PERKAWINAN DALAM TRADISI KATOLIK (1)
Menggali Makna Perkawinan
DOA PEMBUKAAN
Puji dan syukur kami haturkan
ke hadiratMu atas anugerah kehidupan yang Engkau berikan kepada kami.
Bimbinglah kami ya Bapa dalam kegiatan pembelajaran tentang perkawinan dalam
tradisi Katolik, sehingga kami sungguh memahami dan menghayatinya kelak. Doa ini
kami kami sampaikan kepadaMu dengan perantaraan Kristus, Tuhan dan Juruselamat
kami, yang bersatu dengan Dikau dan Roh Kudus, kini dan sepanjang masa. Amin.
MENGGALI PEMAHAMAN TENTANG
PERKAWINAN
Salah satu hal pokok dalam
perkawinan adalah perlunya calon suami-istri melakukan persiapan perkawinan dengan sebaik-baiknya.
Karena itu sebaiknya pasangan calon suami-istri memahami dengan baik dan benar tentang arti dan makna
perkawinan itu. Hal ini sebagai persiapan jauh sebelumnya, jika kelak
mereka memasuki kehidupan perkawinan, mereka sungguh-sungguh mengerti arti
perkawinan itu sendiri.
Perkawinan antara seorang pria
dan wanita dalam agama apapun merupakan suatu peristiwa kehidupan manusia yang sangat sakral.
Karena itu tidak boleh dinodai
atau dikhianati oleh siapapun dengan motif apapun.
Sayang sekali bahwa dalam
masyarakat, kita sering mendengar atau menyaksikan pertikaian antara pasangan
suami-istri yang menimbulkan keretakan hubungan antara mereka. Tak jarang
relasi suami-istri yang sangat bersifat pribadi itu di bawa ke ranah publik,
terutama para pesohor; entah artis, politisi, dan tokoh masyarakat dijadikan
konsumsi masyarakat umum melalui infotainment di televisi atau sarana sosial
media digital yang kini berkembang pesat. Pemberitaan media massa tentang kasus
perkawinan dengan berbagai latarbelakangnya itu, dapat menciptakan suatu
pandangan masif dalam masyarakat bahwa perceraian suami-istri merupakan hal
yang biasa-biasa saja, bahkan dianggap sebagai suatu budaya dalam kehidupan modern.
Bertitik-tolak pada
kasus-kasus perkawinan yang terjadi itu, kita perlu memahami hakikat perkawinan
itu sendiri. Perkawinan pada dasarnya merupakan suatu karier. Bahkan karier pokok. Oleh sebab
itu perlu dipersiapkan dengan penuh kesungguhan. Tragedi zaman kita ialah kita
kurang sadar bahwa perkawinan
merupakan persekutuan pria-wanita atas dasar cinta. Perkawinan harus
dilihat pula sebagai suatu
panggilan, suatu tanda
dari cinta Allah kepada manusia dan cinta Kristus kepada Gereja-Nya. Tak
dapat disangkal bahwa banyak perkawinan telah kandas karena orang tidak pernah
menganggapnya sebagai suatu panggilan sehingga mereka tidak pernah
mempersiapkannya secara sungguh-sungguh. Salah satu persiapan ialah usaha untuk lebih mengenal
dan memahami arti dan makna perkawinan, tujuan serta sifat-sifat perkawinan,
sehingga seseorang dapat menjalankan karier top dan panggilan ini dengan sadar
dan tepat.
PERKAWINAN DALAM MORAL
KRISTIANI
Perkawinan merupakan sakramen
yang mempunyai satu
sifat dasar yang tak dapat diganggu gugat, yaitu setia. Kesetiaan merupakan sikap dasar yang
harus dihayati oleh pasangan yang telah menerima sakramen perkawinan itu. Kesetiaan itu mewujudkan dirinya
dalam dua sifat perkawinan yang
lainnya, yaitu: monogami dan tak dapat diceraikan. Kesetiaan berarti
bahwa suami-istri hidup bagi partnernya, menyerahkan diri secara total hanya
kepada partnernya, selalu dan dalam segala situasi. Kesetiaan adalah hal yang
sangat utama dalam kehidupan perkawinan kristiani. Ketidaksetiaan sejak awal digolongkan oleh Gereja
di antara dosa-dosa yang paling berat, sama seperti pembunuhan dan penyembahan
berhala. Sebab, ketidaksetiaan bukan hanya dosa besar terhadap teman hidup,
tetapi dosa besar terhadap panggilan luhur menjadi sakramen kepada teman hidup,
dan bersama- sama kepada seluruh umat. Panggilan untuk memberi kesaksian
tentang kesetiaan Kristus dan Gereja itu tidak boleh mereka putarbalikkan.
Mereka harus saling setia lahir batin.
Perkawinan sebagai suatu perjanjian dan kebersamaan
seluruh hidup dari pria dan wanita. Tujuan dari perkawinan adalah
kesejahteraan suami istri dan anak-anak.
Perkawinan dapat dilihat pula sebagai sakramen, yaitu tanda
dari cinta Allah kepada umat-Nya dan cinta Kristus kepada Gereja-Nya. Karena
perkawinan itu merupakan tanda (sakramen) dari cinta Allah dan cinta Kristus,
maka ia bersifat; tetap, tak dapat diceraikan, utuh, personal, monogam.
MENDALAMI ARTI
DAN MAKNA PERKAWINAN MENURUT BERBAGAI PANDANGAN
Menurut Peraturan
perundang-undangan
Sebagai Negara yang
berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa,
maka perkawinan mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan
saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur batin/rohani.
Undang-Undang No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan, pasal 1 berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir-batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Membentuk
keluarga yang bahagia
erat hubungan dengan keturunan, yang merupakan tujuan
perkawinan. Pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi hak dan kewajiban orang
tua.
Pandangan tradisional
Dalam masyarakat tradisional
perkawinan pada umumnya masih merupakan suatu ”ikatan”,
yang tidak hanya
mengikat seorang laki-laki dengan
seorang wanita, tetapi juga mengikat kaum kerabat si laki-laki dengan kaum
kerabat si wanita dalam suatu hubungan tertentu. Perkawinan tradisional
ini umumnya merupakan suatu proses, mulai dari saat lamaran, lalu memberi mas
kawin (belis), kemudian peneguhan, dan seterusnya.
Pandangan hukum (yuridis)
Dari segi
hukum perkawinan sering
dipandang sebagai suatu ”perjanjian”. Dengan perkawinan, seorang pria dan seorang wanita
saling berjanji untuk hidup bersama, di depan masyarakat agama atau masyarakat
negara, yang menerima dan mengakui perkawinan itu sebagai sah.
Pandangan sosiologi
Secara sosiologi, perkawinan merupakan
suatu ”persekutuan hidup” yang
mempunyai bentuk, tujuan, dan hubungan yang khusus antaranggota. Ia
merupakan suatu lingkungan hidup yang khas. Dalam lingkungan hidup ini, suami dan istri dapat mencapai
kesempurnaan atau kepenuhannya sebagai manusia, sebagai bapak dan sebagai ibu.
Pandangan antropologis
Perkawinan dapat pula dilihat sebagai suatu ”persekutuan
cinta”. Pada umumnya, hidup perkawinan dimulai dengan cinta. Ia ada dan
akan berkembang atas dasar cinta. Seluruh kehidupan bersama sebagai suami-istri didasarkan dan diresapi
seluruhnya oleh cinta.
MENGGALI AJARAN KITAB SUCI
Kejadian 2:18 - 25
18 TUHAN Allah
berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan
menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” 19 Lalu TUHAN
Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara.
Dibawa-Nyalah semuanya kepada manusia itu untuk melihat, bagaimana ia
menamainya; dan seperti nama yang diberikan manusia itu kepada tiap-tiap
makhluk yang hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu. 20 Manusia
itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada
segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang
sepadan dengan dia. 21 Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu
tidur nyenyak; ketika ia
tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat
itu dengan daging. 22 Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari
manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia
itu. 23 Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari
tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil
dari laki- laki.” 24 Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan
ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu
daging. 25 Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu,
tetapi mereka tidak merasa malu.
2 “Maka datanglah
orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya:
“Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan
isterinya?”: 3 Tetapi jawab-Nya
kepada mereka: “Apa perintah Musa kepada kamu?” 4 Jawab
mereka: “Musa memberi izin untuk
menceraikannya dengan membuat
surat cerai.” 5 Lalu
kata Yesus kepada mereka:
“Justru karena ketegaran
hatimulah maka Musa menuliskan
perintah ini untuk kamu. 6 Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan
mereka laki-laki dan perempuan, 7 sebab itu laki- laki akan
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, 8 sehingga
keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan
satu. 9 Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh
diceraikan manusia.” 10 Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid
itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. 11 Lalu kata-Nya
kepada mereka: “Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan
lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. 12 Dan jika
si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat
zinah.”
Penjelasan:
Kejadian 2 : 18 - 25 dikatakan
“tidak baik manusia itu seorang diri saja, Aku akan menjadikan penolong yang
sepadan”, artinya pernikahan
adalah anugerah Tuhan atau Allah yang berinisiatif. Tidak baik manusia
seorang diri saja artinya manusia
itu membutuhkan penolong, membutuhkan orang lain. Manusia seorang diri
mengalami kesepian, sehingga Tuhan memberi penolong yang sepadan bukan yang sama, atau penolong itu
serupa dan seimbang tapi bukan sama. Pertolongan itu menjadi lengkap
bagi kekurangan manusia dan meniadakan kesepian.
Dalam bacaan tersebut nampak
yang mengambil prakarsa untuk memberikan penolong bagi Adam, adalah Tuhan
sendiri bukan dari Adam. Hawa diberikan kepada Adam sebagai sebuah anugerah.
Jadi pernikahan adalah
anugerah Tuhan untuk laki-laki dan perempuan sebagai pasangan yang saling
melengkapi.
Apa artinya Penolong yang
sepadan? Hawa sebagai
penolong yang sepadan artinya memiliki tugas fungsi yang berbeda untuk saling
melengkapi dan mengisi. Sehingga laki-laki dan perempuan adalah pasangan
yang saling melengkapi.
Secara umum Mrk 10:1-12 sebenarnya menggambarkan bagaimana para orang Farisi ingin menjebak Yesus dengan pertanyaan- pertanyaan supaya Yesus didapatkan oleh mereka menentang hukum Taurat Musa. Namun Yesus yang adalah Putera Allah, mempunyai pengertian yang sempurna tentang hukum Taurat Musa, dan bagaimana sampai Musa mengeluarkan ketentuan yang memperbolehkan perceraian. Musa memperbolehkan perceraian, karena kekerasan hati bangsa Israel yang pada masa dahulu memang menganggap wanita sebagai warga kelas rendah, bahkan seperti budak, hampir seperti binatang. Maka Musa melindungi hak martabat wanita dari perlakuan semacam ini, sebab seandainya wanita tersebut dimadu, tentu kondisinya lebih buruk lagi. Maka ketika Musa memperbolehkan membuat surat cerai, ini sudah merupakan ‘kemajuan’ kondisi sosial yang memperhatikan martabat pihak wanita. Sebab pada saat suaminya ‘mengusir’nya, ia dapat memperoleh kebebasan.
Perkawinan berakar dari kasih penyerahan diri secara total antara suami dan istri dan diarahkan untuk kebaikan anak-anak yang dipercayakan oleh Tuhan kepada mereka, dan oleh karena itu Allah menghendaki agar perkawinan tidak terceraikan. Tuhan berkehendak agar perkawinan menjadi buah, tanda, dan persyaratan dari kasih setia yang absolut Tuhan berikan kepada manusia, dan yang Yesus berikan kepada Gereja-Nya.
Di sini Yesus menjelaskan kepada para murid-Nya yang mungkin terkejut akan pengajaran yang bertentangan dengan ajaran yang pada saat itu diterima oleh semua orang Yahudi. Yesus mengajarkan bahwa tidak satupun pihak (baik istri maupun suami) yang mempunyai hak untuk menikah lagi setelah berpisah.
DOA PENUTUP
Ya Allah yang mahasetia,
Engkau telah menguduskan cintakasih suami isteri, dan mengangkat perkawinan,
menjadi lambang persatuan Kristus dengan Gereja.
Semoga kedua suami-istri
Katolik, semakin menyadari kesucian hidup berkeluarga, dan berusaha
menghayatinya dalam suka dan duka.
Demi Yesus Kristus, PuteraMu
dan Pengantara kami, yang bersama Dikau dalam persekutuan dengan Roh Kudus,
hidup dan berkuasa, kini dan sepanjang segala masa. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar