PANGGILAN HIDUP MEMBIARA
Doa Pembuka
Allah, pencipta semesta,
Engkau memanggil setiap insan kepada keselamatan, dan Engkau mengharapkan tanggapan
dari mereka. Kami bersyukur begitu banyak orang telah menanggapi panggilan-Mu.
Dan untuk melayani mereka yang sudah Kau himpun, Engkau berkenan memanggil pula
pelayan-pelayan khusus bagi jemaat.
Bapa, panenan-Mu sungguh
melimpah, tetapi para penuai sangatlah kurang. Ketika menyaksikan tuaian yang
begitu banyak, Yesus sendiri mendesak, “Mintalah kepada Tuan yang empunya
tuaian supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu.” Maka kami
mohon, sudilah Engkau memanggil pekerja-pekerja untuk melayani umat-Mu.
Perlengkapilah umat-Mu dengan nabi yang akan bernubuat demi nama-Mu, yang akan
menegurkan umat-Mu kalau berbuat salah, dan menunjukkan jalan-Mu sendiri.
Bangkitkanlah rasul untuk mewartakan sabda-Mu. Bangkitkanlah guru untuk
mengajar kaum beriman, dan gembala untuk menuntun kami menemukan makanan yang
berlimpah bagi jiwa raga kami. Semoga mereka semua dapat ikut serta dalam peran
Kristus sendiri: memimpin, mengajar, dan menguduskan kami semua, agar kami
semua tidak kekurangan suatua apa. Demi Kristus, Tuhan kami. Amin.
(Sumber : Puji Syukur nomer 182)
Pemikiran Dasar
Aneh, tetapi nyata! Itulah
pendapat banyak orang tentang teman atau kerabatnya yang menentukan jalan
hidupnya sebagai biarawan atau biarawati. Tidak jarang kita mendengar cerita
tentang banyak orangtua yang menentang keras anaknya yang ingin menjadi pastor,
suster, atau bruder. Tetapi tidak sedikit orangtua yang mendorong atau
mendukung anaknya yang memilih jalan hidup membiara. Bagi mereka yang sudah
menjadi biarawan atau biarawati, ketika ditanya mengapa mau menjalani hidup
seperti itu, mereka menjawab bahwa itulah panggilan hidup. Menjadi seorang
biarawan atau biarawati itu sebuah pilihan hidup. Bagi mereka, hidup membiara
itu merupakan jawaban atas panggilan Tuhan untuk melayani dan menguduskan
dunia.
Hidup membiara adalah salah
satu bentuk hidup selibat yang dijalani oleh mereka yang dipanggil untuk
mengikuti Kristus secara tuntas (total dan menyeluruh), dengan mengikuti
nasihat Injil. Hidup membiara adalah corak hidup, bukan fungsi gerejawi. Dengan
kata lain, hidup membiara adalah suatu corak atau cara hidup yang di dalamnya
orang hendak bersatu dan mengikuti Kristus secara tuntas, melalui kaul yang
mewajibkannya untuk hidup menurut tiga nasihat injil, yakni keperawanan, kemiskinan,
dan ketaatan (bdk. LG 44). Dengan mengucapkan kaul keperawanan, orang
membaktikan diri secara total dan menyeluruh kepada Kristus. Dengan mengucapkan
kaul kemiskinan, orang berjanji akan hidup secara sederhana dan rela
menyumbangkan apa saja demi kerasulan. Dan dengan mengucapkan kaul ketaatan,
orang berjanji akan patuh kepada pimpinannya dan rela membaktikan diri kepada
hidup dan kerasulan bersama. Kaul-kaul tersebut bukan inti hidup membiara. Inti
hidup membiara adalah persatuan
erat dengan Kristus
melalui penyerahan diri secara total dan menyeluruh kepada-Nya.
Hal itu diusahakan untuk dijalani melalui ketiga kaul yang disebutkan di atas.
Bentuk hidup selibat lainnya adalah hidup tidak menikah, yang dijalani oleh
kaum awam, demi Kerajaan Surga. Mereka memilih tidak menikah bukan karena
menilai hidup berkeluarga itu jelek atau bernilai rendah, melainkan demi
Kerajaan Surga (bdk. Mat 19: 12). Dalam hidup tidak menikah mereka menemukan
dan menghayati suatu nilai yang luhur, yakni melalui doa dan karya memberikan
cintanya kepada semua orang sebagai ungkapan kasih mereka kepada Allah.
Pada kegiatan pembelajaran
ini, para peserta didik dibimbing untuk memahami bahwa hidup membiara dan hidup
selibat lainnya adalah panggilan dari Tuhan, merupakan rahmat,
pemberian cuma-cuma dari
Tuhan bagi orang-orang
yang dipilih-Nya. Meskipun merupakan rahmat, kita bisa memohon hidup
semacam itu kepada Tuhan. Oleh karenanya, siswa, yang sudah mulai memikirkan
pilihan cara hidupnya kelak, perlu diajak untuk bertanya kepada dirinya sendiri
apakah Tuhan memanggilnya untuk menjalani hidup membiara atau hidup selibat
lainnya.
Mendalami Arti dan Inti Hidup Membiara
Menyimak kisah hidup orang kudus
Santa
Theresia dari Kanak-kanak Yesus
Theresia Martin dilahirkan di
kota Alençon, Perancis, pada tanggal 2 Januari 1873. Ayahnya bernama
Louis Martin dan
ibunya Zelie Guerin.
Pasangan tersebut dikarunia sembilan orang anak, tetapi hanya lima yang
bertahan hidup hingga dewasa. Kelima bersaudara itu semuanya puteri dan
semuanya menjadi biarawati! Ketika Theresia masih kanak-kanak, ibunya terserang
penyakit kanker. Pada masa itu, mereka belum memiliki obat-obatan dan perawatan
khusus seperti sekarang.
Para dokter mengusahakan yang
terbaik untuk menyembuhkannya, tetapi penyakit Nyonya Martin bertambah parah.
Ia meninggal dunia ketika Theresia baru berusia empat tahun.
Sepeninggal isterinya, ayah
Theresia memutuskan untuk pindah ke kota Lisieux, di mana kerabat mereka
tinggal. Di sana ada sebuah biara Karmel
di mana para suster berdoa secara khusus untuk kepentingan seluruh dunia.
Ketika Theresia berumur sepuluh tahun, seorang kakaknya, Pauline, masuk biara
Karmel di Lisieux. Hal itu amat berat bagi Theresia. Pauline telah menjadi
“ibunya yang kedua”, merawatnya dan mengajarinya, serta melakukan semua hal
seperti yang dilakukan ibumu untuk kamu. Theresia sangat kehilangan Pauline
hingga ia sakit parah. Meskipun sudah satu bulan Theresia sakit, tak satu pun
dokter yang dapat menemukan penyakitnya. Ayah Theresia dan keempat saudarinya
berdoa memohon bantuan Tuhan. Hingga, suatu hari patung Bunda Maria di kamar
Theresia tersenyum padanya dan ia sembuh sama sekali dari penyakitnya!
Suatu ketika, Theresia
mendengar berita tentang seorang penjahat yang telah melakukan tiga kali
pembunuhan dan sama sekali tidak merasa menyesal. Theresia mulai berdoa dan
melakukan silih bagi penjahat itu (seperti menghindari hal-hal yang ia sukai
dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang kurang ia sukai). Ia memohon pada
Tuhan untuk mengubah hati penjahat itu. Sesaat sebelum kematiannya, penjahat
itu meminta salib dan mencium Tubuh Yesus yang tergantung di kayu salib.
Theresia sangat bahagia! Ia tahu bahwa penjahat itu telah menyesali dosanya di
hadapan Tuhan.
Theresia sangat mencintai
Yesus. Ia ingin mempersembahkan seluruh hidupnya bagi-Nya. Ia ingin masuk biara
Karmel agar ia dapat menghabiskan seluruh harinya dengan bekerja dan berdoa
bagi orang-orang yang belum mengenal dan mengasihi Tuhan. Tetapi masalahnya, ia
terlalu muda. Jadi, ia berdoa dan menunggu dan menunggu dan berdoa. Hingga
akhirnya, ketika umurnya lima belas tahun, atas ijin khusus dari Paus, ia
diijinkan masuk biara Karmelit di Liseux.
Apa yang dilakukan Theresia di
biara? Tidak ada yang istimewa. Tetapi, ia mempunyai suatu rahasia: CINTA.
Suatu ketika Theresia mengatakan, “Tuhan tidak menginginkan kita untuk
melakukan ini atau pun itu, Ia ingin kita mencintai-Nya.” Jadi, Theresia
berusaha untuk selalu mencintai. Ia berusaha untuk senantiasa lemah lembut dan
sabar, walaupun itu bukan hal yang selalu mudah. Para suster biasa mencuci
baju-baju mereka dengan tangan. Seorang suster tanpa sengaja selalu
mencipratkan air kotor ke wajah Theresia. Tetapi Theresia tidak pernah menegur
atau pun marah kepadanya. Theresia juga menawarkan diri untuk melayani suster
tua yang selalu bersungut-sungut dan banyak kali mengeluh karena sakitnya.
Theresia berusaha melayani dia seolah- olah ia melayani Yesus. Ia percaya bahwa
jika kita mengasihi sesama, kita juga mengasihi Yesus. Mencintai adalah
pekerjaan yang membuat Theresia sangat bahagia.
Hanya sembilan tahun lamanya
Theresia menjadi biarawati. Ia terserang penyakit tuberculosis (TBC) yang
membuatnya sangat menderita. Kala itu belum ada obat yang dapat menyembuhkan
penyakit TBC. Dokter hanya bisa sedikit menolong. Ketika ajal menjelang,
Theresia memandang salib dan berbisik, “O, aku cinta pada-Nya, Tuhanku, aku
cinta pada-Mu!” Pada tanggal 30 September 1897, Theresia meninggal dunia ketika
usianya masih dua puluh empat tahun. Sebelum wafat, Theresia berjanji
untuk tidak menyerah
pada rahasianya. Ia
berjanji untuk tetap mencintai dan menolong sesama dari surga. Sebelum
meninggal Theresia mengatakan, “Dari surga aku akan berbuat kebaikan bagi
dunia.” Dan ia menepati janjinya! Semua orang dari seluruh dunia yang memohon
bantuan St. Theresia untuk mendoakan mereka kepada Tuhan telah memperoleh
jawaban atas doa-doa mereka.
Mendalami Ajaran Gereja
tentang hidup membiara
Menyimak dokumen
Makna
dan arti hidup religious (LG 44).
Dengan kaul-kaul atau ikatan
suci lainnya yang dengan caranya yang khas menyerupai kaul, orang beriman
kristiani mewajibkan diri untuk hidup menurut tiga nasehat Injil tersebut. Ia
mengabdikan diri seutuhnya kepada Allah yang dicintainya mengatasi segala
sesuatu. Dengan demikian ia terikat untuk mengabdi Allah serta meluhurkan-Nya
karena alasan yang baru dan istimewa. Karena baptis ia telah mati bagi dosa dan
dikuduskan kepada Allah. Tetapi supaya dapat memperoleh buah-buah rahmat babtis
yang lebih melimpah, ia menghendaki untuk dengan mengikrarkan nasehat-nasehat
Injil dalam Gereja dibebaskan dari rintangan-rintangan, yang mungkin menjauhkannya
dari cinta kasih yang berkobar dan dari kesempurnaan bakti kepada Allah, dan
secara lebih erat ia disucikan untuk mengabdi
Allah. Adapun pentahbisan
akan makin sempurna, apabila dengan ikatan yang lebih kuat dan tetap
makin jelas dilambangkan Kristus, yang dengan ikatan tak terputuskan bersatu
dengan Gereja mempelai-Nya.
Nasehat-nasehat Injil, secara
istimewa menghubungkan mereka itu dengan Gereja dan misterinya. Maka dari itu
hidup rohani mereka juga harus dibaktikan kepada kesejahteraan seluruh Gereja.
Dari situ muncullah tugas, untuk sekadar tenaga dan menurut bentuk khas
panggilannya, entah dengan doa atau dengan karya-kegiatan, berjerih-payah guna
mengakarkan dan mengungkapkan Kerajaan Kristus di hati orang-orang, dan untuk
memperluasnya ke segala penjuru dunia. Oleh karena itu Gereja melindungi dan
memajukan corak khas pelbagai tarekat religius. Maka pengikraran
nasehat-nasehat Injil merupakan tanda, yang dapat dan harus menarik secara
efektif semua anggota Gereja, untuk menunaikan tugas-tugas panggilan kristiani
dengan tekun. Sebab umat Allah tidak mempunyai kediaman tetap disini, melainkan
mencari kediaman yang akan datang. Maka status religius, yang lebih membebaskan
para anggotanya dari keprihatinan-keprihatinan duniawi, juga lebih jelas
memperlihatkan kepada semua orang beriman harta sorgawi yang sudah hadir di
dunia ini, memberi kesaksian akan hidup baru dan kekal yang diperoleh berkat
penebusan Kristus, dan mewartakan kebangkitan yang akan datang serta kemuliaan
Kerajaan sorgawi. Corak hidup, yang dikenakan oleh Putera Allah ketika Ia
memasuki dunia ini untuk melaksanakan kehendak Bapa, dan yang dikemukakan-Nya
kepada para murid yang mengikuti-Nya, yang diteladan dan lebih dekat oleh
status religius, dan senantiasa dihadirkan dalam Gereja. Akhirnya status itu
juga secara istimewa menampilkan keunggulan Kerajaan Allah melampaui segalanya
yang serba duniawi, dan menampakkan betapa pentingnya Kerajaan itu.
Selain itu juga memperlihatkan
kepada semua orang keagungan maha besar kekuatan Kristus yang meraja dan daya
Roh Kudus yang tak terbatas, yang berkarya secara mengagumkan dalam Gereja.
Jadi meskipun status yang terwujudkan dengan pengikraran nasehat-nasehat Injil
itu tidak termasuk susunan hirarkis Gereja, namun tidak dapat diceraikan dari
kehidupan dan kesucian Gereja.
Peneguhan
a. Arti
dan Makna Hidup Membiara
Hidup membiara merupakan
ungkapan hidup manusia, yang menyadari bahwa hidupnya berada di hadirat Allah.
Agar hadirat Allah bisa diungkapkan secara padat dan menyeluruh, orang
melepaskan diri dari segala urusan membentuk hidup berkeluarga. Hal ini
dilakukan mengingat, berdasarkan pengalaman, kesibukan hidup berkeluarga sangat
membatasi kemungkinan untuk mengungkapkan hadirat Allah secara menyeluruh dan
padat.
Dilihat
dari hidup manusia keseluruhan, ternyata hidup membiara mempunyai nilai dan
kepentingannya. Melalui
hidup membiara, umat manusia semakin menemukan dimensi rohani dalam hidupnya.
Dari pengalaman hidup yang praktis, orang menyadari bahwa dalam keterbatasan
hidup mereka hadirat Allah tidak dapat dinyatakan dengan bobot yang sama. Untuk
kepentingan itu tampaklah betapa pentingnya hidup membiara bagi hidup manusia
itu.
Hidup membiara menuntut suatu
penyerahan diri secara mutlak dan menyeluruh. Cara hidup ini merupakan
suatu kemungkinan bagi manusia untuk mengembangkan diri dan pribadinya. Hidup membiara mempunyai amanatnya
sendiri, yaitu menunjukkan dimensi hadirat Allah dalam hidup manusia.
Karenanya, hidup membiara juga disebut panggilan.
Inti kehidupan membiara, yang
juga dituntut dari setiap orang Kristen, ialah persatuan atau keakraban dengan
Kristus. Tugas ataupun karier adalah soal tambahan. Tanpa keakraban ini
maka kehidupan membiara sebenarnya tak memiliki suatu dasar. Seorang biarawan
hendaknya selalu bersatu
dengan Kristus dan menerima pola nasib hidup Yesus Kristus secara radikal bagi
dirinya. Oleh karena itu, semboyan klasik hidup membiara ialah
”Mengikuti jejak Tuhan kita Yesus Kristus”, atau ”Meniru Kristus” (Lumen
Gentium, Art. 42). Ungkapan ini tidak boleh ditafsirkan secara lahiriah saja.
Mereka yang mengikuti Kristus berarti ”meneladan bentuk kehidupan-Nya” (Lumen
Gentium, Art. 44). Akan tetapi, meneladani harus diusahakan sedemikian rupa
sehingga mereka sungguh bersatu dan menyerupai Kristus.
Untuk dapat
menyerupai dan menyatu dengan
Kristus, orang harus sering
berkomunikasi atau bertemu
dengan Yesus Kristus.
Pertemuan atau komunikasi yang efektif dan yang paling sering dilakukan
ialah doa. Seorang biarawan yang baik harus sering ”tenggelam dalam doa”
sebab doa merupakan suatu daya
atau kekuatan untuk dapat meneladani dan bersatu dengan Kristus. Di
dalam doa orang selalu bisa berbicara, mendengar, dan mengarahkan diri kepada
Kristus.
Persatuan erat
dengan Kristus itulah
inti dan tujuan
hidup membiara. Tanpa persatuan
dengan Kristus, hidup membiara akan rapuh karena tidak memiliki dasar. Seorang
biarawan perlu mengusahakan persatuan yang erat dengan Kristus dan menerima
pola hidup Kristus secara radikal (sampai ke akar-akarnya) bagi dirinya
sendiri. Inti hidup membiara didasarkan pada cinta Allah sendiri. Demi
cinta-Nya kepada manusia, Allah mengutus Putra-Nya ke dunia untuk mewartakan,
menjadi saksi, dan melaksanakan karya keselamatan-Nya bagi manusia. Yesus
menjalankan tugas perutusan-Nya secara sempurna dan radikal dengan menyerahkan
diri secara total kepada Bapa-Nya, memiliki dan menggunakan harta benda hanya
sejauh diperlukan untuk melaksanakan karya-Nya, dan taat kepada Bapa-Nya sampai
wafat di kayu salib. Pola hidup semacam itulah yang hendaknya dihayati oleh
seorang biarawan dalam hidupnya, sebagai tanda persatuannya dengan Kristus.
1)
Kaul
kemiskinan
Memiliki
harta benda adalah hak setiap orang. Dengan mengucapkan dan menghayati kaul kemiskinan, orang
yang hidup membiara melepaskan hak untuk memiliki harta benda tersebut. Ia
hendak menjadi seperti Kristus: dengan sukarela melepaskan haknya untuk
memiliki harta benda.
Untuk dapat
menghayati kaul kemiskinan dengan baik, diperlukan sikap batin rela menjadi
miskin seperti yang dituntut oleh Yesus dari murid-murid-Nya (Luk 10: 1-12;
lihat juga Mat 10: 5-15). Sikap batin ini perlu diungkapkan dalam bentuk nyata
dalam kehidupan sehari-hari. Berkaitan
dengan pengungkapan atau perwujudan kaul kemiskinan, ada dua aspek yang bisa
ditemukan, yaitu aspek asketis (gaya hidup yang sederhana) dan aspek apostolis.
Orang yang mengucapkan kaul kemiskinan rela menyumbangkan bukan hanya harta bendanya demi kerasulan,
melainkan juga tenaga, waktu, keahlian, dan keterampilan; bahkan segala
kemampuan dan seluruh kehidupan.
Kemerdekaan
atau kebebasan adalah milik manusia yang sangat berharga. Segala usaha akan
dilakukan orang untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaannya. Dengan kaul ketaatan, orang
memutuskan untuk taat seperti Kristus (Yoh 14: 23-24; Flp 2:7-8), melepaskan
kemerdekaannya, dan taat kepada pembesar (meletakkan kehendaknya di bawah
kehendak pembesar) demi Kerajaan Allah.
Ketaatan
religius adalah ketaatan yang diarahkan kepada kehendak Allah. Ketaatan kepada
pembesar merupakan konkretisasi ketaatan kepada Allah. Maka itu, baik pembesar
maupun anggota biasa perlu bersama-sama mencari dan berorientasi kepada
kehendak Allah.
Dalam kaul
ketaatan pun dapat dibedakan aspek asketis dan aspek apostolis. Dari aspek asketis, ketaatan
religius dimengerti sebagai kepatuhan kepada pembesar, terutama guru rohani.
Sementara, dari aspek apostolis ketaatan religius berarti kerelaan untuk membaktikan
diri kepada hidup dan terutama kerasulan bersama.
Hidup berkeluarga
adalah hak setiap
orang. Dengan
mengucapkan dan menghayati kaul keperawanan, orang yang hidup membiara
melepaskan haknya untuk hidup berkeluarga demi Kerajaan Allah. Melalui
hidup selibat ia mengungkapkan kesediaan untuk mengikuti dan meneladani Kristus
sepenuhnya serta membaktikan diri secara total demi terlaksananya Kerajaan
Allah. Dengan kaul keperawanan, sikap penyerahan diri seorang Kristen dinyatakan
dalam seluruh hidup dan setiap segi. Inti kaul keperawanan bukanlah ”tidak kawin”, melainkan penyerahan secara menyeluruh kepada
Kristus, yang dinyatakan dengan meninggalkan segala-galanya demi Kristus dan
terus-menerus berusaha mengarahkan diri kepada Kristus terutama melalui hidup
doa.
Secara
singkat, ketiga kaul itu dapat dikatakan sebagai suatu sikap radikal untuk
mencintai Bapa (keperawanan), pasrah kepada kehendak Bapa (ketaatan), serta
bergantung dan berharap hanya kepada Bapa (kemiskinan).
d. Selibat
Selibat adalah sebuah
bentuk panggilan hidup. Dalam konteks ini selibat memiliki makna penyerahan hidup, pembaktian hidup
yang murni dan total kepada Tuhan demi Kerajaan Allah. Pembaktian hidup yang murni dan
total terwujud dalam hidup tidak menikah demi Kerajaan Allah. Hal
tersebut menegaskan pada makna kanon 599 yang berbunyi: “Nasihat Injili
kemurnian yang diterima demi Kerajaan Allah, yang menjadi tanda dunia yang akan
datang dan merupakan sumber kesuburan melimpah dalam hati yang tak terbagi,
membawa serta kewajiban bertarak sempurna dalam selibat”.
1)
Selibat
dan hidup yang dibaktikan
Merujuk
pada kanon pembuka bagian III tentang Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup
Kerasulan dari KHK 1983, yakni kanon 573 § 1, yang berbicara tentang apa itu
tarekat hidup bakti (La Vita Consecrata), kita dapat menelusuri makna selibat
dalam kaitannya dengan Hidup yang dibaktikan. Kanon 573 § 1 menyatakan bahwa
“hidup yang dibaktikan dengan pengikraran nasihat-nasihat Injil adalah bentuk
hidup yang tetap dengannya orang beriman, yang atas dorongan Roh Kudus
mengikuti Kristus secara lebih dekat, dipersembahkan secara utuh kepada Allah
yang paling dicintai…”. Dari pernyataan itu dapatlah ditarik makna selibat pada
umumnya merupakan pilihan hidup yang dibaktikan demi Kerajaan Allah (bdk. Mat.
19:12). Kata dibaktikan (consecrare) mempunyai arti luas bisa menguduskan,
menakdiskan, menarik diri dari dunia dan secara khusus diperuntukan bagi Allah
(bdk. LG, 44; VC, 30). Tujuan dari hidup selibat dalam kaitannya dengan pilihan
hidup yang dibaktikan adalah mengikuti Kristus secara lebih dekat (pressius),
semuanya itu karena motivasi yang didorong oleh kuasa Roh Kudus. Tanpa Roh
Kudus, kehidupan selibat tidak akan tercapai dengan sempurna. Selain itu tujuan
hidup selibat dalam konteks hidup yang dibaktikan adalah persembahan diri
secara total kepada Allah yang dicintainya. Jadi selibat adalah sebuah karunia
rahmat istimewa yang diberikan kepada seseorang yang terpanggil mengikuti
Kristus secara lebih dekat.
2) Selibat
bentuk solidaritas
Nasihat
Injil tentang kemurnian yang tidak lain adalah selibat diterima demi kerajaan
Allah, menjadi tanda dunia yang akan datang dan merupakan sumber kesuburan
melimpah dalam hati yang tak terbagi…(bdk. kan. 599). Karunia rahmat istimewa
yang diberikan kepada orang selibater secara istimewa pula membebaskan hati
manusia (bdk. 1 Kor 7:32-35), supaya hatinya berkobar mencintai Allah dan semua
orang. Maka pilihan hidup yang demikian itu merupakan tanda yang amat khas,
harta surgawi bagi kaum selibater yang membaktikan hidupnya bagi Allah dan
kerasulan Gereja (bdk. PC, 12). Kebebasan hati tidak terikat oleh siapapun dan apapun karena hidupnya
diserahbaktikan kepada Allah menjadi bentuk solidaritas bagi mereka yang
bernasib kurang beruntung. Tanda solidaritas dari orang selibater itu nyata
dalam sikap lepas bebas pada hal-hal duniawi dan melulu perhatian hidupnya bagi
Allah dan sesama. Di bumi Indonesia ini banyak orang yang terpinggirkan,
baik oleh karena hidupnya yang kurang beruntung maupun secara struktural
terpinggirkan oleh kekuasaan. Mereka adalah kaum anawim seperti keluarga kudus
di Nazareth: Maria, Yusuf dan Yesus sendiri. Hidup keluarga kudus di Nazareth
selalu di bawah bayang-bayang tekanan penguasa sehingga berkali-kali harus
mengungsi dan terpinggirkan. Mereka yang tergolong orang terpinggirkan adalah
orang miskin, gelandangan, pemulung, kaum buruh dengan gaji rendah dan lainnya.
Mereka terpinggirkan karena tekanan ekonomi, sosial, budaya, politik bahkan
hidup keagamaan.
3) Relevansinya
di zaman sekarang
Tentang
hidup selibat, tantangan pertama datang dari kebudayaan hedonisme yang
meceraikan seksualitas dari norma moral obyektif, yang menempatkan seksualitas
sebagai kesenangan atau kenikmatan semata-mata tanpa melihat aspek rohaninya. Hidup selibat di jaman sekarang
justru memiliki sifat profetis bagi kebudayaan hedonisme. Hidup selibat
menyajikan kepada masyarakat zaman sekarang bahwa teladan hidup murni demi
kerajaan Allah itu menampakan: (1) keseimbangan dan penguasaan diri, (2) bentuk solidaritas
bagi orang yang terpinggirkan, (3) kematangan psikologis dan afektif.
Maka di zaman sekarang hidup selibat menjadi kesaksian tunggal kehadiran Allah
di dunia yang dibelenggu oleh kenikmatan seksual (bdk. PC, 12; VC, 88). Oleh
karena itu, kehidupan selibat (kemurnian) yang diperuntukan bagi Allah tetap
relevan dan memiliki daya tarik bagi kaum muda yang mendambakan kebebasan hati
untuk mengabdi kepada Allah dan sesama manusia secara total dan utuh.
Di dunia
sekarang yang sering menimbulkan kesan bahwa orang sudah tidak melihat lagi
tanda-tanda kehadiran Allah lagi, kesaksian hidup selibat semakin diperlukan
untuk menegaskan Allah hidup di tengah-tengah umatnya terutama mereka yang
mendambakan pembebasan hati, terlebih mereka yang terpinggirkan. Dengan hidup
selibat, mereka menjadi tanda hidup masa depan langit baru dan bumi yang baru
(bdk. Wahyu 21:1). Hidup selibat yang dijiwai oleh semangat lepas bebas dari
ikatan dan pembaktian hidup secara murni kepada Allah menjadi dorongan yang
berharga bagi kaum selibater untuk selalu solider dengan orang yang
terpinggirkan yakni kaum miskin dan tertindas.
Bapa yang mahakudus, kami
bersyukur kepada-Mu atas begitu banyak biarawan-biarawati yang dengan tulus dan
penuh semangat mengikuti nasihat-nasihat Injil Putra-Mu. Dengan menjawab
panggilan suci ini, mereka hidup hanya untuk Engkau, karena seluruh hidup dan
pelayanan mereka hanya tertuju kepada-Mu. Semoga penyerahan secara utuh ini
mendorong mereka untuk tekun mengamalkan keutamaan-keutamaan injili, terutama
kemiskinan, ketaatan, dan kemurnian.
Terangilah mereka
agar menyadari kemurnian,
yang mereka ikrarkan demi Kerajaan Surga, sebagai
anugerah yang amat luhur, karena dengan itu mereka terbantu untuk mengasihi
Engkau secara utuh. Semoga prasetya kemiskinan semakin mendekatkan mereka
kepada Kristus yang telah menjadi papa untuk kami, dan semakin mendekatkan
mereka juga kepada saudara-saudara yang berkekurangan. Semoga lewat prasetya
ketaatan mereka mampu memadukan diri dengan Kristus yang telah menghampakan
diri karena taat kepada kehendak-Mu.
Bapa, semoga para
biarawan-biarawati selalu membina hubungan yang akrab dengan Engkau lewat doa
pribadi, liturgi, dan bacaan Kitab Suci. Sesudah disegarkan oleh
santapan-santapan suci ini, semoga mereka mampu meneguhkan
saudara-saudaranya, kaum beriman.
Semoga para
biarawan-biarawati selalu membina
kehidupan bersama yang akrab dan hangat, tempat setiap anggota
dapat berbagi suka dan duka, saling menghibur dan meneguhkan, dan sebagai satu
keluarga semakin akrab dengan Engkau sendiri. Semoga mereka sungguh mewujudkan
persaudaraan sejati, dan memberikan kesaksian betapa indahnya hidup bersama
sebagai saudara, serta semakin mampu memberikan pelayanan kepada jemaat dan
masyarakat,
Demi Kristus, Tuhan,
pengantara kami. Amin.
PERTANYAAN:
1) Apa
arti kaul kemiskinan?
2) Apa
arti kaul ketaatan?
3) Apa
arti kaul keperawanan?
4) Apakah
yang dimaksud dengan “selibat”?