GEREJA YANG MEMBANGUN PERSEKUTUAN
(KOINONIA)
Doa Pembuka
Bapa yang penuh kasih, terima
kasih atas kasih karunia-Mu yang telah menghimpun kami di sini menjadi satu
persekutuan atas nama Yesus Putera-Mu. Berkatilah kami dalam kegiatan belajar
ini sehingga semakin memahami makna persekutuan dalam Gereja, dan menghayatinya
dalam hidup menggereja kami, demi Yesus Kristus Putra-Mu, Tuhan dan Juruselamat
kami. Amin.
Pemikiran Dasar
Gereja bukan sekadar
organisasi saja, tetapi merupakan kumpulan anggota Umat Allah yang hidup
bersekutu, bersatu dalam nama Tuhan. Apa beda Perusahaan (Organisasi) dan Gereja?
Dalam suatu organisasi
kalau salah satu
departemennya “mogok” paling-paling
yang mogok itu di-PHK, kemudian manajemen mencari orang lain menggantikan. Akan
tetapi di dalam Gereja kalau ada salah satu anggotanya mogok, kita akan
usahakan supaya dia kembali. Kita akan berusaha memahami kesulitannya, kita
akan mendoakan dia, kita akan menolong dia, kita akan membesuk dia, kita akan
turut simpati keadaannya. Singkat kata, kita dalam semangat kebersamaan
berusaha menolong anggota Gereja yang mengalami kesulitan atau kesusahan karena
kita adalah satu kesatuan keluarga Allah (Gereja).
Dalam Kitab
Suci, dikatakan; Demikianlah
kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan
kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah (Efesus
2:19). Artinya, bahwa
kesatuan dan kebersamaan orang-orang percaya di dalam Kristus disebut
persekutuan. Kata yang dipakai untuk persekutuan dalam bahasa Yunani adalah
Koinonia yang berasal dari kata dasar koinos yang berarti lazim atau umum.
Artinya, berkaitan dengan kebersamaan. Dalam Galatia 2:9, digambarkan bahwa
Paulus dan Barnabas dengan berjabatan tangan sebagai tanda persekutuan diterima
secara penuh dalam persekutuan yang dijadikan oleh iman bersama kepada Kristus.
Tanda hubungan erat antara kedua belah pihak, bahwa mereka bersekutu dalam
Kristus. Maka, koinonia (persekutuan) mempunyai dasar dan tujuan yang berasal
dari Yesus Kristus. Dasar dan tujuan ini tidak dapat diganti dengan
dasar dan tujuan yang lain. Jikalau persekutuan ini mengganti dasar, yang sudah
diletakkan oleh dan di dalam Yesus Kristus, maka persekutuan ini kehilangan
hakikatnya dan secara azasi bukan persekutuan (koinonia) lagi. Koinonia adalah
persekutuan jemaat di dalam Kristus, walaupun banyak anggota, membentuk satu
tubuh Kristus. Di dalam Koinonia ini kita tidak hanya sekedar bersekutu, tetapi
kita mengabarkan Injil Kerajaan Allah melalui perkataan/kesaksian (Martyria)
maupun perbuatan/pelayanan (Diakonia) dimana saja kita berada.
Pada pelajaran ini, para
peserta didik dibimbing untuk memahami makna dan hakikat Gereja yang membangun
persekutuan, antara lain melalui gerakan Komunitas Basis Gerejani (KBG) yang
telah dicanangkan pada Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI). Peserta
didik diharapkan menghayati semangat persekutuan umat itu di lingkungan dimana
ia berada.
Menggali Pemahaman tentang Makna Gereja yang Membangun Persekutuan
Mengamati Makna Persekutuan Umat
“Sekitar 60 orang yang terdiri
atas Pastor, Bruder, Suster, dan Awam dari tujuh paroki di Kevikepan Kepulauan
Bangka-Belitung sepakat untuk terus mengembangkan Komunitas Basis Gerejani
(KBG). Kesepakatan tersebut dibuat pada akhir sinode yang diadakan pada 14-15
Juni di Rumah Retret Puri Sadhana, Bangka Tengah. Uskup Pangkalpinang Mgr.
Hilarius Moa Nurak, S.V.D. turut hadir pada pertemuan tersebut.“Semua orang
menyarankan agar KBG terus dikembangkan di sini,” kata Pastor Fransiskus Tatu
Mukin. Ia mengatakan ada dua alasan untuk terus mengembangkan komunitas basisi.
Pertama karena Keuskupan Pangkalpinang melayani wilayah yang terdiri atas
beberapa pulau. Kedua, umat Katolik tinggal berjauhan, bahkan ada yang tinggal
di pulau kecil yang sama sekali tidak terhubungkan dengan paroki terdekat. “KBG
memungkinkan umat Katolik membangun semangat persaudaraan di antara mereka dan
juga dengan pengikut agama lain. Melalui KBG, orang-orang yang punya jiwa
melayani bisa tampil,” katanya. Kevikepan Bangka-Belitung sudah memulai
komunitas basis sejak tahun 1995 dan dijadikan prioritas pada sinode tahun
2000.
Dalam homili pada penutupan
sinode, Mgr Hilarius mengatakan pemberdayaan komunitas basis merupakan
perwujudan dari Gereja partisipatif di Kevikepan tersebut.“KBG bisa diartikan
sebagai persatuan antara Umat Tuhan yang selalu melihat Kristus sebagai pusat
dari segala sesuatu dan yang melanjutkan misi Kristus dalam kehidupan mereka
sehari-hari,” kata Uskup. KBG merupakan kelompok orang Kristen di tingkat
keluarga atau tetangga, yang datang dan berkumpul bersama untuk berdoa, membaca
Kitab Suci, katekese, serta diskusi tentang masalah keseharian manusia dan
gereja dengan tujuan untuk tercapai komitmen bersama.” (ucanews. com)
Menggali Ajaran Kitab Suci
tentang Persekutuan Umat (Komunitas
Basis Gerejani)
Kisah
Para Rasul 4:32-37
32Adapun kumpulan
orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorang pun
yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi
segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama.
33Dan dengan kuasa
yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan
mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah.
34Sebab tidak ada
seorang pun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang
mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu
mereka bawa
35dan mereka
letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang
sesuai dengan keperluannya.
36Demikian pula
dengan Yusuf, yang oleh rasul-rasul disebut Barnabas, artinya anak penghiburan,
seorang Lewi dari Siprus.
37Ia menjual
ladang, miliknya, lalu membawa uangnya itu dan meletakkannya di depan kaki
rasul-rasul.
Penjelasan
Gambaran tentang persekutuan umat atau komunitas basis
model jemaat perdana (Kis 4:32-37) dapat menjadi model atau cermin bagi kita
untuk membangun persekutuan umat atau Komunitas Basis. Model Komunitas
Umat perdana itu tidak dimaksudkan hanya untuk kelompok kecil umat saja, tetapi
sesungguhnya model hidup
(gaya hidup) Jemaat Perdana itu juga merupakan patron dan acuan untuk model
atau cara hidup Gereja (umat beriman) sepanjang waktu, partikular maupun
universal. Artinya bahwa cara hidup jemat perdana itu juga tetap merupakan
cita-cita yang terus-menerus diupayakan, diperjuangkan, dan diwujudkan oleh
umat beriman sepanjang waktu.
Ciri-ciri utama cara hidup jemaat perdana itu nampak
sangat menonjol dalam lima hal yaitu adanya:
a)
persaudaraan/persekutuan,
b)
mendengarkan
Sabda/pengajaran,
c)
pelayanan
terhadap sesama/solidaritas,
d)
perayaan
iman/pemecahan roti/doa, dan
e)
memberi
kesaksian iman (tentang Tuhan) melalui cara hidup mereka.
Karena cara hidup mereka itu, mereka disukai semua
orang, jumlah mereka makin lama makin bertambah dan mereka sangat dihormati
orang banyak.
Perlu dipahami bahwa cara hidup berkomunitas seperti
yang mereka miliki itu muncul karena tuntutan situasi dan lingkungan yang
mengharuskan mereka untuk menemukan cara baru sebagai orang-orang yang telah
dibaptis, yang percaya kepada Tuhan. Bisa dimengerti pada waktu itu,
sekitar awal-awal abad pertama mereka masih merupakan kelompok kecil di tengah kelompok
(lingkungan) lain yang jauh lebih besar, bahkan mungkin mengancam mereka juga.
Sebagai kelompok kecil, yang baru
memiliki identitas sendiri sebagai orang beriman, yang berbeda dari orang-orang lain
di sekitar mereka, mau tidak mau mereka harus bersekutu, bersaudara, saling memperhatikan, saling
membantu, dan harus memberikan kesaksian bahwa mereka adalah orang-orang yang
baik (sebagai orang yang percaya) agar mereka dapat diterima dan dihargai oleh
orang-orang lain di sekitar mereka. Itu semua mereka lakukan demi iman mereka akan Tuhan Yesus.
Iman mereka menjadi penggerak utama dan sekaligus menjadi sumber kekuatan bagi
mereka, untuk melakukan apa yang terbaik bagi diri mereka sendiri dan juga bagi
orang lain di sekitar mereka.
Apa yang mereka lakukan
sebetulnya merupakan suatu proses pemahaman akan jati diri mereka sebagai orang
beriman. Kiranya karena keadaan lingkungan yang menuntut, mereka berusaha mengenal diri mereka
sendiri, sesungguhnya siapa mereka atau apa ciri khas mereka sebagai orang
beriman, bagaimana mereka harus berada di tengah lingkungan masyarakat
dan apa yang harus mereka lakukan? Juga cara mereka mengatur persekutuan (paguyuban) dan melayani
kebutuhan sesama warga komunitas sejauh kita bisa amati dalam Kisah Para Rasul
itu, lebih bersifat spontan dan sukarela, muncul dari dorongan hati nurani,
dengan kerendahan hati dan ketulusan masing-masing. Kiranya tidak bisa
dikatakan bahwa mereka merupakan komunitas yang sudah jadi atau sudah mapan. Kegiatan mereka pastilah belum
berdasarkan rumusan visi, misi, strategi, dan program kerja serta anggaran dana
operasional seperti yang kita mau lakukan. Mereka belum mengenal ilmu
manajemen yang sangat menekankan sistem, struktur serta mekanisme kerja yang
jelas dan rapi, dengan aturan main dan batasan-batasan kewenangan yang jelas.
Kiranya cara mereka mengatur
kebersamaan jauh dari kecanggihan sistim dan metode-metode seperti yang kita
gulati sekarang.
Namun tampak sekali dari
cerita seperti yang dipaparkan dalam Kisah para rasul itu bahwa mereka
merupakan komunitas yang sangat hidup, sangat terbuka, sangat aktif dan sangat
dinamis. Yang paling menarik ialah cara hidup mereka, cara berada mereka sangat
efektif, berdampak sangat positif bagi orang-orang lain di sekitar mereka,
sehingga mereka disukai semua orang (Kis 2:47), jumlah orang yang percaya
kepada Tuhan makin hari makin bertambah (Kis.2:47; Kis. 5:14), dan mereka
sangat dihargai oleh orang banyak (Kis. 5:13).
Hal yang sangat penting bahwa iman mereka akan Tuhan adalah
landasan atau sokoguru atau tulang pungggung dari segala upaya yang mereka
lakukan untuk meneguhkan keberadaan mereka
di tengah lingkungan
(di tengah dunia),
dan untuk mewartakan atau memberikan kesaksian tentang apa yang mereka
percaya. Sementara itu, hal-hal lain yang pada permukaan tampak dalam wujud tindakan sosial
dan ekonomi, aksi solidaritas, kepedulian kepada sesama, menolong, dan
menyembuhkan orang sakit (Kis. 5:16) merupakan buah, hasil atau dampak
dari iman mereka kepada Tuhan, merupakan hasil dari upaya meneguhkan dan
mewartakan iman mereka sendiri. Maka, komunitas Jemaat Perdana adalah komunitas iman, komunitas spiritual,
komunitas yang digerakkan oleh Roh Kudus, komunitas orang- orang yang bertobat
(mau berubah), bukan komunitas yang terbentuk pertama-tama karena alasan-alasan
(kepentingan) sosial, ekonomi atau kekuasaan. Tatanan duniawi, urusan
sosial-ekonomi justru diresapi, dijiwai, digerakkan, oleh/karena iman mereka
akan Tuhan itu dan bukan sebaliknya.
Doa Penutup
Allah Bapa yang Mahabaik, kami
bersyukur telah mendengar firman-Mu melalui kegiatan belajar ini. Semoga apa
yang kami peroleh dalam pelajaran tentang Gereja yang membangun persekutuan
ini, dapat menguatkan kami untuk ikut ambil bagian sebagai anggota Gereja dalam
membangun persekutuan umat demi kemuliaan-Mu sepanjang segala masa. Amin.
Pertanyaan:
1. Bagaimanakah komunitas
jemaat perdana berdasarkan Kisah Para
Rasul 4:32-37?
2. Ciri-ciri utama cara hidup
jemaat perdana nampak dalam 5 hal. Sebutkan!
3. Apa perbedaan antara Gereja
dan perusahaan sebagai sebuah organisasi?
4. Apa makna koinonia
berdasarkan Efesus 2:19 dan Galatia 2:9?
GEREJA YANG MEMBANGUN PERSEKUTUAN
(KOINONIA)
Doa Pembuka
Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh
Kudus. Amin.
Allah Bapa yang Mahakuasa, Roh
Kudus telah menyatukan kami untuk berbakti, bersatu, berkomunitas untuk menimba
semangat cinta kesatuan dan persaudaraan. Melalui pertemuan ini, sanggupkanlah
kami untuk termotivasi menghayati semangat Putera-Mu, semangat persekutuan yang
menguduskan sebagaimana tubuh Kristus menguduskan kami dan Gereja-Nya. Demi
Kristus Tuhan dan pengantara kami. Amin.
Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh
Kudus. Amin.
Langkah pertama: menggali pengalaman hidup persekutuan
1. Apersepsi
Guru
mengawali kegiatan pembelajaran dengan berdialog bersama peserta didik dan mengajak mereka mengingat
kembali tema pembelajaran sebelumnya tentang tugas karya Gereja menjadi saksi
Kristus dan penugasan yang diberikan. Misalnya, adakah kesulitan atau hambatan
dalam melaksanakan tugas Gereja menjadi saksi Kristus dalam hidupmu sehari-hari
di rumah, lingkungan Gereja dan masyarakat?
Selanjutnya
guru menyampaikan materi pembelajaran saat ini yaitu tentang tugas Gereja yang
membangun persekutuan (koinonia). Berkaitan dengan materi pembelajaran ini,
guru dapat memotivasi peserta didik dengan pertanyaan, misalnya apa tugas
Gereja yang membangun persekutuan (koinonia) dan apa bentuk perwujudan tugas
membangun persekutuan itu dalam hidup sehari-hari? Untuk memahami hal itu,
marilah kita memulai pembelajaran dengan menyimak cerita berikut ini.
2. Mengamati
realita kehidupan
Peserta
didik membaca dan menyimak artikel berita tentang salah satu gerakan komunitas
basis Gerejawi di masyarakat. (Guru dapat menggunakan cerita lain yang sesuai).
Aksi Solidaritas Umat Katolik
Menolong Sesamanya Membangun Rumah Warga
Persekutuan
umat Katolik yang terhimpun dalam Komunitas Basis Gerejawi (KBG) St.
Kristoforus, Paroki St. Paulus, Depok, Keuskupan Bogor bergotong royong
membangun rumah salah satu warganya dengan penuh semangat persaudaraan.
Kisah
ini terjadi pada tahun 1998 dimana ada
seorang warga di KBG St. Kristoforus yang terkena pemutusan hubungan kerja
(PHK) dari sebuah kedutaan asing di Jakarta. Sebagian dari uang PHK –nya
digunakan untuk membeli tanah kosong di
daerah Susukan, Bojonggede, Kabupten Bogor. Ternyata setelah membeli lahan
kosong itu, ia mengalami kekurangan dana
untuk membangun rumah tempat tinggal bersama keluarganya. Lokasi tanah yang
dibeli kala itu cukup jauh dari jalan raya, dan untuk mecapai lokasi tersebut,
harus melalui jalan setapak melewati semak
belukar perkebunan penduduk setempat.
Meski
di tengah kebun yang cukup jauh dari
perkampungan, warga Katolik ini membangun rumah sementara atau tepatnya pondok
untuk tempat mereka bernaung. Bahan baku rumah dibuat dari bambu dan dipasang
dibawah sebuah pohon besar. Sebagai dinding rumah, ia membuatnya dari seng.
Selama hampir setahun keluarga dengan empat orang anak saat itu berdiam di
dalam rumah sederhananya dengan penerangan petromax atau lampu gas di malam
hari. Sebelumnya mereka tinggal di rumah kontrakan di Jakarta Selatan. “Dari
pada membayar kontrakan, lebih baik tinggal di rumah sendiri, meski sederhana
di tengah kebun yang sepih”, kata bapak ini.
Beberapa
bulan kemudian, keluarga ini melaporkan keberadaannya pada pengurus komunitas umat Katolik yang ada di sekitar
tempat tinggalnya, yang kemudian hari diberi nama Wilayah St. Kristoforus,
Paroki St. Paulus Depok. Pengurus KBG berkunjung ke tempat kediaman keluarga
itu dan merasa tersentuh hatinya melihat kondisi rumah yang sangat sederhna
itu.
Pengurus
KBG pun berdiskusi dan memutuskan agar umat bergotongroyong membangun rumah
warganya tersebut. Pastor Paroki St. Paulus Depok pun mendukung gerakan
solidaritas umat untuk membangun rumah yang layak huni bagi keluarga itu.
Sumbangan
umat pun berdatangan, ada yang menyumbang semen, ada yang menyumbang pasir, ada
yang menyumbang batu kali, tripleks, ubin, batang bambu, balok, usuk, dan
lain-lain. Setelah terkumpul, dicarikan tukang di kalangan umat sendiri dan
mulailah dibangun rumah itu. Dalam waktu sebulan rumah itu telah berdiri meski
belum sepenuhnya utuh. Prinsipnya rumah itu layak untuk dihuni, sehingga
terhindar dari panas matahari dan guyuran air di musim hujan.
Selain
keluarga ini, ada juga keluarga Katolik di lingkungan atau KBG yang nasibnya
serupa. Umat di lingkungan atau wilayah pun melakukan hal yang sama yaitu
bersatu, bergotong royong membangun rumah warga seiman yang sangat membutuhkan
uluran tangan sesamanya itu.
Solidaritas Umat Katolik di masa
Pandemi Covid -19
Selama
masa pandemi Covid-19 ini, gerakan solidaritas
umat di wilayah rohani ini terus berkobar membantu yang terpapar covid
dengan suplemen dan obat- obatan, maupun memberikan paket sembako bagi
keluarga-keluarga yang terdampak pada pekerjaannya. Paroki pun turut mensupport
bansos selama masa covid ini untuk keterpenuhan kebutuhan dasar umat yang
terkena dampak secara ekonomi keluarga. (Daniel Boli Kotan).
3. Pendalaman
Peserta
didik berdiskusi dalam kelompok kecil untuk mendalami artikel berita dengan
pertanyaan-pertanyaan berikut ini.
a. Apa
isi artikel berita di atas?
b. Mengapa
umat Katolik mau membangun rumah salah satu warganya?
c. Apa
yang kalian ketahui dan pahami tentang Komunitas Basis Gerejawi?
d. Apa
nama kelompok basis umat Katolik di parokimu? Apa saja kegiatan dalam kelompok
umatmu itu?
4. Melaporkan
hasil diskusi
Peserta
didik melaporkan hasil diskusi kelompoknya dan kelompok lain dapat
menanggapinya.
5. Penjelasan
Setelah
mendengar laporan hasil diskusi kelompok, guru memberikan penjelasan sebagai
peneguhan.
a. Umat
dari KBG atau wilayah St. Kristoforus, Paroki St. Paulus Depok sebagai sebuah
komunitas umat beriman kristiani merasa terpanggil untuk membantu sesamanya
yang sangat membutuhkan pertolongan. Semangat persaudaraan dan solidaritas
diwujudkan dengan cara berbagi apa yang mereka miliki dan tenaga untuk bersama-sama
bekerja gotong royong membangun rumah salah satu warganya.
b. Semangat
persaudaraan, solidaritas dan gotongroyong
dalam komunitas umat beriman kristiani tetap hidup dan berkobar hingga
saat ini ketika negeri kita dan dunia mengalami bencana pandemi covid-19. Umat
saling bahu membahu memerhatikan anggota umat yang terdampak langsung Covid-19.
c. Pengertian
KBG. Menurut Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) tahun 2000
adalah cara hidup
berdasarkan iman, jumlah
anggotanya tidak terlalu banyak, komunikasi terbuka antar-anggota dalam
semangat persaudaraan, membangun solidaritas dengan sesama, khususnya dengan
saudara yang miskin dan tertindas. Inspirasi dasar pemahaman demikian adalah
teladan hidup jemaat perdana sehingga komunitas basis merupakan Gereja mini
yang hidup dinamis dalam pergumulan iman. Dengan cara seperti ini, diyakini
bahwa kehadiran Gereja bisa lebih mengakar, lebih kontekstual dan mampu
menjalankan perannya untuk menjadi terang dan menggarami dunia seturut irama
zaman.
d. SAGKI
2000 mengakui bahwa sebagai bagian integral dari bangsa, umat Katolik Indonesia
sepenuhnya ikut menghadapi permasalahan dan tantangan- tantangan yang dihadapi
bangsa Indonesia, seperti reformasi, situasi penuh ketakutan dan penderitaan.
Peserta sidang berkeyakinan bahwa KBG merupakan jawaban yang tepat untuk
pertanyaaan: “Bagaimana kita umat Katolik sebagai warga masyarakat melibatkan
diri dalam pergumulan bangsa ini mewujudkan Indonesia baru yang lebih adil,
lebih manusiawi, lebih damai dan memiliki keputusan hukum?”
Langkah kedua: menggali ajaran Kitab Suci tentang persekutuan
(koinonia)
1. Membaca
dan menyimak teks Kitab Suci
Peserta
didik membaca dan menyimak Kisah Para Rasul 4:32–37.
32Adapun
kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak
seorang pun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya
sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama.
33Dan
dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan
Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah.
34Sebab
tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang
yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan
itu mereka bawa
35dan
mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap
orang sesuai dengan keperluannya.
36Demikian
pula dengan Yusuf, yang oleh rasul-rasul disebut Barnabas, artinya anak
penghiburan, seorang Lewi dari Siprus.
37Ia
menjual ladang, miliknya, lalu membawa uangnya itu dan meletakkannya di depan
kaki rasul-rasul
2. Pendalaman
Setelah
menyimak teks Kitab Suci, peserta didik mendalami dengan pertanyaan- pertanyaan
berikut:
a. Apa
yang dikisahkan pada cerita Kitab Suci tadi?
b. Apa
arti persekutuan menurut Kitab Suci?
c. Apa
ciri-ciri persekutuan umat?
d. Apa
fungsi persekutuan umat?
3. Penjelasan
Setelah
berdiskusi guru memberikan penjelasan sebagai peneguhan.
a. Gambaran
tentang persekutuan umat atau komunitas basis model jemaat perdana (Kis.
4:32–37) dapat menjadi model atau cermin bagi kita untuk membangun persekutuan
umat atau Komunitas Basis, atau lingkungan rohani atau apapun istilahnya sesuai
kebiasaan Gereja setempat atau Gereja lokal.
b. Model komunitas
umat perdana itu
tidak dimaksudkan hanya
untuk kelompok kecil umat saja, tetapi sesungguhnya model hidup (gaya
hidup) jemaat perdana itu juga merupakan patron dan acuan untuk model atau cara hidup Gereja (umat beriman)
sepanjang waktu, partikular maupun universal. Artinya bahwa cara hidup jemat
perdana itu juga tetap merupakan cita-cita yang terus-menerus diupayakan,
diperjuangkan dan diwujudkan oleh umat beriman sepanjang waktu.
c. Ciri-ciri
utama cara hidup jemaat perdana itu tampak sangat menonjol dalam lima hal,
yaitu adanya:
1) persaudaraan/persekutuan;
2) mendengarkan
sabda/pengajaran;
3) pelayanan
terhadap sesama/solidaritas;
4) perayaan
iman/pemecahan roti/doa;
5) memberi
kesaksian iman (tentang Tuhan) melalui cara hidup mereka.
d. Karena
cara hidup mereka itu, mereka disukai semua orang, jumlah mereka makin lama
makin bertambah dan mereka sangat dihormati orang banyak.
Langkah ketiga: menghayati persektuan (koinonia)
1. Refleksi
Peseta
didik menuliskan refleksi tentang semangat membangun persekutuan umat
(koinonia) dalam hidupnya sebagai anggota Gereja.
2. Aksi
Peserta
didik menulis rencana aksi untuk mengambil bagian dalam persekutuan umat di
sekolah, lingkungan rohani, komunitas umat basis atau dan lain-lain.
Doa Penutup
Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh
Kudus. Amin. Allah Bapa di surga, bersama Gereja-Mu yang kudus, kami bersyukur dan
berterima kasih,
telah menyelesaikan pembelajaran
ini, kami memperoleh pengetahuan dan tumbuhnya iman. Tuhan, semoga kami sanggup
dan mampu membangun, berpartisipasi dalam komunitas Gereja-Mu, menciptakan
kerukunan, kedamaian, kemajuan, saling mengasihi dalam persaudaraan atau
persekutuan; mendengarkan sabda pengajaran, pelayanan terhadap sesama atau
solidaritas serta perayaan iman atau pemecahan roti/doa; sanggupkan kami untuk
memberi diri kami dalam kesaksian iman melalui cara hidup kami. Karena Kristus
Tuhan dan Juru Selamat kami. Amin. Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus.
Amin.
Rangkuman
1. Perjuangan
KBG di tengah masayarakat antara lain mewujudkan nilai toleransi kehidupan
beragama dan dapat terus diwariskan
kepada anak cucu serta mendapat jaminan
dari pemerintah.
2. Pengertian
KBG. Menurut Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) tahun 2000
adalah cara hidup
berdasarkan iman, jumlah
anggotanya tidak terlalu banyak, komunikasi
terbuka antaranggota dalam semangat persaudaraan, membangun solidaritas dengan
sesama, khususnya dengan saudara yang miskin dan tertindas. Inspirasi dasar
pemahaman demikian adalah teladan hidup jemaat perdana sehingga komunitas basis
merupakan Gereja mini yang hidup dinamis dalam pergumulan iman.
3. Gereja
purba atau Gereja perdana telah menunjukkan satu sikap komuniter yang sangat
menyolok. Menurut Kisah Para Rasul, komunitas perdana di Yerusalem hidup
“sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari
kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan
mereka bersama.”(Kis. 4:32) Jadi, sejak awal mulanya, Gereja lebih menyerupai
sebuah komunitas yang rukun dan saling mengasihi, daripada sebuah perkumpulan
orang yang beraskese secara individualistis.
4. Ciri-ciri
utama cara hidup jemaat perdana itu nampak sangat menonjol dalam lima hal yaitu
adanya: persaudaraan/persekutuan; mendengarkan sabda/ pengajaran; pelayanan
terhadap sesama/solidaritas; perayaan iman/pemecahan roti/doa; memberi
kesaksian iman (tentang Tuhan) melalui cara hidup mereka.