Cari Blog Ini

Jumat, 26 Februari 2021

TANTANGAN DAN PELUANG UMAT KATOLIK DALAM MEMBANGUN BANGSA DAN NEGARA SEPERTI YANG DIKEHENDAKI TUHAN

 

TANTANGAN DAN PELUANG UMAT KATOLIK DALAM MEMBANGUN BANGSA DAN NEGARA SEPERTI YANG DIKEHENDAKI TUHAN


Bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami suatu krisis secara fundamental dan menyeluruh. Banyaknya masalah yang berupa ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan yang dihadapi Indonesia datang bertubi-tubi. Ditambah lagi masalah-masalah bencana alam yang memang sudah menjadi bagian dari alam Indonesia, dan juga karena proses perusakan hutan secara masif dan sistematis untuk kepentingan bisnis kalangan tertentu. Krisis yang dialami Indonesia ini menjadi sangat multidimensional. Mulai dari krisis ekonomi yang tidak kunjung berhenti, sehingga berdampak pula pada krisis sosial dan politik, yang pada perkembanganya justru menyulitkan upaya pemulihan ekonomi. Konflik horizontal dan vertikal yang terjadi dalam kehidupan sosial, disertai dengan lemahnya penegakan hukum, tentu sangat berpotensi melahirkan disintegrasi bangsa. Apalagi bila melihat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural seperti beragamnya suku, budaya daerah, agama dan berbagai aspek politik lainnya, serta kondisi geografis sebagai negara kepulauan yang tersebar dari Sabang sampai ke Merakue. Semua ini merupakan tantangan besar yang apabila tidak dikelola dengan baik maka akan sangat mengganggu proses pembangunan untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang sejahtera, adil dan makmur sesuai cita-cita para pendiri bangsa ini.

 

Umat Katolik Indonesia sebagai bagian dari integral dari bangsa Indonesia tentu saja ikut bertanggungjawab atas krisis yang sedang terjadi. Tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah tantangan bagi umat Katolik juga. Karena itu tantangan-tantangan yang ada dapat menjadi peluang bagi umat Katolik untuk ikut merestorasi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang lebih baik. Gereja Katolik mealalui Konsili Vatikan II  mengajarkan antara lain bahwa “...Gereja, yang bertumpu pada cinta kasih Sang Penebus, menyumbangkan bantuannya, supaya di dalam kawasan bangsa sendiri dan antara bangsa-bangsa makin meluaslah keadilan dan cinta  kasih. Dengan mewartakan kebenaran Injil, dan dengan menyinari semua bidang manusiawi melalui ajaran-Nya dan melalui kesaksian umat kristen, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warganegara.” (KV II, GS art. 76). Dalam kancah tanggungjawab bersama dalam pembangunan bangsa Indonesia, sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan, bahkan sampai saat ini, sudah banyak tokoh-tokoh Katolik, baik lokal maupun nasional di pelbagai sektor kehidupan, memberikan sumbangsihnya bagi bangsa Indonesia. Kita memiliki beberapa pahlawan nasional, sebut saja; Yosafat Sudarso, Slamet Riyadi, Adisucipto, Mgr. Sugiyapranoto, I.J. Kasimo, Frans Seda dan lain sebagainya.

 

BERBAGAI KRISIS DI INDONESIA

Kita telah menemukan berbagai macam tantangan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia yaitu: krisis etika politik, krisis ekonomi, merebaknya aliaran fundamentalisme radikal, lemahnya penegakan hukum, dan bencana alam serta kerusakan lingkungan. Berdasarkan masalah-masalah yang merupakan tantangan itu, apa peluang bagi umat Katolik untuk membangun bangsa sesuai kehendak Tuhan sebagaimana yang diajarkan Gereja dalam bidang berikut:

 

1.      Krisis Etika Politik

Etika  Politik  di  Indonesia  masih  carut  marut.  Politik  hanya  dipahami secara pragmatis sebagai sarana untuk mencari kekuasaan dan kekayaan bagi pribadi-pribadi dan golongan sendiri. Politik yang berkembang saat ini, khususnya oleh partai politik lebih bersifat transaksional yaitu untuk membagi-bagi kekuasaan dan berujung pada praktik politik uang. Banyak kepala daerah, dan para pejabat lembaga negara lainnya, baik eksekutif, legislatif, dan yudislatif (polisi, jaksa, hakim) kini berurusan dengan KPK karena terlibat kasus korupsi yang tentu saja merugikan pembangunan bagi kesejahteraan rakyat.

2.      Krisis Ekonomi

Masyarakat Indonesia   kini masih dilanda krisis ekonomi. Banyak yang masih  hidup  di  bawah  garis  kemiskinan,  padahal  Indonesia  sendiri dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Dengan berkembangnya neoliberalisme saat ini, orang kaya akan semakin kaya, dan orang miskin akan semakin miskin. Orang miskin, bahkan para pedagang kecil atau menengah sekalipun, tidak pernah akan mampu bersaing dengan para pedagang besar atau orang-orang kaya.

3.      Merebaknya aliran fundamentalisme radikal

Kini merebak berbagai aliran fundamental radikal di Indonesia. Fundamentalisme itu pandangan yang berpusat pada diri manusia, sehingga manusia menjadi tolok ukurnya. Karena itu fundamentalisme prinsipnya “menutup diri” terhadap kebenaran dari paham di luar dirinya. Akhirnya, fundamentalisme dapat berakhir pada arogansi terhadap orang lain, kekerasan demi mencapai tujuannya sendiri. Fundamentalisme radikal tidak hanya terbatas pada aliran agama tertentu, tetapi juga suku bahkan daerah. Nampaknya setelah diberlakukan sistem otonomi daerah, dan otonomi khusus, terjadilah gerakan daerahisme. Mereka berusaha menolak dan bahkan “mengusir” orang dari daerah lain, khususnya dalam urusan pejabat pemerintahan, atau pengangkatan PNS dengan istilah mengutamakan putra daerah.

4.      Lemahnya penegakan hukum di Indonesia

Dalam berbagai kasus penegakan hukum baik perdata maupun pidana, banyak terjadi ketidakadilan. Keadilan hukum hanya tajam untuk orang di bawah tetapi tumpul untuk orang yang di atas. Artinya bahwa  keadilan hukum di lembaga peradilan hanya diberlakukan bagi masyarakat kecil yang lemah secara ekonomi, karena mereka tidak mampu menyogok para penegak hukum. Di sisi lain para penguasa dan kaum kaya raya dapat membeli para penegak hukum sehingga mereka bisa bebas dari hukuman, atau minimal mendapat hukuman ringan. Dalam beberapa kasus, seorang pencopet atau maling ayam, dihukum jauh lebih berat daripada seorang koruptor yang telah mencuri uang negara ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah. Publik Indonesia pun sudah mengetahui bagaimana banyak koruptor kelas kakap yang sedang mendekam di penjara tetapi dapat berkeliaran bebas di luar dan berpesta pora serta melancong ke mana-mana.

5.      Berbagai bencana dan kerusakan alam

Bencana alam dan kerusakan alam menjadi tantangan nyata di hadapan kita. Bencana alam bisa disebabkan oleh kondisi alam itu sendiri, seperti gempa  bumi,  dan  letusan  gunung  berapi.  Namun  bencana  alam  juga dapat disebabkan oleh perbuatan manusia sendiri, seperti penggundulan dan pembakaran hutan untuk berbagai tujuan; penebangan pohon secara serampangan sehingga menimbulkan bencana longsor dan banjir bandang yang merenggut jiwa dan harta. Kerusakan alam juga disebabkan oleh limbah industri yang mematikan ekosistem di sekitarnya.

 

PANDANGAN GEREJA

1.      Krisis Etika Politik

Situasi Etika Politik di Indonesia masih carut marut. Gereja Katolik perlu memperjuangkan agar politik tidak hanya dipahami secara pragmatis sebagai sarana untuk mencari kekuasaan dan kekayaan, melainkan sebagai suatu jerih payah untuk membuat transformasi situasi masyarakat yang kacau menjadi masyarakat yang tertata dan mampu menciptakan kesejahteraan umum.

Relasi Gereja dan Negara untuk kepentingan terwujudnya kesejahteraan umum dinyatakan oleh Konsili sebagai berikut: “Negara dan Gereja bersifat otonom tidak saling tergantung dibidang masing-masing. Akan tetapi keduanya, kendati atas dasar yang berbeda, melayani panggilan pribadi dan sosial orang-orang yang sama. Pelaksanaan itu akan lebih efektif jika negara dan Gereja menjalin kerja sama yang sehat, dengan mengindahkan situasi  setempat  dan  sesama.  Sebab  manusia  tidak  terkungkung  dalam tata duniawi saja, melainkan juga mengabdi kepada panggilannya untuk kehidupan kekal. Gereja, yang bertumpu pada cinta kasih Sang Penebus, menyumbangkan bantuannya, supaya di dalam kawasan bangsa sendiri dan antara bangsa-bangsa makin meluaslah keadilan dan cinta kasih. Dengan mewartakan kebenaran Injil, dan dengan menyinari semua bidang manusiawi melalui ajaran-Nya dan melalui kesaksian umat kristen, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warganegara.” (KV II, GS art. 76)

2.      Krisis Ekonomi

Krisis ekonomi telah lama membelit masyarakat Indonesia pada umumnya. Inti persoalannya adalah kebijakan perekonomian pemerintah hanya uuntuk mengejar target produksi sementara masyarakat Indonesia dikorbankan demi keuntungan perekonomian sektor formal. Untuk masalah pemiskinan secara ekonomi tersebut, Konsili Vatikan mengajarkan bahwa; “Makna-tujuan yang paling inti produksi itu bukanlah semata-mata bertambahnya hasil produksi, bukan pula keuntungan atau kekuasaan, melainkan pelayanan kepada  manusia,  yakni  manusia  seutuhnya,  dengan  mengindahkan tata  urutan  kebutuhan-kebutuhan  jasmaninya  maupun  tuntutan-tuntutan hidupnya di bidang intelektual, moral, rohani, dan keagamaan; katakanlah: manusia siapa saja, kelompok manusia mana pun juga, dari setiap suku dan wilayah dunia. Oleh karena itu kegiatan ekonomi harus dilaksanakan menurut metode-metode dan kaidah-kaidahnya sendiri, dalam batas-batas moralitas sehingga terpenuhilah rencana Allah tentang manusia”. (KV II GS art. 64). Harapan Konsili itu jelas, perekonomian mesti terutama mengabdi kepentingan perkembangan manusia, sehingga titik berat perkembangan ekonomi bukan sekedar keuntungan semata mata! Di sinilah tantangan sekaligus sebagai peluang bagi umat Katolik dan umat beragama dan berkepercayaan lainnya untuk mengembangkan ekonomi yang berpihak pada kesejahteraan rakyat.

3.      Merebaknya aliran fundamentalisme radikal

Fundamentalisme itu pandangan yang berpusat pada diri manusia, sehingga manusia menjadi tolok ukurnya. Karena itu fundamentalisme prinsipnya “menutup diri” terhadap kebenaran dari paham di luar dirinya.  Akhirnya fundamentalisme dapat berakhir pada   arogansi terhadap orang lain, kekerasan demi mencapai tujuannya sendiri. Berhadapan  dengan  berbagai  aliran  itu,  kepentingan  kehadiran  Gereja tidak lain adalah mendorong gerakan “kebebasan beragama” dan “gerakan humanisme sejati, yang tertuju pada Allah.” Demi kepentingan gerakan kebebasan beragama, Konsili Vatikan II, secara khusus menyatakannya “bahwa pribadi manusia berhak atas kebebasan beragama. Kebebasan itu berarti, bahwa semua orang harus kebal terhadap paksaan dari pihak orang- orang perorangan maupun kelompok-kelompok sosial atau kuasa manusiawi mana pun juga, sedemikian rupa, sehingga dalam hal keagamaan tak seorang pun dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya, atau dihalang-halangi untuk  dalam  batas-batas  yang  wajar  bertindak  menurut suara  hatinya, baik sebagai perorangan maupun dimuka umum, baik sendiri maupun bersama dengan orang-orang lain. Selain itu Konsili menyatakan, bahwa hak menyatakan kebebasan beragama sungguh didasarkan pada martabat pribadi manusia, sebagaimana dikenal berkat sabda Allah yang diwahyukan dan dengan akal-budi. Hak pribadi manusia atas kebebasan beragama harus diakui dalam tata hukum masyarakat sedemikian rupa, sehingga menjadi hak sipil.”(KV II, Dignitatis Humanae, art. 1). Terhadap cara pandang yang sempit dan picik dan merasa benar sendiri, Paulus VI menunjukkan nilai humanisme yang semestinya menjadi nilai universal dalam masyarakat dunia,   “Tujuan mutakhir ialah humanisme yang terwujudkan seutuhnya. Dan tidakkah itu berarti pemenuhan manusia seutuhnya dan tidap manusia? Humanisme yang picik, terkungkung dalam dirinya tidak terbuka bagi nilai-nilai roh dan bagi Allah yang menjadi Sumbernya,  barangkali  nampaknya  saja  berhasil,  sebab  manusia  dapat berusaha menta kenyataan duniawi tanpa Allah. Akan tetapi, bila kenyataan-kenyataan itu tertutup bagi Allah, akhirnya justru akan berbalik melawan manusia. Humanisme yang tertutup bagi kenyataan lain jadi tidak manusiawi. Humanisme yang sejati menunjukkan jalan kepada Allah serta mengakui tugas yagn menjadi pokok panggilan kita, tugas yang menyajikan kepada kita makna sesungguhya hidup manusiawi. Bukan manusialah norma mutakhir manusia. Manusia hanya menjadi sungguh manusiawi bila melampaui diri sendiri. Menurut Blaise Pascal, “ Manusia secara tidak terbatas mengungguli martabatnya” (Paulus VI, Populorum Progressio art. 42)

4.      Lemahnya penegakan hukum di Indonesia

Dari segi lemahnya penegakan hukum, kita harus berusaha mengubah mindset peranan hukum dalam masyarakat, bahwa hukum bukan sarana untuk mempermudah agar “kasus-kasus” Pidana dan Perdata diperlakukan sebagai “komoditi”, tetapi hukum berfungsi untuk mempermudah pelaksanaan hidup bersama yang memungkinkan terciptanya kesejahteraan umum. Konsili Vatikan II   menegaskan bahwa “Pelaksanaan kekuasaan politik, baik dalam masyarakat sendiri, maupun di lembaga-lembaga yang mewakili negara, selalu harus berlangsung dalam batas-batas tata moral, untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang diartikan secara dinamis, menurut tata perundang-undangan yang telah dan harus ditetapkan secara sah. Maka para warganegara wajib patuh-taat berdasarkan hati nurani mereka. Dari situ jelas jugalah tanggung jawab, martabat dan kewibawaan para penguasa. (KV II GS art. 73).

Dalam Kitab Suci, kita dapat melihat bagaimana Yesus menuntut bangsa Yahudi supaya taat kepada hukum Taurat sebab pada dasarnya hukum Taurat dibuat demi kebaikan dan keselamatan manusia (bdk. Mat 5: 17-43). Satu titik pun tidak boleh dihilangkan dari hukum Taurat. Ia hanya menolak hukum Taurat yang sudah dimanipulasi, di mana hukum tidak diabdikan untuk manusia, tetapi manusia diabdikan untuk hukum. Segala hukum, peraturan, dan perintah harus diabdikan untuk tujuan kemerdekaan manusia. Maksud terdalam dari setiap hukum adalah membebaskan (atau menghindarkan) manusia dari segala sesuatu yang (dapat) menghalangi manusia untuk berbuat baik. Demikian pula tujuan hukum Taurat. Sikap Yesus terhadap hukum Taurat dapat diringkas dengan mengatakan bahwa Yesus selalu memandang hukum Taurat dalam terang hukum kasih. Mereka yang tidak peduli dengan maksud dan tujuan hukum, hanya asal menepati huruf hukum, akan bersikap legalistis: pemenuhan hukum secara lahiriah sedemikian rupa sehingga semangat hukum kerap kali dikurbankan. Misalnya, ketika kaum Farisi menerapkan peraturan mengenai hari Sabat dengan cara yang merugikan perkembangan manusia, Yesus mengajukan protes demi tercapainya tujuan peraturan itu sendiri, yakni kesejahteraan manusia: jiwa dan raga. Menurut keyakinan awal orang Yahudi sendiri, peraturan mengenai hari Sabat adalah karunia Allah demi kesejahteraan manusia (bdk. Ul 5: 12-15; Kel 20: 8-11; Kej 2: 3). Akan tetapi, sejak pembuangan Babilonia (587-538 SM), peraturan itu oleh para rabi cenderung ditambah dengan larangan-larangan yang sangat rumit. Memetik butir gandum sewaktu melewati ladang yang terbuka tidak dianggap sebagai pencurian. Kitab Ulangan yang bersemangat perikemanusiaan mengizinkan perbuatan tersebut. Akan tetapi, hukum seperti yang ditafsirkan para rabi melarang orang menyiapkan makanan pada hari Sabat dan karenanya juga melarang menuai dan menumbuk gandum pada hari Sabat. Dengan demikian, para rabi menulis hukum mereka sendiri yang bertentangan dengan semangat perikemanusiaan Kitab Ulangan. Hukum ini   menjadi beban, bukan lagi bantuan guna mencapai kepenuhan hidup sebagai manusia. Oleh karena itu Yesus mengajukan protes. Ia mempertahankan maksud Allah yang sesungguhnya dengan peraturan mengenai Sabat itu. Yang dikritik Yesus bukanlah aturan mengenai hari Sabat sebagai pernyataan kehendak Allah, melainkan cara hukum itu ditafsirkan dan diterapkan. Mula-mula, aturan mengenai hari Sabat adalah hukum sosial yang bermaksud memberikan kepada manusia waktu untuk beristirahat, berpesta, dan bergembira setelah enam hari bekerja. Istirahat dan pesta itu memungkinkan manusia untuk selalu mengingat siapa sebenarnya dirinya dan untuk apakah ia hidup. Sebenarnya, peraturan mengenai hari Sabat mengatakan kepada kita bahwa masa depan kita bukanlah kebinasaan, melainkan pesta. Dan, pesta itu sudah boleh mulai kita rayakan sekarang dalam hidup di dunia ini, dalam perjalanan kita menuju Sabat yang kekal. Cara unggul mempergunakan hari Sabat ialah dengan menolong sesama (bdk.Mrk 3: 1-5). Hari Sabat bukan untuk mengabaikan kesempatan berbuat baik. Pandangan Yesus tentang Taurat adalah pandangan yang bersifat memerdekakan, sesuai dengan maksud yang sesungguhnya dari hukum Taurat.

5.      Berbagai bencana dan kerusakan alam

Bencana alam dan kerusakan alam menantang Gereja untuk berefleksi, “Di manakah Gereja itu hidup, bukankah lingkungan hidup juga sangat krusial untuk hidup Gereja di tengah dunia? Maka persoalan perusakan lingkungan hidup itu tidak hanya masalah dunia, tetapi juga masalah Gereja. Paus Paulus VI, dalam Ensiklik Populorum Progressio, art. 21, menegaskan “Bukan saja lingkungan materiil terus menurus merupakan anaman pencemaran dan sampah, penyakit baru dan daya penghancur, melainkan lingkungan hidup manusiawi tidak lagi dikendalikan oleh manusia, sehingga menciptakan lingkungan yang untuk masa depan mungkin sekali tidak tertanggung lagi. Itulah persoalan sosial berjangkau luas, yang sedang memprihatinkan  segenap  keluarga  manusia.”  Dengan  demikian,  Gereja juga ditantang untuk terlibat dalam dunia pertanian yang sudah rusak karena perusakan sistematis sehingga merusak tatanan dan fungsi lingkungan hidup. Tepatlah Konsili Vatikan II mendesak pentingnya membangun kondisi kerja untuk para petani sehingga mereka mampu mengembangkan diri sebagai manusia utuh: “Perlu diusahakan dengan sungguh-sungguh, supaya semua orang menyadari baik haknya atas kebudayaan, maupun kewajibannya yang mengikat, untuk mengembangkan diri dan membantu pengembangan diri sesama. Sebab kadang-kadang ada situasi hidup dan kerja, yang menghambat usaha-usaha manusia di bidang kebudayaan dan menghancurkan seleranya untuk  kebudayaan.  Hal  itu  secara  khas  berlaku  bagi  para  petani  dan kaum buruh; bagi mereka itu seharusnya diciptakan kondisi-kondisi kerja sedemikian rupa, sehingga tidak menghambat melainkan justru mendukung pengambangan diri mereka sebagai manusia”. (KV II, GS art. 60).

 


 

Menggali Inspirasi dari  Tokoh Nasional Katolik

Menyimak cerita

 

IJ Kasimo dan Politik Bermartabat

“Nama Ignatius Joseph Kasimo (1900-1986) tidak setenar nama-nama tokoh pergerakan kemerdekaan lainnya. Namun, ketika praksis berpolitik belakangan ini cenderung menjadi komoditas dan tempat mencari kedudukan, sosok Kasimo menjadi referensi aktual. Bersama orang-orang seangkatan, seperti Natsir dan Prawoto, tujuan Kasimo berpolitik itu jernih, untuk rakyat dan bukan untuk dapat banyak honor,” kata sejarawan Anhar Gonggong seputar ketokohan IJ Kasimo dalam sejarah pergerakan kemerdekaan. Kasimo memberi teladan bahwa berpolitik itu pengorbanan tanpa pamrih. Berpolitik  selalu  memakai  beginsel  atau  prinsip  yang  harus  dipegang teguh. Berpolitik menjadi bermartabat. Moto salus populi suprema lex (kepentingan rakyat hukum tertinggi), kata Jakob Oetama, Pemimpin Umum Harian Kompas, merupakan cermin etika politik yang nyaris jadi klasik dari tangan Kasimo. Masuk ke gelanggang politik merupakan panggilan hidup, sikap dan perbuatannya jauh dari motivasi memperkaya diri, keluarga, dan kelompok. Kasimo seorang negarawan sejati.

Menyambung  Jakob  Oetama,  di  mata  Harry  Tjan  Silalahi,  Kasimo adalah manusia berkarakter. Berkorban tanpa pamrih, hidup sederhana. Kesederhanaan menjadi kesalehan hidup. Karena itu, Kasimo dianugerahi  umur panjang. Meninggal dalam usia 86 tahun, 1 Agustus 1986, tidak pernah korup berkat pendidikan Barat yang membedakan ”milikku” dan

”milik negara”, mine and yours.

Dari Jawa Meng-Indonesia

Kalaupun kemudian Kasimo dikenal sebagai politisi Katolik, kata Jakob Oetama dan Harry Tjan Silalahi, bahkan dikenang sebagai Bapak Politik Umat Katolik Indonesia, iman Katoliknya memberi inspirasi, memperkuat sikap dan pandangan idealisme. Meskipun selalu berpakaian Jawa lengkap, Kasimo lebur dalam upaya mengajak dan menyadarkan bahwa umat Katolik bukanlah umat Katolik di Indonesia, tetapi umat Katolik Indonesia bagian utuh dari kemajemukan bangsa Indonesia. ”Dari Jawa mengindonesia,” tegas Harry Tjan. Lahir sebagai anak kedua dari 7 bersaudara dari pasangan Dalikem- Ronosentika, seorang prajurit Keraton Yogyakarta, Kasimo tampil memperjuangkan hak-hak anak jajahan. Ia berjuang lewat Volksraad, lewat partai, tidak dengan menampilkan sikap sektarian, tetapi berdasar platform kebangsaan yang majemuk.

Partai Katolik bukanlah partai konvensional, melainkan partai yang mendasarkan diri pada ajaran dan moralitas Katolik. Mengenai posisi golongan Katolik, kata Daniel Dhakidae, Pemimpin Redaksi Majalah Prismadi Hindia Belanda tahun 1930-an golongan Katolik dianggap seperti golongan ”paria” di India. Karena itu, kehadirannya tidak diperhitungkan.

Dalam kondisi demikian, peran pastor-pastor Belanda yang Katolik di Hindia Belanda menjadi serba salah. Pastor Frans van Lith SJ merupakan satu dari antara mereka yang bersimpati dan kemudian memihak orang bumiputra. Menurut JB Sudarmanto yang melakukan penelitian tentang Kasimo, setahun setelah diangkat sebagai anggota Volksraad tanggal 19 Juli 1932, Kasimo melontarkan pernyataan, ”Tuan Ketua! Dengan ini saya menyatakan bahwa suku bangsa-suku bangsa Indonesia yang berada di bawah kekuasaan negeri Belanda, menurut kodratnya mempunyai hak serta kewajiban untuk membina eksistensinya sendiri sebagai bangsa.”

Kasimo  juga  ikut  serta  dalam  Petisi  Soetardjo  yang  diajukan  pada  15 Juli 1936. Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, berkat diangkatnya Kasimo menjadi anggota penuh delegasi RI untuk perundingan dengan pihak Belanda dari Partai Katolik, dan Supeno dari Partai Sosialis, Belanda bersedia bertemu Indonesia di meja perundingan. Bersama Kolonel AH Nasution, Kasimo—Ketua Partai Katolik (1924-1960)—menjalankan fungsi pemerintahan negara dengan membentuk Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD). Kerja sama erat dalam kedudukannya sebagai pejabat KPPD di Jawa dengan Markas Komando di Jawa lewat penandatanganan bersama menghasilkan banyak keputusan sebagai legalitas formal Pemerintah Pusat RI di Jawa ketika bergerilya semasa Clash II.

Partai politik, bagi Kasimo, merupakan sarana dan bukan tujuan. Itu pula yang menjadikan Kasimo berbesar hati menerima Partai Katolik RI yang dia dirikan berfusi ke Partai Demokrasi Indonesia tahun 1972. Dosen Sejarah Gereja, RL Hasto Rosariyanto SJ, menggarisbawahi pendapat orang tentang kesamaan ketokohan Kasimo dan Cory Aquino. Mereka bertemu dalam kegiatan politik yang digerakkan oleh cinta tanah air, sederhana, dan jujur. Sebuah bentuk keluhuran yang di hari-hari ini menjadi amat mewah, terlebih saat berpolitik tidak lagi didasarkan atas keberpihakan memperjuangkan kepentingan rakyat....”  (St. Sularto/Kompas, 8 Okt. 2010)

 

c.    Peneguhan

1)   Semua warga negara berhak ikut serta menentukan hidup kenegaraan. Dalam hal ini, Gereja sejalan apa yang diharapkan negara bahwa perlunya  partisipasi rakyat dalam mengusahakan maupun menikmati pembangunan. Maka bagi Gereja sebagai persekutuan iman dalam negara demokrasi seperti Indonesia ini, mitra utama dalam dialog ialah rakyat yang bernegara. Namun dalam dialog itu peranan pemimpin negara dan pemimpin Gereja sangat menentukan.

2)   Gereja  memperjuangkan  masyarakat  “partisipatoris”,  yaitu  “suatu partisipasi aktif para warga masyarakat, secara perorangan maupun bersama-sama dalam kehidupan dan pemerintahan negara mereka” (GS.73), supaya mereka dapat ”bertanggungjawab” terhadap politik negara. Suatu pluralisme dalam pandangan para warga negara mengenai usulan politis (GS.76; OA.46) dianggap wajar, apalagi bila seluruh masyarakat ikut serta dalam kepentingan negaranya. Bahkan, perbedaan pendapat mengenai hal-hal politik itu di dalam kalangan umat Katolik sendiri dipandang sebagai pantas pula.

3)   Dalam rangka hubungan antara Gereja Katolik dan Negara Republik Indonesia, beberapa bidang pantas diberi perhatian khusus:

a)    Dalam usaha pembangunan; Gereja melihat peranannya yang khas dalam usaha  membangun  mentalitas  sehat,  memberi  motivasi yang tepat, kuat serta mengena, membina sikap dedikasi dan kesungguhan, menyumbangkan etika pembangunan serta memupuk sikap optimis. Oleh karena itu pimpinan Gereja mengharapkan seluruh umat beriman mau melibatkan diri dan bersikap kritis konstruktif, dengan jujur menilai tujuan dan sasaran pembangunan maupun upaya-upaya dan cara-cara melaksanakannya.

b)   Gereja merasa wajib memperjuangkan dan menegakkan martabat manusia sebagai pribadi yang bernilai di hadapan Allah. Sikap dan   peranan   Gereja   berdasarkan   motivasi   manusiawi   dan Kristiani semata-mata. Oleh karena itu Gereja merasa prihatin atas pelanggaran hak-hak dasar dan hukum, atas kemiskinan dan keterbelakangan yang masih diderita oleh banyak warga negara. Bila demi pengembangan dan perlindungan nilai-nilai kemanusiaan, Gereja berperanan kritis, ia menghindari bertindak konfrontatif dan menggunakan jalur-jalur yang tersedia dan berusaha sendiri memberi kesaksian.

c)    Pimpinan Gereja mengharapkan supaya para ahli dan tokoh masyarakat yang beragama Katolik mau berpartisipasi dalam pembangunan sesuai dengan keahlian dan panggilan masing-masing. Dalam hal ini mereka hendaknya dijiwai oleh semangat Injil dan memberi teladan kejujuran dan keadilan yang pantas dicontoh oleh generasi penerus.

d)   Sesuai dengan perutusan Yesus Kristus sendiri yang diteruskan-Nya, Gereja merasa solider dengan kaum miskin. Ia membantu semua yang kurang mampu tanpa membedakan agama mereka, kalau mereka mau memanfaatkan bantuan ini untuk melangkah keluar dari lingkaran setan yang mengurung mereka.

e)    Gereja mendukung sepenuhnya usaha pemerintah memupuk rasa toleransi dan kerukunan antarumat beragama.

f)     Gereja mendukung segala usaha berswadaya, merangsang inisiatif dalam segala bidang hidup kemasyarakatan, budaya, dan bernegara. Dengan demikian, potensi, bakat, dan keterlibatan para warga negara dikembangkan sesuai dengan tujuan Negara Indonesia seperti dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, Gereja memegang prinsip subsidiaritas, agar apa saja yang dapat dilaksanakan oleh para warga negara sendiri atau oleh kelompok/ satuan/organisasi pada tingkat yang lebih rendah, jangan diambil alih oleh pihak yang lebih tinggi kedudukannya. Dengan demikian, bahaya etatisme dalam segala bidang dapat dicegah. (lihat Buku Iman Katolik, KWI, 1995).

 

Selasa, 23 Februari 2021

KEBANGKITAN YESUS

 

KEBANGKITAN YESUS

 

Pendahuluan

Kepercayaan bahwa kematian bukan akhir segalanya bagi hidup  manusia tersebar dalam semua agama dan kepercayaan. Mereka percaya bahwa sesudah kematian, sesungguhnya manusia masih hidup dan terus hidup, walaupun dalam wujud lain. Bahkan dalam banyak kepercayaan roh orang yang sudah meninggal masih sering hadir dalam dunia manusia, atau bisa juga secara sengaja dihadirkan. Roh nenek moyang bahkan bisa diminta bantuannya untuk peristiwa-peristiwa khusus hidup manusia.

Sebagai manusia, Yesus pun mengalami kematian. Ia wafat dan dikuburkan sebagaimana manusia pada umumnya. Tetapi kematian bukan akhir segalanya tentang  Yesus, sebab Yesus dibangkitkan  Allah dari  kematian.  Warta  tentang kebangkitan Yesus Kristus tersebut merupakan dasar paling penting dalam iman Kristen, sebab “jika Kristus tidak bangkit, maka sia-sialah seluruh iman kita” (bandingkan 1Korintus 15: 14). Kebangkitan Yesus merupakan bukti harapan bagi Gereja bahwa kematian bukan akhir segalanya, sebab melalui baptisan, kita telah dipersatukan dengan wafat Yesus Kristus dan kelak akan menikmati kebangkitan bersama  Kristus. Bahkan bukan  itu  saja, sebagaimana Kristus masuk  dalam kemuliaan Allah di Surga, demikian pula setiap orang yang percaya kepadaNya.

Sayangnya, Kitab Suci Perjanjian  Baru tidak  memberikan  bukti  autentik tentang  peristiwa kebangkitan  Yesus itu  sendiri.  Berkaitan  dengan  peristiwa kebangkitan Yesus, Perjanjian Baru hanya menyuguhkan dua peristiwa penting, yakni: peristiwa makam kosong dan penampakan Yesus kepada para murid-Nya. Oleh karena itu pemahaman kita tentang kebangkitan Yesus bisa bertitik tolak dari kedua peristiwa tersebut. Pada materi kali ini, kita hanya akan membahas tentang kebangkitan Kristus.

 

Mendalami Pengalaman Kehadiran Orang yang Sudah Meninggal

Mari membaca cerita berikut:

 

Tetap Hadir, Sekalipun Sudah Tiada

Ketika memasuki minggu pertama masuk di kelas X SMA, Bertha tiba-tiba disusul tetangganya untuk meninggalkan pelajaran dan pulang ke rumahnya. Bagaikan petir di siang bolong, ia mendengar kabar yang menyedihkan, ayah kesayangannya dipanggil Tuhan untuk selama-lamanya akibat penyakit yang dideritanya. Hatinya sangat terpukul dan ia pun tak dapat menyembunyikan kesedihannya. Sambil melangkah meninggalkan gerbang sekolah ia menangis meronta-ronta. Sesampai di rumah, kesedihannya tak lagi dapat dibendung, ia menangis sambil memeluk jasad ayahnya. Demikian pula, sesusai pemakaman ayahnya, di rumah Bertha terus menangis.

Tetapi Bertha beruntung memiliki  seorang Ibu yang sangat tegar dan sangat menyayanginya. “Anakku, bukankah kita sudah diajari bahwa setiap orang yang percaya kepada Kristus akan hidup kekal selamanya? Ayah memang sudah meninggalkan kita, tetapi ia akan tetap berada bersama kita. Kalau engkau rindu sama ayah, peluklah foto ayah dan katakan apa saja yang ingin kamu katakan kepadanya!” kata Ibunya kepada Bertha.

Awalnya Bertha tidak percaya dan tidak mengerti akan kata-kata Ibunya. Mungkin karena kesedihan yang sangat dalam akibat ditinggal ayahnya. Tetapi seminggu setelahnya, ia mulai melakukan apa yang dikatakan ibunya. Pada saat hendak berangkat ke sekolah, Bertha memandang  foto ayahnya, lalu berkata: “Ayah, Bertha ke sekolah dulu ya..doakan supaya Bertha jadi anak yang baik dan pintar! Doakan juga ibu supaya punya rezeki untuk membiayai kuliah Bertha!”  Akhirnya  hal itu  menjadi  kebiasaan. Setiap kali  melakukannya, Bertha merasa seolah ayahnya tersenyum. Bahkan ketika sedang sedih, atau saat ia mengalami kegembiraan, ia pun menceritakan apa saja yang dialaminya kepada ”ayahnya” itu.

Bertha sungguh merasakan bahwa ayahnya tetap hadir. Hal itulah yang membuat  dia  sangat bersemangat. Ia  sangat yakin  bahwa ayahnya  tetap bersamanya.

 

Peneguhan

Kematian memang memisahkan  manusia  yang hidup  dan  yang mati secara  fisik. Tetapi  pengalaman  menunjukkan   bahwa  secara  batin komunikasi dapat berjalan terus. Dan itu semua hanya dapat dialami oleh orang-orang yang mempunyai kedekatan khusus dengan orang yang sudah meninggal.

 

Memahami Peristiwa dan Makna Kebangkitan dan Kenaikan Yesus ke Surga

Markus: 16:1-20

1Setelah lewat hari Sabat, Maria Magdalena dan Maria ibu Yakobus, serta Salome membeli rempah-rempah untuk pergi ke kubur dan meminyaki Yesus. 2Dan pagi-pagi benar pada hari pertama minggu itu, setelah matahari terbit, pergilah mereka ke kubur. 3Mereka berkata seorang kepada yang lain: “Siapa yang akan menggulingkan batu itu bagi kita dari pintu kubur?”

4Tetapi ketika mereka melihat dari dekat, tampaklah, batu yang memang sangat besar itu sudah terguling. 5Lalu mereka masuk ke dalam kubur dan mereka melihat seorang muda yang memakai jubah putih duduk di sebelah kanan. Mereka pun sangat terkejut, 6tetapi orang muda itu berkata kepada mereka: “Jangan takut! Kamu mencari Yesus orang Nazaret, yang disalibkan itu. Ia telah bangkit. Ia tidak ada di sini. Lihat! Inilah tempat mereka membaringkan Dia. Tetapi sekarang pergilah, katakanlah kepada murid-murid-Nya dan kepada Petrus: Ia mendahului kamu ke Galilea; di sana kamu akan melihat Dia, seperti yang sudah dikatakan-Nya kepada kamu.”

8Lalu mereka keluar dan lari meninggalkan kubur itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa mereka. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun juga karena takut.  Dengan singkat mereka sampaikan semua pesan itu  kepada Petrus dan teman-temannya. Sesudah itu Yesus sendiri dengan perantaraan murid-murid-Nya memberitakan dari Timur ke Barat berita yang kudus dan tak terbinasakan tentang keselamatan yang kekal itu.

9Setelah Yesus bangkit pagi-pagi pada hari pertama minggu itu, Ia mula-mula menampakkan diri-Nya kepada Maria Magdalena. Dari padanya Yesus pernah mengusir tujuh setan. 10Lalu perempuan itu pergi memberitahukannya kepada mereka yang selalu mengiringi Yesus, dan yang pada waktu itu sedang berkabung dan menangis. 11Tetapi ketika  mereka mendengar, bahwa Yesus hidup  dan  telah dilihat olehnya, mereka tidak percaya. 12Sesudah itu Ia menampakkan diri dalam rupa yang lain kepada dua orang dari mereka, ketika keduanya dalam perjalanan ke luar kota.

13Lalu kembalilah mereka dan memberitahukannya kepada teman-teman yang lain, tetapi kepada mereka pun teman-teman itu tidak percaya. 14Akhirnya Ia menampakkan diri kepada kesebelas orang itu ketika mereka sedang makan, dan Ia mencela ketidakpercayaan dan kedegilan hati mereka, oleh karena mereka tidak percaya kepada orang-orang yang telah melihat Dia sesudah kebangkitan-Nya. 15Lalu Ia berkata kepada mereka: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.

16Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum.

17 Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa- bahasa yang baru bagi mereka, 18mereka akan memegang ular, dan sekalipun mereka minum  racun maut, mereka tidak akan mendapat celaka; mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh.”

19Sesudah Tuhan Yesus berbicara demikian kepada mereka, terangkatlah Ia ke surga, lalu duduk di sebelah kanan Allah. 20Mereka pun pergilah memberitakan Injil ke segala penjuru, dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya.

 

Kebangkitan Yesus:

Kebangkitan Yesus merupakan peristiwa sejarah

Perjanjian Baru menegaskan bahwa kebangkitan Yesus dari alam maut merupakan kejadian yang benar-benar terjadi dalam sejarah manusia dan sejarah keselamatan. Malahan Santo Paulus telah menulis kepada umat di Korintus sekitar tahun 56: “Yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima  sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci; dan bahwa Ia telah menampakkan diri kepada Kefas dan  kemudian  kepada kedua belas murid-Nya”  (1 Korintus  15:3-4). Rasul Paulus berbicara di sini tentang  tradisi yang hidup mengenai kebangkitan, yang ia dengar sesudah pertobatannya di depan pintu gerbang Damaskus (bandingkan Kisah Para Rasul 9:3-18).

Dalam 1 Korintus 12:3-8, Paulus mau menekankan beberapa hal :

1)     Paulus mau membuktikan bahwa Yesus sungguh bangkit

2)     Paulus mau membela kemungkinan adanya tuduhan seolah-olah apa yang dikatakannya hanya isapan jempol.

 

 

 

Kubur kosong menandai Kristus yang bangkit.

Kitab Suci Perjanjian Baru menceritakan  tentang makam kosong sebagai titik awal kisah kebangkitan Yesus. Tetapi kejadian makam kosong ini tidak langsung dengan sendirinya menjadi bukti tentang kebangkitan. Perempuan-perempuan yang melihat makam Yesus yang kosong, awalnya berpikir bahwa jenazah Yesus diambil orang (bandingkan Yohanes 20:13; Matius 28:11-15). Walaupun demikian, makam kosong itu adalah satu bukti yang sangat penting untuk semua orang. Dengan melihat kejadian makam kosong, dan melihat “kain kafan terletak di tanah” (Yohanes 20:6), maka mereka menjadi percaya bahwa Yesus benar-benar bangkit (Yohanes 20:8). Mereka akhirnya percaya, bahwa jenazah Yesus tidak diambil oleh manusia, dan  bahwa Yesus tidak kembali lagi ke suatu kehidupan duniawi seperti Lasarus (bandingkan Yohanes 11:44).

Yesus menampakkan Diri

Kisah bahwa Yesus bangkit dikuatkan dengan kisah penampakan Yesus. Pertama  kali  Yesus menampakkan   diri  kepada  Maria  dari Magdala, Maria Ibu Yakobus dan Salome (bandingkan  Matius 28:9-10; Yohanes 20:11-18). Merekalah saksi kebangkitan Yesus yang pertama kali. Sesudah itu Yesus menampakkan  diri kepada Petrus, kemudian kepada kedua belas murid-Nya (bandingkan 1 Korintus 15:5).

Mengapa Kristus Bangkit?

St. Thomas Aquinas menjelaskan bahwa ada lima alasan mengapa Kristus bangkit:

1)      Pertama, untuk menyatakan keadilan Allah. Kristus yang rela taat pada kehendak Allah, menderita dan wafat sudah selayaknya ditinggikan dengan kebangkitan-Nya yang mulia.

2)      Kedua, untuk memperkuat iman kita. Rasul Paulus menuliskan, “Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan  kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu.” (1Korintus 15:14) Dengan kebangkitan-Nya, maka Kristus sendiri membuktikan bahwa Dia adalah Tuhan, dan membuktikan bahwa kematian-Nya bukanlah  satu kekalahan, namun  merupakan  satu kemenangan  yang membawa kehidupan.

3)      Ketiga, untuk memperkuat pengharapan. Karena Kristus membuktikan  bahwa Dia bangkit dan  membawa orang-orang  kudus bersama dengan-Nya, maka kita dapat mempunyai pengharapan yang kuat, bahwa pada saatnya, kitapun akan dibangkitkan oleh Kristus. Dan inilah yang menjadi pewartaan para rasul, seperti yang dikatakan oleh rasul Paulus “Jadi, bilamana kami beritakan, bahwa Kristus dibangkitkan dari antara orang mati, bagaimana mungkin ada di antara kamu yang mengatakan,  bahwa tidak  ada  kebangkitan  orang  mati?” (1Korintus 15:12). Bersama-sama dengan Ayub, kita dapat berkata “Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu. yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikan- Nya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena rindu.” (Ayub 19:25,27).

4)      Keempat, agar kita dapat hidup dengan baik. St. Thomas mengutip Roma 6:4, “Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.” Dengan demikian, kebangkitan Kristus mengajarkan kita untuk senantiasa hidup dalam hidup yang baru, yaitu hidup dalam Roh.

5)      Kelima, untuk menuntaskan karya keselamatan Allah. Karya keselamatan Allah tidak berakhir pada kematian Kristus di kayu salib, namun berakhir pada kemenangan Kristus, yaitu dengan kebangkitan- Nya. Rasul Paulus menuliskan “yaitu Yesus, yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan  dibangkitkan  karena  pembenaran  kita.” (Roma 4:25)

 

Seperti Apakah Kebangkitan Yesus?

Tubuh  kebangkitan  Kristus  bukanlah  seperti  hantu,  namun tubuh-Nya yang sama, yang disiksa dan disalibkan, hanya tubuh tersebut sudah dimuliakan.

Yesus yang telah bangkit berhubungan langsung dengan murid- murid-Nya:  Ia  membiarkan  diri-Nya  diraba  (bandingkan  Lukas 24:39; Yohanes 20:27). dan Ia makan bersama mereka (bandingkan Lukas 24:30.41-43; Yohanes 21:9.13-15). Ia mengajak mereka untuk memastikan  bahwa  Ia  bukan  hantu  (bandingkan  Lukas 24:39), sebaliknya untuk  membenarkan  bahwa tubuh  yang baru bangkit sebagaimana Ia berdiri di depan mereka, adalah benar-benar tubuh yang sama dengan yang disiksa dan disalibkan, karena Ia masih menunjukkan  bekas-bekas kesengsaraan-Nya (bandingkan  Lukas 24:40; Yohanes 20:20.27). Tetapi tubuh  yang benar dan sungguh- sungguh ini serentak pula memiliki sifat-sifat tubuh baru yang sudah dimuliakan: Yesus tidak lagi terikat pada tempat dan waktu, tetapi dapat ada sesuai dengan kehendak-Nya, di mana dan bilamana Ia kehendaki (bandingkan Matius 28:9.16-17; Lukas 24:15.36; Yohanes 20:14.19.26; 21:4). Tubuh  kebangkitan adalah tubuh  illahi. Itulah sebabnya Yesus yang bangkit juga bebas untuk menampakkan Diri, sesuai dengan kehendak-Nya: dalam sosok tubuh  seorang tukang kebun (bandingkan Yohanes 20:14-15) atau “dalam satu bentuk lain” (Markus 16:12) dari bentuk yang sudah terbiasa untuk para murid.

Kebangkitan  Yesus  bukan  berarti  Yesus  kembali  ke  kehidupan duniawi.

Kebangkitan Yesus tidak  berarti  bahwa Yesus ke kehidupan duniawi seperti yang dialami oleh puteri Yairus, pemuda Naim, dan Lasarus sesaat setalah mereka dibangkitkan Yesus sebelum wafatNya. Tindakan Yesus terhadap mereka semata-mata untuk memberikan bukti  kekuasaan Yesus sebagai utusan  Bapa. Kelak mereka yang telah dibangkitkan oleh Yesus akan mati lagi. Kebangkitan Kristus memang lain sifatnya. Tubuh Yesus yang bangkit adalah tubuh yang dipenuhi dengan kekuasaan Roh Kudus, tubuh yang ilahi, atau dalam istilah Paulus “Yang surgawi” (bandingkan 1 Korintus 15:35-50).

 

Kata “kebangkitan” atau “bangkit” kata yang menunjukkan keadaan orang yang tidur lalu bangun, bangkit/dibangunkan. Bagi orang Yahudi kata “bangkit” dikaitkan dengan akhir zaman yakni orang mati menjadi hidup. Sedangkan orang kristen menganggap “bangkit” untuk menekan bahwa Yesus benar-benar mati dan dikubur (lih. 1Kor 155:4)

 

1)     Makna Kebangkitan Yesus bagi iman kita

a.      Kebangkitan Yesus mensahkan dan melegitimasi apa yang dilakukan dan diajarkanNya. Semua kebenaran yang diajarkaNya mendapat pembenaran.

b.      Kebangkitan Yesus, terpenuhilah nubuat-nubuat Perjanjian Lama (bdk. Luk 24:26-27) dan juga apa yang dijanjikan Yesus sendiri semasa hidupNya di dunia (bdk. Mat 28:6).

c.      Kebangkitan Yesus menegaskan ke-Allahan Yesus (lih. Yoh 8:28). Kebangkitan Yesus menerangkapn bahwa Ia sungguh-sungguh Putra Allah

2)     Makna kebangkitan Yesus bagi perjuangan hidup manusia di dunia :

a.      Kita menerima Allah sebagai Raja, kekuatan, dan dukungan. Yesus selalu mengandalkan Allah dalam seluruh hidupNya. Oleh karena itu Yesus tidak pernah gentar menghadapi tandangan hidup termasuk kematian. Yesus mengajak kita untuk selalu juga mendoakan Allah dalam seluruh perjuangan hidup di dunia ini.

b.      Mencintai sesama tanpa batas. Yesus semasa hidupNya mencintai semua orang tanpa batas, tanpa melihat perbedaan termasuk musuh-musuhNya.

c.      Berjuang untuk memerdekakan manusia. Yesus sangat menjunjung martabat manusia. Yesus sangat tidak menginginkan manusia dilecehkan oleh hukum dan peraturan Hukum diabdikan untuk manusia dan bukan sebaliknya. Yesus mengajak orang untuk berjuang menjunjung tinggi martabat setiap orang

 

 

Kamis, 18 Februari 2021

AJARAN SOSIAL GEREJA

 

AJARAN SOSIAL GEREJA

 

Acapkali muncul pertanyaan seputar sikap Gereja menghadapi keadaan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik dalam hidup sehari-hari.

·       Bagaimanakah Gereja menyikapi umat yang hidup melarat, tak cukup makan dan minum, tak bisa bayar uang obat, tak bisa mengecap pendidikan  dasar?

·       Apakah Gereja hanya meminta mereka untuk  berdoa dan memohon  kepada Tuhan  supaya Dia menolong untuk menghadapi masalah-masalah yang sedang dihadapi?

·       Apakah disamping memohon kepada Tuhan dengan tekun, Gereja juga mengambil sejumlah tindakan nyata untuk mengeluarkan mereka dari kungkungan sosial yang menyengsarakan, menyakitkan dan menekan lahir dan batin?

Jika diamati dengan seksama, penampilan Gereja Indonesia ternyata masih lebih berpenampilan ibadat daripada penampilan gerakan sosial. Bahkan dikatakan bahwa wajah Gereja Indonesia adalah berwajah pesta yang tampak dalam perayaan-perayaan kultis-liturgisnya.  Seandainya  ada  penampilan  sosial, hal  itu  tidak  merupakan penampilan  utama.  Penampilan  sosial  yang  ada  sampai  sekarang  merupakan penampilan sosial karitatif, seperti membantu yang miskin, mencarikan pekerjaan bagi pengangguran, dan sebagainya. Demikian juga, mereka yang datang ke gereja adalah orang-orang  yang telah menjadi puas bila dipenuhi  kebutuhan  pribadinya dengan kegiatan ibadat atau sudah cukup senang dengan memberi dana sejumlah uang bagi mereka yang sengsara. Namun, mencari sebab-sebab mengapa ada pengemis, mengapa ada pengangguran belum dianggap sebagai hal yang berhubungan dengan iman. Padahal, kita tahu ajaran sosial Gereja lebih mengundang  kita untuk  tidak merasa kasihan kepada para korban, tetapi mencari sebab-sebab mengapa terjadi korban dan mencari siapa penyebabnya. Mungkin saja bahwa penyebabnya adalah orang-orang yang mengaku beriman Katolik itu sendiri.

Ajaran sosial Gereja yang dikembangkan sejak abad XIX merupakan bagian integral dari seluruh pandangan hidup Kristiani. Ensiklik Rerum Novarum (1891) mengembangkan ajaran sosial klasik yang berkisar pada masalah-masalah keadilan untuk kaum buruh upahan. Selanjutnya  sejak Ensiklik Mater et Magistra (1961), Gaudium et Spes (1965), dan Populorum Progressio (1971) dimunculkan  tekanan baru  pada  segi pastoral  dan  praksis,  dimensi  internasional  dan  masalah  hak-hak asasi manusia. Masalah konkret  yang sangat mendesak adalah negara yang sedang berkembang, ledakan penduduk,  nilai kerja manusia, diskriminasi rasial, otonomi  bidang duniawi dari agama, keahlian profesional. Pada tahap kedua ini, Gereja berjuang untuk membela martabat setiap pribadi manusia dan membangun masyarakat yang manusiawi. Ajaran sosial Gereja sering terkesan sebagai pedoman yang kaku. Terdorong dan diterangi iman dicari jawaban atas masalah-masalah baru, Ajaran sosial Gereja berkembang, walaupun prinsip-prinsip  dasarnya sama. Bila keputusan dan tindakan politik tidak adil, Gereja harus bicara. Ajaran sosial Gereja menolak pandangan yang salah tentang masyarakat, yaitu ajaran kapitalisme liberal dan  komunisme  total.  Ajaran  sosial Gereja memusatkan  perhatian  pada penekanan nilai-nilai dasar kehidupan  bersama. Titik tolaknya adalah pengertian manusia sebagai makhluk berpribadi dan sekaligus makhluk sosial. Di satu pihak, manusia membutuhkan  masyarakat dan hanya dapat berkembang di dalamnya. Di lain pihak, masyarakat yang sungguh manusiawi mustahil terwujud tanpa individu-individu yang berkepribadian kuat, baik, dan penuh tanggung jawab. Masyarakat sehat dicirikan oleh adanya pengakuan terhadap martabat pribadi manusia, kesejahteraan bersama, dan solidaritas.

 

Mendalami Ajaran Sosial Gereja

·       Ajaran Sosial Gereja (ASG) adalah ajaran mengenai hak dan kewajiban berbagai anggota  masyarakat  dalam  hubungannya   dengan  kebaikan  bersama,  baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Ajaran sosial Gereja merupakan tanggapan Gereja terhadap  fenomena atau persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat manusia dalam bentuk himbauan, kritik atau dukungan. Dengan kata lain, ajaran sosial Gereja merupakan bentuk keprihatinan Gereja terhadap dunia dan umat manusia dalam wujud dokumen yang perlu disosialisasikan. Karena masalah-masalah  yang dihadapi  oleh  manusia  beragama  bervariasi, dan  ini dipengaruhi oleh semangat dan kebutuhan zaman, maka tanggapan Gereja juga bervariasi sesuai dengan isu sosial yang muncul.

·       Tujuan ASG adalah menghadirkan kepada manusia rencana Allah bagi realitas duniawi dan menerangi serta membimbing manusia dalam membangun dunia seturut  rencana  Tuhan.  Atau  ASG dimaksudkan  untuk  menjadi  pedoman, dorongan  dan  bekal  bagi  banyak  orang  Katolik  dalam  perjuangannya  ikut serta  menciptakan  dunia  kerja dan  beragam  relasi manusia  yang terhormat dan masyarakat sejahtera yang bersahabat dan bermartabat. Dengan bekal dan pedoman ajaran sosial, mereka diharapkan menjadi rasul awan yang tangguh dan terus berkembang di tengah kehidupan real.

 

Beberapa Dokumen Ajaran Sosial Gereja

Ajaran Sosial Gereja di antaranya terdiri atas:

1.       Rerum Novarum (Hal-hal baru) Ensiklik Paus Leo XIII

Tahun   1891-

RN (Rerum Novarum) merupakan Ensiklik pertama ajaran sosial Gereja. Menaruh fokus keprihatinan pada kondisi kerja pada waktu itu, dan tentu saja juga nasib para buruhnya. Tampilnya masyarakat terindustrialisasi mengubah pola lama hidup bersama, pertanian. Tetapi, para buruh mendapat perlakuan buruk. Mereka diperas. Jatuh dalam kemiskinan struktural yang luar biasa. Dan tidak mendapat keadilan  dalam  upah  dan  perlakuan.  Ensiklik RN  merupakan ensiklik pertama yang menaruh  perhatian pada masalah-masalah sosial secara sistematis dan  dalam jalan pikiran  yang berangkat dari prinsip keadilan universal. Dalam RN hak-hak buruh dibahas dan dibela. Pokok-pokok pemikiran RN menampilkan tanggapan Gereja atas isu-isu keadilan dan pembelaan atas martabat manusia (kaum buruh).

Tema-Tema Pokok: Promosi martabat manusia lewat keadilan upah pekerja; hak-hak buruh;  hak  milik  pribadi  (melawan  gagasan Marxis-komunis); konsep keadilan dalam konteks pengertian hukum kodrat; persaudaraan antara yang kaya dan miskin untuk melawan kemiskinan (melawan gagasan dialektis Marxis); kesejahteraan umum; hak-hak negara untuk  campur tangan (melawan gagasan komunisme); soal pemogokan; hak membentuk serikat kerja; dan tugas Gereja dalam membangun keadilan sosial.

Konteks Zaman: Revolusi industri;  kemiskinan  yang hebat  pada  kaum  pekerja/ buruh;  tiadanya  perlindungan  pekerja oleh otoritas  publik  dan pemilik modal; jurang kaya miskin yang luar biasa.

 

2.       Quadragesimo Anno (tahun keempat puluh) Ensiklik Paus Pius XI

Tahun   1931–

QA (Quadragesimo Anno)  memiliki  judul  maksud  Rekonstruksi Tatanan  Sosial.” Nama Ensiklik ini (40 tahun) dimaksudkan untuk memperingati Ensiklik Rerum Novarum. Tetapi pada zaman ini memang ada kebutuhan sangat hebat untuk menata kehidupan sosial bangsa manusia.  Diperkenalkan  dan  ditekankan  terminologi  yang sangat penting dalam Ajaran Sosial Gereja, yaitu “subsidiaritas” (maksudnya, apa yang bisa dikerjakan oleh tingkat bawah, otoritas di atasnya tidak perlu ikut campur). Dalam banyak hal QA masih melanjutkan RN mengenai soal-soal “dialog”-nya dengan perkembangan masyarakat. Menolak solusi komunisme  yang menghilangkan  hak-hak  pribadi. Tetapi juga sekaligus mengkritik persaingan kapitalisme sebagai yang akan menghancurkan dirinya sendiri

Tema-Tema Pokok: QA bermaksud menggugat kebijakan-kebijakan ekonomi zaman itu; membeberkan akar-akar kekacauannya sekaligus menawarkan solusi pembenahan  tata sosial hidup bersama, sambil mengenang Ensklik RN; soal hak-hak pribadi dan kepemilikan bersama; soal modal dan kerja; prinsip-prinsip bagi hasil yang adil; upah adil; prinsip-prinsip pemulihan ekonomi dan tatanan sosial; pembahasan sosialisme dan tentu saja kapitalisme; langkah-langkah Gereja dalam mengatasi kemiskinan struktural.

Konteks Zaman: Depresi ekonomi sangat hebat terjadi tahun 1929 menggoyang dunia. Di Eropa bermunculan diktator, kebalikannya demokrasi merosot di mana-mana.

 

3.       Mater Et Magistra (Ibu dan Pengajaran) Ensiklik Yohanes XXIII

Tahun   1961–

Masalah-masalah sosial yang diprihatini oleh Ensiklik ini khas pada zaman ini. Soal jurang kaya miskin tidak hanya disimak dari sekedar urusan pengusaha dan pekerja, atau pemilik modal dan kaum buruh, melainkan sudah menyentuh masalah internasional. Untuk pertama kalinya isu “internasional” dalam hal keadilan menjadi tema ajaran sosial Gereja. Ada jurang sangat hebat antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin. Kemiskinan di Asia, Afrika, dan Latin Amerika adalah produk dari sistem tata dunia yang tidak adil. Di lain pihak, persoalan menjadi makin rumit menyusul perlombaan senjata nuklir, persaingan eksplorasi ruang  angkasa, bangkitnya ideologi-ideologi. Dalam Ensiklik ini diajukan pula “jalan pikiran” Ajaran Sosial Gereja: see, judge, and act. Gereja Katolik didesak untuk berpartisipasi secara aktif dalam memajukan tata dunia yang adil.

Tema-Tema Pokok: QA bermaksud menggugat kebijakan-kebijakan ekonomi zaman itu; membeberkan akar-akar kekacau-annya sekaligus menawarkan solusi pembenahan  tata sosial hidup bersama, sambil mengenang Ensklik RN; soal hak-hak pribadi dan kepemilikan bersama; soal modal dan kerja; prinsip-prinsip bagi hasil yang adil; upah adil; prinsip-prinsip pemulihan ekonomi dan tatanan sosial; pembahasan sosialisme dan tentu saja kapitalisme; langkah-langkah Gereja dalam mengatasi kemiskinan struktural.

Konteks Zaman: Depresi ekonomi sangat hebat terjadi tahun 1929 menggoyang dunia. Di Eropa bermunculan diktator, kebalikannya demokrasi merosot di mana-mana.

 

4.       Pacem in Terris (Damai di Bumi) Ensiklik Paus Yohanes XIII

Tahun   1963–

Pacem in Terris menggagas perdamaian, yang menjadi isu sentral pada dekade enam puluhan. Bilamana terjadi perdamaian? Bila ada rincian tatanan  yang adil dengan mengedepankan  hak-hak manusiawi dan keluhuran  martabatnya.  Yang dimaksudkan  dengan  tatanan  hidup ialah tatanan  relasi (1) antarmasyarakat, (2) antara masyarakat dan negara, (3) antarnegara,  (4) antara  masyarakat dan  negara-negara dalam level komunitas  dunia.  Ensiklik menyerukan  dihentikannya perang dan perlombaan senjata serta pentingnya memperkokoh hubungan  internasional  lewat lembaga yang sudah dibentuk: PBB. Ensiklik ini memiliki muatan  ajaran yang ditunjukkan  tidak hanya bagi kalangan Gereja Katolik tetapi seluruh  bangsa manusia  pada umumnya.

Tema-Tema Pokok: Tata dunia,  tata  negara, relasi antarwarga  masyarakat dan  negara, struktur negara (bagaimana diatur), hak-hak warganegara; hubungan internasional  antarbangsa;  seruan  agar dihentikannya  perlombaan senjata; soal “Cold War” (perang dingin) oleh produksi senjata nuklir; komitmen  Gereja terhadap  perdamaian  dunia. Penekanan  pondasi uraian pada gagasan hukum kodrat.

Konteks Zaman: Perang dingin antara Barat dan Blok Timur, pendirian Tembok Berlin yang memisahkan antara Jerman Barat dan Timur simbol pemisahan bangsa manusia (Agustus 1961), soal krisis Misile Cuba (1962)

 

5.       Gaudium Et Spes (Kegembiraan dan Harapan) Dokumen Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II

Tahun   1965-

GS (Gaudium  et Spes) menaruh keprihatinan  secara luas pada  tema  hubungan  Gereja dan  Dunia modern. Ada kesadaran kokoh dalam Gereja untuk berubah seiring dengan perubahan  kehidupan manusia modern. Soal-soal yang disentuh oleh GS dengan demikian berkisar tentang kemajuan manusia di dunia modern. Di lain pihak tetap diangkat ke permukaan soal jurang yang tetap lebar antara si kaya dan si miskin. Relasi antara Gereja dan sejarah perkembangan manusia di dunia modern dibahas dalam suatu cara yang lebih gamblang, menyentuh nilai perkawinan, keluarga, dan tata hidup masyarakat pada umumnya. Judul dokumen ini mengatakan  suatu  “perubahan  eksternal” dari  kebijakan hidup Gereja: Kegembiraan dan harapan,  duka dan kecemasan manusia- manusia  zaman  ini,  terutama  kaum  miskin  dan  yang menderita, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Kardinal Joseph Suenens (dari Belgia) berkata bahwa pembaharuan Konsili Vatikan II tidak hanya mencakup bidang liturgis saja, melainkan juga hidup Gereja di dunia modern  secara kurang lebih menyeluruh. GS membuka cakrawala baru dengan mengajukan perlunya “membaca tanda-tanda zaman” (signs of the times).

Tema-Tema Pokok: Penjelasan tentang perubahan-perubahan dalam tata hidup masyarakat zaman ini; martabat pribadi manusia; ateisme sistematis dan ateisme praktis;  aktivitas  hidup  manusia;  hubungan   timbal  balik  antara Gereja dan dunia; beberapa masalah mendesak, seperti perkawinan, keluarga; cinta kasih suami isteri; kesuburan perkawinan; kebudayaan dan iman; pendidikan kristiani; kehidupan sosial ekonomi dan perkembangan terakhirnya; harta benda diperuntukkan  bagi semua orang; perdamaian dan persekutuan bangsa-bangsa; pencegahan perang; kerjasama internasional.

Konteks Zaman: Perang dingin masih tetap berlangsung. Di lain pihak, negara-negara baru “bermunculan” (beroleh kemerdekaan)

 

6.       Populorum Progressio (Kemajuan Bangsa-Bangsa) Ensiklik Paus Paulus VI

Tahun   1967-

Perkembangan  bangsa-bangsa merupakan  tema  pokok  perhatian dari Ensiklik Ajaran Sosial. Gereja memandang  bahwa kemajuan bangsa manusia tidak hanya dalam kaitannya dengan perkara- perkara ekonomi atau teknologi, tetapi juga budaya (kultur). Kemajuan bangsa manusia masih tetap dan bahkan memiliki imbas pemiskinan pada sebagian besar bangsa-bangsa. Isu marginalisasi kaum miskin mendapat  tekanan dalam dokumen  ini. Revolusi di berbagai tempat di belahan dunia kerap kali tidak membawa bangsa manusia kepada kondisi yang lebih baik, malah kebalikannya, kepada situasi yang sangat runyam. Kekayaan dari sebagian negara-negara maju harus dibagi untuk memajukan negara-negara yang miskin. Soal-soal yang berkaitan dengan perdagangan (pasar) yang adil juga mendapat sorotan yang tajam. Ensiklik ini menaruh perhatian secara khusus pada perkembangan masyarakat dunia, teristimewa negara- negara  yang sedang berkembang. Diajukan  pula  refleksi teologis perkembangan / kemajuan yang membebaskan dari ketidakadilan dan pemikinan.

Tema-Tema Pokok: Perkembangan bangsa manusia zaman ini; kesulitan-kesulitan yang dihadapi; kerjasama antarbangsa-bangsa; dukungan organisasi internasional, seperti badan-badan  dunia yang mengurus bantuan keuangan dan pangan; kemajuan diperlukan bagi perdamaian.

Konteks Zaman: Tahun enampuluhan memang tahun perkembangan bangsa-bangsa; banyak negara baru bermunculan  di Afrika; tetapi juga sekaligus perang ideologis dan antarkepentingan kelompok manusia luar biasa ramainya; pada saat yang sama terjadi ancaman proses marginalisasi (pemiskinan);  terjadi  perang  di  Vietnam  yang sangat  brutal;  di Indonesia  sendiri  terjadi  perang  ideologis (Marxis-komunis  dan militer).

 

7.       Octogesima Adveniens (tahun kedelapan puluh) Surat Apostolik Paus Paulus VI

Tahun   1971-

Arti  “Octogesima” adalah  tahun  yang ke-80; maksudnya:  surat apostolik ini dimaksudkan untuk manandai usia Rerum Novarum yang  ke-80  tahun.   Paulus   VI  menyerukan   kepada   segenap anggota Gereja dan bangsa manusia untuk bertindak memerangi kemiskinan. Soal-soal yang berkaitan dengan urbanisasi dipandang menjadi salah satu sebab lahirnya “kemiskinan baru”, seperti orang tua, cacat, kelompok masyarakat yang tinggal di pinggiran kota, dst. Diajukan ke permukaan pula masalah-masalah diskriminasi warna kulit, asal-usul, budaya, sex, agama. Gereja mendorong  umatnya untuk bertindak secara aktif dalam masalah-masalah politik dan mendesak untuk memperjuangkan nilai-nilai/semangat injili. Memperjuangkan keadilan sosial.

Tema-Tema Pokok: Soal kepastian dan ketidakpastian fenomen kemajuan bangsa manusia   zaman   ini   berkaitan   dengan   keadilan;   urbanisasi dan konsekuensi-konsekuensinya; soal diskriminasi; hak-hak manusiawi;  kehidupan  politik,  ideologi;  menyimak  sekali  lagi daya tarik sosialisme; soal kapitalisme; panggilan kristiani untuk bertindak  memberi kesaksian hidup  dan partisipasi aktif dalam hidup politik.

Konteks Zaman: Dunia  mengalami  resesi ekonomi  dengan  korban  mereka yang miskin; di Amerika aksi Martin  Luther King untuk  perjuangan hak-hak asasi marak dan menjadi perhatian dunia; protes melawan perang Vietnam.

 

8.       Convenientes Ex Universo (Berhimpun  dari Seluruh Dunia)  atau lebih dikenal:

Justicia In Mundo (Justice In The World).

Sinode para Uskup sedunia

Tahun   1971-

Dunia sedang berhadapan dengan problem keadilan. Untuk pertama kalinya (boleh disebut demikian) sinode para uskup menaruh   perhatian   pada   soal-soal   yang   berkaitan   dengan keadilan. Para Uskup berhimpun dan bersidang serta menelorkan keprihatinan tentang keadilan dalam tata dunia. Misi Gereja tanpa ada suatu upaya konkret dan tegas mengenai tindakan perjuangan keadilan, tidaklah integral. Misi Kristus dalam mewartakan datangnya Kerajaan Allah mencakup  pula  datangnya  keadilan. Dokumen  ini  banyak diinspirasikan  oleh seruan  keadilan  dari Gereja-Gereja di Afrika, Asia, dan Latin Amerika. Secara khusus pengaruh pembahasan tema “Liberation” oleh para uskup Amerika Latin di Medellin (Kolumbia). Keadilan merupakan dimensi konstitutif pewartaan Injil.

Tema-Tema Pokok: Misi Gereja dan keadilan merupakan dua elemen yang tidak bisa dipisahkan;  soal-soal yang  berhubungan  dengan  keadilan  dan perdamaian: hak asasi manusia; keadilan dalam Gereja; keadilan dan liturgi; kehadiran Gereja di tengah kaum miskin. Terminologi kunci yang dibicarakan adalah “oppression” dan “liberation”.

Konteks Zaman: Konteks peristiwa dunia masih berada pada dokumen di atasnya. Dunia sangat haus akan keadilan dan perdamaian. Pengaruh dari Pertemuan Medellin (di Kolumbia) tahun 1968 sangat besar.

 

9.       Evangelii Nuntiandi (Evangelisasi di dunia modern)

Anjuran Apostolik Paus Paulus VI

Tahun   1975-

Arah dasarnya: agar Gereja dalam pewartaannya dapat menyentuh manusia  pada  abad  ke duapuluh.  Ada tiga pertanyaan  dasar: (1) Sabda Tuhan  itu  berdaya, menyentuh  hati  manusia,  tetapi mengapa  Gereja  dewasa ini  menjumpai  hidup  manusia  yang tidak disentuh  oleh Sabda Tuhan  (melalui pewartaan  Gereja)? (2) Dalam arti apakah kekuatan evangelisasi sungguh-sungguh mampu mengubah manusia abad ke-20 ini? (3)   Metode-metode    apakah   yang   harus    diterapkan    agar kekuatan Sabda sungguh menemukan efeknya?Tuhan Yesus mewartakan keselamatan sekaligus pewartaan pembebasan. Gereja melanjutkannya. Hal baru dalam dokumen ini ialah bahwa pewartaan Kabar Gembira sekaligus harus membebaskan pula.

Tema-Tema Pokok: EN (Evangelii Nuntiandi) mengajukan tema-tema problem kultural sekularisme ateistis, indiference, konsumerisme, diskriminasi, pengedepanan kenikmatan dalam gaya hidup, nafsu untuk mendominasi.

Konteks Zaman: EN dimaksudkan untuk memperingati Konsili Vatikan ke-10.

 

10.   Redemptor Hominis (Sang Penebus Manusia)

Ensiklik Yohanes Paulus II (Ensikliknya yang pertama)

Tahun   1979-

Sebenarnya  Ensiklik ini  tidak  dikategorikan  sebagai Ensiklik Ajaran Sosial Gereja. Tetapi, lukisan tentang penebusan umat manusia oleh Yesus Kristus sebagai penebusan yang menyeluruh memungkinkan beberapa gagasan ensiklik ini bersinggungan dengan tema-tema  keadilan sosial. Gagasan dasarnya: manusia ditebus oleh Kristus dalam situasi hidupnya secara konkret. Yaitu, dalam hidup situasi di dunia modern. Disinggung mengenai konsekuensi kemajuan dan segala macam akibat yang ditimbulkan. Hak-hak asasi manusia dengan sendirinya juga didiskusikan. Misi Gereja dan tujuan hidup manusia.

Tema-Tema Pokok: Misteri penebusan  manusia  di zaman  modern;  kemajuan  dan akibat-akibatnya; misi Gereja untuk menjawab persoalan zaman ini.

Konteks Zaman: Merupakan Ensiklik pertama dari kepausan Bapa Suci Yohanes Paulus II.

 

11.   Laborem Excercens (Kerja Manusia) Ensiklik Paus Yohanes Paulus II

Tahun   1979-

“Kerja” merupakan tema sentral hidup manusia. Hanya dengan kerja, harkat  dan  martabat  manusia  menemukan  pencetusan keluhurannya. Manusia berhak bekerja untuk kelangsungan hidupnya, untuk membuat agar hidup keluarga bahagia dan berkecukupan.  Ensiklik ini mengkritik  tajam  komunisme  dan kapitalisme  sekaligus sebagai  yang  memperlakukan  manusia sebagai alat  produktivitas.  Manusia  cuma  sebagai instrumen penghasil kemajuan dan perkembangan. Manusia berhak kerja, sekaligus berhak upah yang adil dan wajar, sekaligus berhak untuk makin hidup secara lebih manusiawi dengan kerjanya.

Tema-Tema Pokok: Sebagian besar isinya ialah tentang keadilan kerja, yang sudah dikatakan   dalam   Rerum   Novarum;   memang   Ensiklik  ini dimaksudkan untuk memperingati 90 tahun Rerum Novarum. Kerja dan manusia; semua orang berhak atas kerja, termasuk di dalamnya yang cacat; perlunya jaminan keselamatan / kesehatan dalam kerja; manusia berhak atas pencarian kerja yang lebih baik di mana pun, juga di negeri orang.

Konteks Zaman: Dalam periode zaman ini dirasakan sangat besar jumlah pengangguran. Para pekerja migrant (tenaga asing) sangat mudah diperas dan mendapat perlakuan tidak adil.

 

 

12.   Sollicitudo Rei Socialis (Keprihatinan Sosial) Ensiklik Paus Yohanes Paulus II

Tahun   1987-

Ensiklik ini merupakan ulang tahun ke-20 dari Ensiklik Populorum Progressio.  Jurang  antara  wilayah/negara-negara  Selatan (miskin) dan Utara (kaya) luar biasa besarnya. Perkembangan dan  kemajuan  sering kali sekaligus pemiskinan  pada  wilayah lain. Persoalannya semakin rumit manakala dirasakan semakin hebatnya   pertentangan   ideologis  antara   Barat  dan   Timur, antara kapitalisme dan komunisme. Persaingan ini semakin memblokir kerjasama dan solidaritas kepada yang miskin. Negara-negara Barat semakin membabi buta dalam eksplorasi kemajuan. Sementara negara-negara  miskin semakin terpuruk oleh kemiskinannya. Konsumerisme dan “dosa struktural” makin mendominasi hidup manusia.

Tema-Tema Pokok: Ensiklik ini mengajukan  makna  baru  tentang  pengertian  “the structures of sin”; pemandangan secara teliti sumbangsih Ensiklik yang diperingati, Populorum Progressio; digambarkan pula panorama   zaman  ini  dengan  segala  kemajuannya;  tinjauan teologis masalah-masalah modern;

Konteks Zaman: Perang  berkecamuk  seputar  ideologi pada  zaman  ini;  Soviet menginvasi Afganistan dan setahun kemudian menarik diri dari Afganistan; dan  berbagai ketegangan  yang dimunculkan  oleh persaingan ideologis yang hebat.

 

13.   Centesimus Annus (Tahun ke Seratus) Ensiklik Yohanes Paulus II

Tahun   1991-

Menandai ulang tahun Rerum Novarum yang ke-100. Dokumen ini memiliki jalan pikiran yang kurang lebih sama, paradigma yang  ditampilkan  dalam  Rerum  Novarum  untuk  menyimak dunia saat ini. Perkembangan baru berupa jatuhnya komunisme dan sosialisme marxisme di wilayah Timur (Eropa Timur) menandai  suatu periode baru yang harus disimak secara lebih teliti. Jatuhnya sosialisme marxisme tidak berarti kapitalisme dan liberalisme menemukan pembenarannya. Kesalahan fundamental dari sosialisme ialah tiadanya dasar yang lebih manusiawi atas perkembangan. Martabat dan tanggung jawab pribadi manusia seakan-akan disepelekan. Di lain pihak, kapitalisme bukanlah pilihan yang tepat. Perkembangan yang mengedepankan eksplorasi kebebasan akan memicu  ketidakadilan yang sangat besar. Centesimus Annus mengurus  pula soal-soal lingkungan hidup yang menjadi permasalahan menyolok pada zaman ini.

Tema-Tema Pokok: Skema jalan pikiran Ensiklik ini serupa dengan dokumen- dokumen sebelumnya: pertama-tama dibicarakan dulu mengenai Rerum Novarum yang diperingati; berikutnya dengan menyimak pola Rerum Novarum, Ensiklik Centesimus Annus membahas “hal-hal baru  zaman  sekarang”; diajukan  pula  catatan  “tahun 1989” (adalah tahun jatuhnya tembok Berlin); prinsip harta benda dunia diperuntukkan bagi semua orang; negara dan kebudayaan; manusia ialah jalan bagi Gereja; soal lingkungan hidup

Konteks Zaman: Jatuhnya komunisme di Eropa Timur yang ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin; Nelson Mandela – sang figur penentang diskriminasi – bebas dari penjara (1990). Memang ada sekian “hal-hal baru” yang pantas disimak

 

14.   The Participation of Catholics in Political life–

Dokumen yang dikeluarkan oleh Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman

Tahun   2002

Dokumen ini merupakan garis bawah pentingnya partisipasi umat Katolik pada kehidupan politik. Umat Katolik tidak boleh pasif. Tantangan  perkembangan  dan kemajuan demikian besar, umat Katolik diminta  memiliki kesadaran-kesadaran tanggung jawab dan partisipasi untuk memajukan kehidupan bersama dalam soal- soal politik. Politik bukanlah lapangan kotor, melainkan lapangan kehidupan yang harus ditata dengan baik.

Tema-Tema Pokok: Seputar  kehidupan   politik  dan  pentingnya  partisipasi  umat beriman Katolik untuk peduli dengan soal-soal politik

Konteks Zaman: Zaman ini mengukir  soal-soal yang  sangat  menyolok:  hidup manusia  ditentukan  oleh realitas tata  politik; aneka persoalan kemunduran  sosial seringkali ditandai dengan kebangkrutan politik dalam hidup bersama; soal-soal yang menyangkut kebebasan beragama dan kebebasan berkembang dalam budayanya juga menjadi perkara yang dominan pada periode sekarang ini.

 

15.   Caritas in Veritate (Kasih dalam Kebenaran) Paus Benediktus XVI

Tahun   2009

Caritas  in Veritate (kasih dalam kebenaran).  Ditulis oleh Paus Benediktus XVI dan terbit 29 Juni 2009. Ensiklik ini berbicara tentang perkembangan integral manusia dalam kasih dan kebenaran.  Ajaran  sosial  adalah  milik  Gereja  karena  Gereja adalah subjek yang merumuskannya,  menyebarluaskannya  dan mengajarkannya. Ajaran Sosial Gereja bukanlah sebuah hak prerogatif dari satu komponen  tertentu  dalam lembaga gerejawi melainkan dari keseluruhan jemaat; ajaran sosial. Gereja adalah bentuk ungkapan dari cara Gereja memahami masyarakat serta posisinya sendiri berkenaan dengan berbagai struktur serta perubahan sosial. Keseluruhan jemaat Gereja para Imam, Biarawan dan kaum Awam ambil bagian dalam perumusan  ajaran sosial ini, masing-masing menurut tugas, karisma serta pelayanan yang berbeda-beda yang ditemukan di dalam Gereja.

Tema-Tema Pokok: Kasih dalam kebenaran, menjadi saksi Yesus Kristus yang wafat dan bangkit dalam kehidupan duniawi.  Kasih merupakan kekuatan luar biasa yang mendorong  orang untuk rendah hati dan berani terlibat memperjuangkan keadilan dan perdamaian.

Konteks Zaman: Ensiklik ini mendiskusikan krisis finansial global dalam konteks meluasnya relativisme. Pandangan Paus melampaui kategori- kategori tradisional  kekuasaan pasar sayap kanan  (kapitalisme) dan kekuasaan negara sayap kiri (sosialisme). Dengan mengamati bahwa setiap keputusan  ekonomi  memiliki konsekuensi moral, Paus menekankan pengelolaan ekonomi yang berfokus pada martabat manusia.

 

Tujuh tema kunci dari ensiklik-ensiklik tersebut:

1.    Kesucian hidup manusia dan martabat pribadi  harus dijunjung tinggi melebihi benda-benda dan harus dijaga sejak dikandung ibunya. Ini prinsip dasar ajaran Gereja. Gereja melawan serangan terhadap kehidupan manusia (aborsi, eutanasia, hukuman  mati, pembasmian  suku bangsa, siksaan, pembunuhan  rakyat sipil, rasisme, diskriminasi, dsb). Gereja tidak anti-perang tapi anti perang yang tidak adil. Hukuman mati hanya boleh demi menjaga kehidupan bangsa, itu pun jikalau tidak tersedia jalan lain yang tidak ”membunuh”. Tapi kalau tersedia, negara harus mengusahakannya demi kesucian dan martabat hidup manusia.

2.    Panggilan untuk membentuk Keluarga Allah di tengah masyarakat yang melibatkan semua warga. ”Tidak baik manusia hidup sendirian” (Kej 2:18). Manusia menjadi baik dan makin sempurna kalau berdua dan bergabung. Membentuk keluarga lalu membentuk negara lalu membentuk Keluarga Allah. Baik-buruknya lembaga keluarga-masyarakat-negara dinilai dari sumbangannya kepada kehidupan dan martabat  pribadi manusia. Gereja menolak 2 ekstrem: ekstrem individualistis (pasar bebas, laissez-faire) dan ekstrem sosial (kolektivisme & komunisme). Hak tiap orang untuk ambil-bagian dalam hidup masyarakat, harus dijunjung tinggi. Gereja mendorong  prinsip subsidiaritas (hal yang bisa ditangani oleh warga negara tidak boleh ditangani oleh negara. Negara hanya wajib membantu saja).

3.    Hak azasi manusia selalu berdasar pada dan demi martabat pribadi manusia. Batas hak azasi manusia memang kewajiban azasi manusia (tapi maksudnya bukan kewajiban kemasyarakatan, tapi kewajiban menunaikan martabat manusia yang mencakup kewajiban sosial). Hak azasi paling dasar = hak hidup, hak mencapai kepenuhan hidup dan hak atas keperluan hidup. Hidup yang dimaksud adalah hidup bermartabat (Kekasih Allah, Citra Allah, Keluiarga Allah). Hak keperluan hidup antara lain: pekerjaan, jaminan kesehatan, pendidikan, rumah, berkeluarga, kebebasan beragama dan hak milik. Kebebasan beragama = bebas berhubungan dengan Tuhan yang membebaskan bukan yang memperbudak, kebebasan hati nurani, kebebasan mengungkapkan isi hati dan keagamaan). Hak milik (harta) itu bukan tanpa batas. Batasnya kebersamaan. Tak boleh disalahgunakan. Tak boleh ditimbun secara tak adil (negara berhak mendistribusikannya).

4.    Preferential option for the poor and vulnerable (selalu mendahulukan orang yang miskin dan tanpa pembela) termasuk anak dalam kandungan, orang cacat, orang jompo, orang dalam sakrat maut, dsb. Ukuran  martabat  suatu bangsa adalah perlakuannya terhadap orang-orang semacam itu. Menolong orang miskin dari kocek sendiri. Bersikap hormat kepada mereka. Mendoakan mereka. Membentuk tim advokasi hukum untuk mereka, dsb.

5.    Nilai luhur pekerjaan. Salah satu keperluan hidup yang jadi hak azasi manusia adalah pekerjaan. Pada awalnya manusia dipanggil Tuhan untuk bersama bekerja mengelola bumi  dan  mengenyam hasilnya bersama. Inilah dua realitas dasar dunia. Kalau dua hal tsb. terjamin, maka damai sejahtera. Pekerjaan adalah kunci penyelesaian masalah sosial. Manusia yang tidak bekerja itu bukan manusia. Karena bekerja, manusia jadi manusia. Pekerjaan adalah dasar kemerdekaan. Tanpa punya pekerjaan pribadi, manusia jadi budak majikan. Kerja-sama bukan hanya bekerja bersama, tapi tanggungjawab bersama. Aku bekerja untuk kamu dan kamu untuk aku. Sumbangan majikan kepada masyarakat berupa jasa atau produk dan pekerjaan yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Hak buruh, selain hak atas pekerjaan yang aman dan produktif, juga decent-fair-living wage (upah pantas, adil dan menghidupi keluarga), dan hak membentuk serikat buruh untuk melindungi kepentingan buruh. Kewajiban buruh adalah bekerja sepenuh hati dengan setia, a fair  day’s work for a fair day’s pay (memenuhi jam kerja sesuai upah pantas per hari). Sikap buruh  menghormati  majikan dan sesama buruh, nonviolence (anti  kekerasan),  ”menerima”  keadaan  (voluntary  poverty), anti-diskriminasi, taqwa (doa), dan kekeluargaan.

6.    Solidaritas (setia-kawan, solid = kokoh). Ini keutamaan kristiani. Asalnya dari kasih Allah Tritunggal (Bapa Putera Roh Kudus saling mengasihi). Dia mempertaruhkan Diri, menyatu menjadi manusia agar manusia menjadi ”Allah”, dengan menanam kasih-Nya dan semangat Keluarga Allah dalam hati tiap orang, sehingga tiap orang punya semangat menyangkal diri dan semangat altruistis (hidup untuk orang lain). Tujuan akhirnya = Keluarga Allah di tengah masyarakat dan di sorga. Sikap yang menonjol adalah penjaga sesama (anti semangat Kain), penolong orang sengsara, menjadi tempat singgah bagi orang asing (juga imigran), pendidikan  anak-anaknya, mencukupi kebutuhannya, dsb. Sikap mengampuni dan mau berdamai dengan musuh. Secara internasional, Gereja minta pengurangan hutang negara miskin. Di masyarakat, umat Allah memelopori perubahan struktur masyarakat.

7.    Memelihara ciptaan Allah. Keadilan kristiani berlaku, baik di antara manusia maupun  terhadap mahluk lain. Manusia harus tampil sebagai pemelihara setia alam ciptaan, bukan pengeruk alam. Alam adalah jaminan sosial sekarang dan masa depan anak-cucu. Korban pertama  paling parah  dari pengerukan  alam adalah orang miskin. Mereka jadi alat keruk murah. Hanya di alam yang telah rusak itu saja mereka boleh tinggal. Umat kristiani harus dididik memelihara lingkungan dan menolong orang miskin.

 

Permasalahan di Indonesia berkaitan dengan pelaksanaan ASG:

-          Ajaran Sosial Gereja belum dilaksanakan secara maksimal di Indonesia  oleh orang-orang Katolik sendiri.

-          Ajaran  Sosial Gereja nampaknya  hanya  sebatas ajaran,  teori,  yang dijadikan wacana namun belum menjadi sebuah gerakan atas dasar kasih.