Cari Blog Ini

Selasa, 31 Agustus 2021

PANGGILAN HIDUP MEMBIARA

 

PANGGILAN HIDUP MEMBIARA

Doa Pembuka

Allah, pencipta semesta, Engkau memanggil setiap insan kepada keselamatan, dan Engkau mengharapkan tanggapan dari mereka. Kami bersyukur begitu banyak orang telah menanggapi panggilan-Mu. Dan untuk melayani mereka yang sudah Kau himpun, Engkau berkenan memanggil pula pelayan-pelayan khusus bagi jemaat.

Bapa, panenan-Mu sungguh melimpah, tetapi para penuai sangatlah kurang. Ketika menyaksikan tuaian yang begitu banyak, Yesus sendiri mendesak, “Mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu.” Maka kami mohon, sudilah Engkau memanggil pekerja-pekerja untuk melayani umat-Mu. Perlengkapilah umat-Mu dengan nabi yang akan bernubuat demi nama-Mu, yang akan menegurkan umat-Mu kalau berbuat salah, dan menunjukkan jalan-Mu sendiri. Bangkitkanlah rasul untuk mewartakan sabda-Mu. Bangkitkanlah guru untuk mengajar kaum beriman, dan gembala untuk menuntun kami menemukan makanan yang berlimpah bagi jiwa raga kami. Semoga mereka semua dapat ikut serta dalam peran Kristus sendiri: memimpin, mengajar, dan menguduskan kami semua, agar kami semua tidak kekurangan suatua apa. Demi Kristus, Tuhan kami. Amin.

(Sumber : Puji Syukur nomer 182)

 

Pemikiran Dasar

Aneh, tetapi nyata! Itulah pendapat banyak orang tentang teman atau kerabatnya yang menentukan jalan hidupnya sebagai biarawan atau biarawati. Tidak jarang kita mendengar cerita tentang banyak orangtua yang menentang keras anaknya yang ingin menjadi pastor, suster, atau bruder. Tetapi tidak sedikit orangtua yang mendorong atau mendukung anaknya yang memilih jalan hidup membiara. Bagi mereka yang sudah menjadi biarawan atau biarawati, ketika ditanya mengapa mau menjalani hidup seperti itu, mereka menjawab bahwa itulah panggilan hidup. Menjadi seorang biarawan atau biarawati itu sebuah pilihan hidup. Bagi mereka, hidup membiara itu merupakan jawaban atas panggilan Tuhan untuk melayani dan menguduskan dunia.

Hidup membiara adalah salah satu bentuk hidup selibat yang dijalani oleh mereka yang dipanggil untuk mengikuti Kristus secara tuntas (total dan menyeluruh), dengan mengikuti nasihat Injil. Hidup membiara adalah corak hidup, bukan fungsi gerejawi. Dengan kata lain, hidup membiara adalah suatu corak atau cara hidup yang di dalamnya orang hendak bersatu dan mengikuti Kristus secara tuntas, melalui kaul yang mewajibkannya untuk hidup menurut tiga nasihat injil, yakni keperawanan, kemiskinan, dan ketaatan (bdk. LG 44). Dengan mengucapkan kaul keperawanan, orang membaktikan diri secara total dan menyeluruh kepada Kristus. Dengan mengucapkan kaul kemiskinan, orang berjanji akan hidup secara sederhana dan rela menyumbangkan apa saja demi kerasulan. Dan dengan mengucapkan kaul ketaatan, orang berjanji akan patuh kepada pimpinannya dan rela membaktikan diri kepada hidup dan kerasulan bersama. Kaul-kaul tersebut bukan inti hidup membiara. Inti hidup membiara  adalah  persatuan  erat  dengan  Kristus  melalui  penyerahan  diri secara total dan menyeluruh kepada-Nya. Hal itu diusahakan untuk dijalani melalui ketiga kaul yang disebutkan di atas. Bentuk hidup selibat lainnya adalah hidup tidak menikah, yang dijalani oleh kaum awam, demi Kerajaan Surga. Mereka memilih tidak menikah bukan karena menilai hidup berkeluarga itu jelek atau bernilai rendah, melainkan demi Kerajaan Surga (bdk. Mat 19: 12). Dalam hidup tidak menikah mereka menemukan dan menghayati suatu nilai yang luhur, yakni melalui doa dan karya memberikan cintanya kepada semua orang sebagai ungkapan kasih mereka kepada Allah.

Pada kegiatan pembelajaran ini, para peserta didik dibimbing untuk memahami bahwa hidup membiara dan hidup selibat lainnya adalah panggilan dari Tuhan, merupakan  rahmat,  pemberian  cuma-cuma  dari  Tuhan  bagi  orang-orang  yang dipilih-Nya. Meskipun merupakan rahmat, kita bisa memohon hidup semacam itu kepada Tuhan. Oleh karenanya, siswa, yang sudah mulai memikirkan pilihan cara hidupnya kelak, perlu diajak untuk bertanya kepada dirinya sendiri apakah Tuhan memanggilnya untuk menjalani hidup membiara atau hidup selibat lainnya.

 

Mendalami Arti dan Inti Hidup Membiara

Menyimak  kisah hidup orang kudus

Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus

Theresia Martin dilahirkan di kota Alençon, Perancis, pada tanggal 2 Januari 1873. Ayahnya  bernama  Louis  Martin  dan  ibunya  Zelie  Guerin.  Pasangan tersebut dikarunia sembilan orang anak, tetapi hanya lima yang bertahan hidup hingga dewasa. Kelima bersaudara itu semuanya puteri dan semuanya menjadi biarawati! Ketika Theresia masih kanak-kanak, ibunya terserang penyakit kanker. Pada masa itu, mereka belum memiliki obat-obatan dan perawatan khusus seperti sekarang.

Para dokter mengusahakan yang terbaik untuk menyembuhkannya, tetapi penyakit Nyonya Martin bertambah parah. Ia meninggal dunia ketika Theresia baru berusia empat tahun.

Sepeninggal isterinya, ayah Theresia memutuskan untuk pindah ke kota Lisieux, di mana kerabat mereka tinggal.  Di sana ada sebuah biara Karmel di mana para suster berdoa secara khusus untuk kepentingan seluruh dunia. Ketika Theresia berumur sepuluh tahun, seorang kakaknya, Pauline, masuk biara Karmel di Lisieux. Hal itu amat berat bagi Theresia. Pauline telah menjadi “ibunya yang kedua”, merawatnya dan mengajarinya, serta melakukan semua hal seperti yang dilakukan ibumu untuk kamu. Theresia sangat kehilangan Pauline hingga ia sakit parah. Meskipun sudah satu bulan Theresia sakit, tak satu pun dokter yang dapat menemukan penyakitnya. Ayah Theresia dan keempat saudarinya berdoa memohon bantuan Tuhan. Hingga, suatu hari patung Bunda Maria di kamar Theresia tersenyum padanya dan ia sembuh sama sekali dari penyakitnya!

Suatu ketika, Theresia mendengar berita tentang seorang penjahat yang telah melakukan tiga kali pembunuhan dan sama sekali tidak merasa menyesal. Theresia mulai berdoa dan melakukan silih bagi penjahat itu (seperti menghindari hal-hal yang ia sukai dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang kurang ia sukai). Ia memohon pada Tuhan untuk mengubah hati penjahat itu. Sesaat sebelum kematiannya, penjahat itu meminta salib dan mencium Tubuh Yesus yang tergantung di kayu salib. Theresia sangat bahagia! Ia tahu bahwa penjahat itu telah menyesali dosanya di hadapan Tuhan.

Theresia sangat mencintai Yesus. Ia ingin mempersembahkan seluruh hidupnya bagi-Nya. Ia ingin masuk biara Karmel agar ia dapat menghabiskan seluruh harinya dengan bekerja dan berdoa bagi orang-orang yang belum mengenal dan mengasihi Tuhan. Tetapi masalahnya, ia terlalu muda. Jadi, ia berdoa dan menunggu dan menunggu dan berdoa. Hingga akhirnya, ketika umurnya lima belas tahun, atas ijin khusus dari Paus, ia diijinkan masuk biara Karmelit di Liseux.

Apa yang dilakukan Theresia di biara? Tidak ada yang istimewa. Tetapi, ia mempunyai suatu rahasia: CINTA. Suatu ketika Theresia mengatakan, “Tuhan tidak menginginkan kita untuk melakukan ini atau pun itu, Ia ingin kita mencintai-Nya.” Jadi, Theresia berusaha untuk selalu mencintai. Ia berusaha untuk senantiasa lemah lembut dan sabar, walaupun itu bukan hal yang selalu mudah. Para suster biasa mencuci baju-baju mereka dengan tangan. Seorang suster tanpa sengaja selalu mencipratkan air kotor ke wajah Theresia. Tetapi Theresia tidak pernah menegur atau pun marah kepadanya. Theresia juga menawarkan diri untuk melayani suster tua yang selalu bersungut-sungut dan banyak kali mengeluh karena sakitnya. Theresia berusaha melayani dia seolah- olah ia melayani Yesus. Ia percaya bahwa jika kita mengasihi sesama, kita juga mengasihi Yesus. Mencintai adalah pekerjaan yang membuat Theresia sangat bahagia.

Hanya sembilan tahun lamanya Theresia menjadi biarawati. Ia terserang penyakit tuberculosis (TBC) yang membuatnya sangat menderita. Kala itu belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit TBC. Dokter hanya bisa sedikit menolong. Ketika ajal menjelang, Theresia memandang salib dan berbisik, “O, aku cinta pada-Nya, Tuhanku, aku cinta pada-Mu!” Pada tanggal 30 September 1897, Theresia meninggal dunia ketika usianya masih dua puluh empat tahun. Sebelum wafat, Theresia  berjanji  untuk  tidak  menyerah  pada  rahasianya.  Ia  berjanji untuk tetap mencintai dan menolong sesama dari surga. Sebelum meninggal Theresia mengatakan, “Dari surga aku akan berbuat kebaikan bagi dunia.” Dan ia menepati janjinya! Semua orang dari seluruh dunia yang memohon bantuan St. Theresia untuk mendoakan mereka kepada Tuhan telah memperoleh jawaban atas doa-doa mereka.

 

Mendalami  Ajaran  Gereja  tentang  hidup membiara

 

Menyimak dokumen

Makna dan arti hidup religious (LG 44).

Dengan kaul-kaul atau ikatan suci lainnya yang dengan caranya yang khas menyerupai kaul, orang beriman kristiani mewajibkan diri untuk hidup menurut tiga nasehat Injil tersebut. Ia mengabdikan diri seutuhnya kepada Allah yang dicintainya mengatasi segala sesuatu. Dengan demikian ia terikat untuk mengabdi Allah serta meluhurkan-Nya karena alasan yang baru dan istimewa. Karena baptis ia telah mati bagi dosa dan dikuduskan kepada Allah. Tetapi supaya dapat memperoleh buah-buah rahmat babtis yang lebih melimpah, ia menghendaki untuk dengan mengikrarkan nasehat-nasehat Injil dalam Gereja dibebaskan dari rintangan-rintangan, yang mungkin menjauhkannya dari cinta kasih yang berkobar dan dari kesempurnaan bakti kepada Allah, dan secara lebih erat ia disucikan  untuk  mengabdi  Allah.  Adapun  pentahbisan  akan makin sempurna, apabila dengan ikatan yang lebih kuat dan tetap makin jelas dilambangkan Kristus, yang dengan ikatan tak terputuskan bersatu dengan Gereja mempelai-Nya.

Nasehat-nasehat Injil, secara istimewa menghubungkan mereka itu dengan Gereja dan misterinya. Maka dari itu hidup rohani mereka juga harus dibaktikan kepada kesejahteraan seluruh Gereja. Dari situ muncullah tugas, untuk sekadar tenaga dan menurut bentuk khas panggilannya, entah dengan doa atau dengan karya-kegiatan, berjerih-payah guna mengakarkan dan mengungkapkan Kerajaan Kristus di hati orang-orang, dan untuk memperluasnya ke segala penjuru dunia. Oleh karena itu Gereja melindungi dan memajukan corak khas pelbagai tarekat religius. Maka pengikraran nasehat-nasehat Injil merupakan tanda, yang dapat dan harus menarik secara efektif semua anggota Gereja, untuk menunaikan tugas-tugas panggilan kristiani dengan tekun. Sebab umat Allah tidak mempunyai kediaman tetap disini, melainkan mencari kediaman yang akan datang. Maka status religius, yang lebih membebaskan para anggotanya dari keprihatinan-keprihatinan duniawi, juga lebih jelas memperlihatkan kepada semua orang beriman harta sorgawi yang sudah hadir di dunia ini, memberi kesaksian akan hidup baru dan kekal yang diperoleh berkat penebusan Kristus, dan mewartakan kebangkitan yang akan datang serta kemuliaan Kerajaan sorgawi. Corak hidup, yang dikenakan oleh Putera Allah ketika Ia memasuki dunia ini untuk melaksanakan kehendak Bapa, dan yang dikemukakan-Nya kepada para murid yang mengikuti-Nya, yang diteladan dan lebih dekat oleh status religius, dan senantiasa dihadirkan dalam Gereja. Akhirnya status itu juga secara istimewa menampilkan keunggulan Kerajaan Allah melampaui segalanya yang serba duniawi, dan menampakkan betapa pentingnya Kerajaan itu.

Selain itu juga memperlihatkan kepada semua orang keagungan maha besar kekuatan Kristus yang meraja dan daya Roh Kudus yang tak terbatas, yang berkarya secara mengagumkan dalam Gereja. Jadi meskipun status yang terwujudkan dengan pengikraran nasehat-nasehat Injil itu tidak termasuk susunan hirarkis Gereja, namun tidak dapat diceraikan dari kehidupan dan kesucian Gereja.

 

 

Peneguhan

a.      Arti dan Makna Hidup Membiara

Hidup membiara merupakan ungkapan hidup manusia, yang menyadari bahwa hidupnya berada di hadirat Allah. Agar hadirat Allah bisa diungkapkan secara padat dan menyeluruh, orang melepaskan diri dari segala urusan membentuk hidup berkeluarga. Hal ini dilakukan mengingat, berdasarkan pengalaman, kesibukan hidup berkeluarga sangat membatasi kemungkinan untuk mengungkapkan hadirat Allah secara menyeluruh dan padat.

Dilihat dari hidup manusia keseluruhan, ternyata hidup membiara mempunyai nilai dan kepentingannya. Melalui hidup membiara, umat manusia semakin menemukan dimensi rohani dalam hidupnya. Dari pengalaman hidup yang praktis, orang menyadari bahwa dalam keterbatasan hidup mereka hadirat Allah tidak dapat dinyatakan dengan bobot yang sama. Untuk kepentingan itu tampaklah betapa pentingnya hidup membiara bagi hidup manusia itu.

Hidup membiara menuntut suatu penyerahan diri secara mutlak dan menyeluruh. Cara hidup ini merupakan suatu kemungkinan bagi manusia untuk mengembangkan diri dan pribadinya. Hidup membiara mempunyai amanatnya sendiri, yaitu menunjukkan dimensi hadirat Allah dalam hidup manusia. Karenanya, hidup membiara juga disebut panggilan.

 b.      Inti Hidup Membiara

Inti kehidupan membiara, yang juga dituntut dari setiap orang Kristen, ialah persatuan atau keakraban dengan Kristus. Tugas ataupun karier adalah soal tambahan. Tanpa keakraban ini maka kehidupan membiara sebenarnya tak memiliki suatu dasar. Seorang biarawan hendaknya selalu bersatu dengan Kristus dan menerima pola nasib hidup Yesus Kristus secara radikal bagi dirinya. Oleh karena itu, semboyan klasik hidup membiara ialah ”Mengikuti jejak Tuhan kita Yesus Kristus”, atau ”Meniru Kristus” (Lumen Gentium, Art. 42). Ungkapan ini tidak boleh ditafsirkan secara lahiriah saja. Mereka yang mengikuti Kristus berarti ”meneladan bentuk kehidupan-Nya” (Lumen Gentium, Art. 44). Akan tetapi, meneladani harus diusahakan sedemikian rupa sehingga mereka sungguh bersatu dan menyerupai Kristus.

Untuk  dapat  menyerupai  dan  menyatu  dengan  Kristus,  orang  harus sering  berkomunikasi  atau  bertemu  dengan  Yesus  Kristus.  Pertemuan atau komunikasi yang efektif dan yang paling sering dilakukan ialah doa. Seorang biarawan yang baik harus sering ”tenggelam dalam doa” sebab doa merupakan suatu daya atau kekuatan untuk dapat meneladani dan bersatu dengan Kristus. Di dalam doa orang selalu bisa berbicara, mendengar, dan mengarahkan diri kepada Kristus.

Persatuan  erat  dengan  Kristus  itulah  inti  dan  tujuan  hidup  membiara. Tanpa persatuan dengan Kristus, hidup membiara akan rapuh karena tidak memiliki dasar. Seorang biarawan perlu mengusahakan persatuan yang erat dengan Kristus dan menerima pola hidup Kristus secara radikal (sampai ke akar-akarnya) bagi dirinya sendiri. Inti hidup membiara didasarkan pada cinta Allah sendiri. Demi cinta-Nya kepada manusia, Allah mengutus Putra-Nya ke dunia untuk mewartakan, menjadi saksi, dan melaksanakan karya keselamatan-Nya bagi manusia. Yesus menjalankan tugas perutusan-Nya secara sempurna dan radikal dengan menyerahkan diri secara total kepada Bapa-Nya, memiliki dan menggunakan harta benda hanya sejauh diperlukan untuk melaksanakan karya-Nya, dan taat kepada Bapa-Nya sampai wafat di kayu salib. Pola hidup semacam itulah yang hendaknya dihayati oleh seorang biarawan dalam hidupnya, sebagai tanda persatuannya dengan Kristus.

 c.       Kaul-kaul dalam Hidup Membiara

1)      Kaul kemiskinan

Memiliki harta benda adalah hak setiap orang. Dengan mengucapkan dan menghayati kaul kemiskinan, orang yang hidup membiara melepaskan hak untuk memiliki harta benda tersebut. Ia hendak menjadi seperti Kristus: dengan sukarela melepaskan haknya untuk memiliki harta benda.

Untuk dapat menghayati kaul kemiskinan dengan baik, diperlukan sikap batin rela menjadi miskin seperti yang dituntut oleh Yesus dari murid-murid-Nya (Luk 10: 1-12; lihat juga Mat 10: 5-15). Sikap batin ini perlu diungkapkan dalam bentuk nyata dalam kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan pengungkapan atau perwujudan kaul kemiskinan, ada dua aspek yang bisa ditemukan, yaitu aspek asketis (gaya hidup yang sederhana) dan aspek apostolis. Orang yang mengucapkan kaul kemiskinan rela menyumbangkan bukan hanya harta bendanya demi kerasulan, melainkan juga tenaga, waktu, keahlian, dan keterampilan; bahkan segala kemampuan dan seluruh kehidupan.

 2)      Kaul ketaatan

Kemerdekaan atau kebebasan adalah milik manusia yang sangat berharga. Segala usaha akan dilakukan orang untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaannya. Dengan kaul ketaatan, orang memutuskan untuk taat seperti Kristus (Yoh 14: 23-24; Flp 2:7-8), melepaskan kemerdekaannya, dan taat kepada pembesar (meletakkan kehendaknya di bawah kehendak pembesar) demi Kerajaan Allah.

Ketaatan religius adalah ketaatan yang diarahkan kepada kehendak Allah. Ketaatan kepada pembesar merupakan konkretisasi ketaatan kepada Allah. Maka itu, baik pembesar maupun anggota biasa perlu bersama-sama mencari dan berorientasi kepada kehendak Allah.

Dalam kaul ketaatan pun dapat dibedakan aspek asketis dan aspek apostolis. Dari aspek asketis, ketaatan religius dimengerti sebagai kepatuhan kepada pembesar, terutama guru rohani. Sementara, dari aspek apostolis ketaatan religius berarti kerelaan untuk membaktikan diri kepada hidup dan terutama kerasulan bersama.

 3)      Kaul keperawanan

Hidup  berkeluarga  adalah  hak  setiap  orang.  Dengan  mengucapkan dan menghayati kaul keperawanan, orang yang hidup membiara melepaskan haknya untuk hidup berkeluarga demi Kerajaan Allah. Melalui hidup selibat ia mengungkapkan kesediaan untuk mengikuti dan meneladani Kristus sepenuhnya serta membaktikan diri secara total demi terlaksananya Kerajaan Allah. Dengan kaul keperawanan, sikap penyerahan diri seorang Kristen dinyatakan dalam seluruh hidup dan setiap segi. Inti kaul keperawanan bukanlah ”tidak kawin”, melainkan penyerahan secara menyeluruh kepada Kristus, yang dinyatakan dengan meninggalkan segala-galanya demi Kristus dan terus-menerus berusaha mengarahkan diri kepada Kristus terutama melalui hidup doa.

 

Secara singkat, ketiga kaul itu dapat dikatakan sebagai suatu sikap radikal untuk mencintai Bapa (keperawanan), pasrah kepada kehendak Bapa (ketaatan), serta bergantung dan berharap hanya kepada Bapa (kemiskinan).

 

d.      Selibat

Selibat adalah sebuah bentuk panggilan hidup. Dalam konteks ini selibat memiliki makna penyerahan hidup, pembaktian hidup yang murni dan total kepada Tuhan demi Kerajaan Allah. Pembaktian hidup yang murni dan total terwujud dalam hidup tidak menikah demi Kerajaan Allah. Hal tersebut menegaskan pada makna kanon 599 yang berbunyi: “Nasihat Injili kemurnian yang diterima demi Kerajaan Allah, yang menjadi tanda dunia yang akan datang dan merupakan sumber kesuburan melimpah dalam hati yang tak terbagi, membawa serta kewajiban bertarak sempurna dalam selibat”.

1)      Selibat dan hidup yang dibaktikan

Merujuk pada kanon pembuka bagian III tentang Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan dari KHK 1983, yakni kanon 573 § 1, yang berbicara tentang apa itu tarekat hidup bakti (La Vita Consecrata), kita dapat menelusuri makna selibat dalam kaitannya dengan Hidup yang dibaktikan. Kanon 573 § 1 menyatakan bahwa “hidup yang dibaktikan dengan pengikraran nasihat-nasihat Injil adalah bentuk hidup yang tetap dengannya orang beriman, yang atas dorongan Roh Kudus mengikuti Kristus secara lebih dekat, dipersembahkan secara utuh kepada Allah yang paling dicintai…”. Dari pernyataan itu dapatlah ditarik makna selibat pada umumnya merupakan pilihan hidup yang dibaktikan demi Kerajaan Allah (bdk. Mat. 19:12). Kata dibaktikan (consecrare) mempunyai arti luas bisa menguduskan, menakdiskan, menarik diri dari dunia dan secara khusus diperuntukan bagi Allah (bdk. LG, 44; VC, 30). Tujuan dari hidup selibat dalam kaitannya dengan pilihan hidup yang dibaktikan adalah mengikuti Kristus secara lebih dekat (pressius), semuanya itu karena motivasi yang didorong oleh kuasa Roh Kudus. Tanpa Roh Kudus, kehidupan selibat tidak akan tercapai dengan sempurna. Selain itu tujuan hidup selibat dalam konteks hidup yang dibaktikan adalah persembahan diri secara total kepada Allah yang dicintainya. Jadi selibat adalah sebuah karunia rahmat istimewa yang diberikan kepada seseorang yang terpanggil mengikuti Kristus secara lebih dekat.


2)      Selibat bentuk solidaritas

Nasihat Injil tentang kemurnian yang tidak lain adalah selibat diterima demi kerajaan Allah, menjadi tanda dunia yang akan datang dan merupakan sumber kesuburan melimpah dalam hati yang tak terbagi…(bdk. kan. 599). Karunia rahmat istimewa yang diberikan kepada orang selibater secara istimewa pula membebaskan hati manusia (bdk. 1 Kor 7:32-35), supaya hatinya berkobar mencintai Allah dan semua orang. Maka pilihan hidup yang demikian itu merupakan tanda yang amat khas, harta surgawi bagi kaum selibater yang membaktikan hidupnya bagi Allah dan kerasulan Gereja (bdk. PC, 12). Kebebasan hati tidak terikat oleh siapapun dan apapun karena hidupnya diserahbaktikan kepada Allah menjadi bentuk solidaritas bagi mereka yang bernasib kurang beruntung. Tanda solidaritas dari orang selibater itu nyata dalam sikap lepas bebas pada hal-hal duniawi dan melulu perhatian hidupnya bagi Allah dan sesama. Di bumi Indonesia ini banyak orang yang terpinggirkan, baik oleh karena hidupnya yang kurang beruntung maupun secara struktural terpinggirkan oleh kekuasaan. Mereka adalah kaum anawim seperti keluarga kudus di Nazareth: Maria, Yusuf dan Yesus sendiri. Hidup keluarga kudus di Nazareth selalu di bawah bayang-bayang tekanan penguasa sehingga berkali-kali harus mengungsi dan terpinggirkan. Mereka yang tergolong orang terpinggirkan adalah orang miskin, gelandangan, pemulung, kaum buruh dengan gaji rendah dan lainnya. Mereka terpinggirkan karena tekanan ekonomi, sosial, budaya, politik bahkan hidup keagamaan.

 

3)      Relevansinya di zaman sekarang

Tentang hidup selibat, tantangan pertama datang dari kebudayaan hedonisme yang meceraikan seksualitas dari norma moral obyektif, yang menempatkan seksualitas sebagai kesenangan atau kenikmatan semata-mata tanpa melihat aspek rohaninya. Hidup selibat di jaman sekarang justru memiliki sifat profetis bagi kebudayaan hedonisme. Hidup selibat menyajikan kepada masyarakat zaman sekarang bahwa teladan hidup murni demi kerajaan Allah itu menampakan: (1) keseimbangan dan penguasaan diri, (2) bentuk solidaritas bagi orang yang terpinggirkan, (3) kematangan psikologis dan afektif. Maka di zaman sekarang hidup selibat menjadi kesaksian tunggal kehadiran Allah di dunia yang dibelenggu oleh kenikmatan seksual (bdk. PC, 12; VC, 88). Oleh karena itu, kehidupan selibat (kemurnian) yang diperuntukan bagi Allah tetap relevan dan memiliki daya tarik bagi kaum muda yang mendambakan kebebasan hati untuk mengabdi kepada Allah dan sesama manusia secara total dan utuh.

 

Di dunia sekarang yang sering menimbulkan kesan bahwa orang sudah tidak melihat lagi tanda-tanda kehadiran Allah lagi, kesaksian hidup selibat semakin diperlukan untuk menegaskan Allah hidup di tengah-tengah umatnya terutama mereka yang mendambakan pembebasan hati, terlebih mereka yang terpinggirkan. Dengan hidup selibat, mereka menjadi tanda hidup masa depan langit baru dan bumi yang baru (bdk. Wahyu 21:1). Hidup selibat yang dijiwai oleh semangat lepas bebas dari ikatan dan pembaktian hidup secara murni kepada Allah menjadi dorongan yang berharga bagi kaum selibater untuk selalu solider dengan orang yang terpinggirkan yakni kaum miskin dan tertindas.

 Doa Penutup

Bapa yang mahakudus, kami bersyukur kepada-Mu atas begitu banyak biarawan-biarawati yang dengan tulus dan penuh semangat mengikuti nasihat-nasihat Injil Putra-Mu. Dengan menjawab panggilan suci ini, mereka hidup hanya untuk Engkau, karena seluruh hidup dan pelayanan mereka hanya tertuju kepada-Mu. Semoga penyerahan secara utuh ini mendorong mereka untuk tekun mengamalkan keutamaan-keutamaan injili, terutama kemiskinan, ketaatan, dan kemurnian.

Terangilah  mereka  agar  menyadari  kemurnian,  yang  mereka  ikrarkan demi Kerajaan Surga, sebagai anugerah yang amat luhur, karena dengan itu mereka terbantu untuk mengasihi Engkau secara utuh. Semoga prasetya kemiskinan semakin mendekatkan mereka kepada Kristus yang telah menjadi papa untuk kami, dan semakin mendekatkan mereka juga kepada saudara-saudara yang berkekurangan. Semoga lewat prasetya ketaatan mereka mampu memadukan diri dengan Kristus yang telah menghampakan diri karena taat kepada kehendak-Mu.

Bapa, semoga para biarawan-biarawati selalu membina hubungan yang akrab dengan Engkau lewat doa pribadi, liturgi, dan bacaan Kitab Suci. Sesudah disegarkan oleh santapan-santapan suci ini, semoga mereka mampu   meneguhkan   saudara-saudaranya,   kaum   beriman.   Semoga para   biarawan-biarawati   selalu   membina   kehidupan   bersama   yang akrab dan hangat, tempat setiap anggota dapat berbagi suka dan duka, saling menghibur dan meneguhkan, dan sebagai satu keluarga semakin akrab dengan Engkau sendiri. Semoga mereka sungguh mewujudkan persaudaraan sejati, dan memberikan kesaksian betapa indahnya hidup bersama sebagai saudara, serta semakin mampu memberikan pelayanan kepada jemaat dan masyarakat,

Demi Kristus, Tuhan, pengantara kami. Amin.

 

 

PERTANYAAN:

1)      Apa arti kaul kemiskinan?

2)      Apa arti kaul ketaatan?

3)      Apa arti kaul keperawanan?

4)      Apakah yang dimaksud dengan “selibat”?

 

Senin, 30 Agustus 2021

GEREJA YANG KATOLIK

GEREJA YANG KATOLIK

 

Doa Pembukaan

Ya Bapa sumber kebijaksanaan sejati, Dalam  pertemuan  ini  kami  ingin  memahami  lebih  mendalam  tentang  hakekat dan  sifat-sifat  Gereja,  teristimewa  Gereja  yang  Katolik.  Kami  mohon  kepada-Mu, anugerahkanlah kepada kami hati dan budi yang suci, serta berilah semangat untuk mengikuti dan ambil bagian dalam proses pembelajaran ini, agar kami dapat memahami kehadiran Gereja-Mu di bumi ini. Engkau yang hidup dan berkuasa kini dan sepanjang segala masa. Amin.

 

Pemikiran Dasar

Pada kegiatan pembelajaran  sebelumnya telah dibahas tentang sifat Gereja yang “kudus”. Pada pelajaran ini akan dibahas sifat  Gereja yang ketiga  yaitu  “Katolik”. Sebagaimana   makna dan hakikat sifat Gereja yang satu dan kudus, apabila kita bertanya kepada umat awam katolik, termasuk kaum muda Katolik, banyak yang belum memahami makna kekatolikan yang mereka sandang. Ada yang mengatakan, yang penting saya ini orang Katolik. Jawaban seperti ini akan menjadi kendala ketika berhadapan dengan umat beragama lain dalam suatu forum dialog, atau hanya sekedar mendapat pertanyaan spontan dari umat beragama lain yang mengetahui makna katolik.

Katolik dari kata Latin, catholicus yang berarti universal atau umum. Nama yang sudah dipakai sejak awal abad ke II M, pada masa St. Ignatius dari Antiokia menjadi Uskup. Ciri katolik ini mengandung arti Gereja   yang utuh, lengkap, tidak hanya setengah atau sebagian dalam menerapkan sistem yang berlaku dalam Gereja. Bersifat universal artinya, Gereja Katolik itu mencakup semua orang yang telah dibaptis secara katolik di seluruh dunia, dimana setiap orang menerima pengajaran iman dan moral serta berbagai tata liturgi yang sama di manpun berada. Kata universal juga sering dipakai untuk menegaskan tidak adanya sekte-sekte dalam Gereja Katolik. Konstitusi Lumen Gentium Konsili Vatikan ke II menegaskan arti kekatolikan itu : “Satu umat Allah itu hidup di tengah segala bangsa di dunia, karena memperoleh warganya dari segala bangsa. Gereja nemajukan dan menampung segala kemampuan, kekayaan dan adat istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik. Gereja yang katolik secara tepat guna dan tiada hentinya berusaha merangkum segenap umat manusia beserta segala harta kekayaannya di bawah Kristus Kepala, dalam kesatuan Roh-Nya” (LG. 13).

Melalui pelajaran ini, peserta didik diharapkan memahami sifat kekatolikan Gereja  sehingga  terdorong  untuk  ikut  serta  mewujudkan  nilai-nilai  luhur  Injili dan memperjuangkan suatu dunia yang lebih baik untuk seluruh umat manusia tanpa pandang bulu. Peserta didik juga memahami bahwa Gereja dipanggil untuk menghormati kebudayaan, adat istiadat, bahkan agama mana pun. Oleh karena itu, dirinya sebagai orang Katolik ikut berjuang untuk kepentingan, kesejahteraan umum, memajukan nilai-nilai luhur dan memperjuangkan satu dunia yang lebih baik untuk seluruh umat manusia.

 

Menggali Makna Kekatolikan Gereja

Menyimak  dan  Mendalami  Cerita  yang  Mengungkapkan  Segi-Segi Kekatolikan Gereja

Simpul Persaudaraan Kardinal Bergoglio

Ketika memangku reksa kegembalaan sebagai Uskup Agung Buenos Aires, Bergoglio sudah memiliki kebiasaan dialog, menjalin relasi, kerja sama dan persaudaraan dengan tradisi kepercayaan lain. Kardinal kelahiran Flores, Buenos Aires, 17 Desember 1936 ini aktif mengadakan kunjungan secara berkala dan hadir dalam acara-acara penting komunitas agama lain di Argentina. Bahkan, ia sering menggelar acara bersama dengan para pemuka agama lain untuk mempererat tali silaturahmi.

Tak segan-segan, Bergoglio berkunjung dan masuk ke masjid untuk berbaur dengan saudara-saudari Muslim. Ia pun dengan senang hati menghadiri acara keagamaan orang Yahudi. Pertemuan-pertemuan berskala nasional dengan banyak denominasi Kristen dari berbagai aliran juga menjadi prioritas dalam agendanya. Sikap  keterbukaan  dan  kehangatan  sapaannya  dalam  kancah  dialog  damai  dan persaudaraan terpatri begitu kuat dalam hati para pemuka agama di Argentina.

Pada November 2012, simpul kedekatannya dengan komunitas tradisi agama lain pun terkristalisasi dalam suatu pertemuan penuh makna. Bergoglio mengundang para pemimpin umat agama lain dalam suatu pertemuan persaudaraan. Perhelatan yang digelar di kompleks Katedral Buenos Aires ini menjadi ajakan untuk merefleksikan roh pemersatu dalam persaudaraan sebagai komunitas umat manusia. Undangannya itu pun mendapat sambutan hangat dari para tamunya. Kala itu, perwakilan Islam, Yahudi, Orthodoks, dan sejumlah denominasi Gereja Kristen Evangelis di Argentina berbondong-bondong menghadiri undangan Bergoglio.

Para tamunya pun semakin terkesima ketika Sang Kardinal mengajak mereka masuk ke Katedral Buenos Aires untuk berdoa bersama. Seakan-akan ia membuka pintu Gereja Katedral lebar-lebar bagi umat beriman dan semua orang yang berkehendak  baik  demi  perdamaian.  Bergoglio  merangkul  para  pemuka  agama untuk mendoakan perdamaian di Timur Tengah yang dinodai dengan kebencian, permusuhan, penindasan, dan perang. Para tokoh agama Argentina menyebutnya sebagai “pembuka pintu” untuk orang lain di rumahnya, dan menawarkan sambutan hangat pada siapa pun yang bertamu. (Catholic-news.com)

 

Pendalaman

1.       Uskup Agung Buenos Aires, Bergoglio memiliki kebiasaan dialog, menjalin relasi, kerjasama dan persaudaraan dengan tradisi kepercayaan lain.

2.       Mgr. Bergoglio aktif mengadakan kunjungan secara berkala dan hadir dalam acara-acara penting komunitas agama lain di Argentina. Bahkan, ia sering menggelar acara bersama dengan para pemuka agama lain untuk mempererat tali silaturahmi.  Sikap Mgr. Bergoglio ini menampakkan semangat kekatolikan dalam hidupnya.

 

 

Menggali  Makna  Kekatolikan  menurut  Ajaran Gereja

Menyimak Dokumen Gereja

“Semua orang dipanggil sebagai Umat Allah yang baru. Maka umat itu, yang tetap satu dan tunggal, harus disebarluaskan keseluruh dunia dan melalui segala abad, supaya terpenuhilah rencana kehendak Allah, yang pada awal mula menciptakan satu kodrat manusia, dan menetapkan untuk akhirnya menghimpun dan mempersatukan lagi anak-anak-Nya yang tersebar (lih. Yoh 11:52). Sebab demi tujuan itulah Allah mengutus Putera-Nya, yang dijadikan-Nya ahli waris alam semesta (lih. Ibr 1:2), agar Ia menjadi Guru, Raja dan Imam bagi semua orang, Kepala umat anak-anak Allah yang baru dan universal. Demi tujuan itu pulalah Allah mengutus Roh Putera- Nya, Tuhan yang menghidupkan, yang bagi seluruh Gereja dan masing-masing serta segenap orang beriman menjadi azas penghimpun dan pemersatu dalam ajaran para rasul dan persekutuan, dalam pemecahan roti, dan doa-doa (lih. Kis 1:42 yun.).

Jadi satu Umat Allah itu hidup ditengah segala bangsa dunia, warga Kerajaan yang tidak bersifat duniawi melainkan sorgawi. Sebab semua orang beriman, yang tersebar diseluruh dunia, dalam Roh Kudus berhubungan dengan anggota-anggota lain. Demikianlah “dia yang tinggal di Roma mengakui orang-orang India sebagai saudaranya”[23]. Namun, karena Kerajaan Kristus bukan dari dunia ini (lih. Yoh 18:36), maka Gereja dan Umat Allah, dengan membawa masuk Kerajaan itu, tidak mengurangi sedikitpun kesejahteraan materiil bangsa manapun juga. Malahan sebaliknya, Gereja memajukan dan menampung segala kemampuan, kekayaan dan adat-istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik; tetapi dengan menampungnya juga memurnikan, menguatkan serta mengangkatnya. Sebab Gereja tetap ingat, bahwa harus ikut mengumpulkan bersama dengan Sang Raja, yang diserahi segala bangsa sebagai warisan (lih. Mzm 2:8), untuk mengantarkan persembahan dan upeti kedalam kota-Nya (lih. Mzm 71/72:10; Yes 60:4-7; Why 21:24). Sifat universal, yang menyemarakkan Umat Allah itu, merupakan kurnia Tuhan sendiri. Karenanya Gereja yang katolik secara tepat-guna dan tiada hentinya berusaha merangkum segenap umat manusia beserta segala harta kekayaannya dibawah Kristus Kepala, dalam kesatuan Roh-Nya.

Berkat ciri katolik itu setiap bagian Gereja menyumbangkan kepunyaannya sendiri kepada bagian-bagian lainnya dan kepada seluruh Gereja. Dengan demikian, Gereja semesta dan masing-masing bagiannya berkembang karena semuanya saling berbagi dan serentak menuju kepenuhannya dalam kesatuan. Maka dari itu umat Allah bukan hanya dihimpun dari pelbagai bangsa, melainkan dalam dirinya sendiri pun tersusun dari  aneka  golongan.  Sebab  di  antara  para  anggotanya  terdapat  macam-ragam, bisa karena jabatan, sebab ada beberapa yang menjalankan pelayanan suci demi kesejahteraan saudara-saudara mereka, bisa karena corak dan tata-tertib kehidupan, sebab cukup banyak yang dalam status hidup bakti (religius) menuju kesucian melalui jalan yang lebih sempit, yang mendorong saudara-saudara dengan teladan mereka. Maka dalam persekutuan Gereja selayaknya pula terdapat Gereja-Gereja khusus, yang memiliki tradisi mereka sendiri, tetaplah utuh primat takhta Petrus, yang mengetuai segenap persekutuan cinta kasih[25], melindungi keanekaragam yang wajar, dan sekaligus menjaga, agar hal-hal yang khusus jangan merugikan kesatuan, melainkan justru menguntungkannya. Maka antara pelbagai bagian Gereja perlu ada ikatan persekutuan yang mesra mengenai kekayaan rohani para pekerja dalam kerasulan dan bantuan materiil. Sebab para anggota umat Allah dipanggil untuk saling berbagi harta-benda, dan bagi masing-masing Gereja pun berlaku amanat Rasul: “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan kurnia yang telah diperoleh setiap orang, sebagai  pengurus aneka rahmat Allah yang baik.” (1Ptr. 4:10).

Jadi kepada kesatuan katolik umat Allah itulah, yang melambangkan dan memajukan perdamaian semesta, semua orang dipanggil. Mereka termasuk ke kesatuan itu, atau terarahkan kepadanya dengan aneka cara, baik kaum beriman katolik, umat lainnya yang beriman akan Kristus, maupun semua orang tanpa kecuali, yang karena rahmat Allah dipanggil kepada keselamatan. (Lumen Gentium  artikel 13)

 

Pendalaman

1.       Katolik makna aslinya berarti universal atau umum. Arti universal dapat dilihat secara kwantitatif dan kualitatif.

2.       Gereja  itu  katolik  karena  Gereja  dapat  hidup  di  tengah  segala  bangsa  dan memperoleh warganya dari semua bangsa. Gereja sebagai sakramen Roh Kudus mempunyai pengaruh dan daya pengudus yang tidak terbatas pada anggota Gereja saja, melainkan juga terarah kepada seluruh dunia. Dengan sifat katolik ini dimaksudkan bahwa Gereja mampu mengatasi keterbatasannya sendiri untuk berkiprah ke seluruh penjuru dunia.

3.       Gereja itu katolik karena ajarannya dapat diwartakan kepada segala bangsa dan segala harta kekayaan bangsa-bangsa dapat ditampungnya sejauh itu baik dan luhur. Gereja terbuka terhadap semua kemampuan, kekayaan, dan adat-istiadat yang luhur tanpa kehilangan jati dirinya. Sebenarnya, Gereja bukan saja dapat menerima dan merangkum segala sesuatu, tetapi Gereja dapat menjiwai seluruh dunia dengan semangatnya. Oleh sebab itu, yang katolik bukan saja Gereja universal, melainkan juga setiap anggotanya, sebab dalam setiap jemaat hadirlah seluruh Gereja. Setiap jemaat adalah Gereja yang lengkap, bukan sekedar “cabang” Gereja universal. Gereja setempat merupakan seluruh Gereja yang bersifat katolik.

4.       Gereja bersifat katolik berarti terbuka bagi dunia, tidak terbatas pada tempat tertentu, bangsa dan kebudayaan tertentu, waktu atau golongan masyarakat tertentu. Kekatolikan Gereja tampak dalam: Rahmat dan keselamatan yang ditawarkannya.

5.       Iman dan ajaran Gereja yang bersifat umum, dapat diterima dan dihayati oleh siapa pun juga.

6.       Kekatolikan  Gereja  tidak  berarti  bahwa  Gereja  meleburkan  diri  ke  dalam dunia. Dalam keterbukaan itu, Gereja tetap mempertahankan identitas dirinya. Kekatolikan justru terbukti dengan kenyataan bahwa identitas Gereja tidak tergantung pada bentuk lahiriah tertentu, melainkan merupakan suatu identitas yang dinamis, yang selalu dan dimana-mana dapat mempertahankan diri, bagaimanapun juga bentuk pelaksanaannya. Kekatolikan Gereja bersumber dari firman Tuhan sendiri.

7.       Gereja itu bersifat dinamis. Maka Gereja dapat dikembangkan lebih nyata  atau diwujudkan dengan cara: Bersikap terbuka dan menghormati kebudayaan, adat-istiadat, bahkan agama bangsa mana pun. Bekerja sama dengan pihak mana pun yang berkehendak baik untuk mewujudkan nilai-nilai yang luhur di dunia ini.

8.       Berusaha untuk memprakarsai dan memperjuangkan suatu dunia yang lebih baik untuk umat manusia. Terlibat dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga kita dapat memberi kesaksian bahwa “katolik” artinya terbuka untuk apa saja yang baik dan siapa yang berhendak baik.

 

Doa Penutup

Terima kasih ya Bapa, atas penyertaan-Mu dalam pertemuan kami ini. Kini kami telah memahami rencana penyelamatan-Mu untuk seluruh umat manusia melalui kehadiran Gereja Katolik, juga   penyelamatan-Mu atas kami yang berpangkal pada tradisi para rasul. Kami mohon ya Bapa, jadikanlah kami pewarta-pewarta Kabar Sukacita di tengah-tengah masyarakat kami agar setiap orang menemukan kebahagiaan sejati baik di dunia ini, maupun dalam kemuliaan kekal nanti. Demi Kristus Tuhan dan pengantara kami. Amin.

 

 PERTANYAAN:

a.  Apa makna Katolik menurut ajaran Gereja?

b.  Mengapa Gereja disebut Katolik?

b.  Bagaimana mewujudkan kekatolikan Gereja di dunia

 


Minggu, 29 Agustus 2021

KELUHURAN MANUSIA SEBAGAI CITRA ALLAH (Bagian 2)

 

 

KELUHURAN MANUSIA SEBAGAI CITRA ALLAH (Bagian 2)

  

MENDALAMI KITAB SUCI DAN AJARAN GEREJA YANG TENTANG KELUHURAN MARTABAT MANUSIA SEBAGAI CITRA ALLAH


DOA PEMBUKAAN

Mari mendaraskan Kitab Suci berikut:

Mazmur 8:2–10

2Ya Tuhan, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! Keagungan- Mu yang mengatasi langit dinyanyikan.

3Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kauletakkan dasar kekuatan karena lawan-Mu, untuk membungkamkan musuh dan pendendam.

4Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan:

5apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?

6Namun  Engkau  telah  membuatnya  hampir  sama  seperti  Allah,  dan  telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.

7Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kau letakkan di bawah kakinya:

8kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang;

9burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan.

10Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi

 

Penjelasan:

Mazmur pujian ini lahir dari kesadaran manusia akan besarnya karya-karya Tuhan kepada manusia. Tuhan telah menganugerahkan kepada manusia untuk berkuasa atas ciptaan-ciptaan yang lain.  Itulah keluhuran martabat manusia sebagai citra Allah.

 

Katekismus Gereja Katolik 357, 358, 360

357 Karena ia diciptakan menurut citra Allah, manusia memiliki martabat sebagai pribadi: ia bukan hanya sesuatu, melainkan seorang. Ia mampu mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas dirinya, mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain, dan karena rahmat ia sudah dipanggil ke dalam perjanjian dengan Penciptanya, untuk memberi kepada- Nya jawaban iman dan cinta, yang tidak dapat diberikan suatu makhluk lain sebagai penggantinya.

358 Tuhan menciptakan segala sesuatu untuk manusia (Bdk. GS 12,1; 24,2; 39,1), tetapi manusia itu sendiri diciptakan untuk melayani Allah, untuk mencintai- Nya dan untuk mempersembahkan seluruh ciptaan kepadaNya: “Makhluk manakah yang diciptakan dengan martabat yang demikian itu? Itulah manusia, sosok yang agung, yang hidup dan patut dikagumi, yang dalam mata Allah lebih bernilai daripada segala makhluk. Itulah manusia; untuk dialah langit dan bumi dan lautan dan seluruh ciptaan. Allah sebegitu prihatin dengan keselamatannya, sehingga Ia tidak menyayangi Putra-Nya yang tunggal untuk dia. Allah malahan tidak ragu-ragu, melakukan segala sesuatu, supaya menaikkan manusia kepada diri-Nya dan memperkenankan ia duduk di sebelah kanan-Nya” (Yohanes Krisostomus, Serm. in Gen. 2,1).

360 Umat manusia merupakan satu kesatuan karena asal yang sama. Karena Allah “menjadikan dari satu orang saja semua bangsa dan umat manusia” (Kis. 17:26, Bdk. Tob 8:6). Pandangan yang menakjubkan, yang memperlihatkan kepada kita umat manusia dalam kesatuan asal yang sama dalam Allah dalam kesatuan kodrat, bagi semua disusun sama dari badan jasmani dan jiwa rohani yang tidak dapat mati dalam kesatuan tujuan yang langsung dan tugasnya di dunia; dalam kesatuan pemukiman di bumi, dan menurut hukum kodrat semua manusia berhak menggunakan hasil-hasilnya, supaya dengan demikian bertahan dalam kehidupan dan berkembang; dalam kesatuan tujuan adikodrati: Allah sendiri, dan semua orang berkewajiban untuk mengusahakannya: dalam kesatuan daya upaya, untuk mencapai tujuan ini;… dalam kesatuan tebusan, yang telah dilaksanakan Kristus untuk semua orang” (Pius XII Ens. “Summi Pontificatus”) Bdk. NA 1.

 

Penjelasan

a.       Mazmur 8:110 ini, menggambarkan bagaimana Allah menciptakan manusia dan menempatkan manusia secara istimewa di antara semua ciptaan dan merefleksikan kemuliaan manusia. Mazmur ini merupakan kidung pujian kepada Allah karena telah memberikan   kepada   manusia   tanggung   jawab   dan martabat. Kej. 1:12:3. Manusia ditempatkan Allah pada kedudukan yang sangat istimewa.  Ia  diciptakan  menurut  gambar  dan  rupa  Sang  Pencipta (Kej. 1:26).

b.      Di zaman kuno “gambar” digunakan untuk mengacu pada patung raja yang di tempat di seluruh penjuru kekuasaannya, tempat dia tidak dapat hadir, sebagai wakil kehadirannya. Demikianlah manusia adalah wakil Allah di dunia ini untuk berkuasa atas alam sesuai dengan kehendak yang diwakilinya. Menurut Sir. 17:34 melihat kesamaan itu dalam kekuatan yang memungkinkan pelaksanaan sebagai raja atas ciptaan lain. Sedangkan menurut Keb. 2:23 kesamaan terletak dalam kebakaan manusia. Maka kedudukan manusia adalah tuan atau raja atas segenap ciptaan, semacam wakil Allah untuk tugas itu. Hal ini diperkuat oleh Mzm. 8 yang mengerti kesamaan dengan Allah juga dalam yang berkuasa atas ciptaan yang lain. Namun demikian manusia juga harus menggambarkan Allah dalam kebaikan, kasih, dan kemurahan hati.

c.       Dengan demikian manusia sebagai citra Allah berarti manusia diberi tugas untuk melakukan apa yang Allah buat yaitu berkuasa atas ciptaan lain. Manusia sungguh akan menjadi gambar Allah kalau ia sungguh melaksanakan tugasnya itu sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. Maka  tugas  manusia  ialah  meneruskan  karya  penciptaan  Allah  di dunia ini dengan meneruskan dan melestarikan kehidupan serta melaksanakan kekuasaan atas ciptaan lain. Untuk dapat melaksanakan tugas itu manusia dibekali oleh Allah yaitu berkat-Nya dan terutama dengan kemampuan intelektual.

d.      Karena  manusia  diciptakan  sebagai  citra  Allah,  manusia  memiliki martabat sebagai pribadi: ia bukan hanya sesuatu, melainkan seseorang. Ia mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas diri sendiri, mengabdikan diri dalam kebebasan, dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain,  dan  dipanggil  membangun  relasi  dengan  Allah,  penciptanya (KGK 357).

e.       Persaudaraan  sejati  tidak  membedakan  orang  berdasarkan  agama, suku, ras, ataupun golongan, karena semua manusia adalah sama-sama umat Tuhan dan sama-sama dikasihi Tuhan. Maka setiap orang yang membenci sesamanya, ia membenci Tuhan.

 

 

 

Baca dan renungkanlah  Kitab Mazmur 139:7−17 berikut ini dalam suasana hening!

Mazmur 139:7−17

7Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu?

8Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situ pun Engkau.

9Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut,

10juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku.

11Jika aku berkata: “Biarlah kegelapan saja melingkupi aku, dan terang sekelilingku menjadi malam,”

12maka kegelapan pun tidak menggelapkan bagi-Mu, dan malam menjadi terang seperti siang; kegelapan sama seperti terang.

13Sebab  Engkaulah  yang  membentuk  buah  pinggangku,  menenun  aku  dalam kandungan ibuku.

14Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.

15Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah;

16mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satu pun dari padanya.

17Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya!

 

Rangkuman dan Refleksi:

Pada hari ini kita telah belajar bersama tentang keluhuran martabat manusia sebagai citra Allah. Kita sadar akan cinta Allah yang luar biasa dan menempatkan manusia di tempat yang sangat istimewa, yakni secitra dengan-Nya. Keluhuran martabat manusia inilah yang menjadikan manusia saling mengasihi karena mereka semua adalah saudara di hadapan Allah. Semoga setelah ini kita semua mampu menjadi contoh dalam menjunjung tinggi martabat manusia dalam hidup sehari-hari.

 

DOA PENUTUP

Marilah kita tutup pelajaran kita dengan doa:

 

“Jadikanlah Aku Pembawa Damai”

(Doa St. Fransiskus) dari PS 221.

Tuhan,

Jadikanlah aku pembawa damai,

Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih,

Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan, Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan, Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian, Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran,

Bila terjadi kecemasan, jadikanlah aku pembawa harapan, Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan, Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang,

 

Tuhan semoga aku ingin menghibur daripada dihibur, memahami daripada dipahami, mencintai daripada dicintai, sebab dengan memberi aku menerima,

dengan mengampuni aku diampuni, dengan mati suci aku bangkit lagi, untuk hidup selama-lamanya

 

Amin.

 

PERTANYAAN:

1)      Apa keunggulan manusia dibandingkan ciptaan Allah yang lain?

2)      Apa yang dimaksud dengan manusia sebagai “gambar”/ citra Allah? Jelaskan jawabanmu!

3)      Jelaskan konsep bermartabat sebagai pribadi berdasarkan Katekismus Gereja Katolik?

4)      Apa yang dimaksud dengan “persaudaraan sejati”? 

Selasa, 24 Agustus 2021

Tantangan dan Peluang untuk Membangun Keluarga yang Dicita-citakan

 

TANTANGAN DAN PELUANG

UNTUK MEMBANGUN KELUARGA YANG DICITA-CITAKAN

 

Ada pelbagai tantangan yang dihadapi keluarga-keluarga pada zaman ini. Tantangan tersebut datang baik dari dalam keluarga itu sendiri maupun dari luar lingkungan keluarga. Tantangan paling dirasakan dalam keluarga-keluarga saat ini adalah komunikasi. Menurut para pemerhati keluarga, tampaknya kini makin berkurangnya komunikasi antaranggota keluarga; antara suami–isteri dan anak-anak yang karena kesibukan kerja atau karena terpisah oleh tempat yang jauh telah melebarkan kelangkaan kesempatan bertemu antaranggota keluarga. Di samping kebutuhan ekonomi yang menghimpit, kurangnya kesediaan berkorban, mudahnya muncul perasaan cemburu sebagai akibat dari kurangnya penghayatan akan sakramen perkawinan, dan minimnya kemampuan orangtua dalam mengembangkan iman anak telah menyeret keluarga keluar dari misi utamanya yaitu semakin menghayati kasih Tuhan dan mengembangkannya. Selain masalah komunikasi dan ekonomi dalam keluarga,  persoalan kawin campur yang  kini menjadi suatu fenomena masyarakat karena kita hidup di tengah masyarakat yang pluralistik, juga persoalan keluarga berencana dengan menggunakan alat kontrasepsi yang tidak dikehendaki Gereja, dapat memperparah kondisi ini.

 

Gereja Katolik memberikan perhatian yang sangat serius pada kehidupan keluarga, karena keluarga adalah sel dari Gereja dan masyarakat. Maka keluarga yang sejahtera adalah harapan sekaligus perjuangan Gereja. Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Apostoliknya “Familiaris Consortio”  melihat keluarga  sejahtera dalam kesetiaan pada rencana Allah sebagai sebuah perkawinan. Ditegaskan pula bahwa pribadi manusia sebagai citra Allah diciptakan untuk mencintai. Keluarga, menurut Paus, adalah suatu komunitas pribadi-pribadi yang membentuk masyarakat dan Gereja.

 

Pada kegiatan pembelajaran ini, kalian dibimbing untuk memahami berbagai tantangan dalam hidup berkeluarga pada jaman ini dan bagaimana berupaya secara terpadu dan berkesinambungan untuk mengatasi dan mengangkat keluarga pada posisi ideal atau keluarga yang dicita-citakan.

 

KEGIATAN PEMBELAJARAN

 

Doa Pembuka

Tuhan Yesus, Engkau menguduskan hidup berkeluarga dengan hidup sendiri dalam keluarga Santo Yusuf di Nazaret. Berkatilah kami pada kegiatan pembelajaran ini agar dapat memahami makna keluarga sejati sebagaimana yang Engkau   kehendaki. Semoga kami hidup menurut pedoman injilMu, rukun, bijaksana, sederhana, saling menyayangi, saling menghormati, saling menolong dengan senang hati. Berilah supaya keramahan dan cinta kasih, semangat pengorbanan, kerajinan, dan penghasilan yang cukup selalu berada dalam keluarga kami masing- masing. Semoga keluarga kami menjadi garam serta terang bagi keluarga- keluarga di sekitar kami. Berkatilah kami agar janganlah seorang diantara keluarga kami menjauh dari padaMu, satu-satunya sumber kebahagiaan kami. Dikau kami puji bersama Bapa dan Roh Kudus, sekarang dan selama- lamanya. Amin.

 

MENGGALI TANTANGAN-TANTANGAN YANG DIHADAPI KELUARGA  SAAT INI

1.       Menyimak berita

“Sebuah konferensi tentang keluarga yang disponsori oleh Vatikan berakhir pada Jumat di Manila dengan seruan bagi umat Katolik Asia untuk melawan aborsi, kontrasepsi dan pernikahan sesama jenis sebagai “ancaman terhadap eksistensi keluarga”.

Dokumen empat halaman itu, yang dikeluarkan oleh 551 peserta dari 14 negara Asia, termasuk 28 uskup, mengklaim bahwa advokasi untuk pernikahan sesama jenis “mencoba untuk mengurangi pernikahan antara orang-orang sesama jenis”.

“Aborsi membunuh kehidupan yang akan mengancam eksistensi keluarga,” tulis dokumen itu, seraya menambahkan bahwa kontrasepsi dan sterilisasi mengancam “tujuan prokreasi perkawinan dan keluarga”.

Dokumen ini dirilis pada akhir pertemuan empat hari, yang diselenggarakan oleh Dewan Kepausan untuk Keluarga dan Konferensi Waligereja Filipina, untuk membahas “Piagam Hak-hak Keluarga yang dikeluarkan Vatikan 30 tahun lalu.”

Konferensi ini diadakan di Filipina setelah pertempuran panjang antara Gereja dan pemerintah terkait Undang-Undang Kesehatan Reproduksi yang membuka jalan bagi pendanaan kontrasepsi dan pendidikan seks di negara ini.

Dokumen konferensi itu mengecam pemerintah dan lembaga sosial lainnya yang membuat kebijakan “yang bertentangan dengan kehidupan dan keluarga melalui langkah-langkah koersif yang bertentangan dengan hak-hak individu, pasangan dan keluarga untuk berkembang sesuai dengan hukum alam dan hukum Gereja.”

“Pemerintah yang mempromosikan kontrasepsi, aborsi, sterilisasi, keluarga berencana buatan, perceraian, pernikahan sesama jenis dan euthanasia, menghancurkan keluarga bahwa mereka berkewajiban untuk melindungi dan mendorong,” kata dokumen tersebut.

Dokumen tersebut menegaskan bahwa keluarga “didasarkan pada pernikahan … di antara seorang pria dan seorang wanita” dan merupakan “lembaga alami yang misinya meneruskan kehidupan.

“Kami mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan serius ‘Piagam Hak-hak Keluarga’ ini dalam perumusan kebijakan yang mempengaruhi keluarga,” tulis dokumen itu.

Uskup Jean Laffitte, sekretaris Dewan Kepausan untuk Keluarga Vatikan, mengatakan  meskipun  berbagai  upaya  dilakukan  oleh  pemimpin  Gereja, namun ”hak untuk meneruskan kehidupan tidak selalu dihormati” di sejumlah negara Asia.

Sumber: UCA News http://indonesia.ucanews.com/2014/05/19/umat-katolik-asia-didesak-melawan-ancaman-terhadap-eksistensi-keluarga/

 

2.       Peneguhan

a.       Inti persoalan yang dihadapi keluarga-keluarga saat ini menurut artikel di atas adalah;  Kontrasepsi, aborsi, sterilisasi, keluarga berencana buatan, perceraian, pernikahan sesama jenis dan euthanasia.

b.      Dengan melihat persoalan-persoalan seperti yang ditemukan dalam cerita tersebut, maka sebagai orang Katolik kita harus sungguh memahami makna keluarga yang sesungguhnya menurut ajaran Gereja Katolik sehingga mampu membangun keluarga sesuai cita- cita harapan Gereja itu sendiri.

 

Mendalami Ajaran Gereja tentang Keluarga yang dicita-citakan

1.       Menyimak artikel

Gereja menganjurkan pengaturan kelahiran yang alamiah, jika pasangan suami istri memiliki alasan yang kuat untuk membatasi kelahiran anak. Pengaturan keluarga berencana (KB) secara alamiah ini dilakukan antara lain dengan cara pantang berkala, yaitu tidak melakukan hubungan suami istri pada masa subur istri. Hal ini sesuai dengan pengajaran Alkitab, yaitu “Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa” (1Kor 7:5). Dengan demikian suami istri dapat hidup didalam kekudusan dan menjaga kehormatan perkawinan dan tidak mencemarkan tempat tidur (lih. Ibr 13:4).

Dengan menerapkan KB Alamiah, pasangan diharapkan untuk dapat lebih saling mengasihi dan memperhatikan. Pantang berkala pada masa subur istri dapat diisi dengan mewujudkan kasih dengan cara yang lebih sederhana dan bervariasi. Suami menjadi lebih mengenal istri dan peduli akan kesehatan istri. Latihan penguasaan diri ini dapat pula menghasilkan kebajikan lain seperti kesabaran, kesederhanaan, kelemah-lembutan, kebijaksanaan, dll yang semuanya baik untuk kekudusan suami istri. Istripun dapat merasa ia dikasihi dengan tulus, dan bukannya hanya dikasihi untuk maksud tertentu. Teladan kebajikan suami istri ini nantinya akan terpatri di dalam diri anak-anak, sehingga merekapun bertumbuh menjadi pribadi yang beriman dan berkembang dalam berbagai kebajikan.

Perkawinan Katolik mengandung makna yang sangat indah dan dalam, karena melaluinya Tuhan mengikutsertakan manusia untuk mengalami misteri kasih-Nya dan turut mewujudkan karyaNya dalam penciptaan kehidupan baru; yaitu janin yang memiliki jiwa yang kekal. Perkawinan merupakan sakramen, karena menjadi gambaran persatuan Kristus dan Gereja-Nya. Hanya dengan menyadari kedalaman arti Perkawinan ini, yaitu untuk maksud persatuan (union) suami istri dengan pemberian diri mereka secara total, dan turut sertanya mereka dalam karya penciptaan Tuhan (pro-creation), kita lebih dapat memahami pengajaran Gereja Katolik yang menolak aborsi, kontrasepsi dan sterilisasi. Karena semua praktek tersebut merupakan pelanggaran terhadap kehendak Tuhan dan martabat manusia, baik pasangan suami istri maupun janin keturunan mereka. Aborsi dan penggunaan alat-alat kontrasepsi merendahkan nilai luhur seksualitas manusia, dengan melihat wanita dan janin sebagai hanya seolah-olah ‘tubuh’ tanpa jiwa. Penggunaaan alat kontrasepsi menghalangi union suami istri secara penuh dan peranan mereka dalam pro-creation, sehingga kesucian persatuan perkawinan menjadi taruhannya. Betapa besar perbedaan cara pandang yang seperti ini dengan rencana awal Tuhan, yang menciptakan manusia menurut gambaran-Nya: manusia pria dan wanita sebagai mahluk spiritual yang mampu memberikan diri secara total, satu dengan lainnya, yang dapat mengambil bagian dalam karya penciptaan dan pengaturan dunia.

(Ingrid Listiati/ http://katolisitas.org/313/humanae-vitae-itu-benar)

 

2.       Peneguhan

Untuk hidup dan bertumbuh dengan baik, suatu lembaga, apa pun namanya, membutuhkan perencanaan. Tanpa perencanaan lembaga itu akan hancur berantakan. Demikian pula dengan keluarga sebagai suatu lembaga. Maka itu, kita berbicara tentang KB.

Pelaksanaan KB sungguh-sungguh suatu tuntutan moral masa kini yang sangat penting untuk diperhatikan oleh semua pihak yang bertanggung jawab, baik dalam bidang kependudukan secara luas, maupun dalam inti sel masyarakat, yaitu keluarga. Hanya dengan menjalankan KB, khususnya pengaturan kelahiran sesuai dengan aspirasi setiap manusia, akan tercipta suatu hidup yang makmur dan bahagia.

Namun, KB tidak lepas dari masalah moral. Dalam melaksanakan KB kita hendaknya berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral kita, yaitu moral Katolik.

 

a.       Pandangan Gereja Mengenai KB

Gereja merasa mempunyai tanggung jawab untuk mendukung dan melaksanakan  KB  pada  masa  ini.  Secara  khusus,  Gereja  Indonesia melalui uskup-uskupnya menegaskan: ”Bukan hanya pemerintah yang bertugas menyelesaikan persoalan ini. Gereja merasa terlibat juga dan ikut bertanggung jawab untuk mengusahakan pemecahan .…”. Pimpinan Gereja di Indonesia sepakat menyatakan perlunya pengaturan kelahiran demi kesejahteraan keluarga dan karena itu merasa penting membina sikap bertanggung jawab di bidang ini (Pastoral Keluarga, KWI, 1976 No. 22–23).

b.      Alasan-alasan mengapa KB sangat penting

Alasan pertama mengapa KB harus dipromosikan ialah kesejahteraan keluarga sebagai sel yang paling kecil dari masyarakat. Dengan KB, ”mutu kehidupan” dapat ditingkatkan.

1)Dengan  KB  kesehatan  ibu  bisa  agak  dijamin.  Kesehatan  di  sini dipahami secara fisik maupun psikis. Setiap persalinan dan kehamilan memerlukan tenaga ibu. Kehamilan dan persalinan yang terus-menerus dapat menguras daya jasmani rohani ibu, khususnya jika gizi ibu kurang diperhatikan.

2)Dengan KB relasi suami-istri bisa semakin kaya. Kalau kehamilan dan kelahiran terjadi secara terus-menerus, tugas utama suami-istri seolah- olah hanya terpaut pada urusan pengadaan dan pendidikan anak. Waktu untuk membangun keintiman dan kasih sayang di antara keduanya menjadi sangat terbatas.

3)Dengan KB taraf hidup yang lebih pantas dapat dibangun. Semakin banyak anak berarti semakin banyak mulut dan kepala yang memerlukan makanan, pakaian, rekreasi, perawatan kesehatan, dan sebagainya. Pengeluaran yang begitu banyak, apalagi kalau sering terjadi secara tak terduga, tentu saja akan mempersulit pengaturan kesejahteraan keluarga.

4)Dengan KB pendidikan anak dapat lebih dijamin. Semua orang tua yang  mencintai  anak-anaknya  pasti  ingin  memberikan  pendidikan yang sesuai dengan masa modern ini supaya nasib anak-anaknya lebih baik  daripada  nasib  mereka  sendiri. Akan  tetapi,  seringkali  untuk menyekolahkan anak-anak kita harus mempertaruhkan segala-galanya, apalagi kalau memiliki banyak anak.

5)Dengan  KB  tidak  hanya  menjamin  kesejahteraan  keluarga,  tetapi juga kesejahteraan masyarakat dan umat manusia. Menurut pendapat para ahli, pelaksanaan KB merupakan salah satu sarana yang penting untuk mengantar suatu bangsa dari keterbelakangan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Kemajuan di berbagai bidang akan sia-sia kalau ledakan penduduk tidak dihambat. Ledakan penduduk membawa banyak problem: problem lapangan kerja, papan, sandang, pangan, kesehatan, dan sebagainya.

c.       Tanggungjawab dalam  KB

Ada beberapa kelompok orang yang dianggap sangat bertanggung jawab dalam hal KB ini.

1)Para Pasutri (Pasangan Suami-Istri). Yang mempunyai tanggung jawab terbesar dalam hal KB adalah pasangan suami-istri sendiri, yang memiliki potensi vital untuk mengadakan anak.

2)Pemerintah. Pemerintah jelas mempunyai hak dan kewajiban sekitar masalah kependudukan di negaranya, dalam batas wewenangnya.

3)Pimpinan  agama.  Pimpinan  semua  agama  sebagai  instansi  yang berkepentingan menanamkan nilai-nilai luhur dan ilahi juga bertanggung jawab untuk menyuluh, membimbing, dan mendampingi para penganut agamanya, khususnya pasutri, dalam pelaksanaan KB yang wajar.

d.      Penilaian moral tentang metode pada umumnya

Walaupun ajaran Gereja pada umumnya hanya mengakui metode KB alamiah, namun Gereja Indonesia melalui uskup-uskupnya mengatakan bahwa dalam keadaan terjepit para suami-istri dapat menggunakan metode lain, asalkan memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1)Tidak merendahkan martabat istri atau suami. Misalnya, suami-istri tidak boleh dipaksa untuk menggunakan salah satu metode.

2)Tidak berlawanan dengan hidup manusia. Jadi, metode-metode yang bersifat abortif jelas ditolak.

3)Dapat  dipertanggungjawabkan  secara  medis,  tidak  membawa  efek samping yang menyebabkan kesehatan atau nyawa ibu berada dalam bahaya.

e.       Penilaian moral untuk masing-masing metode

1)Gereja sangat menganjurkan metode KB alamiah seperti:

a)      metode kalender;

b)      metode pengukuran suhu basal (metode temperatur);

c)       metode ovulasi Billings; dan

d)      metode simptotermal (gabungan).

2)Metode yang dilarang Gereja karena bersifat abortif, antara lain:

1)      abortus provocatus: pengguguran dengan sengaja;

2)      spiral; dan

3)      pil mini.

 

 

Doa Penutup

Yesusku, Terima kasih Engkau beri aku Ayah dan Ibu yang baik. Yang dengan sabar mendidik dan membesarkan aku. Mereka sangat menyayangi aku. Aku mohon, berkatilah mereka, dalam usahanya mencukupi kebutuhan kami. Baik jasmani maupun rohani. Bimbinglah mereka dengan kekuatan Roh Kudus-Mu. Terangilah jalan hidup mereka. Sehingga mereka selalu berada di jalan-Mu. Jalan ke kehidupan kekal.

Jauhkan mereka dari penyakit. Lindungi mereka dari kejahatan dan kecelakaan. Hiburlah mereka di saat susah. Kuatkan pengharapan mereka dalam penderitaan. Semoga kami sekeluarga tetap bersatu,

dalam cinta kasih-mu yang abadi. Amin.

 

PERTANYAAN:

1.       Bagaimanakah pandangan Gereja mengenai KB?

2.       Sebutkan 5 alasan mengapa KB sangat penting!

3.       Sebutkan 3 kelompok orang yang dianggap sangat bertanggung jawab dalam hal KB!

4.       Bagaimana penilaian moral sesuai ajaran Gereja tentang metode KB pada umumnya?