PERKAWINAN DALAM TRADISI KATOLIK (2)
Sakramen Perkawinan
DOA PEMBUKAAN
Puji dan syukur kami haturkan
ke hadiratMu atas anugerah kehidupan yang Engkau berikan kepada kami.
Bimbinglah kami ya Bapa dalam kegiatan pembelajaran tentang perkawinan dalam tradisi
Katolik, sehingga kami sungguh memahami dan menghayatinya kelak. Doa ini kami
kami sampaikan kepadaMu dengan perantaraan Kristus, Tuhan dan Juruselamat kami,
yang bersatu dengan Dikau dan Roh Kudus, kini dan sepanjang masa. Amin.
a.
Makna
perkawinan menurut Gereja
1) Perkawinan
menurut Kitab Hukum Kanonik
Dalam Kan
1055 diungkapkan paham
dasar tentang perkawinan gerejawi. Di sini dikatakan antara
lain tentang:
a) Perkawinan sebagai
perjanjian; Gagasan perkawinan
sebagai perjanjian ini bersumber pada Konsili Vatikan II (GS 48), yang
pada gilirannya menimba aspirasi dari Kitab Suci.
b) Perkawinan
sebagai perjanjian menunjuk
segi-segi simbolik dari hubungan antara Tuhan dan umatnya dalam Perjanjian Lama (Yahwe dan
Israel) dan Perjanjian Baru (Kristus
dengan Gereja- Nya). Tetapi dengan perjanjian ingin diungkapkan pula dimensi personal dari hubungan
suami-istri, yang mulai sangat ditekankan pada abad modern ini.
c) Perkawinan sebagai
kebersamaan seluruh hidup
dari pria dan wanita; Kebersamaan seluruh hidup
tidak hanya dilihat secara kuantitatif (lamanya waktu) tetapi juga kualitatif
(intensitasnya). Kebersamaan seluruh hidup harus muncul utuh dalam segala aspeknya,
apalagi kalau dikaitkan dengan cinta kasih.
d) Perkawinan sebagai sakramen; Hal ini merupakan unsur hakiki perkawinan
antara dua orang yang dibaptis. Perkawinan pria dan wanita menjadi tanda cinta
Allah kepada ciptaan-Nya dan cinta Kristus kepada Gereja-Nya.
2) Perkawinan
Menurut Ajaran Konsili Vatikan II
Dalam
Gaudium et Spes, no.48 dijelaskan bahwa “perkawinan merupakan kesatuan mesra dalam hidup dan
kasih antara pria dan wanita, yang merupakan lembaga tetap yang berhadapan
dengan masyarakat”. Karena itu, perkawinan bagi Gereja Katolik tidak
sekedar ikatan cinta mesra dan
hidup bersama yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dilindungi
hukum-hukum-Nya. Perlu pula dilihat bahwa perkawinan menurut
bentuknya merupakan suatu lembaga dalam hidup kemasyarakatan. Tanpa
pengakuan sebagai lembaga, perkawinan semacam “hidup bersama” yang dipandang
oleh masyarakat sebagai liar (kumpul kebo). Perlu dilihat pula bahwa perkawinan menurut maksud dan
intinya merupakan kesatuan hidup dari dua pribadi. Tidak ada perkawinan
tanpa kebebasan yang ingin membangun kesatuan hidup itu. Perkawinan terwujud
dengan persetujuan antara seorang pria dan wanita yang diungkap secara bebas, untuk membagi hidup
satu sama lain. Persetujuan itu mesti dinyatakan secara publik, artinya di
hadapan saksi-saksi yang resmi diakui dan menurut aturan yang berlaku dalam lingkungan masyarakat.
b.
Tujuan
Perkawinan
1)
Kesejahteraan lahir-batin suami-istri
a) Tujuan
perkawinan ialah untuk saling mensejahterakan suami dan istri secara bersama-sama
(hakikat sosial perkawinan) dan bukan kesejahteraan pribadi salah satu
pasangan. Karena ada bahaya bahwa ada pasangan yang diperalat untuk memperoleh
kesejahteraan materil. Kitab Suci
berkata: “Tidaklah baik,
bahwa manusia sendiri saja. Kami
hendak mengadakan seorang pendamping untuk menjadi teman hidupnya... Lalu Allah
mengambil sebuah tulang rusuk Adam dan membentuknya menjadi seorang wanita.Maka
pria akan meninggalkan ibu-bapaknya untuk mengikat diri pada istrinya dan
mereka akan menjadi satu jiwa-raganya” (Kej 2:18-25).
b) Kitab
Suci mengajarkan bahwa tujuan perkawinan ialah saling menjadikan baik
dan sempurna, saling
mensejahterakan, yaitu dengan mengamalkan cinta seluruh jiwa raga.
Perkawinan adalah panggilan hidup bagi sebagian besar umat manusia untuk
mengatasi batas-batas egoisme; untuk mengalihkan perhatian dari diri sendiri
kepada sesama; dan untuk menerima tanggungjawab sosial; serta menomorduakan
kepentingan sendiri demi kepentingan kekasih dan anak-anak mereka bersama. Seorang
yang sungguh egois sebenarnya tidak sanggup menikah, karena hakikat perkawinan
adalah panggilan untuk hidup bersama.
2)
Kesejahteraan lahir batin anak-anak
a) Gereja selama
berabad-abad mengajar, bahwa
tujuan pokok perkawinan adalah melahirkan anak. Baru pada
abad kita ini, menjelang Konsili
Vatikan II, orang
mulai bertanya-tanya lagi mengenai hakikat perkawinan.
b) Apabila tujuan
utama perkawinan adalah
anak, apakah ayah ibu hidup semata-mata untuk anak?
Bagaimana kalau tujuan perkawinan itu untuk mendapatkan keturunan tak dapat
dipenuhi, misalnya karena pasangan itu mandul? Kita tahu bahwa Gereja Katolik
berpandangan walaupun pasangan itu tidak subur, namun mereka tetaplah
suami-istri yang sah, dan perkawinan mereka lengkap, penuh arti dan diberkahi
Tuhan! Dalam dokumen- dokumen sesudah Konsili Vatikan II Gereja tidak lagi
terlalu mutlak mengatakan bahwa keturunan sebagai tujuan paling pokok dan
utama.
c) Anak-anak, menurut
pandangan Gereja, adalah
“anugerah perkawinan yang paling utama dan sangat membantu kebahagiaan
orangtua. Dalam tanggungjawab menyejahterakan anak terkandung pula kewajiban
untuk mendidik anak-anak.
“Karena telah memberikan kehidupan kepada
anak-anak mereka, orangtua terikat kewajiban yang sangat berat
untuk mendidik anak-anak mereka dan karena itu mereka harus diakui sebagai
pendidik pertama dan utama anak-anak mereka (GE.3a). Pendidikan anak, menurut
pendapat Gereja, harus mengarah pada pendidikan demi masa depan anak-anak.
“Anak-anak harus dididik sedemikian rupa sehingga setelah mereka dewasa, dapat
mengikuti dengan penuh rasa tanggungjawab panggilan mereka termasuk juga
panggilan khusus, dan memilih status hidup; apabila mereka memilih status
pernikahan, semoga mereka dapat membangun keluarganya sendiri dalam situasi
moral, sosial dan ekonomi yang menguntungkan mereka” (GS. 52a).
d) Pemenuhan
tujuan pernikahan tidak berhenti pada lahirnya anak, melainkan anak harus
dilahirkan kembali dalam permandian dan pendidikan kristiani, entah itu intelektual,
moral, keagamaan, hidup sakramental, dan lain-lain.
c.
Sifat
Perkawinan
1)
Monogam
a) Salah
satu perwujudan dan kesetiaan Kristen dalam perkawinan ialah bahwa perkawinan
yang bersifat monogam. Dalam perkawinan Kristen ditolak poligami dan poliandri.
Dalam perkawinan Kristen suami mesti menyerahkan diri seutuh-utuhnya kepada
istrinya; dan sebaliknya istri pun harus menyerahkan dirinya secara utuh kepada
suaminya. Tidak boleh terbagi kepada pribadi-pribadi lain lagi. Hanya satu untuk satu sampai
kematian memisahkan mereka. Yesus tegaskan “Sebab itu laki-laki akan
meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya
menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan dua lagi, melainkan satu”
(Mat19:15). Inilah persatuan dan cinta yag sungguh menyeluruh, tak terbagi dan
total sifatnya.
b) Dalam
perkawinan Kristen yang diserahkan bukan suatu hak, bukan pula badan saja, juga
bukan hanya tenaga dan waktu, melainkan seluruh pribadi demi menata masa
depannya.
2)
Tak Terceraikan
a) Perkawinan
Kristen bukan saja monogam, tetapi juga tak dapat diceraikan. Perkawinan
Kristen bersifat tetap, hanya
maut yang dapat memisahkan keduanya. Kita tidak dapat menikahi seseorang
untuk jangka waktu tertentu, kemudian bercerai untuk menikah lagi dengan orang
lain. Perkawinan Kristen menuntut cinta yang personil, total, dan permanen.
Suatu cinta tanpa syarat. Suatu pernikahan dengan jangka waktu dan
syarat-syarat terbatas tidak mencerminkan cinta yang personil, total dan
permanen itu. (Baca: Mrk 10:2-12; Lk 16:18).
b) Dapatkah kita
saling menyerahkan diri
dengan syarat, dengan perasaan cemas kalau-kalau batas
waktunya sudah dekat? Untuk memberikan landasan yang kuat, dalam janji
pernikahan setiap calon mempelai dihadapan Tuhan mengikrarkan kesetiaan mereka
kepada satu sama lain sampai maut memisahkan mereka. Suami dan istri dipilih
Tuhan untuk menjadi suatu
sakramen satu bagi yang lain. Jadi, mereka diangkat menjadi tanda
kehadiran Kristus yang selalu menguduskan, menguatkan dan menghibur tanpa
memasang syarat apapun. Kristus sendiri dengan setia menyertai dan menolong
suami dan istri, maka pasangan sanggup untuk setia satu terhadap yang lain.
Sifat sakramentil perkawinan Kristen itulah yang membuat perkawinan kokoh dan
tak terceraikan
DOA PENUTUP
Ya Allah yang mahasetia,
Engkau telah menguduskan cintakasih suami isteri, dan mengangkat perkawinan,
menjadi lambang persatuan Kristus dengan Gereja.
Semoga kedua suami-istri
Katolik, semakin menyadari kesucian hidup berkeluarga, dan berusaha menghayatinya
dalam suka dan duka.
Demi Yesus Kristus, PuteraMu
dan Pengantara kami, yang bersama Dikau dalam persekutuan dengan Roh Kudus,
hidup dan berkuasa, kini dan sepanjang segala masa. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar