KESETARAAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Doa Pembuka
Allah Bapa Yang Mahabaik, Engkau
menciptakan kami sebagai laki-laki dan perempuan, semartabat, secitra, dan
sederajat. Sekalipun kami memiliki kekhasan dan perbedaan, Engkau tetap
menghendaki kami bersatu dan saling melengkapi. Engkau mencintai kami dan
memanggil kami untuk senantiasa saling membantu dan mengembangkan, sehingga
kami semakin sempurna. Berkatilah kami, ya Tuhan, supaya kami tidak kenal lelah
selalu mengusahakan yang terbaik dan menjunjung martabat satu sama lain sesuai
dengan kehendak-Mu.
Amin.
Langkah Pertama: Mendalami Kasus Bagaimana Mengajarkan Kesetaraan
di Tengah Keluarga
1. Guru
membuka dialog dengan peserta didik berkaitan dengan apa yang diingat dalam
pelajaran atau tentang penugasan sebelumnya, misalnya adakah kesulitan dalam
membuat rencana untuk pengembangan diri jangka pendek dan rencana jangka
panjang? Bagaimana program itu akan dilaksanakan? Dan lain-lain.
2. Guru
menyampaikan materi pembelajaran saat ini yakni “Kesetaraan Pria dan Wanita”.
Berkaitan dengan materi ini, guru dapat membangkitkan motivasi peserta didik
dengan beberapa pertanyaan, misalnya: Bagaimana kedudukan laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat kita? Bentuk-bentuk perendahan martabat kaum
perempuan seperti apakah yang sering terjadi dalam masyarakat? Mengapa hal itu
bisa terjadi? Nah, untuk mendalami persoalan tersebut marilah kita baca dan
merenungkan artikel berikut ini:
Ajarkan Kesetaraan pada Anak di
Keluarga dengan Bermain Peran
Reporter:
Antara Editor: Mitra Tarigan
Jumat,
3 Juli 2020 19:43 WIB
TEMPO.CO,
Jakarta−Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (KPPPA), Lenny N Rosalin mengatakan anak perlu dididik
kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan sejak dini. “Usia di bawah
enam tahun adalah golden age ketika pertumbuhan dan perkembangan anak sangat
pesat dan tidak bisa digantikan pada masa mendatang,” kata Lenny dalam seminar
daring yang diikuti di Jakarta, Jumat 3 Juli 2020.
Lenny
mengatakan keluarga dan orang tua adalah tempat pertama dan utama bagi anak
mendapatkan pendidikan. Anak belajar dengan melihat apa yang dilakukan orang
tua dan menirunya, sehingga orang tua berperan sebagai guru pada usia awal
anak.
Karena
itu, untuk mengajarkan kesetaraan kepada anak sejak dini, orang tua harus
membangun kesetaraan dalam keluarga dengan memberikan akses dan partisipasi
yang setara bagi suami, istri, dan anak, serta memastikan keputusan diputuskan
bersama oleh suami dan istri.
“Orang
tua dan keluarga juga harus memastikan kesetaraan antara anak laki-laki dan
perempuan dalam berbagai hal. Misalnya di bidang pendidikan, jangan membedakan
antara anak laki-laki dan perempuan,” katanya.
Kesetaraan
dalam keluarga bisa dibangun dengan mengembangkan perilaku, sikap dan komitmen
sebagai atribut perempuan dan laki-laki yang bisa diterima. “Pengenalan gender
kepada anak harus ditanamkan sejak dini. Pembelajaran mengenai kesetaraan
gender merupakan tanggung jawab orang tua di rumah,” katanya.
Kesetaraan
gender bisa diajarkan melalui kegiatan bermain peran. Anak-anak berhak
menentukan peran apa yang dia inginkan.
Saat
bermain, orang tua jangan membatasi peran tertentu lebih pantas untuk laki-laki
atau perempuan. Semua orang berhak bekerja menjadi apa yang dia inginkan.
“Dalam jangka panjang, memperkenalkan kesetaraan gender kepada anak usia dini
tidak hanya menumbuhkan kepercayaan diri, tetapi juga membangun pola pikir yang
tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan,” katanya.
Sumber:https://gaya.tempo.co/read/1360986/ajarkan-kesetaraan-pada-anak-di-
keluarga-dengan-bermain-peran/full&view=ok
3. Guru
meminta peserta didik berdiskusi dalam kelompok untuk merumuskan tanggapan atas
artikel tersebut? Bagaimana peran keluarga dalam mengajarkan makna tentang
kedudukan antara laki-laki dan perempuan? Maksud dari keluarga sebagai yang
tempat yang pertama dan utama untuk mendapatkan pendidikan, bagaimana
menanamkan kesetaraan gender pada anak sejak usia dini, dan lain-lain.
4. Setelah
selesai, guru memberi kesempatan peserta didik mempresentasikan hasil diskusi
kelompok dalam pleno.
5. Setelah
pleno, guru memberi penugasan kepada peserta didik untuk mencari tahu/menggali
informasi melalui studi pustaka tentang pentingnya kesetaraan gender dalam masyarakat,
sikap apa yang dapat kita lakukan untuk mendukung gerakan tersebut, dan
lain-lain.
6. Kemudian
guru dapat memberi peneguhan seperti berikut:
a.
Dalam kebudayaan tertentu di masyarakat kita masih banyak
ditemukan pandangan yang menganggap laki-laki lebih berharga dibandingkan
dengan perempuan. Anak laki-laki sering dianggap andalan masa depan karena ia
akan menjadi tulang punggung keluarga. Hal itu disebabkan karena laki-laki
dianggap pribadi yang kuat dan dapat menguasai banyak hal. Laki-laki adalah kebanggaan
keluarga. Sebaliknya, anak perempuan dipandang sebagai pribadi yang lemah dan
kurang mampu menjadi pemimpin dalam keluarga. Maka sering kita jumpai ada orang
tua yang merasa kecewa ketika mengetahui bahwa anak yang lahir ternyata adalah
anak perempuan. Dalam banyak hal, anak laki-laki sering lebih banyak memiliki
kesempatan untuk mendapat pendidikan yang tinggi, dan perempuan kurang
memperoleh kesempatan yang sama. Inilah yang disebut budaya patriarki, yakni
budaya yang memandang kedudukan kaum laki-laki lebih penting daripada kedudukan
kaum perempuan.
b.
Kesetaraan gender adalah suatu kondisi dimana semua manusia, baik
laki-laki maupun perempuan, bebas mengembangkan kemampuan personal mereka dan
membuat pilihan-pilihan tanpa dibatasi oleh stereotype, peran gender yang kaku.
Hal ini bukan berarti bahwa perempuan dan laki-laki harus selalu sama, tetapi
hak, tanggung jawab dan kesempatannya tidak dipengaruhi oleh apakah mereka
dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan.
c.
Kesetaraan gender memberikan penghargaan dan kesempatan yang sama
pada perempuan dan laki-laki dalam menentukan keinginannya dan menggunakan
kemampuannya secara maksimal di berbagai bidang.
d.
PBB bahkan menekankan kesetaraan gender bagi semua adalah hak
fundamental yang dimiliki oleh setiap manusia. Pernyataan itu mengakar dari
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ayat pertama yang jelas menyatakan bahwa,
“Setiap manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang
sama.”
e.
Upaya untuk mewujudkan kesetaraan dalam masyarakat yang dapat kita
lakukan adalah:
1) Mengakhiri
diskriminasi terhadap semua wanita dan anak perempuan.
2) Meningkatkan
pemberdayaan perempuan dalam berbagai kegiatan.
3) Menghilangkan
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak baik di ranah publik maupun
pribadi. Hal ini termasuk perdagangan manusia dan eksploitasi seksual pada
perempuan dan anak.
4) Meningkatkan
pelayanan umum dan kebijakan publik yang lebih pro terhadap perempuan.
Langkah Kedua: Mendalami Kitab Suci dan Ajaran Gereja tentang
Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan.
1. Guru
mengajak peserta didik membaca dan merenungkan Kejadian 2:18−23 dan Katekismus
Gereja Katolik 371-373.
Kitab
Kejadian 2: 18−23
18TUHAN
Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan
menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.”
19Lalu
TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di
udara. Dibawa-Nyalah semuanya kepada manusia itu untuk melihat, bagaimana ia
menamainya; dan seperti nama yang diberikan manusia itu kepada tiap-tiap
makhluk yang hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu.
20Manusia
itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada
segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang
sepadan dengan dia.
21Lalu
TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah
mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging.
22Dan
dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang
perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.
23Lalu
berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari
dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.”
Katekismus
Gereja Katolik
371 Allah menciptakan pria dan wanita secara bersama dan
menghendaki yang satu untuk yang lain. Sabda Allah menegaskan itu bagi kita
melalui berbagai tempat dalam Kitab Suci: “Tidak baik, kalau manusia itu
seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan
dia” (Kej. 2:18). Dari antara binatang-binatang manusia tidak menemukan satu
pun yang sepadan dengan dia (Kej. 2:19-20). Wanita yang Allah “bentuk” dari
rusuk pria, dibawa kepada manusia. Lalu berkatalah manusia yang begitu bahagia
karena persekutuan dengannya, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari
dagingku” (Kej. 2:23). Pria menemukan wanita itu sebagai aku yang lain, sebagai
sesama manusia.
372 Pria dan wanita diciptakan “satu untuk yang lain”, bukan
seakan-akan Allah membuat mereka sebagai manusia setengah-setengah dan tidak
lengkap, melainkan Ia menciptakan mereka untuk satu persekutuan pribadi,
sehingga kedua orang itu dapat menjadi “penolong” satu untuk yang lain, karena
di satu pihak mereka itu sama sebagai pribadi (“tulang dari tulangku”),
sedangkan di lain pihak mereka saling melengkapi dalam kepriaan dan
kewanitaannya. Dalam perkawinan Allah mempersatukan mereka sedemikian erat,
sehingga mereka “menjadi satu daging” (Kej. 2:24) dan dapat meneruskan
kehidupan manusia: “Beranak-cuculah dan bertambah banyaklah; penuhilah bumi”
(Kej. 1:28). Dengan meneruskan kehidupan kepada anak-anaknya, pria dan wanita
sebagai suami isteri dan orang-tua bekerja sama dengan karya Pencipta atas cara
yang sangat khusus.
373 Menurut rencana Allah, pria dan wanita memiliki panggilan
supaya sebagai “wakil” yang ditentukan Allah, “menaklukkan dunia”. Keunggulan
ini tidak boleh menjadi kelaliman yang merusak. Diciptakan menurut citra Allah,
yang “mengasihi segala yang ada” (Keb. 11:24), pria dan wanita terpanggil untuk
mengambil bagian dalam penyelenggaraan ilahi untuk makhluk-makhluk lain. Karena
itu, mereka bertanggung jawab untuk dunia yang dipercayakan Allah kepada
mereka.
2. Guru
mengajak peserta didik menganalisa teks, kemudian merumuskan pesan berdasarkan
analisa mereka, dengan bantuan pertanyaan: Siapa yang menghendaki supaya
manusia (laki-laki) tidak seorang diri? Kira- kira mengapa? Siapa yang
menjadikan penolong bagi laki-laki? Apakah yang satu lebih tinggi dari yang
lain? Lihat ayat 23, apakah ini pengakuan sederajat atau menganggap yang satu
lebih hebat dari yang lain? Apakah yang dimaksud dengan penolong yang sepadan
menurut Katekismus Gereja Katolik? Susunlah jawabanmu dalam sebuah deskripsi!
3. Sejauh
diperlukan, guru dapat memberikan peneguhan sebagai berikut:
a. Pria
dan wanita diciptakan Tuhan untuk saling melengkapi, untuk menjadi teman hidup.
Pria saja tidaklah lengkap. Allah sendiri berkata: “Tidaklah baik, kalau
manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan seorang penolong baginya,
yang sepadan dengan dia" (Kej. 2:18). Untuk menyatakan bahwa wanita
sungguh-sungguh merupakan kesatuan dengan pria, maka Tuhan menciptakan wanita
itu bukan dari bahan lain, tetapi dari tulang rusuk pria itu. Maka, pria itu
kemudian berkata tentang wanita itu demikian: “Inilah dia, tulang dari tulangku
dan daging dari dagingku” (Kejadian 2: 23). Dari kutipan Kitab Suci ini
jelaslah bahwa hubungan pria dan wanita adalah hubungan yang suci dan sepadan.
b. Dalam
Katekismus Gereja Katolik Artikel 371⎯373
disebutkan bahwa pria dan wanita diciptakan “satu untuk yang lain”, bukan
seakan-akan Allah membuat mereka sebagai manusia setengah-setengah dan tidak
lengkap, melainkan Ia menciptakan mereka untuk satu persekutuan pribadi,
sehingga kedua orang itu dapat menjadi “penolong” satu untuk yang lain, karena
di satu pihak mereka itu sama sebagai pribadi (“tulang dari tulangku”),
sedangkan di lain pihak mereka saling melengkapi dalam kepriaan dan
kewanitaannya. Dalam perkawinan Allah mem- persatukan mereka sedemikian erat,
sehingga mereka “menjadi satu daging” (Kej. 2:24) dan dapat meneruskan
kehidupan manusia: “Beranak-cuculah dan bertambah banyaklah; penuhilah bumi”
(Kej. 1:28). Dengan meneruskan kehidupan kepada anak-anaknya, pria dan wanita
sebagai suami isteri dan orang tua bekerja sama dengan karya Pencipta atas cara
yang sangat khusus.
c. Panggilan
Tuhan atas laki-laki atau perempuan adalah: masing-masing berkembang dan
memperkembangkan diri menjadi laki-laki sejati dan perempuan sejati.
d. Penolong
itu adalah yang “sepadan” dengan dia, artinya yang memiliki kedudukan yang sama
dan itu adalah MANUSIA YANG LAIN. Dengan adanya manusia yang lain memungkinkan
manusia membangun relasi dengan yang lain.
Langkah Ketiga: Menghayati Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan
1. Guru
mengajak peserta didik untuk merenungkan puisi inspiratif yang ditulis dan
dibacakan dalam acara Indonesian Women’s Forum (IWF) 2018 oleh Maudy Ayunda.
Menghapus “Katanya”
Oleh: Maudy Ayunda
Sempat
dunia berbisik
Katanya
perempuan tegas itu mengintimidasi Katanya perempuan kritis itu lancang Katanya
perempuan ekspresif itu berlebihan
Katanya
perempuan emosional itu tidak bisa berpikir logis
Katanya
perempuan yang berkarier pasti bukan ibu yang baik
Katanya
perempuan yang sekolah tinggi akan sulit mendapatkan jodoh
Tapi
hari ini
Aku
berhenti mendengar
Segala
katanya yang menggema di pikiranku
Yang
aku tahu
Perempuan
lugas, kritis, ekspresif, emosional
Adalah
sosok yang berani menjadi diri mereka sendiri
Yang
aku tahu
Perempuan
bisa mengejar mimpinya tanpa batas
Yang
aku tahu
Perempuan
tidak harus terperangkap dalam definisi-definisi
yang
menyempitkan
Yang
aku tahu
Perempuan
berhak atas kesetaraan di mana pun
Yang
aku tahu
Perempuan
itu kuat
Sumber: https://kumparan.com/the-shonet/wow-maudy-ayunda-bikin-
puisi-untuk-para-wanita-yang-sedang-berjuang-dengan-kesetaraan-
gender-1541933379992619260
2. Guru
mengajak peserta didik merenungkan kalimat berikut:
Pada
hari ini kita telah menggali dan mendalami kedudukan laki-laki dan perempuan di
hadapan Allah. Allah menempatkan mereka setara dan saling melengkapi satu sama
lain. Panggilan Tuhan atas laki-laki atau perempuan adalah: masing-masing
berkembang dan memperkembangkan diri menjadi laki-laki sejati dan perempuan
sejati. Dan melalui puisinya, Maudy Ayunda berharap semua wanita di Indonesia
akan tetap kuat, menjadi dirinya sendiri, dan mampu mengejar mimpinya tanpa
takut mereka itu wanita. Karena wanita itu pasti bisa #SiapaBilangGakBisa.
3. Buatlah
sebuah refleksi tentang kedudukan laki-laki dan perempuan di hadapan Allah.
4. Mengungkapkan
slogan yang berisi tentang niat untuk menjunjung tinggi kesetaraan laki-laki
dan perempuan dan menempelkannya di kamar atau meja belajar.
Doa Penutup
Guru mengajak para peserta didik
untuk mendaraskan bersama Mazmur 113 berikut ini:
Tuhan Meninggikan Orang yang
Rendah
1Haleluya!
Pujilah, hai hamba-hamba TUHAN, pujilah nama TUHAN!
2Kiranya
nama TUHAN dimasyhurkan, sekarang ini dan selama-lamanya.
3Dari
terbitnya sampai kepada terbenamnya matahari terpujilah nama TUHAN.
4TUHAN
tinggi mengatasi segala bangsa, kemuliaan-Nya mengatasi langit.
5Siapakah
seperti TUHAN, Allah kita, yang diam di tempat yang tinggi,
6
yang merendahkan diri untuk melihat ke langit dan ke bumi?
7Ia
menegakkan orang yang hina dari dalam debu dan mengangkat orang yang miskin
dari lumpur,
8untuk
mendudukkan dia bersama-sama dengan para bangsawan, bersama-sama dengan para
bangsawan bangsanya.
9Ia
mendudukkan perempuan yang mandul di rumah sebagai ibu anak-anak, penuh
sukacita. Haleluya!
Kemuliaan kepada Bapa, Putra, dan
Roh Kudus
Seperti pada permulaan, sekarang,
selalu, dan sepanjang segala abad. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar