TRADISI GEREJA
Arti Tradisi
Menurut Kamus
Bahasa Indonesia, tradisi
diartikan sebagai adat kebiasaan turun-temurun (berupa upacara,
peralatan, kesenian, adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran) yang masih dijalankan oleh
masyarakat. Tradisi
dapat mengalami perubahan dan
penyesuaian dengan situasi dan
kondisi masyarakat bersangkutan. Bilamana tradisi dianggap tidak lagi
relevan dengan tata nilai masyarakat atau tidak mampu menjawab tantangan zaman
maka tradisi semacam ini biasanya ditinggalkan dan punah dengan sendirinya. Jadi sesungguhnya tradisi
dapat dipandang sebagai pencerminan dari
penghayatan masyarakat tentang nilai
atau ajaran tertentu, yang kemudian diungkapkan dalam peralatan, kesenian,
upacara, norma atau ajaran.
Arti Tradisi Gereja
Menurut Kamus Teologi, tradisi
berasal dari bahasa Latin traditio yang berarti penerusan. Tradisi adalah proses penerusan (tradisi
sebagai tindakan) dan warisan
yang diteruskan (tradisi sebagai isi). Kata tradisi dalam bahasa Yunani
yaitu paradosis yang secara harafiah
berarti sesuatu yang telah “diserahkan”, “diteruskan”, “diwariskan”. Gereja
Katolik mewarisi kekayaan tradisi yang luar biasa, walaupun ada juga tradisi
yang berubah atau tidak lagi hidup di kalangan umat.
Gereja memiliki tradisi yang
sangat kaya. Tradisi yang dimaksud bukan sekedar upacara, ajaran atau kebiasaan
kuno. Tradisi Gereja lebih merupakan :
·
ungkapan pengalaman iman Gereja akan Yesus
Kristus, yang diterima, diwartakan, dirayakan, dan diwariskan kepada
angkatan-angkatan selanjutnya.
·
pengalaman iman bersama jemaat Kristiani, dalam
menghayati hidup dan imannya dalam Kristus berkat persatuannya di dalam Roh
Kudus.
·
kenyataan yang hidup yang menyimpan pengalaman
iman jemaat yang diterima, diwartakan, dirayakan, dan diwariskan kepada
angkatan-angkatan selanjutnya.
·
bentuk pengungkapan atas penghayatan iman Gereja.
Konsili Vatikan II memandang
penting peran Tradisi ”Demikianlah Gereja
dalam ajaran, hidup serta ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua
keturunan, dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya”. Tradisi ”berkat bantuan Roh
Kudus” berkembang dalam Gereja, ”sebab berkembanglah pengertian tentang kenyataan-kenyataan maupun
kata-kata yang ditanamkan,” dan
”Gereja tiada hentinya berkembang menuju kepenuhan kebenaran Ilahi”
(Dei Verbum art. 8). Dalam arti ini tradisi mempunyai orientasi ke masa depan.
Pemeliharaan Tradisi Gereja
Pemeliharaan tradisi dalam Gereja bertujuan agar
pewahyuan Allah dipertahankan dan diungkapkan dalam hidup jemaat. Dan oleh
karena Gereja tidak terikat dengan masyarakat, budaya, atau bangsa tertentu,
maka penetapan tradisi- tradisi
suci selalu menekankan prinsip
universalitas (berlaku untuk segenap Gereja) berkesinambungan (dari
para saksi/murid Kristus dan para penggantinya), didasari konsensus dalam upaya
menjaga kesatuan Tubuh Kristus.
Untuk menjaga Tradisi, Gereja
perdana mengumpulkan dan menyusun tulisan-tulisan suci yang diakui sebagai iman
para Rasul oleh semua Gereja ke dalam kanon Kitab Suci. Kanonisasi Kitab Suci
itu menjadi sangat penting terutama untuk membedakan ajaran-ajaran yang salah
dari ajaran-ajaran yang asli. Gereja
perdana juga mengembangkan rumusan syahadat
sebagai bentuk pengakuan iman
yang normatif. Dengan cara itu,
pewahyuan Allah dipertahankan
dan diungkapkan dalam hidup
jemaat.
Dalam tradisi itu ada satu kurun waktu yang istimewa,
yakni zaman Yesus dan para
Rasul. Pada periode yang disebut zaman Gereja Perdana, Tradisi sebelumnya dipenuhi
dan diberi bentuk baru, yang selanjutnya menjadi inti pokok untuk Tradisi
berikutnya, “yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan
Kristus Yesus sebagai batu penjuru.” (bdk. Efesus 2:20). Maka, perumusan
pengalaman iman Gereja Perdana yang disebut Perjanjian Baru merupakan pusat dan sumber seluruh
Tradisi. Pengalaman itu ditulis dengan ilham Roh Kudus (Dei Verbum
Art. 11) dan itu berarti bahwa Kitab Suci mengajarkan dengan teguh dan setia
serta tanpa kekeliruan, kebenaran yang oleh Allah mau dicantumkan di dalamnya
demi keselamatan kita.
Sesudah Gereja perdana,
Tradisi mengolah dan memperdalam ungkapan iman yang terdapat dalam Kitab Suci:
“sebab berkembanglah pengertian tentang
kenyataan-kenyataan serta
kata-kata yang diturunkan,
baik karena kaum beriman, yang
menyimpannya dalam hati, merenungkan
serta mempelajarinya maupun karena mereka menyelami secara mendalami
pengalaman-pengalaman rohani mereka” (DV art. 8). Lebih lanjut konsili
menegaskan: jelaslah bahwa Tradisi Suci, Kitab Suci dan wewenang mengajar
Gereja saling berhubungan dan berpadu (DV 10).
Hubungan Tradisi dan Kitab Suci
Tradisi Gereja mempunyai dasar dalam Kitab Suci, tetapi
tidak terbatas pada Kitab Suci. Sebaliknya, Tradisi Gereja berusaha terus
menghayati dan memahami kekayaan iman
yang terungkap di dalam Kitab Suci.
Kekayaan iman itu salah satunya yang kita sebut syahadat. Di dalam Kitab Suci,
kita tidak menemukan syahadat, tetapi apa yang terungkap dalam syahadat jelas
dilandaskan pada Kitab Suci. Selain dirumuskan dalam syahadat, tradisi Gereja
juga dipelihara dan diungkapkan melalui berbagai bentuk rumusan
doktrinal, baik berupa ensiklik. Rumusan doktrinal tersebut didasari oleh iman Gereja
tentang kuasa mengajar (magisterium),
yang diakui tidak mengandung kesesatan apapun.
Kitab Suci bersama Tradisi Gereja ini merupakan tolok ukur iman Gereja, sebagaimana dikatakan oleh Konsili Vatikan II: “Kitab-Kitab itu (Kitab Suci) bersama dengan Tradisi suci selalu dipandang dan tetap dipandang sebagai norma imannya yang tertinggi” (DV art. 21). Itu berarti iman Gereja, baik iman Gereja secara keseluruhan (iman objektif ) maupun iman dalam arti sikap masing-masing orang beriman (iman subjektif ) diukur kebenarannya berdasarkan Kitab Suci maupun Tradisi Gereja. Dengan kata “iman”, yang dimaksudkan adalah baik iman objektif maupun iman subjektif. Jadi, “kebenaran-kebenaran iman” yang mengacu kepada realitas yang diimani dan sikap hati serta penghayatannya merupakan tanggapan manusia terhadap pewahyuan Allah.
Macam-macam
Tradisi dalam Gereja Katolik
• Sudah kita
ketahui bersama, bahwa
Tradisi Gereja merupakan pengalaman iman jemaat Kristiani,
atas hidup Kristus, dan persatuannya di dalam Roh Kudus yang telah diwariskan
hingga kini. Pengalaman iman itu diungkapkan dalam tradisi yang resmi
maupun tidak resmi. Tradisi yang resmi adalah Tradisi Gereja diungkapkan dalam:
1. Kitab
Suci.
2. syahadat.
3. liturgi.
4. sakramen-sakramen
Gereja.
5. rumusan
doktrinal dari kuasa mengajar Gereja tertinggi.
• Di
dalam Gereja kita, juga dikenal Tradisi Gereja yang tidak resmi. Kita tahu,
bahwa Tradisi Gereja itu merupakan pengalaman iman yang dinamis dan terus
berkembang. Pengalaman iman itu diungkapkan pula dalam berbagai bentuk seni:
1. musik
Gerejani.
2. tulisan-tulisan, sastra kekristenan, baik secara popular dari
ajaran para teolog.
3. melalui
spiritualitas dan tradisi-tradisi doa, serta devosi.
4. melalui
ceritera-ceritera para kudus, dan hidup
orang Kristiani dari masa ke masa.
Jadi
sesungguhnya, kata “tidak resmi” dimaksudkan, bahwa kekayaan Tradisi Gereja
kita ini begitu beragam dan sangat banyak. Kadang ada hal-hal yang belum bisa
tertampung. Tetapi kita tahu, bahwa itu semua hidup dan berkembang. Tentu
perkembangannya tidak jauh dari iman kepercayaan, dan apa yang telah dibangun
Gereja dari masa ke masa. Tradisi Gereja yang tidak resmi ini biasanya
berkembang sesuai dengan budaya di mana jemaat atau umat itu tinggal. Maka,
walaupun sudah diteruskan, sering ada perkembangan yang disesuaikan dengan
hidup dan konteks hidup jemaat. Kita saat ini bisa melihat ada berbagai macam
tradisi yang ada dalam Gereja Katolik. Misalnya saja, gua natal, ziarah dan
devosi ke Gua Maria, dan lain sebagainya.
Tradisi Dari Dokumen Konsili
Vatikan II, Konstitusi Tentang Wahyu Ilahi (Dei Verbum) artikel 7, 8, dan 9):
7. (Para Rasul dan pengganti
mereka sebagai pewarta Injil)
Dalam kebaikan-Nya Allah telah
menetapkan, bahwa apa yang
diwahyukan-Nya demi keselamatan semua bangsa, harus tetap utuh untuk selamanya
dan diteruskan kepada segala keturunannya. Maka Kristus Tuhan, yang
menjadi kepenuhan seluruh wahyu Allah Yang Mahatinggi (lihat 2 Korintus 1:30;
3:16-4:6), memerintahkan kepada para Rasul, supaya Injil, yang dahulu telah
dijanjikan melalui para Nabi dan dipenuhi oleh-Nya serta dimaklumkan- Nya
dengan mulut-Nya sendiri, mereka wartakan pada semua orang, sebagai sumber
segala kebenaran yang menyelamatkan
serta sumber ajaran kesusilaan, dan dengan demikian dibagikan kurnia-kurnia
ilahi kepada mereka. Perintah itu dilaksanakan dengan setia oleh para Rasul,
yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan
entah apa yang telah mereka terima dari mulut, pergaulan dan karya Kristus
sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari. Perintah
Tuhan dijalankan pula oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham
Roh Kudus itu juga telah membukukan amanat keselamatan.
Adapun supaya Injil senantiasa
terpelihara secara utuh dan hidup dalam Gereja, para Rasul meninggalkan
Uskup-uskup sebagai pengganti mereka, yang “mereka serahi kedudukan mereka
untuk mengajar”. Maka dari itu Tradisi
Suci dan Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Baru bagaikan cermin bagi Gereja
yang mengembara di dunia, untuk memandang Allah yang menganugerahinya segala
sesuatu, hingga tiba saatnya Gereja dihantar untuk menghadap Allah tatap muka,
sebagaimana ada-Nya (lihat 1Yohanes 3:2).
8. (Tradisi Suci)
Oleh karena itu pewartaan para
Rasul, yang secara istimewa diungkapkan dalam kitab-kitab yang diilhami, harus dilestarikan
sampai kepenuhan zaman melalui penggantian-penggantian yang tiada putusnya.
Maka para Rasul, seraya
meneruskan apa yang telah mereka terima sendiri, mengingatkan kaum beriman,
supaya mereka berpegang teguh pada ajaran-ajaran warisan, yang telah mereka terima entah secara lisan entah secara
tertulis (lihat 2 Tesalonika 2:15), dan supaya mereka berjuang
untuk membela iman yang sekali untuk selamanya diteruskan
kepada mereka (lihat Yudas 3). Adapun apa yang telah diteruskan oleh
para Rasul mencakup segala sesuatu, yang membantu Umat Allah untuk menjalani
hidup yang suci dan untuk berkembang dalam imannya. Demikianlah Gereja dalam
ajaran, hidup, serta ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua
keturunan dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya.
Tradisi yang berasal dari para rasul itu berkat bantuan Roh Kudus berkembang dalam Gereja: sebab berkembanglah pengertian
tentang kenyataan-kenyataan maupun kata-kata
yang diturunkan, baik
karena kaum beriman, yang menyimpannya dalam hati (lih. Lukas 2:19 dan 51), merenungkan serta mempelajarinya,
maupun karena mereka menyelami secara mendalam
pengalaman-pengalaman rohani
mereka, maupun juga berkat pewartaan mereka, yang sebagai pengganti
dalam martabat Uskup menerima kurnia
kebenaran yang pasti. Sebab dalam perkembangan sejarah Gereja tiada hentinya
menuju kepenuhan kebenaran ilahi, sampai terpenuhilah padanya sabda Allah.
Ungkapan-ungkapan para Bapa Suci memberi kesaksian akan kehadiran Tradisi itu pun
Gereja mengenal kanon Kitab-Kitab
Suci selengkapnya, dan dalam Tradisi itu Kitab Suci sendiri dimengerti secara
lebih mendalam dan tiada hentinya dihadirkan secara aktif.
Demikianlah Allah, yang dulu
telah bersabda, tiada hentinya berwawancara dengan Mempelai Putera-Nya yang
terkasih. Dan Roh Kudus, yang menyebabkan suara Injil yang hidup bergema dalam Gereja, dan melalui
Gereja dalam dunia, menghantarkan Umat beriman menuju segala kebenaran, dan menyebabkan sabda Kristus
menetap dalam diri mereka secara melimpah (lihat Kolose 3:16).
9. (Hubungan antara Tradisi dan
Kitab Suci)
Jadi Tradisi Suci dan Kitab Suci berhubungan erat sekali
dan berpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan
cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama.
Sebab Kitab Suci itu pembicaraan Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh
ilahi. Sedangkan oleh
Tradisi Suci sabda Allah, yang oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus
dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya mereka
ini dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya
dengan setia. Dengan demikian Gereja menimba kepastian tentang segala
sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui Kitab Suci. Maka dari itu keduanya
(baik Tradisi maupun Kitab Suci) harus diterima dan dihormati dengan cita-rasa
kesalehan dan hormat yang sama.
21. (Gereja menghormati
Kitab-Kitab Suci)
Kitab-kitab ilahi seperti juga
Tubuh Tuhan sendiri selalu dihormati oleh Gereja, yang – terutama dalam Liturgi
Suci – tiada hentinya menyambut roti kehidupan dari meja sabda Allah maupun
Tubuh Kristus, dan menyajikannya kepada Umat beriman. Kitab-kitab itu bersama dengan Tradisi Suci selalu
dipandang dan tetap dipandang sebagai norma imannya yang tinggi. Sebab
kitab-kitab itu diilhami oleh Allah dan sekali untuk selamanya telah
dituliskan, serta tanpa perubahan manapun menyampaikan sabda Allah sendiri,
lagi pula mendengarkan suara Roh Kudus dalam sabda para Nabi dan para Rasul.
Jadi semua pewartaan dalam Gereja seperti juga agama kristiani sendiri harus
dipupuk dan diatur oleh Kitab Suci. Sebab dalam Kitab-Kitab Suci Bapa yang ada
di Surga penuh cinta kasih menjumpai para putera-Nya dan berwawancara dengan
mereka. Adapun demikian besarlah daya dan kekuatan sabda Allah, sehingga bagi
Gereja merupakan tumpuan serta kekuatan,
dan bagi putera- puteri Gereja menjadi kekuatan iman, santapan jiwa, sumber
jernih dan kekal hidup rohani. Oleh karena itu bagi Kitab Suci berlakulah
secara istimewa kata- kata: “Memang sabda Allah penuh kehidupan dan kekuatan”
(Ibrani 4:12), “yang berkuasa membangun dan mengurniakan warisan di antara
semua para kudus” (Kisah Para Rasul 20:32; lihat 1Tesalonika 2:13).
Untuk direnungkan:
• Tradisi Gereja merupakan
bentuk pengungkapan atas penghayatan iman Gereja, maka sesungguhnya Tradisi
merupakan sarana agar iman Gereja makin berkembang. Tetapi itu semua
dapat terjadi bilamana umat
turut menghidupi Tradisi tersebut. Kata “menghidupi” dapat diartikan: turut
memahami maknanya, turut memelihara, dan menjalankannya.
• Dalam menjalankan
Tradisi umat perlu
melaksanakannya dengan sungguh-sungguh
dengan penuh penghayatan, bukan sekedar ikut-ikutan, bukan
pula sekedar kebiasaan. Bila
tradisi dijalankan tanpa dipahami maknanya, maka tidak akan
berdampak apa-apa pada sikap iman dan tindakan hidup sehari-hari.
Sejarah Jalan Salib
Amatilah sejarah Ibadat Jalan
Salib di bawah ini yang merupakan salah satu bentuk Tradisi dalam Gereja
Katolik
Awal Sejarah
Ibadat Jalan Salib
Sekitar abad 4 St.Helena (ibu
Raja Konstantin), melakukan ziarahnya yang sekarang ini dikenal dengan nama Via
Dolorosa untuk melihat dari dekat tempat
Yesus lahir sampai dimakamkan. Ziarah ini menjadi terkenal dan sangat mudah
mencapai tempat-tempat itu terutama setelah tahun 1199 di mana pasukan Perang
Salib (crusader) menguasai Yerusalem. Namun sejak tahun 1291, untuk menuju
tempat ini menjadi begitu sulit dan mahal karena sudah tidak dikuasai lagi oleh
para crusader. Maka lahirlah tradisi Ibadat Jalan Salib yang bertujuan
menghadirkan Tanah Suci bagi mereka yang tidak dapat berziarah ke sana juga
bagi mereka yang pernah berziarah ke sana, untuk tetap mengenangnya.
Tahun 1342 Ordo Fransiskan
diangkat sebagai ordo yang secara resmi wajib melindungi semua
tempat suci di beberapa
tempat di Yerusalem. Sejak saat itulah biarawan-biarawan Fransiskan ini mulai memopulerkan devosi
Jalan Salib, terlebih sejak St. Fransiskus Asisi mengalami stigmata.
Tradisi ini didukung pula
dengan adanya penampakan Bunda Maria di sana, dan juga pengajaran dari St. Jerome. Sejak inilah dikenal
beberapa versi Jalan Salib, seperti yang ditetapkan oleh Alvarest Yang Terberkati (1420),
Eustochia, Emmerich (1465) dan Ketzel, hingga akhirnya banyak Paus yang
menganjurkan Doa Jalan Salib yaitu Paus Innocent XI (1686), Innocent XII
(1694), Benedict XIII (1726), Clementius XII (1731), Benediktus XIV (1742),
karena ini merupakan cara doa yang paling mudah untuk menghayati kisah sengsara
Yesus dan pengorbanan-Nya di kayu salib.
Perkembangan
Tradisi
Awalnya umat membuat
perhentian-perhentian kecil
dalam gereja, bahkan kadang dibangun perhentian-perhentian yang besarnya seukuran manusia di
luar gereja. Para biarawan
Fransiskan juga menuliskan lirik Stabat Mater, yang biasanya dinyanyikan
saat Ibadat Jalan Salib, baik dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Latin, maupun
dalam bahasa setempat, hingga ditetapkanlah 14 stasi (perhentian) Jalan Salib
oleh Paus Clement XII tahun 1731.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar