat membantu suami dalam tugas dan kariernya. Bantuan yang
dimaksudkan di sini, seperti memberi sumbang saran dan dukungan moril hal yang
pertama lebih bersifat rasional dan yang kedua lebih bersifat afektif. Dukungan
moril yang bersifat afektif lebih berarti bagi suami.
c)
Istri sebagai pendidik
Istri/Ibu merupakan pendidik yang pertama dan utama dari anak-
anaknya. Hal ini berarti bahwa ibu adalah pendidik ulung. Ada ungkapan bahwa
“Surga berada di bawah telapak kaki ibu” artinya adalah kita tidak boleh berani
terhadap orang tua terutama sekali kepada ibu kita.
- Kewajiban Anak-anak Terhadap Orang Tua
Kewajiban-kewajiban anak terhadap orang tuanya tidak statis dan tidak
selalu sama, melainkan dipengaruhi baik oleh
perkembangan maupun oleh situasi dan
kondisi. Semakin hari,
anak hendaknya semakinmandiri. Orang tua makin lama makin
tua membutuhkan anak-anaknya. Beberapa hal dasar yang menjadi kewajiban anak terhadap orangtua
adalah: mengasihi orangtua, bersikap dan berperilaku penuh syukur, serta
bersikap dan berperilaku hormat kepada orangtua.
- Membina hubungan kakak-adik
Dalam keluarga masih ada saudara-saudara (kakak-adik) yang mempunyai
hubungan timbal balik sebagai anggota-anggota satu keluarga. Hubungan ini
memang bervariasi sesuai dengan masyarakat setempat.
Dalam mengembangkan keluarga sebagai persekutuan pribadi-pribadi,
hubungan kakak-adik sebagai anggota-anggota keluarga inti sangat penting.
Hal-hal yang perlu dikembangkan dalam hubungan kakak-adik adalah: kasih
persaudaraan, saling membantu dan saling menghargai. Pengalaman hidup bersama
dan proses-proses awal dari sosialisasi untuk hidup bersama berlangsung dalam
keluarga di mana terdapat lebih dari satu anak (bdk. Katekismus Gereja Katolik
no. 2219).
Kakak-adik tak hanya dididik oleh orang tua, melainkan juga secara
tidak langsung saling mendidik. Dengan bertengkar dan berdamai kembali mereka
belajar dan berlatih mengolah konflik yang termasuk unsur hidup bersama (bdk.
Katekismus Gereja Katolik no. 2219).
- Tugas dan kewajiban keluarga dalam masyarakat
Tugas dan kewajiban
keluarga dalam masyarakat seperti Gereja yang menjadi tanda keselamatan bagi
dunia. Pada hakikatnya Gereja dan sakramen-sakramennya bersifat missioner.
Artinya, sakramen perkawinan juga bersifat missioner. Maka konsekuensinya,
selain kepentingan suami, istri, dan keluarga mereka, sakramen perkawinan juga
memuat kepentingan seluruh masyarakat untuk memberi kesaksian bagi dunia
tentang cinta, perhatian dan kerahiman Allah.
POKOK BAHASAN 27
PANDANGAN GEREJA TENTANG KB
Gereja merasa mempunyai
tanggung jawab untuk mendukung dan melaksanakan
KB pada masa
ini. Secara khusus,
Gereja Indonesia melalui
uskup-uskupnya menegaskan: ”Bukan hanya pemerintah yang bertugas menyelesaikan
persoalan ini. Gereja merasa terlibat juga dan ikut bertanggung jawab untuk
mengusahakan pemecahan .…” Pimpinan Gereja di Indonesia sepakat menyatakan
perlunya pengaturan kelahiran demi kesejahteraan keluarga dan karena itu merasa
penting membina sikap bertanggung jawab di bidang ini (Pastoral Keluarga, KWI, 1976
No. 22–23).
Walaupun ajaran Gereja
pada umumnya hanya mengakui metode KB alamiah, namun Gereja Indonesia melalui
uskup-uskupnya mengatakan bahwa dalam keadaan terjepit para suami-istri dapat
menggunakan metode lain, asalkan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- Tidak merendahkan martabat istri atau suami. Misalnya, suami-istri tidak boleh dipaksa untuk menggunakan salah satu metode.
- Tidak berlawanan dengan hidup manusia. Jadi, metode-metode yang bersifat abortif jelas ditolak.
- Dapat dipertanggungjawabkan secara medis, tidak membawa efek samping yang menyebabkan kesehatan atau nyawa ibu berada dalam bahaya.
POKOK BAHASAN 28
HIDUP MEMBIARA
Inti hidup membiara adalah persatuan atau keakraban dengan Kristus dan menghidupi pola nasib
Kristus secara radikal (LG art. 42 dan 44). Untuk itu, biarawan-biarawati
mengucapkan kaul atau janji setia yang diucapkan sebagai tekad untuk mengabdi
dan bersatu dengan Allah. Dengan kata lain, persatuan yang erat dan penyerahan
diri secara total serta menyeluruh kepada Allah dilakukan dengan mengucapkan
dan melaksanakan tiga kaul dalam hidupnya yaitu: kaul kemiskinan, kaul ketaatan, dan keperawanan/kemurnian/kesucian.
Dengan mengucapkan kaul kemiskinan, orang yang mengucapkan dan menghayati hidup
membiara melepaskan hak untuk memiliki harta benda. Ia rela miskin
seperti yang dituntut oleh Yesus kepada murid-muridNya (Luk 10,1-12 dan Mat
10,5-15). Sikap batin ini harus dihayati dan diungkapkan dalam bentuk nyata
kehidupan sehari-hari.
Dengan mengucapkan kaul ketaatan seseorang memutuskan untuk taat seperti Kristus yang
taat kepada Allah (Yoh 14,23-24; Flp 2,7-8). Bentuk nyata dari ketaatan
ini adalah meletakkan kehendaknya di
bawah kehendak pembesar dan statuta biara demi Kerajaan Allah (aspek asketis)
dan ketaatan religius atau kerelaan untuk membaktikan diri kepada hidup
kerasulan bersama (aspek apostolik).
Dengan kaul keperawanan seseorang melepaskan hak hidupnya untuk berkeluarga
dan meneladan Kristus seutuhnya demi Kerajaan Allah. Dengan demikian mereka
memilih untuk hidup selibat.
POKOK BAHASAN 29
KERJA
Kerja
Sebagai Partisipasi dalam Kegiatan Sang Pencipta
Menurut Konsili Vatikan
II: ”Bagi kaum beriman ini merupakan keyakinan: kegiatan manusia baik
perorangan maupun kolektif, atau usaha besar-besaran itu sendiri, yang dari
zaman ke zaman dikerahkan oleh banyak
orang untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup mereka, memang sesuai dengan
rencana Allah. Sebab manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, menerima
titah-Nya, supaya menaklukkan bumi beserta segala sesuatu yang terdapat
padanya, serta menguasai dunia dalam keadilan dan kesucian; ia mengemban
perintah untuk mengakui Allah sebagai Pencipta segala-galanya, dan mengarahkan
diri beserta seluruh alam kepada-Nya, sehingga dengan terbawahnya segala
sesuatu kepada mausia nama Allah sendiri dikagumi di seluruh bumi”.
Kegiatan Allah di dunia
itu selalu berlangsung, seperti dikatakan oleh Kristus: ”Bapa-Ku tetap masih
berkarya...”: Ia berkarya dengan kuasa pencipta-Nya dengan melestarikan bumi,
yang dipanggil-Nya untuk berada dari ketiadaan, dan Ia berkarya dengan kuasa
penyelamat-Nya dalam hati mereka, yang sejak semula telah ditetapkan-Nya untuk
”beristirahat” dalam persatuan dengan diri-Nya di ”rumah Bapa”Nya. Oleh karena
itu kerja manusia pun tidak hanya memerlukan istirahat setiap ”hari ketujuh”,
melainkan tidak dapat pula terdiri hanya dari penggunaan tenaga manusiawi dalam
kegiatan lahir. Kerja harus membuka peluang bagi manusia untuk menyiapkan diri,
dengan semakin menjadi seperti yang dikehendaki oleh Allah, bagi ”istirahat”
yang disediakan oleh Tuhan bagi para hamba dan sahabat-Nya. Kesadaran, bahwa
kerja manusia ialah partisipasi dalam kegiatan Allah, menurut Konsili, bahkan
harus meresapi ”pekerjaan sehari-hari yang biasa sekali. Sebab pria maupun
wanita, yang-sementara mencari nafkah bagi diri maupun keluarga
mereka-melakukan pekerjaan mereka sedemikian rupa sehingga sekaligus berjasa-bakti
bagi masyarakat, memang dengan tepat dapat berpandangan, bahwa dengan
jerih-payah itu mereka mengembangkan karya Sang Pencipta, ikut memenuhi
kepentingan sesama saudara, dan menyumbangkan
kegiatan mereka pribadi demi terlaksananya rencana ilahi dalam sejarah”.
Gereja Katolik melalui
Ajaran Sosialnya menaruh perhatian yang serius pada nilai kerja manusia.
Manusia diciptakan menurut gambar Allah
dan diberi mandat untuk mengelola bumi. Dengan ini, manusia hendaknya menyadari, ketika ia melakukan pekerjaan, ia
berpartisipasi dalam pekerjaan Tuhan. Dengan tenaganya, manusia
memberikan sumbangan merealisasikan rencana Tuhan di bumi. Manusia diharapkan
tidak berhenti untuk membangun dunia menjadi lebih baik atau mengabaikan sesama.
Manusia memiliki tanggung jawab lebih untuk melakukan hal itu (Laborem Excercens art. 25). Karena pekerjaan merupakan kunci
atau solusi dari masalah sosial. Pekerjaan
sangat menentukan manusia dalam membuat hidup menjadi lebih manusiawi. (Laborem Excercens art. 3).
Dalam Ensiklik Centesimus
Annus dikatakan, “....Sumber pertama segala sesuatu yang baik ialah karya Allah
sendiri yang menciptakan bumi dan manusia, serta mengurniakan bumi kepada
manusia, supaya manusia dengan jerih-payahnya menguasainya dan menikmati
buah-hasilnya (bdk. Kej 1:28-29). Allah menganugerahkan bumi kepada seluruh
umat manusia, supaya bumi menjadi sumber kehidupan bagi semua anggotanya, tanpa
mengecualikan atau mengutamakan siapapun juga. Itulah yang menjadi dasar
mengapa harta-benda bumi diperuntukkan bagi semua orang. Sebab berkat
kesuburannya dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia; bumi
merupakan kurnia Allah yang pertama untuk menjadi sumber kehidupan baginya.
Tetapi bumi tidak menghasilkan buah-buahnya tanpa tanggapan manusia yang khusus
terhadap anugerah Allah, atau: tanpa kerja. Melalui kerja manusia dengan
menggunakan akal-budi dan kebebasannya menguasai bumi, dan menjadikannya
kediaman yang layak bagi dirinya. Begitulah manusia menjadikan miliknya
sebagian bumi yang diperolehnya dengan bekerja. Itulah asal- milik perorangan.
Sudah jelaslah ia terikat kewajiban untuk tidak menghalang-halangi sesamanya
mendapat bagiannya dari kurnia Allah. Bahkan ia harus bekerja sama dengan
mereka untuk bersama-sama menguasai seluruh bumi...” (CA 31).
Dengan demikian,
nilai-nilai iman Katolik berdasarkan dokumen Gereja di atas dapat disimpulkan
sebagai berikut :
Pertama,
orang
bekerja dalam rangka mencari nafkah dan mencukupi kebutuhan-kebutuhannya,
biasanya kebutuhan yang dasar. Bekerja pada tataran ini dapat dialami sebagai
beban yang berat. Orang bekerja karena terpaksa. Misalnya, seseorang sebenarnya
bercita-cita bekerja dalam bidang pendidikan. Tetapi karena tidak ada lowongan
kerja dalam bidang itu, dia terpaksa bekerja sebagai pekerja di pabrik, karena
tidak ada pekerjaan lain, sementara dia harus mencukupi kebutuhan-kebutuhan
saya sehari-hari.
Kedua, orang bekerja sebagai aktualisasi diri dan mengembangkan karir. Karena kemampuannya dan
kesempatan yang tersedia, dia bisa memilih pekerjaan mana yang akan ia lakukan
sesuai dengan yang ia inginkan. Dengan pilihan kerja itu, ia mencapai
cita-citanya. Ia merasa bahagia, gembira, mengalami kepuasan batin yang besar.
Dengan pekerjaannya itu ia merasa berkembang sebagai pribadi.
Ketiga,
kerja
dalam rangka mewujudkan bagian doa yang setiap hari kita ucapkan
"datanglah Kerajaan-Mu". Sebagai orang beriman, kita semua menerima
tugas perutusan untuk mengikuti Yesus Kristus mewartakan Kerajaan Allah. Melalui
kerja manusia dengan menggunakan akal-budi dan kebebasannya menguasai bumi, dan
menjadikannya kediaman yang layak bagi dirinya. Kerajaan Allah adalah realitas
yang sangat nyata: ketika orang merasa lebih aman berkendara di jalan raya;
ketika orang mendapat keadilan di lembaga peradilan; ketika pada usahawan
menjalankan usahanya dengan fairness. Pendek kata, iman kita harus menjadi
inspirasi untuk memberi makna kepada pekerjaan kita, membuat kita yakin bahwa
pekerjaan kita, apapun jenisnya, adalah bagian dari usaha kita untuk mewujudkan
doa kita "datanglah Kerajaan-Mu", membuat hidup bersama menjadi
semakin manusiawi, semakin damai dan sejahtera.
Keempat,
kerja sebagai partisipasi dalam kegiatan Sang Pencipta. Artinya, melalui kerja
manusia
mengembangkan karya Sang Pencipta, ikut memenuhi kepentingan sesama saudara,
dan menyumbangkan kegiatan mereka
pribadi demi terlaksananya rencana ilahi dalam sejarah.
Kerja adalah setiap kegiatan manusia yang diarahkan
untuk kemajuan rohani dan jasmani manusia yang memerlukan pemikiran dan tenaga.
Makna kerja dapat
ditinjau dari beberapa segi, yaitu:
- Segi ekonomis: memenuhi dan menyelenggarakan kebutuhan-kebutuhan hidup yang primer.
- Segi sosiologis: untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Kegiatan tersebut juga mencerminkan keterlibatan unsur manusia dalam karya ciptaan Allah.
- Segi antropologis: untuk membina dan membentuk diri dan pribadinya dan bisa menjadi teman bagi sesamanya dengan menggunakan akal budi, kehendak, tenaga, daya kreatif, serta tanggung jawab dan kesejahteraan umum.
Tujuan kerja adalah :
- Mencari nafkah. Kebanyakan orang bekerja untuk mencari nafkah, mengembangkan kehidupan jasmaninya dan mempertahankannya. Artinya, orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, untuk memperoleh kedudukan serta kejayaan ekonomis, yang menjamin kehidupan jasmaninya untuk masa depan. Nilai yang mau dicapai ini bersifat jasmani.
- Memajukan teknik dan kebudayaan. Nilai yang mau dicapai ini lebih bersifat rohaniah. Dengan bekerja orang dapat memajukan salah satu cabang teknologi atau kebudayaan, dari yang paling sederhana sampai kepada yang paling tinggi.
- Menyempurnakan diri sendiri. Dengan bekerja manusia lebih menyempurnakan dirinya sendiri. Ia menemukan harga dirinya. Atau lebih tepat: ia mengembangkan kepribadiannya. Dengan kerja, manusia lebih memanusiakan dirinya.
Makna religius dari
bekerja adalah:
·
Allah memerintahkan manusia untuk bekerja. Manusia menjadi wakil Allah
di dunia ini untuk mengurus dan menjadi pekerja yang menyelenggarakan ciptaan
Tuhan.
·
Manusia menjadi rekan kerja Allah dalam dunia ini. Allah memberikan kuasa kepada manusia dan menjadikan mereka pengurus
serta rekan kerja. Allah berfirman:“... penuhilah bumi dan taklukanlah itu,
berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala
binatang yang merayap di bumi.”(Kejadian 1:28)
·
Dengan bekerja, manusia
mendekatkan diri dengan Allah.
Namun dalam bekerja manusia butuh pula beristirahat sebab dalam Kej
1:1-2:3 dikatakan bahwa Allah bekerja selama 6 hari dan pada hari ketujuh,
Allah beristirahat. Ia pun memerintahkan manusia untuk beristirahat (Kel 20:10). Demikianlah terjadi keseimbangan antara
kerja dan istirahat. Manusia membutuhkan istirahat, mensyukuri hasil kerjanya
seperti Allah yang beristirahat pada hari ketujuh.
1)
Kerja dan istirahat merupakan dua hal yang saling melengkapi. Karena
memerlukan istirahat, manusia seharusnya bekerja menurut irama alam seperti
yang dilakukan oleh para petani dalam masyarakat pedesaan: peredaran hari dan
pergantian musim menetapkan irama kerja dan istirahat. Namun di dunia industri
irama semacam itu hancur: orang bekerja dalam irama mesin dan di bawah perintah
orang lain. Tidak jarang orang kehilangan haknya untuk beristirahat demi target
produksi. Dengan demikian kerja bukan merupakan bagian hidup manusia lagi,
tetapi hanya merupakan sarana untuk mencapai suatu tujuan di luar manusia.
Dengan kata lain pekerjaan menjadi sarana produksi melulu akan merendahkan
martabat manusia.
2)
Perlu kita ingat pekerjaan itu bernilai karena manusia sendiri
bernilai. Dalam situasi di mana manusia tidak dapat menikmati nilai kerjanya
secara pribadi dan langsung, maka upah dan kedudukannya dalam masyarakatlah
yang mengungkapkan nilai kerjanya. Dalam hal ini manusia dipandang dan
diperlakukan sebagai alat produksi, bukan sebagai citra Allah, suatu hal yang
merendahkan martabat manusia.
3)
Kitab Suci Kejadian menceritakan bahwa Allah sendiri juga bekerja. Sebagai
Pencipta, Ia bekerja enam hari lamanya dan beristirahat pada hari yang ketujuh
(Kej 1:1-2:3). Bahkan Ia tetap bekerja sampai hari ini (Yoh 5:17). Sebagai
citra Allah, manusia harus meneladani Dia, juga dalam bekerja. Semua orang
harus bekerja apa pun kedudukan sosialnya atau jenis kelaminnya; “Enam hari
lamanya engkau akan bekerja…..” (Kej 23:12). Dengan bekerja sehari-hari manusia
berpartisipasi dalam usaha Tuhan Pencipta; ia diajak untuk turut menyempurnakan
diri sendiri dan dunia (mengembangkan alam raya dengan kerjanya). Sekaligus
dengan bekerja manusia memuliakan Allah dan mengabdi kepada-Nya sebagai tujuan
akhirnya.
4)
Dalam Kitab Suci dikatakan, bahwa Tuhan tidak hanya bekerja, tetapi
juga beristirahat. Hari ketujuh merupakan hari istirahat, setelah enam hari
sebelumnya Ia bekerja. Ia menyuruh manusia untuk beristirahat juga setelah
bekerja: “…hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan
suatu pekerjaan” (Kel 20:10). Maka sebagai citra Allah manusia tidak dapat
dipaksa untuk bekerja secara terus menerus. Ia juga harus diberi kesempatan
untuk beristirahat.
5)
Maka sebetulnya dalam firman Tuhan itu terkandung tiga kewajiban
manusia; kewajiban bekerja, kewajiban beristirahat, dan kewajiban melindungi
mereka yang harus bekerja dalam ketergantungan. Dengan demikian, hidup semua
orang dilindungi. Jadi, jangan sampai kerja menjadi lebih penting daripada
hidup dan hasil kerja dinilai lebih tinggi daripada manusia.
Firman Tuhan mau membebaskan
manusia dari penindasan manusia
oleh pekerjaan dan perencanaannya sendiri. Tuhan menghendaki supaya manusia
tetap tinggal sebagai “citra Allah” dan bukan alat produksi.
Selain istirahat, doa
juga memiliki peranan penting dalam
pekerjaan kita, yaitu:
·
Sebagai ungkapan syukur
kepada Allah karena bisa bekerja.
·
Kerja menjadi sarana bagi kita untuk semakin mendekatkan diri kepada
Allah.
·
Menjadi daya dorong bagi
kita untuk bekerja lebih tekun, tabah, dan tawakal.
·
Memurnikan pola,
motivasi, dan orientasi kerja kita.
·
Doa, karya, dan kerja
adalah kesatuan tindakan yang menjadikannya sebagai persembahan yang kudus
kepada Allah
·
Sebagai ungkapan syukur
kepada Allah karena sanggup menyelesaikan pekerjaan yang dipercayakan kepada
kita.
POKOK BAHASAN 30
MENGANALISIS DOKUMEN GEREJA KATOLIK TENTANG MENGHARGAI KEKHASAN AGAMA
LAIN DAN BENTUK-BENTUK DIALOG DENGAN UMAT BERAGAMA LAIN
Nostra
Aetate art. 2
Sudah sejak dahulu kala
hingga sekarang ini diantara pelbagai bangsa terdapat suatu kesadaran tentang
daya-kekuatan yang gaib, yang hadir pada perjalanan sejarah dan
peristiwa-peristiwa hidup manusia; bahkan kadang-kadang ada pengakuan terhadap
Kuasa ilahi yang tertinggi atau pun Bapa. Kesadaran dan pengakuan tadi meresapi
kehidupan bangsa-bangsa itu dengan semangat religius yang mendalam. Adapun
agama-agama, yang terikat pada perkembangan kebudayaan, berusaha menanggapi
masalah-masalah tadi dengan faham-faham yang lebih rumit dan bahasa yang lebih
terkembangkan. Demikianlah dalam hinduisme manusia menyelidiki misteri ilahi
dan mengungkapkannya dengan kesuburan mitos-mitos yang melimpah serta dengan
usaha-usaha filsafah yang mendalam. Hinduisme mencari pembebasan dari kesesakan
keadaan kita entah melalui bentuk-bentuk hidup berulah-tapa atau melalui
permenungan yang mendalam, atau dengan mengungsi kepada Allah penuh kasih dan
kepercayaan. Buddhisme dalam pelbagai alirannya mengakui, bahwa dunia yang
serba berubah ini sama sekali tidak mencukupi, dan mengajarkan kepada manusia
jalan untuk dengan jiwa penuh bakti dan kepercayaan memperoleh keadaan
kebebasan yang sempurna, atau – entah dengan usaha sendiri entah berkat bantuan
dari atas – mencapai penerangan yang tertinggi. Demikian pula agama-agama lain,
yang terdapat diseluruh dunia, dengan pelbagai cara berusaha menanggapi
kegelisahan hati manusia, dengan menunjukkan berbagai jalan, yakni
ajaran-ajaran serta kaidah-kaidah hidup maupun upacara-upacara suci.
Gereja
Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci di dalam agama-agama ini.
Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan
hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda
dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh
memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada
hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan
hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula
Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.
Maka Gereja mendorong
para puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan
kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian
tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan
harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat
pada mereka.
Beberapa hal pokok yang
diperlihatkan oleh dokumen diatas memperihatkan sikap Gereja yang menghargai
agama lain, yaitu:
A.
Persamaan yang nyata dalam agama-agama yang berbeda itu dinyatakan
bahwa semua agama memiliki sumber dan tujuan yang sama, yakni Allah.
B. Sikap Gereja terhadap agama dan kepercayaan lain adalah :
- mendukung terciptanya kerukunan dan persaudaraan sejati dalam kebersamaan dengan agama dan kepercayaan yang berbeda.
- Gereja perlu menghargai agama dan kepercayaan lain sebagai ungkapan toleransinya.
- Gereja dapat merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, dari agama-agama lain yang juga memiliki nilai kebenaran.
- Hal konkret yang dapat dilakukan Gereja dalam membangun kerukunan adalah Gereja perlu membangun kebersamaan dan sikap terbuka terhadap agama dan kepercayaan lain melalui dialog dan kerjasama. Macam-macam dialog yang dapat dilakukan:
·
DIALOG KARYA,
keterlibatan dan kebersamaan dalam karya bersama, misalnya terlain dalam
organisasi, pengelolaan karya sosial, pendidikan, kerja bakti bersama dll.
·
DIALOG KEHIDUPAN,
keterlibatan dan kebersamaan dalam kehidupan nyata sehingga terjalin kerukunan
Misalnya, saling memberi salam, silaturahmi, saling mendukung, bertegur sapa,
sharing pengalaman hidup, menjalin persahabatan dan persaudaraan
·
DIALOG IMAN dan DIALOG
TEOLOGIS, keterlibatan dalam saling mengembangkan iman masing-masing , misalnya
melalui pemahaman akan nilai iman orang lain, memperdalam iman sendiri, saling
tukar pendapat tentang pandangan iman, saling belajar akan kekayaan rohani agama-agama
lain.
POKOK BAHASAN 31
MEMPERJUANGKAN KEADILAN, KEBENARAN, KEJUJURAN, DAN PERDAMAIAN
1. KEADILAN
Dalam
sejarah, seringkali kita melihat bahwa rakyat kecil sering mengalami
ketidakadilan. Ketidakadilan
itu nampak dalam bentuk-bentuk antara lain:
Ø Tindakan perampasan dan penggusuran hak milik orang, pencurian,
perampokan, dan korupsi.
Ø Tindakan pemerasan, KKN, dan rekayasa.
Ø Tindakan atau keengganan membayar utang dan pajak yang berbuntut
merugikan rakyat kecil.
Ø Penyalahgunaan jabatan terutama dibidang hukum dan hak asasi manusia.
Ø Tidak adanya rasa hormat
terhadap hak milik orang lain, masyarakat, dan negara.
Ø Diskriminasi dan
penganiayaan terhadap orang atau sekelompok orang tertentu
Berbagai ketidakadilan tersebut banyak kali
disebabkan oleh sistem dan struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang
diciptakan oleh penguasa. Selain itu, rakyat kecil dibatasi ruang geraknya
sehingga mereka tersisih dan semakin menderita.
Hal ini hampir serupa dengan situasi bangsa
Israel pada zaman Nabi Amos (Amos 5:1-27), yaitu:
Ø Kekayaan dikuasai oleh
sekelompok kecil orang.
Ø Orang-orang berkuasa dan kaya menipu dan memeras orang-orang kecil.
Ø Upacara keagamaan yang meriah diselenggarakan untuk menutupi
kejahatan-kejahatan para penguasa.
Melihat situasi tersebut
Nabi Amos mengecam perilaku yang tidak berkenan pada Allah tersebut dan
menunjukkan jalan keluar agar mereka terhindar dari hukumanNya, yaitu
pertobatan mendasar demi
Dalam pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa keadilan
sosial merupakan salah satu tugas dan tujuan utama Negara kita. Hal ini lebih
jelas lagi terlhat dalam pasal 33
di mana perekonomian nasional harus dijiwai dengan semangat kekeluargaan.
Artinya, perekonomian negara kita haruslah dapat dilakukan oleh semua dan untuk
semua. Sedangkan dalam pasal 34
dinyatakan bahwa negara wajib memperhatikan orang-orang dan kelompok-kelompok
marjinal, miskin, dan tak berdaya.
Selain itu, Gereja juga
merasa perlu untuk tetap mewartakan firman Tuhan yang ke tujuh yakni, “jangan
mencuri”. Maksud asli dari perintah tersebut adalah jangan mencuri orang
(menculik) karena itu berarti mengambil kebebasan dan hidup orang tersebut.
Firman ini kemudian diperluas artinya menjadi jangan mencuri milik orang lain.
Kedua pengertian tersebut menunjuk pada ketidakadilan.
Secara garis besar,
seluruh ASG menunjuk pada
masalah-masalah pokok keadilan yang kita hadapi dewasa ini, yaitu:
Ø Supaya kerja dihargai dan agar semua orang dapat memperoleh nafkah yang
wajar.
Ø Supaya hidup masyarakat
dan negara ditata secara demokratis
Ø Supaya kesenjangan yang
ekstrim antara kaya dan miskin dapat dapat diatasi.
Ø Supaya penindasan
diakhiri dan pembebasan dimajukan.
Ada berbagai macam pendekatan atau cara untuk
memprjuangkan keadilan, antara lain:
Ø Pendekatan karitatif. Pendekatan ini
dinilai terlalu memanjakan kaum tertindas.
Ø Pendekatan proyek. Pendekatan ini dinilai
menjadikan kaum tertindas sebagai objek penanganan.
Ø Pendekatan kooperatif. Pendekatan ini
dinilai baik karena semua pihak bersama-sma memperjuangkan keadilan. Dalam
pendekatan ini ada bebarapa langkah yang harus dilaksanakan, yaitu:
1. Orang perlu mempelajari dengan baik tentang hak-hak dasar manusia, mana
yang perlu dilindungi dan mana yang perlu ditegaskan.
2. Memberdayakan mereka yang menjadi korban ketidakadilan untuk terlibat
dan memperbaiki nasibnya sendiri.
3. Memberi kesaksian bahwa untuk mencapai keadilan kita harus mulai dari
diri kita sendiri.
4.
Keadilan tidak boleh dicapai dengan cara kekerasan tetapi dengan
prinsip cinta kasih.
2.
KEBENARAN
Kebenaran
berarti keadaan yang cocok atau sesuai dengan hal yang sesungguhnya atau
sungguh-sungguh benar. Dengan kata lain, kebenaran berkaitan dengan
kejujuran. Sedangkan kebohongan adalah rekayasa terhadap kebenaran. Dalam
masyarakat, terdapat berbagai macam kebohongan yaitu berdusta atau bersaksi
dusta, rekayasa atau manipulasi, kata-kata atau sikap yang bertujuan hanya
untuk menyenangkan atasan, serta fitnah dan umpatan.
Dalam Kitab Suci, kebenaran tidak hanya berarti tidak
berbohong tetapi juga berarti mengambil bagian dalam kehidupan Allah sebab
Allah adalah sumber kebenaran yang selalu berbuat sesuai dengan janjiNya.
Firman Allah yang
kedelapan, “Jangan bersaksi dusta terhadap (tentang) sesamamu,” sebenarnya
menyangkut tentang bersaksi kebenaran dalam pengadilan sehingga ada jaminan
kepastian hukum dan keadilan. Perintah tersebut juga melarang orang dilarang
berbohong/berdusta terhadap orang lain dalam bentuk apapun.
Dalam Kitab Suci
Perjanjian Baru dikatakan bahwa Yesus sendiri adalah kebenaran sebab Dia
dibenarkan Allah. Dengan kebangkitanNya Allah menyatakan bahwa Yesus adalah
orang benar. Orang yang percaya kepadaNya akan diselamatkan. Percaya di sini
berarti bahwa Yesus itu benar-benar ada dan mau mengandalkan hidupnya kepada
Yesus serta menjalankan apa yang dikehendakiNya yaitu membela kebenaran. Dengan
membela kebenaran maka kita memperjuangkan kehendak Allah dan meneladan Yesus.
Berdasarkan terang
Kitab Suci kita juga dapat ikut serta menegakkan kebenaran yaitu dengan cara:
Ø Memiliki iman akan Yesus, sebab dengan beriman maka kita berani
menyampaikan pemikiran-pemikiran tentang kebenaran dan kritik atau koreksi
terhadap siapapun yang melawan cinta kasih Allah.
Ø Selalu mengatakan hal yang benar. Jika ya, hendaklah kamu katakan ya dan
jika tidak, hendaklah kamu katakan tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal
dari si jahat” (Mat 5:37).
3.
MEMPERJUANGKAN KEJUJURAN
Jujur berarti tulus hati, tidak curang terhadap diri sendiri dan
tidak curang terhadap orang lain, serta adanya keselarasan antara kata hati,
kata yang diucapkan, sikap, dan perbuatan. Kejujuran merupakan suatu
nilai yang penting dalam hidup karena:
Ø
Kejujuran menimbulkan kepercayaan yang menjadi landasan dari pergaulan
dan hidup bersama.
Ø
Kejujuran dapat menjadi modal untuk perkembangan pribadi dan kemajuan
kelompok.
Ø
Kejujuran dapat memecahkan banyak persoalan.
Ø
Kejujuran merupakan dasar setiap usaha untuk menjadi kuat secara
moral.
Bersikap jujur berkaitan dengan bersikap terbuka dan bersikap fair.
Bersikap terbuka berarti kita harus selalu muncul dengan diri kita yang
sebenarnya dan tidak menyesuaikan kepribadian kita seperti harapan orang lain. Bersikap
fair berarti memperlakukan orang lain seperti kita ingin orang lain
memperlakukan kita dan tidak bertindak bertentangan dengan suara hati atau
keyakinan kita, misalnya, bertindak sportif/tidak curang pada saat bertanding.
Dalam Kel 20:19, dikisahkan
tentang kecurangan Bangsa Israel yang tidak setia pada Allah dan mereka berkata kepada Musa: "Engkaulah
berbicara dengan kami, maka kami akan mendengarkan; tetapi janganlah Allah
berbicara dengan kami, nanti kami mati.”
Ayat
tersebut berbicara tentang, ketakutan Bangsa Israel pada Allah yang telah
mengeluarkan mereka dari tanah Mesir. Ketakutan mereka itu diakibatkan oleh
ketidakjujuran mereka yang tidak setia. Bukannya menyembah Allah, mereka malah
membuat benda berhala untuk disembah. Ketakutan ini menimbulkan sikap munafik
bangsa Israel pada Allah.
Yesus juga secara tegas
memperingatkan mereka yang bersikap munafik dan orang-orang yang menganggap
dirinya suci karena mereka sangat mengandalkan kesalehan, kekudusan, dan
kekuatannya sendiri. Mereka tidak memerlukan kasih karunia dan bantuan Allah
lagi. Mereka merasa bahwa mereka dapat memperoleh keselamatan berkat kekuatan
dan jasa-jasanya sendiri. Mereka lupa bahwa
keselamatan dan kekuatan itu berasal dari Allah (lih. Luk 18:9-14).
Matius 5:33 - 37
33 Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada
nenek moyang kita: Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di
depan Tuhan. 34 Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali
bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah, 35
maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan kaki-Nya, ataupun demi Yerusalem,
karena Yerusalem adalah kota Raja Besar; 36 janganlah juga engkau
bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau
menghitamkan sehelai rambut pun. 37 Jika ya, hendaklah kamu
katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari
pada itu berasal dari si jahat.
Dalam perikop di atas, Yesus menuntut kita untuk
selalu berkata dan bersikap jujur. Selain
itu, kita juga hendaknya tidak bersumpah palsu demi apa pun juga.
Untuk memperjuangkan
kejujuran ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
Ø
Kejujuran adalah suatu sikap yang tidak dapat dicapai dalam waktu
singkat dan bersifat teknis oprasional tetapi kejujuran merupakan suatu gerakan
moral yang harus diusahakan secara terus-menerus.
Ø Gerakan moral ini harus dinamis, terbuka, serta dapat beradaptasi dalam
situasi dan kondisi apa pun.
Ø
Gerakan moral ini merupakan suatu gerakan rohani yang juga menjadi
muara bagi aksi untuk untuk pembaruan dan pembangunan masyarakat yang adil dan
sejahtera.
Ø
Gereakan moral ini boleh saja diinspirasikan dan diprakarsai dari atas
tetapi sebaiknya mulai tumbuh dari komunitas basis setempat atau dari diri
sendiri sehingga otentik dan bebas.
Ø Pendekatan yang dipakai hendaklah berorientasi proses yang komunikatif.
4.
MEWUJUDKAN PERDAMAIAN
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, sering ditemukan
kata “shalom”. Shalom berarti:
Ø
Kesejahteraan pribadi dan masyarakat, sehat jasmani dan kesejahteraan
keluarga (Ayb 3).
Ø Tuhan sertamu dan damai melimpah bagi orang benar (Hak 6:12; Mzm
129:7-8; 37:11-37).
Ø Shalom juga digunakan dalam hidup sehari-hari sebagai sebuah salam umum
(1 Sam 25:6).
Salam ini merupakan
pengharapan supaya manusia memperoleh kebaikan dan kedamaian dalam hidup.
Tampak sekali bahwa damai dipahami dalam arti rohani (Mzm 36 dan 37) sebab
damai berupa terciptanya suasana aman berada dalam rumah Tuhan (2 Sam 7:1).
Yesus
berkata: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan
kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan dunia kepadamu”
(Yoh. 14: 27). Damai macam apakah yang ditinggalkan oleh Yesus bagi kita?
Bagi
Yesus, damai berarti:
Ø
Suatu pencapaian
kebenaran dan hasil perjuangan serta pergulatan batin. Ini bukan damai lahiriah yang tergantung pada manusia lain, tetapi
damai batiniah yang sepenuhnya berakar dalam kebenaran, yaitu di dalam diri
Yesus.
Ø
Suatu rasa ketenangan hati karena orang memiliki hubungan yang bersih
dengan Tuhan, sesama, dan dunia. Damai
sejahtera yang menampakkan Kerajaan Allah.
Menurut Gereja, damai
berarti situasi selamat sejahtera dalam diri manusia. Perdamaian adalah keadilan. Perdamaian adalah hasil tata masyarakat
manusia yang haus akan keadilan yang lebih sempurna. Situasi damai adalah
situasi di mana terjadi harmoni di antara relasi-relasi yang sangat menentukan
hidup manusia yaitu relasi antara manusia dengan Tuhan, relasi manusia dengan
sesamanya, relasi manusia dengan alam semesta, dan relasi manusia dengan
dirinya sendiri.
Untuk
berjuang menegakkan perdamaian dan persaudaraan sejati, ada baiknya kita
menempuh langkah-langkah berikut:
Ø Mempelajari dengan cermat ajaran Yesus, ajaran Gereja, dan
ajaran/teladan tokoh-tokoh pejuang perdamaian.
Ø Jadikanlah usaha menegakkan perdamaian dan persaudaraan sejati ini
sebagai suatu gerakan moral dan gunakan berbagai jaringan serta libatkan
sebanyak mungkin orang tanpa membedakan agama, suku/etnis, dan ideologi.
Ø Jadikanlah gerakan moral ini suatu gerakan yang dimulai dari diri
sendiri dan komunitas basis.
Ø Mulailah dari diri dan kelompok sendiri menghayati budaya damai dan
persaudaraan sejati.
POKOK BAHASAN 32
MEMBANGUN INDONESIA YANG MAJEMUK
Semboyan
negara kita, “Bhineka Tunggal Ika” (berbeda-beda tetapi tetap satu), ingin
menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam ras, suku,
bahasa, agama, dan budaya namun tetap merupakan satu kesatuan, yaitu bangsa
Indonesia, bahasa Indonesia, dan Negara Indonesia.
Keanekaan
Bangsa Indonesia hendaklah disadari sebagai kekayaan yang patut kita syukuri
dan kita jaga. Tuhan menciptakan umat manusia dalam perbedaan maka kemajemukan
merupakan keadaan yang tak terhindarkan. Setiap orang harus belajar mengambil
sikap yang tepat dan belajar bertindak secara arif untuk biasa hidup dan
membangun masyarakat dalam keanekaan. Selain itu, keanekaan harus diterima dan
dihayati dalam satu kesatuan sebagai bangsa.
Kesatuan
kita jangan dipahami sebagai sebuah keseragaman sebab kesatuan lebih
memungkinkan keanekaragaman di dalamnya. Dengan
demikian, ungkapan “beranekaragam namun satu” di Indonesia benar-benar
mendapatkan tempatnya. Akan tetapi, kebhinekatunggalikaan itu bukanlah hal yang
sudah selesai, sempurna, dan statis melainkan harus terus menerus
dipertahankan, diperjuangkan, diisi, dan diwujudkan dalam hidup berbangsa dan
bernegara Indonesia.
Dalam
masyarakat yang majemuk seperti di negara kita ini, rawan sekali dengan
berbagai macam tantangan berupa konflik, kerusuhan, bahkan ancaman perpecahan
dan disintegrasi. Beberapa penyebabnya antara lain, ketidakadilan,
primordialisme, serta fanatisme suku/agama yang sempit. Maka dipandang perlu
bagi kita untuk tetap memperjuangkan kesatuan bangsa, salah satunya dengan cara
mengembangkan sikap toleransi yaitu menghargai semua saja yang berbeda dengan
kita (suku, agama, ras, dan antar golongan).
Dalam Perjanjian Lama,
diceritakan bahwa Bangsa Terpilih seringkali memiliki satu Tuhan, satu bangsa,
satu negeri, satu tempat ibadat, dan satu tata hukum (Ul 12). Dari sejarahnya,
ternyata ketika mereka bersatu, mereka menjadi kuat dan menjadi bangsa yang
jaya (Yos 6:1-15, 63) tetapi jika mereka terpecah, mereka menjadi bangsa lemah.
Dalam Perjanjian Baru, Yesus
ingin mempersatukan mereka dalam satu Kerajaan dan Bangsa baru yang bercorak
rohani. Tetapi Yesus mengeluh bahwa betapa sulit mempersatukan bangsa tersebut.
Mereka seperti anak ayam yang kehilangan induknya (Mat 23:37-38). Yesus bahkan
berusaha untuk menyapa suku yang dianggap bukan Yahudi lagi seperti orang
Samaria. Bagi Yesus, siapapun sama dan sederajat. Yesus tidak pernah membedakan
manusia berdasar suku, agama, golongan, dsb. Tuhan menyatakan diriNya untuk
semua orang dan memberi kesempatan kepada siapa pun untuk bersaudara.
Sikap orang Kristiani yang perlu
diusahakan adalah:
·
Sikap-sikap yang bersifat mencegah perpecahan misalnya dengan menghapus
semangat primordial dan sektarian.
·
Sikap-sikap yang positif dan aktif misalnya dengan saling menghargai,
bertoleransi, rendah hati dan solider terhadap yang tertindas, bahu membahu
menata masa depan yang lebih indah, adil, makmur dan sejahtera.
Mengusahakan tata kehidupan yang adil dan beradab serta mengusahakan kegiatan dan komunikasi lintas suku, agama, dan ras.
Mengusahakan tata kehidupan yang adil dan beradab serta mengusahakan kegiatan dan komunikasi lintas suku, agama, dan ras.
Ketika
para Bapak Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, cita-cita
mereka adalah Indonesia nan jaya, adil, makmur dan damai sejahtera bagi seluruh
rakyatnya (sila kelima pancasila). Akan tetapi situasi politik dewasa ini
dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok dan tidak ada usah serius
untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama. Bukan kepentingan bangsa yang
diutamakan melainkan kepentingan kelompok dan kepentingan pribadi saja.
Terjadilah pengkotak-kotakan masyarakat yang akhirnya melahirkan berbagai macam
bentuk kekerasan.
Sedangkan dalam bidang ekonomi,
negeri kita praktis dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki modal atau
kekayaan yang sangat besar. Selain itu, tatanan ekonomi yang berjalan di
Indonesia mendorong kolusi kepentingan antara pemilik modal dan pejabat untuk
mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Akibatnya, terjadi penggusuran,
eksploitasi alam, serta berbagai masalah sosial seperti ketidakadilan dan
kemiskinan.
Akar masalahnya adalah:
·
Kurangnya iman yang menjadi sumber inspirasi kehidupan nyata.
·
Kerakusan akan kekuasaan
dan kekayaan.
·
Nafsu untuk mengejar
kepentingan sendiri.
·
Dalil “mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara” yang dianut.
Pada
zaman Yesus, rakyat jelata mengalami ketidakadilan dan penindasan yang secara
semena-mena dilakukan oleh para penguasa dan pemimpin-pemimpin agama.
Berhadapan dengan hal tersebut, Yesus tidak tinggal diam atau bersifat
kompromistis, melainkan tak segan-segan mengkritik para pelaku penindasan dan
ketidakadilan dengan kecaman-kecamannya (Mat 11,8; Luk 13,22; Mat 23,14-23). Ia
juga mewartakan Kerajaan Allah bukan hanya dengan perkataanNya melainkan dengan
perbuatan-perbuatannya. Ia ingin para penguasa dan pemimpin agama ikutserta
menegakkan nilai-nilai Kerajaan Allah seperti keadilan, cinta kasih, dan
perdamaian.
Ciri
khas pembebasan yang dilakukan oleh Yesus adalah:
·
Terbit dari batin manusia
lalu terwujud dalam masyarakat.
·
Berupa pertobatan, yaitu
suatu peralihan sikap dari segala praktik egoistis kepada sikap mengabdi Allah
dan sesama.
Sebagai umat Kristiani, kita hendaknya berusaha dan berjuang untuk
membangun etika dan moralitas yang mengutamakan kepentingan umum (bonum
commune), yaitu kesejahteraan yang merata bagi seluruh warga. Untuk itu, ada
delapan prinsip dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera, yaitu:
hormat terhadap martabat manusia, kebebasan, keadilan, solidaritas,
subsidiaritas, sikap jujur dan tulus iklas, demokrasi, serta tanggung jawab.
Dalam Injil Matius dikatakan : ”Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan
orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang
di surga” (Mat 5:16). Hal yang mau ditekankan dalam teks tersebut dalam
konteks kehidupan berbangsa adalah potensi dan kemampuan diri digunakan
sebagai saluran berkat bagi sesama
Cara, pola, dan
pendekatan perjuangan kita harus merupakan gerakan yang melibatkan sebanyak mungkin
orang mulai dari tingkat basis. Beberapa hal yang perlu diperhatikan menyangkut
gerakan tersebut adalah:
1. Gerakan ini merupakan gerakan pembaruan pikiran dan roh.
2. Gerakan pembaruan ini hendaknya menjadi gerakan sosial dan moral ke arah
pertobatan dan hidup baru.
3. Gerakan pembaruan ini hendaklah sungguh dilaksanakan sebagai suatu
gerakan sosial, moral, dan rohani yang bermuara pada aksi untuk pembangunan
masyarakat yang adil dan sejahtera.
4. Gerakan ini sebaiknya menjadi gerakan semua orang yang hendaklah dimulai
dari diri sendiri dan kelompok sendiri.
Dewasa ini banyak orang mengatakan bahwa semangat nasionalisme dan cinta
pada bangsa dan tanah air akhir-akhir ini semakin memudar. Beberapa alasan yang
muncul adalah sebagai berikut:
·
Tidak adanya motivasi yang kuat untuk mencintai bangsa dan tanah air.
·
Bangsa kita mungkin sudah dijangkiti oleh semangat materialistik dan
konsumeristik yang memupuk sikap “ingat diri dan golongan” daripada “ingat
bangsa dan tanah air”.
·
Mungkin saja pendidikan untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan
cinta bangsa dan tanah air kurang digalakkan.
Padahal, sebagai warga Negara yang lahir dan
besar di tanah Indonesia, kita hendaknya mencintai Tanah Air kita. Kita
hendaknya pula bangga sebagai bagian dari Bangsa Indonesia. Hal-hal yang
menjadi kebanggaan kita, antara lain:
·
Kebanggaan atas bangsa
dan kebudayaan kita yang beraneka ragam.
·
Kebanggaan atas sejarah
kita.
·
Kebanggaan atas alam kita
yang kaya dan indah.
Sebagai orang Kristiani, kita dituntut untuk mencintai bangsa dan tanah
air kita. Bukan hanya oleh Negara tetapi juga ajaran iman kita sebab Tuhan
menciptakan Indonesia yang indah ini untuk menyerahkannya kepada kita untuk
dilestarikan, seperti Ia telah menyerahkan Taman Firdaus kepada Adam dan Hawa
untuk diolah dan dirawat.
Dalam Kitab Suci, Allah membentuk suatu bangsa sebagai bangsa terpilih
dan menjanjikan kepada mereka suatu tanah air sebagai tanah air terjanji. Kisah
ini merupakan sebuah simbol yang mau menunjukkan bahwa Allah berkeinginan
menjadikan semua bangsa menjadi bangsa terpilih, dan mereka senantiasa
dijanjikan suatu tanah air.
Waktu Yesus hidup di bumi
ini, Ia terlahir sebagai warga Yahudi dan bertanah air Palestina. Yesus
menyamakan diriNya dengan Bangsa Yahudi. Ia berbicara dengan bahasa mereka,
ikut serta dalam tradisi-tradisi mereka da kehidupan bermasyarakat mereka. Ia
mencintai bangsa dan negeriNya. Sebagai warga bangsa yang baik, Ia mengikuti
hukum dan tradisi negeriNya termasuk membayar pajak
Rasul
Paulus dalam suratnya kepada Titus berpesan supaya umat sebagai warga yang baik
selalu taat dan siap melakukan setiap pekerjaan yang baik bagi Negara (Tit 3,1)
dan menasihati agar umat patuh kepada pemerintah Negara (Rm 13,1-7; 1Ptr
2,13-17) dan mendoakannya (1Tim 2,2)
Ada
banyak cara yang dapat menjadi ungkapan nyata kepada bangsa dan tanah air dalam
berbagai bidang kehidupan, misalnya bidang kenegaraan, kebudayaan, ekonomi,
serta pertahanan dan keamanan. Misalnya, ikut serta dalam kelompok-kelompok
yang melestarikan budaya, alam, dll.
Bangsa
Indonesia saat ini sedang mengalami suatu krisis secara fundamental dan
menyeluruh. Banyaknya masalah yang berupa ancaman, hambatan, tantangan dan
gangguan yang dihadapi Indonesia datang bertubi-tubi. Ditambah lagi masalah-
masalah bencana alam yang memang sudah menjadi bagian dari alam Indonesia, dan
juga karena proses perusakan hutan secara masif dan sistematis untuk
kepentingan bisnis kalangan tertentu. Krisis yang dialami Indonesia ini menjadi
sangat multidimensional. Mulai dari krisis ekonomi yang tidak kunjung berhenti,
sehingga berdampak pula pada krisis sosial dan politik, yang pada
perkembanganya justru menyulitkan upaya pemulihan ekonomi. Konflik horizontal
dan vertical yang terjadi dalam kehidupan sosial, disertai dengan lemahnya
penegakan hukum, tentu sangat berpotensi
melahirkan disintegrasi bangsa. Apalagi bila melihat bahwa bangsa Indonesia
merupakan bangsa yang plural seperti beragamnya suku, budaya daerah, agama dan
berbagai aspek politik lainnya, serta kondisi geografis sebagai negara
kepulauan yang tersebar dari Sabang sampai ke Merakue. Semua ini merupakan
tantangan besar yang apabila tidak
dikelolah dengan baik maka akan sangat mengganggu proses pembangunan untuk
mewujudkan kehidupan bangsa yang sejahtera, adil dan makmur sesuai cita-cita
para pendiri bangsa ini.
Umat
Katolik Indonesia sebagai bagian dari integral dari bangsa Indonesia tentu saja
ikut bertanggungjawab atas krisis yang sedang terjadi. Tantangan yang dihadapi
bangsa Indonesia adalah tantangan bagi umat Katolik juga. Karena itu tantangan-
tantangan yang ada dapat menjadi peluang bagi umat Katolik untuk ikut
merestorasi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang lebih baik. Gereja
Katolik mealalui Konsili Vatikan II
mengajarkan antara lain bahwa “...Gereja, yang bertumpu pada cinta kasih
Sang Penebus, menyumbangkan bantuannya, supaya di dalam kawasan bangsa sendiri
dan antara bangsa-bangsa makin meluaslah keadilan dan cinta kasih. Dengan mewartakan kebenaran Injil, dan
dengan menyinari semua bidang manusiawi melalui ajaran-Nya dan melalui
kesaksian umat kristen, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan
serta tanggung jawab politik para warganegara.” (KV II, GS art. 76). Dalam
kancah tanggungjawab bersama dalam pembangunan bangsa Indonesia, sejak sebelum
dan sesudah kemerdekaan, bahkan sampai saat ini, sudah banyak tokoh-tokoh
Katolik, baik lokal maupun nasional di pelbagai sektor kehidupan, memberikan
sumbangsihnya bagi bangsa Indonesia. Kita
memiliki beberapa pahlawan nasional, sebut saja; Yosafat Sudarso, Slamet
Riyadi, Adisucipto, Mgr. Sugiyapranoto, I.J. Kasimo, Frans Seda dan lain
sebagainya.
Tentang
Penulis :
A. Donny
Reston, lahir di Makassar, memperoleh Gelar S-1 (Sarjana Sastra) dari
Fakultas Pontifical Teologi Wedabhakti (FTW), Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
(2004) dan Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Makassar (2007). Lulus
Sertifikasi Guru Tahun 2010. Menjadi Ketua MGMP Pendidikan Agama Katolik Kota
Makassar, Kabupaten Gowa dan Kabupaten Maros periode 2014 – 2017. Saat ini
mengajar di SMA Katolik Cenderawasih Makassar.
Terima kasih atas ringkasan materi-materinya
BalasHapussangat membantu untuk saya yang tdk kuliah di bidang itu tapi karena tidak adanya guru agama katolik di sekolah saya diminta untuk mendampingi siswa yang beragama katolik
sekali lagi terima kasih Berkah Dalem
Mantap materinya Pak
BalasHapus