Cari Blog Ini

Selasa, 26 Januari 2021

TRADISI GEREJA

TRADISI GEREJA

Arti Tradisi

Menurut   Kamus  Bahasa  Indonesia,  tradisi  diartikan   sebagai  adat kebiasaan turun-temurun (berupa  upacara, peralatan, kesenian, adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran) yang masih dijalankan oleh masyarakat. Tradisi dapat  mengalami perubahan  dan  penyesuaian dengan  situasi dan kondisi masyarakat bersangkutan. Bilamana tradisi dianggap tidak lagi relevan dengan tata nilai masyarakat atau tidak mampu menjawab tantangan zaman maka tradisi semacam ini biasanya ditinggalkan dan punah  dengan sendirinya. Jadi sesungguhnya tradisi dapat dipandang sebagai pencerminan  dari penghayatan masyarakat tentang  nilai atau ajaran tertentu, yang kemudian diungkapkan dalam peralatan, kesenian, upacara, norma atau ajaran.

 

Arti Tradisi Gereja

Menurut Kamus Teologi, tradisi berasal dari bahasa Latin traditio yang berarti penerusan. Tradisi adalah proses penerusan (tradisi sebagai tindakan) dan warisan yang diteruskan (tradisi sebagai isi). Kata tradisi dalam bahasa Yunani yaitu paradosis yang secara harafiah berarti sesuatu yang telah “diserahkan”, “diteruskan”, “diwariskan”. Gereja Katolik mewarisi kekayaan tradisi yang luar biasa, walaupun ada juga tradisi yang berubah atau tidak lagi hidup di kalangan umat.

 

Gereja memiliki tradisi yang sangat kaya. Tradisi yang dimaksud bukan sekedar upacara, ajaran atau kebiasaan kuno. Tradisi Gereja lebih merupakan :

·     ungkapan pengalaman iman Gereja akan Yesus Kristus, yang diterima, diwartakan, dirayakan, dan diwariskan kepada angkatan-angkatan  selanjutnya.

·     pengalaman iman bersama jemaat Kristiani, dalam menghayati hidup dan imannya dalam Kristus berkat persatuannya di dalam Roh Kudus.

·     kenyataan yang hidup yang menyimpan pengalaman iman jemaat yang diterima, diwartakan, dirayakan, dan diwariskan kepada angkatan-angkatan selanjutnya.

·     bentuk pengungkapan atas penghayatan iman Gereja.

 

Konsili Vatikan II memandang penting peran Tradisi ”Demikianlah Gereja dalam ajaran, hidup serta ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua keturunan, dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya”. Tradisi ”berkat bantuan Roh Kudus” berkembang dalam Gereja, ”sebab berkembanglah pengertian  tentang kenyataan-kenyataan  maupun  kata-kata  yang ditanamkan,”  dan  ”Gereja tiada hentinya berkembang menuju kepenuhan kebenaran Ilahi” (Dei Verbum art. 8). Dalam arti ini tradisi mempunyai orientasi ke masa depan.

 

Pemeliharaan Tradisi Gereja

Pemeliharaan tradisi dalam Gereja bertujuan agar pewahyuan Allah dipertahankan dan diungkapkan dalam hidup jemaat. Dan oleh karena Gereja tidak terikat dengan masyarakat, budaya, atau bangsa tertentu, maka penetapan tradisi- tradisi  suci  selalu menekankan  prinsip  universalitas  (berlaku  untuk segenap Gereja) berkesinambungan (dari para saksi/murid Kristus dan para penggantinya), didasari konsensus dalam upaya menjaga kesatuan Tubuh Kristus.

 

Untuk menjaga Tradisi, Gereja perdana mengumpulkan dan menyusun tulisan-tulisan suci yang diakui sebagai iman para Rasul oleh semua Gereja ke dalam kanon Kitab Suci. Kanonisasi Kitab Suci itu menjadi sangat penting terutama untuk membedakan ajaran-ajaran yang salah dari ajaran-ajaran  yang  asli. Gereja  perdana  juga  mengembangkan rumusan  syahadat  sebagai bentuk  pengakuan  iman  yang  normatif. Dengan  cara itu,  pewahyuan Allah dipertahankan  dan  diungkapkan dalam hidup jemaat.

 

 

Dalam tradisi itu ada satu kurun waktu yang istimewa, yakni zaman Yesus dan para Rasul. Pada periode yang disebut zaman Gereja Perdana, Tradisi sebelumnya dipenuhi dan diberi bentuk baru, yang selanjutnya menjadi inti pokok untuk Tradisi berikutnya, “yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru.” (bdk. Efesus 2:20). Maka, perumusan pengalaman iman Gereja Perdana yang disebut Perjanjian Baru merupakan pusat dan sumber seluruh Tradisi. Pengalaman itu ditulis dengan ilham Roh Kudus (Dei Verbum Art. 11) dan itu berarti bahwa Kitab Suci mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan, kebenaran yang oleh Allah mau dicantumkan di dalamnya demi keselamatan kita.

 

Sesudah Gereja perdana, Tradisi mengolah dan memperdalam ungkapan iman yang terdapat dalam Kitab Suci: “sebab berkembanglah pengertian tentang  kenyataan-kenyataan  serta kata-kata  yang  diturunkan,  baik karena kaum  beriman, yang menyimpannya  dalam hati, merenungkan serta mempelajarinya maupun karena mereka menyelami secara mendalami pengalaman-pengalaman rohani mereka” (DV art. 8). Lebih lanjut konsili menegaskan: jelaslah bahwa Tradisi Suci, Kitab Suci dan wewenang mengajar Gereja saling berhubungan dan berpadu (DV 10).

 

Hubungan Tradisi dan Kitab Suci

Tradisi Gereja mempunyai dasar dalam Kitab Suci, tetapi tidak terbatas pada Kitab Suci. Sebaliknya, Tradisi Gereja berusaha terus menghayati dan memahami  kekayaan iman yang terungkap  di dalam Kitab Suci. Kekayaan iman itu salah satunya yang kita sebut syahadat. Di dalam Kitab Suci, kita tidak menemukan syahadat, tetapi apa yang terungkap dalam syahadat jelas dilandaskan pada Kitab Suci. Selain dirumuskan dalam syahadat, tradisi Gereja juga dipelihara dan diungkapkan melalui berbagai bentuk  rumusan  doktrinal,  baik berupa  ensiklik. Rumusan doktrinal  tersebut didasari oleh iman Gereja tentang  kuasa mengajar (magisterium), yang diakui tidak mengandung kesesatan apapun.

Kitab Suci bersama Tradisi Gereja ini merupakan tolok ukur iman Gereja, sebagaimana dikatakan oleh Konsili Vatikan II: “Kitab-Kitab itu (Kitab Suci) bersama dengan Tradisi suci selalu dipandang dan tetap dipandang sebagai norma imannya yang tertinggi”  (DV art. 21). Itu berarti iman Gereja, baik iman Gereja secara keseluruhan (iman objektif ) maupun iman dalam arti sikap masing-masing orang beriman (iman subjektif ) diukur kebenarannya berdasarkan Kitab Suci maupun Tradisi Gereja. Dengan kata “iman”, yang dimaksudkan adalah baik iman objektif maupun iman subjektif. Jadi, “kebenaran-kebenaran iman” yang mengacu kepada realitas yang diimani  dan  sikap hati  serta penghayatannya  merupakan  tanggapan  manusia terhadap pewahyuan Allah.

 

Macam-macam Tradisi dalam Gereja Katolik

      Sudah   kita   ketahui   bersama,   bahwa   Tradisi   Gereja   merupakan pengalaman iman jemaat Kristiani, atas hidup Kristus, dan persatuannya di dalam Roh Kudus yang telah diwariskan hingga kini. Pengalaman iman itu diungkapkan dalam tradisi yang resmi maupun  tidak resmi. Tradisi yang resmi adalah Tradisi Gereja diungkapkan dalam:

1.    Kitab Suci.

2.    syahadat.

3.    liturgi.

4.    sakramen-sakramen Gereja.

5.    rumusan doktrinal dari kuasa mengajar Gereja tertinggi.

      Di dalam Gereja kita, juga dikenal Tradisi Gereja yang tidak resmi. Kita tahu, bahwa Tradisi Gereja itu merupakan pengalaman iman yang dinamis dan terus berkembang. Pengalaman iman itu diungkapkan pula dalam berbagai bentuk seni:

1.    musik Gerejani.

2.    tulisan-tulisan,  sastra kekristenan, baik secara popular dari ajaran para teolog.

3.    melalui spiritualitas dan tradisi-tradisi doa, serta devosi.

4.    melalui ceritera-ceritera para kudus, dan hidup  orang Kristiani dari masa ke masa.

Jadi sesungguhnya, kata “tidak resmi” dimaksudkan, bahwa kekayaan Tradisi Gereja kita ini begitu beragam dan sangat banyak. Kadang ada hal-hal yang belum bisa tertampung. Tetapi kita tahu, bahwa itu semua hidup dan berkembang. Tentu perkembangannya tidak jauh dari iman kepercayaan, dan apa yang telah dibangun Gereja dari masa ke masa. Tradisi Gereja yang tidak resmi ini biasanya berkembang sesuai dengan budaya di mana jemaat atau umat itu tinggal. Maka, walaupun sudah diteruskan, sering ada perkembangan yang disesuaikan dengan hidup dan konteks hidup jemaat. Kita saat ini bisa melihat ada berbagai macam tradisi yang ada dalam Gereja Katolik. Misalnya saja, gua natal, ziarah dan devosi ke Gua Maria, dan lain sebagainya.

 

 

Tradisi Dari Dokumen  Konsili Vatikan II, Konstitusi Tentang Wahyu Ilahi (Dei Verbum) artikel 7, 8, dan 9):

7. (Para Rasul dan pengganti mereka sebagai pewarta Injil)

Dalam kebaikan-Nya Allah telah menetapkan, bahwa apa yang diwahyukan-Nya demi keselamatan semua bangsa, harus tetap utuh untuk selamanya dan diteruskan kepada segala keturunannya. Maka Kristus Tuhan, yang menjadi kepenuhan seluruh wahyu Allah Yang Mahatinggi (lihat 2 Korintus 1:30; 3:16-4:6), memerintahkan kepada para Rasul, supaya Injil, yang dahulu telah dijanjikan melalui para Nabi dan dipenuhi oleh-Nya serta dimaklumkan- Nya dengan mulut-Nya sendiri, mereka wartakan pada semua orang, sebagai sumber segala kebenaran  yang menyelamatkan serta sumber ajaran kesusilaan, dan dengan demikian dibagikan kurnia-kurnia ilahi kepada mereka. Perintah itu dilaksanakan dengan setia oleh para Rasul, yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang telah mereka terima dari mulut, pergaulan dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari. Perintah Tuhan dijalankan pula oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga telah membukukan amanat keselamatan.

Adapun supaya Injil senantiasa terpelihara secara utuh dan hidup dalam Gereja, para Rasul meninggalkan Uskup-uskup sebagai pengganti mereka, yang “mereka serahi kedudukan mereka untuk mengajar”. Maka dari itu Tradisi Suci dan Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Baru bagaikan cermin bagi Gereja yang mengembara di dunia, untuk memandang Allah yang menganugerahinya segala sesuatu, hingga tiba saatnya Gereja dihantar untuk menghadap Allah tatap muka, sebagaimana ada-Nya (lihat 1Yohanes 3:2).

 

8. (Tradisi Suci)

Oleh karena itu pewartaan para Rasul, yang secara istimewa diungkapkan dalam kitab-kitab yang diilhami, harus dilestarikan sampai kepenuhan zaman melalui penggantian-penggantian yang tiada  putusnya.  Maka  para Rasul, seraya meneruskan apa yang telah mereka terima sendiri, mengingatkan kaum beriman, supaya mereka berpegang teguh pada ajaran-ajaran warisan, yang telah mereka terima entah secara lisan entah secara tertulis (lihat 2 Tesalonika 2:15), dan supaya mereka berjuang untuk  membela iman yang sekali untuk selamanya diteruskan kepada mereka (lihat Yudas 3). Adapun apa yang telah diteruskan oleh para Rasul mencakup segala sesuatu, yang membantu Umat Allah untuk menjalani hidup yang suci dan untuk berkembang dalam imannya. Demikianlah Gereja dalam ajaran, hidup, serta ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua keturunan dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya.

Tradisi yang berasal dari para rasul itu  berkat bantuan  Roh Kudus berkembang dalam  Gereja: sebab berkembanglah pengertian tentang kenyataan-kenyataan   maupun   kata-kata   yang  diturunkan,   baik  karena kaum  beriman, yang menyimpannya  dalam hati (lih. Lukas 2:19 dan 51), merenungkan serta mempelajarinya, maupun karena mereka menyelami secara mendalam  pengalaman-pengalaman rohani  mereka,  maupun  juga berkat pewartaan mereka, yang sebagai pengganti dalam martabat  Uskup menerima kurnia kebenaran yang pasti. Sebab dalam perkembangan sejarah Gereja tiada hentinya menuju kepenuhan kebenaran ilahi, sampai terpenuhilah padanya sabda Allah. Ungkapan-ungkapan para Bapa Suci memberi kesaksian akan  kehadiran Tradisi itu  pun  Gereja mengenal kanon  Kitab-Kitab Suci selengkapnya, dan dalam Tradisi itu Kitab Suci sendiri dimengerti secara lebih mendalam dan tiada hentinya dihadirkan secara aktif.

Demikianlah Allah, yang dulu telah bersabda, tiada hentinya berwawancara dengan Mempelai Putera-Nya yang terkasih. Dan Roh Kudus, yang menyebabkan suara Injil yang hidup bergema dalam Gereja, dan melalui Gereja dalam dunia, menghantarkan Umat beriman menuju segala kebenaran, dan menyebabkan sabda Kristus menetap dalam diri mereka secara melimpah (lihat Kolose 3:16).

 

9. (Hubungan antara Tradisi dan Kitab Suci)

Jadi Tradisi Suci dan Kitab Suci berhubungan erat sekali dan berpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama. Sebab Kitab Suci itu pembicaraan Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh ilahi. Sedangkan oleh Tradisi Suci sabda Allah, yang oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia. Dengan demikian Gereja menimba kepastian tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui Kitab Suci. Maka dari itu keduanya (baik Tradisi maupun Kitab Suci) harus diterima dan dihormati dengan cita-rasa kesalehan dan hormat yang sama.

21. (Gereja menghormati Kitab-Kitab Suci)

Kitab-kitab ilahi seperti juga Tubuh Tuhan sendiri selalu dihormati oleh Gereja, yang – terutama dalam Liturgi Suci – tiada hentinya menyambut roti kehidupan dari meja sabda Allah maupun Tubuh Kristus, dan menyajikannya kepada Umat beriman. Kitab-kitab itu bersama dengan Tradisi Suci selalu dipandang dan tetap dipandang sebagai norma imannya yang tinggi. Sebab kitab-kitab itu diilhami oleh Allah dan sekali untuk selamanya telah dituliskan, serta tanpa perubahan manapun menyampaikan sabda Allah sendiri, lagi pula mendengarkan suara Roh Kudus dalam sabda para Nabi dan para Rasul. Jadi semua pewartaan dalam Gereja seperti juga agama kristiani sendiri harus dipupuk dan diatur oleh Kitab Suci. Sebab dalam Kitab-Kitab Suci Bapa yang ada di Surga penuh cinta kasih menjumpai para putera-Nya dan berwawancara dengan mereka. Adapun demikian besarlah daya dan kekuatan sabda Allah, sehingga bagi Gereja merupakan tumpuan  serta kekuatan, dan bagi putera- puteri Gereja menjadi kekuatan iman, santapan jiwa, sumber jernih dan kekal hidup rohani. Oleh karena itu bagi Kitab Suci berlakulah secara istimewa kata- kata: “Memang sabda Allah penuh kehidupan dan kekuatan” (Ibrani 4:12), “yang berkuasa membangun dan mengurniakan warisan di antara semua para kudus” (Kisah Para Rasul 20:32; lihat 1Tesalonika 2:13).

 

 

Untuk direnungkan:

    Tradisi Gereja merupakan bentuk pengungkapan atas penghayatan iman Gereja, maka sesungguhnya Tradisi merupakan sarana agar iman Gereja makin berkembang. Tetapi itu semua dapat terjadi bilamana umat turut menghidupi Tradisi tersebut. Kata “menghidupi” dapat diartikan: turut memahami maknanya, turut memelihara, dan menjalankannya.

    Dalam  menjalankan   Tradisi  umat   perlu  melaksanakannya  dengan sungguh-sungguh dengan penuh penghayatan, bukan sekedar ikut-ikutan,  bukan  pula  sekedar kebiasaan. Bila tradisi  dijalankan  tanpa dipahami maknanya, maka tidak akan berdampak apa-apa pada sikap iman dan tindakan hidup sehari-hari.

 

 

Sejarah Jalan Salib

Amatilah sejarah Ibadat Jalan Salib di bawah ini yang merupakan salah satu bentuk Tradisi dalam Gereja Katolik

Awal Sejarah Ibadat Jalan Salib

Sekitar abad 4 St.Helena (ibu Raja Konstantin), melakukan ziarahnya yang sekarang ini dikenal dengan nama Via Dolorosa untuk  melihat dari dekat tempat Yesus lahir sampai dimakamkan. Ziarah ini menjadi terkenal dan sangat mudah mencapai tempat-tempat itu terutama setelah tahun 1199 di mana pasukan Perang Salib (crusader) menguasai Yerusalem. Namun sejak tahun 1291, untuk menuju tempat ini menjadi begitu sulit dan mahal karena sudah tidak dikuasai lagi oleh para crusader. Maka lahirlah tradisi Ibadat Jalan Salib yang bertujuan menghadirkan Tanah Suci bagi mereka yang tidak dapat berziarah ke sana juga bagi mereka yang pernah berziarah ke sana, untuk tetap mengenangnya.

Tahun 1342 Ordo Fransiskan diangkat sebagai ordo yang secara resmi wajib melindungi  semua  tempat  suci di  beberapa  tempat  di  Yerusalem. Sejak saat itulah  biarawan-biarawan  Fransiskan ini mulai memopulerkan devosi Jalan Salib, terlebih sejak St. Fransiskus Asisi mengalami stigmata.

Tradisi ini didukung pula dengan adanya penampakan Bunda Maria di sana, dan  juga pengajaran  dari St. Jerome. Sejak inilah dikenal beberapa versi Jalan Salib, seperti yang ditetapkan  oleh Alvarest Yang Terberkati (1420), Eustochia, Emmerich (1465) dan Ketzel, hingga akhirnya banyak Paus yang menganjurkan Doa Jalan Salib yaitu Paus Innocent XI (1686), Innocent XII (1694), Benedict XIII (1726), Clementius XII (1731), Benediktus XIV (1742), karena ini merupakan cara doa yang paling mudah untuk menghayati kisah sengsara Yesus dan pengorbanan-Nya di kayu salib.

Perkembangan Tradisi

Awalnya umat  membuat  perhentian-perhentian  kecil dalam  gereja, bahkan  kadang dibangun  perhentian-perhentian  yang besarnya seukuran manusia  di  luar  gereja. Para  biarawan  Fransiskan  juga menuliskan  lirik Stabat Mater, yang biasanya dinyanyikan saat Ibadat Jalan Salib, baik dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Latin, maupun dalam bahasa setempat, hingga ditetapkanlah 14 stasi (perhentian) Jalan Salib oleh Paus Clement XII tahun 1731.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar