MEMBANGUN BANGSA DAN NEGARA YANG
DIKEHENDAKI TUHAN
Ketika Ir. Soekarno dan Mohammad
Hatta serta para pendiri bangsa lainnya memproklamirkan kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 17 Agustus
1945, cita-cita yang mereka tanamkan adalah Indonesia menjadi negara yang
adil, makmur, damai, dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya. Cita-cita
tersebut dituangkan dalam dasar negara Pancasila, khususnya pada sila kelima, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
Apakah setelah puluhan tahun
merdeka, apakah cita-cita pendiri bangsa ini sudah diwujudkan? Kepemimpinan
nasional sudah silih
berganti, berbagai kebijakan sistem politik dan ekonomi telah
dilakukan, namun cita-cita adil, makmur, damai dan sejahtera bagi seluruh rakyat
Indonesia belum kunjung tiba. Secara ekonomi, masih terdapat kesenjangan atau jurang antara yang kaya
dan miskin. Secara politik masih terdapat diskriminasi antara mayoritas dan
minoritas. Bahkan dalam praktiknya, bertumbuh subur perilaku korupsi politik dan politik korupsi untuk
kepentingan pribadi, kelompok dan
golongan. Dalam 10
tahun belakangan, sebagian besar kepala daerah, yaitu, bupati, walikota,
gubernur harus berurusan dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi karena terlibat dalam kejahatan korupsi. Secara hukum, kita
menyaksikan ketidakadilan terjadi di
banyak lembaga hukum dan peradilan negara. Hukum hanya tajam ke bawah,
namun tumpul ke atas. Artinya bahwa hukum hanya berlaku bagi rakyat jelata,
namun tidak berlaku bagi kaum penguasa atau pengusaha yang dapat membeli hukum
di lembaga-lembaga hukum dan peradilan negara.
Sebagai umat kristiani kita hendaknya berusaha dan
berjuang untuk membangun bangsa dan negara dengan berpijak pada moralitas kristiani, mengutamakan
kepentingan umum (bonum commune),
yaitu kesejahteraan yang merata bagi seluruh warga. Kita meneladani Yesus sebagai tokoh
sentarl iman kita yang mewartakan kabar
baik tentang Kerajaan Allah (bdk. Luk 4: 18-19). Selama hidup-Nya, Yesus telah berusaha untuk
mewujudkan misi-Nya itu.
Mendalami Situasi Masyarakat Kita
TEMPO.CO, Tangerang - Kepala
Satuan Reserse dan Kriminal Polres Kota Tangerang Komisaris Shinto Silitongan
mengatakan penggerebekan pabrik panci alumunium di Desa Lebak Wangi, Kecamatana
Sepatan, Kabupaten Tangerang, dilakukan setelah dua buruh berhasil kabur dan
melapor ke Polres Lampung Utara dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dua
buruh asal Lampung itu sudah bekerja selama empat bulan di pabrik itu. “Mereka
kabur karena merasa mengalami siksaan, perlakukan kasar, penyekapan dan hak mereka
sebagai pekerja tidak didapatkan,” kata Shinto, Sabtu 4 Mei 2013.
Kedua buruh laki-laki
tersebut, kata Shinto, bercerita kepada keluarganya. Dengan difasilitasi lurah
setempat, mereka membuat laporan resmi di Polres Lampung Utara
pada 28 April 2013.
Bos pabrik panci
tersebut, YK alias Yuki Irawan,
41 tahun, dilaporkan telah merampas kemerdekaan orang dan penganiayaan yang
melangar Pasal 333 dan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Selain melaporkan ke polisi, keluarga korban
juga melaporkan ke Komnas HAM. Hasil koordinasi Polda Metro Jaya, Polda
Lampung, dan Polres Kota Tangerang akhirnya pabrik tersebut digerebak pada
Jumat 3 Mei
2013 sekitar pukul 14.00. Di
lokasi pabrik polisi menemukan 25 orang buruh dan 5 mandor yang sedang bekerja.
Yuki dan istrinya digiring ke Polres Kota Tangerang untuk dimintai keterangan.
Polisi juga menemukan 6 buruh di antara mereka yang disekap kondisinya
memprihatinkan. Pakaian yang dikenakan kumal dan compang camping karena
berbulan bulan tidak ganti. ”Kondisi tubuh buruh juga tidak terawat, rambut
cokelat, kelopak mata gelap, dan berpenyakit kulit,” kata Shinto. Mereka
rata-rata tiga bulan tidak mandi dan tidak ganti baju, karena uang, telepon
genggam dan pakaian dari kampung yang dibawa disita pemilik pabrik.
Joniansyahhttp://www.tempo.co/read/news/2013/05/04/064477935/25-Buruh-Panci-Disekap-3-Bulan-Tidak-Mandi
Peneguhan
Bangsa Indonesia bercita-cita mewujudkan negara yang
bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dengan rumusan singkat, negara Indonesia
bercita-cita mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Adapun visi bangsa Indonesia adalah terwujudnya
masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju
dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung
oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa dan berahklak
mulia, cita tanah air,berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi serta
berdisiplin. Apakah cita- cita bangsa Indonesia yang digagaskan oleh pendiri
bangsa, Soekarno-Hatta dan para pendiri lainnya, sudah sungguh terwujud pada
saat ini? Ataukah sebaliknya, cita-cita luhur itu, justru masih jauh dari apa
yang diharapkan? Pada penjelasan ini, kita akan membatasi diri pada menyadari
situasi politik dan ekonomi di tanah air.
a.
Situasi
Politik
Krisis politik
yang terjadi pada
tahun 1998 merupakan
puncak dari berbagai kebijakan
politik pemerintahan Orde Baru. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan
pemerintahan Orde Baru selalu didasarkan pada alasan pelaksanaan Demokrasi
Pancasila. Namun yang sebenarnya terjadi adalah upaya memepertahankan kekuasaan
regim dan kroni-kroninya saat itu. Artinya, demokrasi yang dijalankan pemerintahan
Orde Baru bukan demokrasi yang semestinya,
melainkan demokrasi rekayasa
atau pura- pura. Bukan lagi
demokrasi dalam pengertian dari, oleh, dan untuk rakyat, melainkan demokrasi
dari, oleh, dan untuk penguasa. Pada masa Orde Baru kehidupan politik sangat
represif, yaitu adanya tekanan yang kuat dari pemerintah terhadap pihak oposisi
atau orang-orang yang dianggap kritis. Setiap orang atau kelompok yang
mengkritik kebijakan pemerintah dituduh sebagai tindakan subversif (menentang
Negara Kesatuan Republik Indonesia). Karena itulah banyak orang kritis
ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara.
Sekarang,
kita sudah memasuki zaman reformasi. Namun, yang diharapkan pada awal Orde
Reformasi ternyata tidak terpenuhi, meskipun harus diakui bahwa ada beberapa
perubahan. Ada kebebasan mengungkapkan pendapat dan kebebasan
berserikat. Akan tetapi, banyak
masalah justru menjadi semakin parah. Salah satu yang sangat
mencolok adalah hilangnya cita rasa dan perilaku politik yang benar dan baik.
Politik merupakan tugas luhur
untuk mengupayakan atau mewujudkan kesejahteraan bersama. Tugas dan
tanggung jawab itu dijalankan dengan berpegang pada prinsip-prinsip, sikap hormat, serta setia pada etika
dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akan tetapi, dalam
banyak bidang prinsip-prinsip etika itu tampaknya makin diabaikan, bahkan
ditinggalkan oleh banyak orang, termasuk oleh para politisi, pelaku bisnis, dan
pihak-pihak yang mempunyai sumber daya yang berpengaruh di negeri ini.
Dewasa ini,
politik hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Dari apa
yang sedang berlangsung sekarang, tampak bahwa politik menjadi ajang
pertarungan kekuatan dan perjuangan untuk memenangkan kepentingan ekonomi atau
kepentingan finansial pribadi dan kelompok. Terkesan tidak ada upaya serius
untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Bukan kepentingan bangsa yang
diutamakan, melainkan kepentingan kelompok, dengan mengabaikan cita-cita dan
kehendak kelompok lain. Yang lebih memprihatinkan lagi ialah agama sering
digunakan untuk kepentingan kelompok politik. Simbol-simbol agama dijadikan
lambang politik kelompok tertentu, dengan demikian membangun sekat-sekat antara
penganut agama, yang kadang kala melahirkan berbagai bentuk kekerasan yang
berbau SARA.
Politik kekuasaan
yang mementingkan kelompok sendiri semacam itu dengan sendirinya akan
mengorbankan tujuan utama, yakni kesejahteraan bersama yang mengandaikan
kebenaran dan keadilan. Penegakan hukum juga diabaikan. Akibatnya, fenomena KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) tidak ditangani secara serius, bahkan makin
merajalela di berbagai wilayah, lebih-lebih sejak pelaksanaan program otonomi
daerah. Otonomi daerah yang sebenarnya dimaksudkan sebagai desentralisasi
kekuasaan, kekayaan, fasilitas, dan pelayanan ternyata menjadi desentralisasi
KKN.
b.
Situasi
Ekonomi
Tuntutan reformasi
menghendaki adanya perubahan dan perbaikan
di segala aspek kehidupan yang lebih baik. Namun, pada praktiknya
tuntutan reformasi telah disalahgunakan oleh para petualang politik hanya untuk
kepentingan pribadi dan kelompoknya. Pada era reformasi, konflik yang terjadi
di masyarakat makin mudah terjadi dan sering kali bersifat etnis di berbagai
daerah. Kondisi sosial masyarakat yang kacau akibat lemahnya hukum dan
perekonomian yang tidak segera kunjung membaik menyebabkan sering terjadi
gesekan-gesekan dalam masyarakat. Secara ekonomis, negeri kita praktis dikuasai
oleh segelintir orang yang kaya raya, yang memiliki perusahaan-perusahaan
multinasional dengan modal dan kekayaan yang sangat besar.
Selanjutnya,
tatanan ekonomi yang berjalan di Indonesia mendorong kolusi kepentingan antara
para pemilik modal dan pejabat, untuk mendapatkan keuntungan
sebanyak-banyaknya. Kesempatan ini juga bisa dimanfaatkan oleh
kelompok-kelompok tertentu bersama dengan para politisi yang mempunyai
kepentingan, untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dengan cara yang mudah.
Akibatnya, antara lain terjadi penggusuran tempat-tempat tinggal rakyat untuk
berbagai mega proyek dan eksploitasi alam demi kepentingan para pengusaha kaya.
Uang telah
merusak segala-galanya. Peraturan perundang-undangan dan aparat penegak hukum
dengan mudah ditaklukkan oleh mereka yang mempunyai sumber daya keuangan.
Akibatnya, upaya untuk menegakkan tatanan hukum yang adil dan pemerintah yang
bersih tak terwujud. Ketidakadilan semakin dirasakan kelompok-kelompok yang
secara struktural sudah dalam posisi lemah, seperti perempuan, anak-anak, orang
tua, orang cacat, dan kaum miskin. Persaingan antarkelompok dan antarpribadi
menjadi semakin tajam. Suasana persaingan itu menumbuhkan perasaan tidak adil,
terutama ketika berhadapan dengan pengelompokan kelas ekonomi antara yang kaya
dan miskin. Perasaan diperlakukan tidak adil itu menyuburkan sikap tertutup dan
perasaan tidak aman bagi setiap orang. Orang lain atau kelompok lain akan
dianggap sebagai ancaman yang akan mencelakakan diri atau kelompoknya. Perasaan
terancam ini diperparah dengan sistem ekonomi yang menciptakan kerentanan dalam
lapangan kerja.
Kinerja ekonomi selalu menuntut pembaruan.
Pembaruan terus-menerus menuntut orang untuk menyesuaikan diri dengan
tuntutan-tuntutan baru yang tidak selalu mengungkapkan nilai-nilai keadilan. Mereka yang tidak memenuhi
tuntutan struktur ekonomi baru akan terlempar dari pekerjaan karena tidak mampu
memenuhi standar baru tersebut. Angka pengangguran semakin tinggi karena
rendahnya investasi di sektor ekonomi riil yang mengakibatkan tidak terciptanya
lapangan kerja. Pengangguran tidak hanya mengakibatkan tak terpenuhinya
kebutuhan ekonomi, melainkan juga memukul harga, yang mengakibatkan tak
terpenuhinya kebutuhan ekonomi.
c.
Akar
Masalah
1)
Iman hanya sebatas
pengetahuan, belum sebagai
tindakan hidup.
Dengan
perkataan lain, orang-orang hanya beragama namun belum beriman. Iman belum menjadi sumber inspirasi kehidupan nyata.
Penghayatan iman masih lebih berkisar pada hal-hal lahiriah, seperti
simbol-simbol dan upacara keagamaan. Dengan demikian, kehidupan politik di
Indonesia kurang tersentuh oleh iman itu. Salah satu akibatnya ialah lemahnya pelaksanaan
etika politik, yang hanya diucapkan di bibir, tetapi tidak dilaksanakan secara
konkret. Politik tidak lagi dilihat sebagai upaya mencari makna dan nilai atau
sebagai suatu cara bagi pencapaian kesejahteraan bersama, melainkan lebih
sebagai kesempatan untuk menguntungkan diri sendiri serta kelompoknya.
2) Ambisius akan kekuasaan dan
harta kekayaan yang menjadi bagian dari pendorong politik kepentingan yang
sangat membatasi ruang publik, yakni ruang kebebasan politik dan ruang peran
serta warga negara sebagai subjek. Ruang publik disamakan dengan pasar.
Kekuatan uang dan hasil ekonomi dianggap paling penting. Manusia hanya
diperalat, sehingga cenderung diterapkan diskriminasi, dan kemajemukan pun
diabaikan. Dengan kata lain, manusia hanya dihargai dari manfaat ekonominya.
Maka, dengan mudah mereka yang lemah, yang miskin, dan yang kumuh dianggap
tidak berguna dan tidak mendapat tempat. Tekanan pada nilai kegunaan ini tidak
hanya bertentangan dengan martabat manusia, melainkan juga mengikis solidaritas.
Perbedaan entah berbeda agama, suku, atau perbedaan lainnya dianggap menjadi
halangan bagi tujuan kelompok. Penyelenggaraan negara dimiskinkan, yakni hanya
menjadi kepentingan kelompok-kelompok. Politik dagang sapi menjadi bagian
kepentingan kelompok itu, dengan akibat melemahnya kehendak politik dalam hal
penegakan hukum.
3) Nafsu untuk mengejar kepentingan
pribadi, kelompok atau golongan menyebabkan kebenaran diabaikan.
Meluasnya praktek korupsi tidak lepas dari upaya memenangkan kepentingan diri dan
kelompok. Ini mendorong terjadinya pemusatan kekuasaan dan lemahnya daya tawar
politik berhadapan dengan kepentingan pihak yang menguasai sumber daya
keuangan, terutama sektor bisnis. Akibatnya, bukan proses politik bagi kebaikan
bersama yang mengelola cita-cita hidup bersama yang berkembang, melainkan
kekuatan finansial yang mendikte proses politik. Lembaga pengawas yang
diharapkan menjadi penengah dalam perbedaan kepentingan ini justru merupakan
bagian dari sistem yang juga korup. Akibatnya, politik pun tidak lagi mandiri.
Politik berada di bawah tekanan kepentingan mereka yang menguasai dan
mengendalikan operasi-operasi pasar. Etika politik seperti tidak berdaya,
dicekik oleh nilai-nilai pasar, kompetisi, dan janji keuntungan ekonomi.
4) Menghalalkan segala
cara untuk mencapai
tujuan. Kita dapat menyaksikan secara terang benderang di
Indonesia saat pemilihan anggota
legislatif (DPR-DPD) dan
pemilihan kepala daerah
mulai dari kepala desa, bupati/walikota, gubernur sampai presiden, terjadi
intimidasi, kekerasaan, politik uang, pengerahan massa, terror baik langsung
maupun melalui media sosial, dan cara-cara tidak bermoral lainnya dihalalkan
untuk memperoleh hasil yang diharapkan. Celakanya, para pelaku kejahatan
politik ini tidak mendapat sanksi hukum. Lemahnya penegakan hukum mengaburkan
pemahaman nilai ’baik’ dan ’buruk’ (moralitas) sehingga menumpulkan kesadaran
moral dan perasaan bersalah (hati nurani).
Mendalami Ajaran Kitab Suci
Luk 4:18-19
18 Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku,
untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus
Aku, 19 untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan,
dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang
tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”
Peneguhan
1) Sekilas
gambaran latar belakang situasi sosial
politik-ekonomi sebelum dan sesudah Yesus. Setelah masa pembuangan bangsa
Israel di Babilonia, enam abad sebelum Yesus, Palestina tunduk kepada kerajaan
Persia, Yunani, dan kekaisaran Romawi. Belakangan secara internal,
masyarakat Pelestina dikuasai oleh
raja-raja dan pejabat boneka yang ditunjuk oleh penguasa Roma. Selain pejabat-pejabat
boneka itu, masih ada kelas pemilik tanah yang kaya raya dan kaum rohaniwan
kelas tinggi yang suka menindas rakyat demi kepentingan dan kedudukan mereka.
Golongan ini sering memihak
penjajah, supaya mereka
tidak kehilangan hak
istimewa atau nama baik di mata penjajah, karena Roma mempunyai
kekuasaan mencabut hak milik seseorang. Siapa yang tidak takut? Jadi lebih baik
bermanis-manis terhadap Roma, walaupun rakyat kecil harus menderita.
Kolonial
Romawi secara tidak langsung mengendalikan kaum aristokrat setempat dan para
tuan tanah. Hal ini dapat dengan mudah dilakukan, karena Roma mempunyai
kekuasaan mencabut hak milik seseorang
seperti yang sudah
disinggung di atas.
Oleh karena itu, para aristokrat (baik sipil maupun
rohaniwan) berkepentingan bekerja sama dengan penguasa Romawi. Selain itu, ada
pejabat-pejabat yang menjadi perantara yang ditunjuk langsung oleh penguasa
Romawi dan pada umumnya diambil dari kalangan sesepuh Sanhendrin (Majelis
Agung) serta majelis rendah yang diambil dari kelas bawah. Mereka bertanggungjawab
mengumpulkan pajak. Dominasi militer terlihat dengan kehadiran tentara Romawi
di mana-mana. Mereka diambil dari Siria atau Palestina, tetapi tidak dari
kalangan Yahudi.
Kadang-kadang
situasi yang menekan tidak tertahankan, sehingga timbul pemberontakan yang
umumnya digerakan oleh kaum Zelot yang bermarkas di Galilea; namun selalu dapat
dipadamkan. Biasanya terjadi banjir darah dalam penumpasan itu. Itu sebabnya
pengharapan akan datangnya tokoh dan masa mesianis yang nasionalis bertumbuh
subur di kalangan pejuang Zelot.
2) Sikap
dan Tindakan Yesus
Yesus
Kristus hidup di zaman yang penuh pergolakan politik dibawah bangsa penjajah
Romawi serta raja bonekanya di Palestina. Ketika Yesus mulai tampil di hadapan
publik untuk mewartakan kabar baik tentang Kerajaan Allah, Ia menyatakan perutusan-Nya:
”Roh Tuhan
ada pada-Ku, oleh sebab Ia mengurapi Aku,untuk menyampaikan kabar baik kepada
orang-orang miskin, dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan
kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk
membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan
telah datang” (Luk 4: 18-19).
Kehidupan rakyat jelata semasa
Yesus sungguh memprihatinkan. Mereka ditindas dan dihimpit oleh para penguasa
dan pemimpin- pemimpin agama. Bangsa
Yahudi waktu itu dikuasai oleh Kekaisaran Roma. Roma menempatkan seorang
gubernur dengan tentaranya yang cukup kuat di Palestina. Waktu Yesus
mulai aktif berkhotbah, Pontius Pilatus menjadi gubernur Roma di Palestina,
sedangkan rajanya ialah Herodes. Roma
tidak campur tangan dalam kehidupan sosial dan keagamaan bangsa Yahudi, asalkan
mereka tidak memberontak dan rajin membayar pajak.
Pajak
memang membebani rakyat miskin. Betapa tidak! Selain pajak kepada pemerintah
penjajah, masih ada lagi pajak kepada pemerintahan daerah dan pajak agama.
Pajak agama ialah pajak bagi bait Allah yang berupa sepersepuluh dari hasil
bumi. Selain dihimpit oleh para penguasa, rakyat kecil masa itu dihimpit pula
oleh para rohaniwan, yaitu kaum Farisi. Kaum Farisi itu berjuang untuk menjaga
kemurnian agama. Mereka mewajibkan diri untuk melaksanakan bermacam-macam
tindakan religius dan ritual, seperti puasa, matiraga, dan sebagainya.
Orang-orang
Farisi tidak hanya berada di Yerusalem, tetapi juga di desa-desa di seluruh
tanah Yahudi. Karena kegiatan mereka, pengaruh mereka sangat besar dalam
masyarakat. Di antara mereka terdapat para rabbi yang mengajar seluruh rakyat.
Akan tetapi, di balik semuanya itu mereka sebenarnya suka memanipulasi
hukum-hukum Taurat dan menciptakan 1001 macam peraturan yang sangat menekan
rakyat kecil, tetapi menguntungkan diri mereka sendiri (bandingkan kelakuan itu
dengan apa yang terjadi di negara kita).
Terhadap penindasan dan
ketidakadilan seperti itu, Yesus bangkit untuk membela rakyat kecil yang
menderita. Ia mengecam keras para penguasa tanpa takut. Yesus tak pernah
bungkam terhadap praktik-praktik yang tidak adil. Ia tidak berdiam diri atau
bersikap kompromistis supaya terelak dari kesulitan. Ia sudah bisa
membayangkan risikonya. Akan tetapi, Ia konsekuen. Tak segan Ia mengkritik
mereka yang ”berpakaian halus di istana” (Mat 11: 8). Ia mengecam raja-raja
yang tak mengenal dan mencintai Allah, tetapi menindas rakyat. Ia mengecam
penguasa- penguasa yang menyebut diri ”pelindung rakyat” (Luk 22: 25). Ia tak
takut menyebut raja Herodes sebagai serigala (Luk 13: 32).
Kepada kaum
Farisi, Yesus berkata ”Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang
Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu menelan rumah janda-janda
sedang kamu mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Sebab itu
kamu pasti akan menerima hukuman yang lebih berat” (Mat 23: 14).
”Celakalah
kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang
munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis, dan jintan kamu bayar,
tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan
belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan
diabaikan” (Mat 23: 23).
Yesus sangat berani berhadapan
dengan para penguasa, entah penguasa pemerintahan, maupun pengauasa kegamaan.
Kaum Farisi adalah golongan yang sangat berpengaruh pada saat itu, seperti para
rohaniwan pada masa kita sekarang ini. Yesus tahu risikonya. Ia berani membela
rakyat kecil. Ia menyerang setiap penindasan dan ketidakadilan. Namun,
jangan salah mengerti! Jangan lantas berpikir bahwa Yesus itu seorang tokoh
revolusioner yang mau mengubah keadaan sosial dan politik masa itu.
Yesus mewartakan
Kabar Gembira dan Kabar Gembira bukanlah suatu program sosial politis.
Orang boleh mengikuti warta-Nya dengan komitmen sosial politik apa pun.
Kritik-Nya yang tajam terhadap penguasa tidak bernada politis dan perjuangan
kelas. Ia hanya mau
menegakkan nilai-nilai Kerajaan Allah, seperti keadilan, cinta kasih, dan
perdamaian. Para penguasa dan pemimpin-pemimpin agama harus menegakkan
nilai-nilai itu. Mereka harus melayani rakyat kecil, bukan menindas.
Mungkin
saja orang melihat Yesus
sebagai seorang tokoh revolusioner dan pembebas, tetapi tokoh yang membebaskan
manusia dari egoisme, kesombongan, kesewenang-wenangan, ketidakadilan, dan
sebagainya. Yesus memang Pembebas; membebaskan manusia tanpa kekerasan. Suatu pembebasan yang muncul dari
batin manusia, lalu mewujud dalam masyarakat dalam bentuk apa pun. Pembebasan juga berupa
pertobatan, yaitu suatu peralihan sikap dari segala praktik egoistis kepada
sikap mengabdi kepada Allah dan sesama.
Menyimak dokumen Ajaran Gereja
“Antara pewartaan Injil dan
kemajuan manusiawi-perkembangan dan pembebasan-memang terdapat ikatan yang
mendalam. Termasuk di situ ikatan pada
tingkat antropologi, sebab manusia yang harus menerima pewartaan bukan sesuatu
yang abstrak, melainkan terkena oleh masalah- persoalan sosial dan ekonomi.
Termasuk pula ikatan pada tingkat teologis, sebab Rencana Penciptaan tidak
terceraikan dari Rencana Penebusan. Rencana kedua itu menyangkut pelbagai
situasi sangat konkret; ketidak- adilan yang harus diperangi; dan keadilan yang
harus dipulihkan; termasuk ikatan
pada Injili, yakni
ikatan cintakasih. Menurut
kenyataan, orang tidak dapat
mewartakan perintah baru, tanpa mendukung keadilan dan perdamaian. Mustahil
seseorang dapat menerima pewartaan Injil jika dia tidak mau tahu tentang
persoalan-persoalan yang sekarang ini begitu banyak diperdebatkan, seperti
keadilan, pembebasan, perdamaian di dunia. Andaikata itu terjadi, dapat
dikatakan bahwa orang itu melupakan pelajaran yang di terima dari Injil tentang
cintakasih terhadap sesama yang sedang menderita dan serba kekurangan”. (Evangelii Nuntiandi artikel 31).
Peneguhan
1) Gereja harus hadir untuk
mewartakan Kerajaan Allah di tengah dunia yang penuh dengan persoalan. Gereja
harus berpihak pada orang-orang kecil dan yang tertindas, baik secara ekonomi,
politik, dan sebagainya.
2) Gereja melanjutkan karya
keselamatan Kristus di dunia. Gereja sebagai sakramen Kristus, yaitu sebagai
tanda dan sarana keselamatan bagi umat manusia.
Usaha-Usaha yang
Harus Dilakukan untuk
Membangun Masyarakat yang Adil dan Sejahtera
Peneguhan
Tuhan senantiasa menghendaki supaya bangsa manusia hidup
sejahtera di bumi dan kemudian bahagia di surga. Tuhan pasti menghendaki pula
bangsa Indonesia hidup sejahtera dan bahagia.
Ketika para Bapak Bangsa
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, cita-cita mereka adalah Indonesia yang
adil dan damai sejahtera, seperti yang mereka tandaskan dalam dasar negara
Pancasila, khususnya dalam sila kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Sejahtera merupakan suatu kondisi hidup yang memungkinkan
seseorang dapat lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaannya. Baginya
tersedia segala sesuatu yang dibutuhkan untuk hidup secara manusiawi, misalnya
nafkah, pakaian, perumahan, hak untuk dengan bebas memilih status, membentuk
keluarga, mendapat pendidikan, pekerjaan, perlindungan hukum, dan sebagainya.
Untuk membangun hidup sejahtera dibutuhkan suasana damai.
Damai bukan berarti sekadar tidak ada perang dan penindasan, tetapi situasi
yang selamat dan sejahtera dalam diri manusia sebagai buah keadilan yang
tercipta dalam suatu masyarakat. Perdamaian adalah keadilan, hasil tata
masyarakat yang adil.
Keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan adalah syarat
mutlak bagi perkembangan pribadi, martabat suatu masyarakat, dan suatu bangsa.
Kita menyadari saat ini bangsa kita belum sejahtera, damai, dan adil. Kita
masih mengalami krisis dalam berbagai bidang kehidupan, baik politik, hukum,
ekonomi, maupun budaya. Sumber dari semua krisis ini ialah krisis etika dan
ekonomi dengan orientasi pada kepentingan diri sendiri dan kelompok. Sebagai
umat Kristiani, kita hendaknya berusaha dan berjuang untuk membangun etika dan
moralitas yang mengutamakan kepentingan umum (bonum commune), yaitu
kesejahteraan yang merata bagi seluruh warga.
1)
Beberapa Prinsip dalam Membangun Masyarakat yang Adil dan Sejahtera
Di sini
hanya akan dibahas prinsip-prinsip etika politik dalam membangun masyarakat
yang adil dan sejahtera, sebab di sanalah akar dari semua ketidakadilan yang
menyengsarakan rakyat banyak. Dengan mempertimbangkan kenyataan sosial politik
di Indonesia, prinsip-prinsip berikut ini mendesak untuk disadari dan
dilaksanakan.
a)
Hormat
terhadap martabat manusia; Prinsip ini menegaskan bahwa manusia
mempunyai nilai dalam dirinya sendiri dan tidak pernah boleh diperalat.
Bukankah manusia itu diciptakan menurut citra Allah, diperbarui
oleh Yesus Kristus yang dengan karya penebusan-Nya mengangkat manusia
menjadi anak Allah? Istilah SDM (Sumber Daya Manusia) yang sering digunakan tak
boleh mengabaikan kebenaran bahwa nilai manusia tak hanya terletak dalam
kegunaannya. Martabat manusia Indonesia harus dihargai sepenuhnya dan tak boleh
diperalat untuk tujuan apa pun, termasuk tujuan politik.
b)
Kebebasan;
Kebebasan adalah hak setiap orang dan kelompok: bebas dari segala bentuk
ketidakadilan dan bebas untuk mengembangkan diri secara
penuh. Setiap warga
sangat membutuhkan kebebasan dari ancaman dan tekanan, kebebasan
dari kemiskinan yang
membelenggunya, dan juga
kebebasan untuk berkembang menjadi manusia seutuhnya. Kekuasaan negara
perlu diingatkan akan salah satu tanggung jawab utamanya untuk melindungi warga
negara dari ancaman kekerasan, baik yang berasal dari sesama warga maupun dan
terutama dari kekuasaan negara.
c)
Keadilan; Keadilan
merupakan keutamaan yang
membuat manusia sanggup memberikan
kepada setiap orang
atau pihak lain apa yang
merupakan haknya. Dewasa ini, perjuangan untuk memperkecil kesenjangan
sosial ekonomi semakin
mendesak untuk dilaksanakan, demikian juga perjuangan untuk melaksanakan
fungsi sosial sebagai modal bagi kesejahteraan bersama. Mendesak juga
penggunaan modal dan kekayaan bagi pengembangan sektor ekonomi riil, sambil
menemukan cara-cara agar ’judi ekonomi’ dalam bentuk spekulasi keuangan
dikontrol untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan wirausaha-wirausaha
kecil dan menengah serta menciptakan lembaga dan hukum-hukum yang adil. Yang
tidak kalah mendesak adalah menciptakan penegakan hukum di negeri ini.
d)
Solidaritas; Dalam
tradisi solidaritas, sikap
solider terungkap dalam semangat
gotong royong dan kekeluargaan, yang menurut pepatah lama berbunyi: ’berat sama
dipikul, ringan sama dijinjing’. Prinsip itu semakin mendesak untuk diwujudkan
dalam konteks dunia modern. Dalam masyarakat di mana banyak orang mengalami
perlakuan dan keadaan tidak adil, solider berarti berdiri di pihak korban ketidakadilan, termasuk
ketidakadilan struktural. Selain itu, perlu dikembangkan juga
solidaritas antardaerah dan usaha untuk mencegah kesempatan egoisme kelompok.
e)
Subsidiaritas; Menjalankan prinsip
subsidiaritas berarti
menghargai kemampuan setiap manusia, baik pribadi maupun kelompok, untuk
mengutamakan usahanya sendiri, sementara pihak yang lebih kuat siap membantu
seperlunya. Bila kelompok yang lebih kecil dengan kemampuan dan saran yang dimiliki
bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi, kelompok yang lebih besar atau
pemerintah/negara tidak perlu campur tangan. Dalam keadaan kita sekarang,
hubungan subsidier berarti menciptakan relasi baru antara kemitraan dan
kesetaraan antara pemerintah, organisasi- organisasi sosial, dan warga negara,
serta kerja sama yang serasi antara pemerintah dan swasta. Kecenderungan
etatisme yang sangat mencolok dalam Rencana Undang-Undang yang disebarluaskan
di masyarakat dan Undang-Undang yang disahkan oleh DPR akhir- akhir ini,
berlawanan dengan prinsip-prinsip subsidiaritas ini.
f)
Sikap jujur
dan tulus ikhlas; Dengan
prinsip ini kebenaran dihargai dan dipegang teguh. Dewasa
ini, sikap ikhlas (fair) berarti menciptakan aturan yang adil dan menaatinya,
menghormati pribadi dan nama baik lawan politik, membedakan antara wilayah
publik dan wilayah privat, serta menyadari dan melaksanakan kewajiban untuk
memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
g)
Demokrasi;
Demokrasi sebagai sistem tidak hanya menyangkut hidup kenegaraan, melainkan
juga hidup ekonomi, sosial, dan kultural. Dalam arti ini, demokrasi dimengerti
sebagai cara-cara pengorganisasian kehidupan bersama yang paling mencerminkan
kehendak umum, dengan tekanan pada peran serta, perwakilan, dan tanggung jawab.
Demokrasi tidak dengan sendirinya menghasilkan
apa yang diharapkan.
Di Indonesia, salah
satu badan yang paling terlibat dalam pelaksanaan demokrasi ialah DPR
(Dewan Perwakilan Rakyat) dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Ternyata,
lembaga-lembaga ini kurang berfungsi dalam mewakili kepentingan masyarakat
luas, bahkan dalam banyak hal justru menghambat tercapainya tujuan demokrasi.
Dalam masyarakat kita tampak adanya kecenderungan untuk meminggirkan
kelompok-kelompok minoritas, dengan alasan- alasan yang kurang terpuji.
Keputusan yang menyangkut semua warga negara diambil sekadar atas dasar suara
mayoritas, dengan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan yang mendasar, matang,
dan berjangka panjang.
h)
Tanggung jawab; Bertanggung
jawab berarti mempunyai komitmen penuh pengabdian dalam
pelaksanaan tugas.
Tanggung jawab atas
disertai dengan tanggung
jawab kepada. Bagi politisi,
bertanggung jawab berarti bekerja sebaik-baiknya demi tercapainya tujuan negara
dan mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada rakyat. Tanggung jawab hanya
bisa dituntut bila kebijakan umum pemerintah terumus jelas dalam hal prioritas,
program, metode, dan pendasaran filosofi. Atas dasar kebijakan umum ini, wakil
rakyat dan kelompok-kelompok masyarakat bisa membuat evaluasi pelaksanaan
kinerja pemerintah dan menuntut pertanggungjawabannya. Bagi warga negara,
tanggung jawab berarti ikut berperan serta dalam mewujudkan tujuan negara
sesuai dengan kedudukan masing-masing.
2) Cara,
Pola, dan Pendekatan Perjuangan Kita Harus Merupakan Gerakan yang Melibatkan Sebanyak Mungkin
Orang, Mulai dari Akar Rumput
Perlu
disadari bahwa ketidakadilan yang menyengsarakan rakyat banyak sudah bersifat
struktural dan membudaya, terlalu sulit untuk mengatasinya. Ia tidak dapat
ditangani dengan slogan-slogan atau indoktrinasi, tetapi dengan suatu gerakan
yang melibatkan sebanyak mungkin orang, mulai dari akar rumput. Gerakan ini
merupakan gerakan
penyadaran yang akan memakan waktu. Masyarakat perlu disadarkan bahwa
ada ketidakadilan di
negeri ini yang membuat rakyat banyak sengsara. Sebelum ada penyadaran
akan situasi yang memprihatinkan ini, sia-sialah suatu gerakan dimulai.
Menyangkut
gerakan itu kiranya perlu diperhatikan beberapa hal, antara lain sebagai
berikut.
a) Gerakan pembaruan pikiran dan roh;
Perubahan pikiran dan roh yang paling cemerlang diberikan Tuhan kita Yesus
Kristus. Kedatangan-Nya membawa pemikiran dan roh yang baru. Lihatlah pemikiran
dan sikap- Nya terhadap orang miskin, yang disapanya berbahagia. Singkatnya,
bacalah permakluman Kabar Baik kepada orang miskin … pembebasan kepada para
tawanan …” (Luk 4: 18-19).
b) Yesus datang membawa visi dan roh
yang segar membebaskan. Ia melawan kemapanan yang membelenggu. Gerakan
ini harus membawa pemikiran (visi) dan roh yang baru seperti itu. Ia harus
membawa angin segar yang melegakan. Konsili Vatikan II dan sinode-sinode para
uskup sebenarnya sudah melahirkan banyak visi dan semangat baru menyangkut
Gereja dan misinya di dunia ini, khususnya misi terhadap kaum kecil. Namun,
visi-visi dan semangat itu seolah-olah menjadi mandul dan merana. Harus
disadari bahwa gerakan ini didorong oleh keyakinan iman, bukan sekadar gerakan
sosial yang bisa membuat orang akan gampang patah semangat. Gerakan ini adalah
panggilan iman dari semua orang yang sungguh beriman.
c) Gerakan sosial dan moral ke arah
pertobatan dan hidup baru; Gerakan ini hendaknya menjadi gerakan untuk
menegakkan etika politik dan etika ekonomi. Prinsip-prinsip etika politik dan
ekonomi seperti menghormati martabat manusia, keadilan, kejujuran, solidaritas,
demokrasi, dan sebagainya supaya sungguh-sungguh dihayati. Praktik- praktik
ketidakadilan, ketidakjujuran, dan kesewenang-wenangan hendaknya ditinggalkan.
Singkatnya, orang hendaknya bertobat dan memulai hidup baru. Tanpa pertobatan
yang sungguh-sungguh, tidak akan terjadi pembaharuan yang radikal, murni, dan
ikhlas.
d) Dengan menekankan bahwa gerakan
sosial dan moral ini sungguh merupakan suatu gerakan, ada hal-hal yang harus
kita elakkan dan ada hal-hal yang perlu kita tunjang dalam kegiatan kita.
Hal-hal yang perlu kita tunjang antara lain:
1) Gerakan ini sungguh murni gerakan
sosial dan moral. Hal-hal yang mengarah kepada institusionalisasi
sebaiknya dihindari sedapat mungkin. Institusi cenderung untuk menjadi mapan
dan terkotak- kotak. Gerakan sosial dan moral hendaknya senantiasa dinamis, gampang
menyesuaikan diri, terbuka merangkul siapa saja seperti gerakan Kerajaan Allah
yang dipelopori oleh Yesus Kristus sendiri. Gerakan sosial dan moral ini bukan
gerakan khusus orang Katolik.
2) Gerakan pembaruan
jangan sekadar menjadi
gerakan rohani, walaupun juga
sangat dibutuhkan. Gerakan
sosial dan moral ini harus bermuara kepada aksi untuk pembaruan dan pembangunan
masyarakat sejahtera dan adil.
Hal-hal yang perlu lebih digalakkan antara lain sebagai
berikut:
a) Memperluas gerakan ini menjadi
gerakan dari siapa saja, tidak terbatas pada agama, strata sosial, dan aliran
politik tertentu. Ia milik segala orang yang berkehendak baik.
b) Gerakan ini boleh saja diinspirasi
dan diprakarsai dari atas, tetapi hendaknya mulai bertumbuh dan menguat dalam
basis-basis umat. Ia hendaknya mulai bertumbuh dari akar rumput, semakin
lama semakin menyebar dan meluas.
c) Mulailah dengan diri dan kelompok
sendiri.
Pertanyaan:
1) Tindakan
apakah yang dapat dilakukan Gereja bercermin dari teladan Yesus dalam rangka membangun
bangsa dan negara yang dikehendaki Tuhan?
2) Sebutkanlah
delapan Prinsip dalam Membangun Masyarakat yang Adil dan Sejahtera!
Hadir
BalasHapushadir
BalasHapus