Cari Blog Ini

Rabu, 11 Agustus 2021

PERKAWINAN DALAM TRADISI KATOLIK (1)

 

PERKAWINAN DALAM TRADISI KATOLIK (1)

Menggali Makna Perkawinan

DOA PEMBUKAAN

Puji dan syukur kami haturkan ke hadiratMu atas anugerah kehidupan yang Engkau berikan kepada kami. Bimbinglah kami ya Bapa dalam kegiatan pembelajaran tentang perkawinan dalam tradisi Katolik, sehingga kami sungguh memahami dan menghayatinya kelak. Doa ini kami kami sampaikan kepadaMu dengan perantaraan Kristus, Tuhan dan Juruselamat kami, yang bersatu dengan Dikau dan Roh Kudus, kini dan sepanjang masa. Amin.

 

MENGGALI PEMAHAMAN TENTANG PERKAWINAN

Salah satu hal pokok dalam perkawinan adalah perlunya calon suami-istri melakukan persiapan perkawinan dengan sebaik-baiknya. Karena itu sebaiknya pasangan calon suami-istri memahami dengan baik dan benar tentang arti dan makna perkawinan itu. Hal ini sebagai persiapan jauh sebelumnya, jika kelak mereka memasuki kehidupan perkawinan, mereka sungguh-sungguh mengerti arti perkawinan itu sendiri.

Perkawinan antara seorang pria dan wanita dalam agama apapun merupakan suatu peristiwa kehidupan manusia yang sangat sakral. Karena itu tidak boleh dinodai atau dikhianati oleh siapapun dengan motif apapun.

Sayang sekali bahwa dalam masyarakat, kita sering mendengar atau menyaksikan pertikaian antara pasangan suami-istri yang menimbulkan keretakan hubungan antara mereka. Tak jarang relasi suami-istri yang sangat bersifat pribadi itu di bawa ke ranah publik, terutama para pesohor; entah artis, politisi, dan tokoh masyarakat dijadikan konsumsi masyarakat umum melalui infotainment di televisi atau sarana sosial media digital yang kini berkembang pesat. Pemberitaan media massa tentang kasus perkawinan dengan berbagai latarbelakangnya itu, dapat menciptakan suatu pandangan masif dalam masyarakat bahwa perceraian suami-istri merupakan hal yang biasa-biasa saja, bahkan dianggap sebagai suatu  budaya dalam kehidupan modern.

Bertitik-tolak pada kasus-kasus perkawinan yang terjadi itu, kita perlu memahami hakikat perkawinan itu sendiri. Perkawinan pada dasarnya merupakan suatu karier. Bahkan karier pokok. Oleh sebab itu perlu dipersiapkan dengan penuh kesungguhan. Tragedi zaman kita ialah kita kurang sadar bahwa perkawinan merupakan persekutuan pria-wanita atas dasar cinta. Perkawinan harus dilihat pula sebagai suatu panggilan, suatu tanda dari cinta Allah kepada manusia dan cinta Kristus kepada Gereja-Nya. Tak dapat disangkal bahwa banyak perkawinan telah kandas karena orang tidak pernah menganggapnya sebagai suatu panggilan sehingga mereka tidak pernah mempersiapkannya secara sungguh-sungguh. Salah satu persiapan ialah usaha untuk lebih mengenal dan memahami arti dan makna perkawinan, tujuan serta sifat-sifat perkawinan, sehingga seseorang dapat menjalankan karier top dan panggilan ini dengan sadar dan tepat.

 

PERKAWINAN DALAM MORAL KRISTIANI

Perkawinan merupakan  sakramen  yang mempunyai satu sifat dasar yang tak dapat diganggu gugat, yaitu setia. Kesetiaan merupakan sikap dasar yang harus dihayati oleh pasangan yang telah menerima sakramen perkawinan itu. Kesetiaan itu mewujudkan dirinya dalam dua sifat perkawinan yang lainnya, yaitu: monogami dan tak dapat diceraikan. Kesetiaan berarti bahwa suami-istri hidup bagi partnernya, menyerahkan diri secara total hanya kepada partnernya, selalu dan dalam segala situasi. Kesetiaan adalah hal yang sangat utama dalam kehidupan perkawinan kristiani. Ketidaksetiaan sejak awal digolongkan oleh Gereja di antara dosa-dosa yang paling berat, sama seperti pembunuhan dan penyembahan berhala. Sebab, ketidaksetiaan bukan hanya dosa besar terhadap teman hidup, tetapi dosa besar terhadap panggilan luhur menjadi sakramen kepada teman hidup, dan bersama- sama kepada seluruh umat. Panggilan untuk memberi kesaksian tentang kesetiaan Kristus dan Gereja itu tidak boleh mereka putarbalikkan. Mereka harus saling setia lahir batin.

Perkawinan sebagai suatu perjanjian dan kebersamaan seluruh hidup dari pria dan wanita. Tujuan dari perkawinan adalah kesejahteraan suami istri dan anak-anak.

Perkawinan dapat dilihat pula sebagai sakramen, yaitu tanda dari cinta Allah kepada umat-Nya dan cinta Kristus kepada Gereja-Nya. Karena perkawinan itu merupakan tanda (sakramen) dari cinta Allah dan cinta Kristus, maka ia bersifat; tetap, tak dapat diceraikan, utuh, personal,  monogam.

 

MENDALAMI  ARTI  DAN  MAKNA  PERKAWINAN MENURUT BERBAGAI PANDANGAN

Menurut Peraturan perundang-undangan

Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur batin/rohani.

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 1 berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir-batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Membentuk   keluarga   yang   bahagia   erat   hubungan   dengan keturunan, yang merupakan tujuan perkawinan. Pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.

 

Pandangan tradisional

Dalam masyarakat tradisional perkawinan pada umumnya masih merupakan  suatu  ”ikatan”,  yang  tidak  hanya  mengikat  seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga mengikat kaum kerabat si laki-laki dengan kaum kerabat si wanita dalam suatu hubungan tertentu. Perkawinan tradisional ini umumnya merupakan suatu proses, mulai dari saat lamaran, lalu memberi mas kawin (belis), kemudian peneguhan, dan seterusnya.

 

Pandangan hukum (yuridis)

Dari   segi   hukum   perkawinan   sering   dipandang   sebagai   suatu ”perjanjian”. Dengan perkawinan, seorang pria dan seorang wanita saling berjanji untuk hidup bersama, di depan masyarakat agama atau masyarakat negara, yang menerima dan mengakui perkawinan itu sebagai sah.

 

Pandangan sosiologi

Secara  sosiologi,   perkawinan   merupakan   suatu   ”persekutuan hidup” yang mempunyai bentuk, tujuan, dan hubungan yang khusus antaranggota. Ia merupakan suatu lingkungan hidup yang khas. Dalam lingkungan hidup ini, suami dan istri dapat mencapai kesempurnaan atau kepenuhannya sebagai manusia, sebagai bapak dan sebagai ibu.

 

Pandangan antropologis

Perkawinan dapat pula dilihat sebagai suatu ”persekutuan cinta”. Pada umumnya, hidup perkawinan dimulai dengan cinta. Ia ada dan akan berkembang atas dasar cinta. Seluruh kehidupan bersama sebagai suami-istri didasarkan dan diresapi seluruhnya oleh cinta.

 

MENGGALI AJARAN KITAB SUCI

Kejadian 2:18 - 25

18 TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” 19 Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara. Dibawa-Nyalah semuanya kepada manusia itu untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk yang hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu. 20 Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia. 21 Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu

tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. 22 Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. 23 Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki- laki.” 24 Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. 25 Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.

 Markus 10:2-12; (bdk Luk 16:18)

2 “Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan  isterinya?”:  3 Tetapi  jawab-Nya  kepada  mereka:  “Apa perintah Musa kepada kamu?” 4 Jawab mereka: “Musa memberi izin untuk  menceraikannya  dengan  membuat  surat  cerai.”  5  Lalu  kata Yesus  kepada  mereka:  “Justru  karena  ketegaran  hatimulah  maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. 6 Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, 7 sebab itu laki- laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, 8 sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. 9 Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” 10 Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. 11 Lalu kata-Nya kepada mereka: “Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. 12 Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.”

 

Penjelasan:

Kejadian 2 : 18 - 25 dikatakan “tidak baik manusia itu seorang diri saja, Aku akan menjadikan penolong yang sepadan”, artinya pernikahan adalah anugerah Tuhan atau Allah yang berinisiatif. Tidak baik manusia seorang diri saja artinya manusia itu membutuhkan penolong, membutuhkan orang lain. Manusia seorang diri mengalami kesepian, sehingga Tuhan memberi penolong yang sepadan bukan yang sama, atau penolong itu serupa dan seimbang tapi bukan sama. Pertolongan itu menjadi lengkap bagi kekurangan manusia dan meniadakan kesepian.

Dalam bacaan tersebut nampak yang mengambil prakarsa untuk memberikan penolong bagi Adam, adalah Tuhan sendiri bukan dari Adam. Hawa diberikan kepada Adam sebagai sebuah anugerah. Jadi pernikahan adalah anugerah Tuhan untuk laki-laki dan perempuan sebagai pasangan yang saling melengkapi.

Apa artinya Penolong yang sepadan? Hawa sebagai penolong yang sepadan artinya memiliki tugas fungsi yang berbeda untuk saling melengkapi dan mengisi. Sehingga laki-laki dan perempuan adalah pasangan yang saling melengkapi.

Secara umum Mrk 10:1-12  sebenarnya menggambarkan bagaimana para orang Farisi ingin menjebak Yesus dengan pertanyaan- pertanyaan supaya Yesus didapatkan oleh mereka menentang hukum Taurat Musa. Namun Yesus yang adalah Putera Allah, mempunyai pengertian yang sempurna tentang hukum Taurat Musa, dan bagaimana sampai Musa mengeluarkan ketentuan yang memperbolehkan perceraian. Musa memperbolehkan perceraian, karena kekerasan hati bangsa Israel yang pada masa dahulu memang menganggap wanita sebagai warga kelas rendah, bahkan seperti budak, hampir seperti binatang. Maka Musa melindungi hak martabat wanita dari perlakuan semacam ini, sebab seandainya wanita tersebut dimadu, tentu kondisinya lebih buruk lagi. Maka ketika Musa  memperbolehkan membuat surat cerai, ini sudah merupakan ‘kemajuan’ kondisi sosial yang memperhatikan martabat pihak wanita. Sebab pada saat suaminya ‘mengusir’nya, ia dapat memperoleh kebebasan.

 Namun Yesus mengembalikan ajaran ini kepada hakekat perkawinan seperti yang ditentukan Allah dari semula, pada awal penciptaan dunia. “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kej 2:24). Allah telah menentukan sejak semula, bahwa kesatuan perkawinan tidak terceraikan. Pengajaran Magisterium Gereja Katolik menjaga dan mempertahankan ajaran ini dalam banyak dokumen (Konsili Florence, Pro Armeniis; Konsili Trente, De Sacram. matr; Pius XI, Casti connubii; Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, dll)

Perkawinan berakar dari kasih penyerahan diri secara total antara suami dan istri dan diarahkan untuk kebaikan anak-anak yang dipercayakan oleh Tuhan kepada mereka, dan oleh karena itu Allah menghendaki agar perkawinan tidak terceraikan. Tuhan berkehendak agar perkawinan menjadi buah, tanda, dan persyaratan dari kasih setia yang absolut Tuhan berikan kepada manusia, dan yang Yesus berikan kepada Gereja-Nya.

 Kristus memperbaharui dan mengembalikan makna perkawinan seperti yang direncanakan Allah dari semula. Perkawinan yang diangkat oleh Yesus menjadi sakramen, memberikan kepada pasangan suami istri sebuah hati yang baru yang dapat mengatasi ‘kekerasan hati’ (Mat 19:8). Kristus adalah “ya” bagi semua janji Allah (2 Kor 1:20) dan pasangan suami istri diajak untuk mengambil bagian di dalam realisasi dari kesetiaan kasih Allah kepada manusia dengan juga mengatakan “ya” pada janji perkawinan. Maka dengan ikatan perkawinan yang tak terceraikan ini, pasangan Kristiani mengambil bagian dalam ikatan kasih yang tak terceraikan antara Kristus dengan Mempelai-Nya, yaitu Gereja-Nya, yang dikasihi-Nya sampai akhir (lih. Yoh 13:1)

Di sini Yesus menjelaskan kepada para murid-Nya yang mungkin terkejut akan pengajaran yang bertentangan dengan ajaran yang pada saat itu diterima oleh semua orang Yahudi. Yesus mengajarkan bahwa tidak satupun pihak (baik istri maupun suami) yang mempunyai hak untuk menikah lagi setelah berpisah.

 

DOA PENUTUP

Ya Allah yang mahasetia, Engkau telah menguduskan cintakasih suami isteri, dan mengangkat perkawinan, menjadi lambang persatuan Kristus dengan Gereja.

Semoga kedua suami-istri Katolik, semakin menyadari kesucian hidup berkeluarga, dan berusaha menghayatinya dalam suka dan duka.

Demi Yesus Kristus, PuteraMu dan Pengantara kami, yang bersama Dikau dalam persekutuan dengan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, kini dan sepanjang segala masa. Amin

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar