Cari Blog Ini

Sabtu, 13 Juli 2024

PANGGILAN HIDUP BERKELUARGA (HIDUP PERKAWINAN DAN TANTANGAN HIDUP BERKELUARGA)

1.           Guru mengajak para peserta didik untuk memulai pelajaran dengan doa, misalnya:

Allah Bapa yang penuh kasih, Puji dan syukur kami haturkan kehadirat-Mu atas anugerah kehidupan yang Engkau berikan kepada kami. Bimbinglah kami dalam kegiatan pembelajaran ini  agar kami sungguh memahami makna hidup kami di dunia, dan menghayati panggilan hidup berkeluarga, serta menghargai orangtua kami yang telah membangun keluarga di mana kami menjadi bagian dari keluarga ini. Doa ini kami sempurnakan dengan doa yang diajarkan Yesus Putra-Mu... Bapa Kami..

2.           Guru membangun motivasi peserta didik untuk belajar dengan mengungkapkan pemikiran dasar, yaitu:

Keluarga dibentuk oleh perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Baik lakilaki maupun perempuan mempunyai cita-cita luhur akan membentuk keluarga yang harmonis. Seringkali cita-cita itu tidak mudah dijalankan. Ada perbedaan pendapat, kebencian, kemarahan, iri hati, dan sebagainya. Bagaimana keluarga dapat menghadapi masalah-masalah seperti ini? Gereja Katolik secara tegas mengajarkan bahwa perkawinan Katolik adalah Sakramen, sehingga setiap pasang suami istri harus menjaga kesucian perkawinan. Karena itu, sifat perkawinan Katolik adalah monogami dan tidak terceraikan, kecuali oleh maut; “karena apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia” (Mat 19:6). Sakramen Perkawinan sebagai akar pembentukan keluarga Katolik hendaknya dijaga kesuciannya, karena keluarga merupakan Gereja kecil/mini atau Ecclesia domestica. Artinya, antara lain bahwa keluarga-keluarga Kristiani merupakan pusat iman yang hidup, tempat pertama iman akan Kristus diwartakan dan sekolah pertama tentang doa, kebajikan- kebajikan dan cinta kasih Kristen (bdk. KGK 1656 & 1666).  Gaudiun et Spes No.52 mengatakan: Keluarga adalah semacam Sekolah Kemanusiaan yang kaya. Akan tetapi supaya kehidupan dan perutusan keluarga dapat mencapai kepenuhan, dituntut komunikasi batin yang baik, yang ikhlas dalam pendidikan anak. Kehadiran ayah yang aktif sangat menguntungkan pembinaan anak-anak, akan tetapi juga perawatan ibu di rumah, yang dibutuhkan anak-anak dan seterusnya. Pedoman Pastoral Keluarga (MAWI 1975) antara lain mengatakan: Kita makin menginsyafi bahwa perkawinan itu persekutuan cinta antara pria dan wanita yang secara sadar dan bebas menyerahkan diri beserta segala kemampuannya untuk selamanya. Dalam penyerahan itu suami isteri berusaha makin saling menyempurnakan dan bantu membantu. Hanya dalam suasana hormat-menghormati dan saling menerima inilah, dalam keadaan manapun juga, persekutuan cinta itu dapat berkembang hingga tercapai kesatuan hati yang dicita-citakan. (Lihat Pedoman Kerja Umat katolik No. 9). Pada pelajaran ini para peserta didik dibimbing untuk memahami makna hidup berkeluarga sebagai panggilan hidup dan dapat menghayati dalam hidup keluarga bersama orangtua serta sanak-saudara dalam keluarganya.

3.           Guru memberikan apersepsi dengan menelusuri pengertian “keluarga” secara umum.

4.           Guru menyampaikan indikator yang harus dicapai peserta didik yaitu :

            Menjelaskan pemahaman tentang keluarga dalam kehidupan masyarakat (melalui sebuah kisah kehidupan)

            Menjelaskan Ajaran Kitab Suci tentang keluarga (Matius 19;1-13)

            Menjelaskan Ajaran Gereja tentang keluarga (Gaudium et spes art.52)

            Menjelaskan makna keluarga sebagai panggilan (Gaudium et spes art.52)

5.           Guru meyampaikan langkah-langkah kegiatan pembelajaran dan kompetensi yang akan dinilai :

            Menggali pemahaman tentang makna keluarga

            Menggali Ajaran Kitab Suci  tentang Keluarga.

            Menggali Ajaran Gereja tentang Keluarga.

a.           Guru mengajak para peserta didik untuk menyimak sebuah cerita kesaksian  berikut ini.

Saya Tidak Ingin Diganggu!

“Biasanya saya mendahulukan ego saya ketika di rumah, apalagi jika sedang dikejar deadline. Saya akan sibuk di depan komputer, penuh konsentrasi dan tidak mudah diganggu. Ketika anak atau istri saya mengganggu, saya akan mudah emosi karena ‘tekanan deadline’ (atau kadang-kadang sebenarnya hanya

 ‘keasikan pribadi saya’) ditambah dengan permintaan/tekanan anak atau istri. Nada bicara saya akan mudah meninggi. Setelah itu istri akan marah juga. Dan pada akhirnya istri saya akan mengatakan ‘papa sekarang gampang marah’. Hal yang saya lakukan sekarang adalah memberi perhatian akan kebutuhan anak dan istri. Jika anak saya yang masih TK minta dibacakan sesuatu, saya bacakan sambil memberi dia kasih sayang dengan memangkunya dan memeluknya. Jika anak saya yang besar minta dibantu belajar, saya mencoba merelakan kepentingan saya dan memberi perhatian akan kebutuhan anak saya. Jika istri minta tolong sesuatu, saya segera meninggalkan konsentrasi saya, dan membantu istri terlebih dahulu. Kadang-kadang memang terlalu sulit. Sampai-sampai pekerjaan yang sedang dikerjakan jadi terbengkalai. Dan juga sulit untuk selalu tetap melakukan hal-hal yang baik tersebut. Perlu kesadaran penuh (akan niat memperhatikan istri dan anak) ketika permintaan anak dan istri itu datang. Salah satu kuncinya adalah penyerahan kepada Tuhan. ‘Pekerjaan dengan deadlinenya’ saya serahkan pada Tuhan. Walaupun waktu saya tidak sepenuhnya pada pekerjaan, saya yakin Tuhan akan mencukupkan waktunya. Ketika Tuhan turun tangan, dengan waktu yang terbatas pun (karena banyak gangguan dari anak dan istri) saya akan mampu menyelesaikannya. Ternyata ketika saya punya masalah. Itu adalah ujian dari Tuhan juga. Apa yang saya pentingkan di dunia ini? Mengerjakan tugas (yang kadang-kadang adalah kepentingan pribadi) atau mengasihi keluarga? Kalau saya lengah, saya pasti akan mementingkan tugas, dengan akibat emosi tinggi di rumah. Tetapi jika saya sadar akan ujian ini, saya akan memilih untuk mengasihi keluarga saya. Saya harap saya bisa tetap mempertahankan sikap ini sehingga bisa menjadi pria sejati seperti Kristus.

Sumber: http://priasejatikatolik.org

b.           Setelah menyimak cerita kesaksian, guru mengajak peserta didik untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mendalami cerita tersebut.

c.           Guru mengajak peserta didik untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan itu.

Misalnya sebagai berikut: 

            Apa yang dikisahkan dalam cerita itu?

            Apa yang menjadi sebab kemarahan si Bapak keluarga dalam cerita itu?

            Apa yang menjadi kunci bagi Bapak keluarga itu untuk membuka relasi, komunikasi dengan istri serta anak-anaknya?

            Bagaiaman upaya Bapak keluarga itu untuk menjadi seorang pria sejati dalam keluarga?

            Bagaimana pengalaman relasi dengan anggota keluargamu sendiri?

d.           Setelah peserta didik mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dilanjutkan dengan diskusi kelas atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, guru memberikan penjelasan.

Misalnya sebagai berikut:

            Kesaksian seorang bapak dalam kisah tadi mengungkapkan bahwa setiap anggota keluarga hendaknya membangun kebersamaan. Pekerjaan tidak boleh sampai menyandera hubungan relasi satu dengan yang lain.

            Perlu disadari bahwa egoisme adalah akar dari keretakan dalam sebuah  keluarga. Egoisme atau sifat ingat diri sendiri akan merusak hubungan harmonis dalam keluarga; entah ayah dengan ibu, atau ayah atau ibu dengan anak-anak.

            Seluruh anggota keluarga; ayah, ibu, atau suami-isteri dan anak-anak, serta semua orang yang ada dalam keluarga, hendaknya saling menghormati, saling berbagi waktu untuk kebersamaan dalam keluarga.

            Sebagai keluarga Katolik, kita hendaknya hidup sesuai ajaran iman Katolik yang bersumber pada Kitab Suci (Alkitab) dan Ajaran Gereja, yang  akan dibahas berikut ini.

a.           Guru mengajak peserta didik untuk menemukan teks-teks Kitab Suci yang mengajarkan tentang keluarga.

b.           Guru mengajak peserta didik untuk menyimak teks Kitab Suci berikut ini.

Matius 19:1-6

1“Setelah Yesus selesai dengan pengajaran-Nya itu, berangkatlah Ia dari Galilea dan tiba di daerah Yudea yang di seberang sungai Yordan. 2 Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia dan Ia pun menyembuhkan mereka di sana. 3 Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” 4 Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? 5 Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. 6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

c.           Pendalaman Setelah menyimak kisah tersebut, guru mengajak peserta didik untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan teks Kitab Suci yang telah mereka baca.

Pertanyaan-pertanyaan itu misalnya:

            Apa pesan dari teks Mat 19:1-6?

            Apa yang dicobai orang Farisi pada Yesus?

            Apa jawaban Yesus?

            Mengapa mereka mau mencoba Yesus?

            Apa sifat keluarga menurut teks tersebut?

d.           Setelah para peserta didik mengajukan pertanyaan-pertanyaan, kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelas atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, guru memberikan masukan.

Misalnya sebagai berikut:

            Perkawinan itu persekutuan cinta antara pria dan wanita yang secara sadar dan bebas menyerahkan diri beserta segala kemampuannya untuk selamanya. Dalam penyerahan itu suami isteri berusaha makin saling menyempurnakan dan saling membantu. Hanya dalam suasana saling menghormati dan menerima inilah, dalam keadaan manapun juga, persekutuan cinta itu dapat berkembang hingga tercapai kesatuan hati yang dicita-citakan.

            Tuhan menghendaki agar kesatuan antara suami dan istri  tidak terceraikan, karena perkawinan merupakan tanda kesetiaan Allah kepada manusia dan kesetiaan Kristus kepada Gereja-Nya. Atau dengan kata lain: menjadi tanda kesetiaan cinta Allah kepada setiap orang. Menjadi saksi akan kesetiaan perkawinan yang tak terceraikan ini adalah salah satu tugas pasangan Kristiani yang paling genting saat ini, di saat dunia dikaburkan oleh banyak pandangan yang menurunkan derajat perkawinan, seolah hanya pelampiasan keinginan jasmani semata. Jika pasangan suami istri dan anak- anak hidup dalam kasih yang total, maka keluarga menjadi gambaran nyata sebuah Gereja, sehingga tepatlah jika keluarga itu disebut sebagai Gereja kecil atau ecclesia domestica. Sebab dengan menerapkan kasih seperti teladan Kristus, keluarga turut mengambil bagian di dalam hidup dan misi Gereja dalam membangun Kerajaan Allah.

a.           Guru mengajak peserta didik untuk menelusuri ajaran-ajaran Gereja Katolik tentang perkawinan. Rujukan misalnya; Ajaran Konsili Vatikan II, Ensiklik-ensiklik para Paus tentang keluarga.

b.           Guru mengajak peserta didik untuk menyimak ajaran Gereja dalam Konsili Vatikan II berikut ini.

Pengembangan Perkawinan dan Keluarga Merupakan Tugas Semua Orang

“Keluarga adalah tempat pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan. Supaya keluarga mampu mencapai kepenuhan hidup dan misinya, diperlukan komunikasi, hati penuh kebaikan, kesepakatan suamiisteri, dan kerja sama orangtua yang tekun dalam mendidik anakanak. Kehadiran aktif ayah sangat membantu pembinaan mereka dan pengurusan rumah tangga oleh ibu, terutama dibutuhkan oleh anak-anak yang masih muda, perlu dijamin, tanpa maksud supaya pengembangan peranan sosial wanita yang sewajarnya dikesampingkan. Melalui pendidikan hendaknya anak-anak dibina sedemikian rupa, sehingga ketika sudah dewasa mereka mampu dengan penuh tanggung jawab mengikuti panggilan mereka; panggilan religius; serta memilih status hidup mereka. Maksudnya apabila kelak mereka mengikat diri dalam pernikahan, mereka mampu membangun keluarga sendiri dalam kondisi-kondisi moril, sosial dan ekonomi yang menguntungkan. Merupakan kewajiban orang tua atau para pengasuh, membimbing mereka yang lebih muda dalam membentuk keluarga dengan nasehat bijaksana, yang dapat mereka terima dengan senang hati. Hendaknya para pendidik itu menjaga jangan sampai memaksa mereka, langsung atau tidak langsung untuk mengikat pernikahan atau memilih orang tertentu menjadi jodoh mereka.

Demikianlah keluarga, lingkup berbagai generasi bertemu dan saling membantu untuk meraih kebijaksanaan yang lebih penuh, dan mempadukan hak pribadi-pribadi dengan tuntutan hidup sosial lainnya, merupakan dasar bagi masyarakat. Oleh karena itu, siapa saja yang mampu memengaruhi persekutuan-persekutuan dan kelompokkelompok sosial, wajib memberi sumbangan yang efektif  untuk mengembangkan perkawinan dan hidup berkeluarga. Hendaknya pemerintah memandang sebagai kewajibannya yang suci:  untuk mengakui, membela dan menumbuhkan  jati diri perkawinan dan keluarga; melindungi tata susila umum; dan mendukung kesejahteraan rumah tangga. Hak orangtua untuk melahirkan keturunan dan mendidiknya dalam pangkuan keluarga juga harus dilindungi. Hendaknya melalui  perundang-undangan yang bijaksana serta pelbagai usaha lainnya, mereka yang malang, karena tidak mengalami kehidupan berkeluarga, dilindungi dan diringankan beban mereka dengan bantuan yang mereka perlukan. Hendaknya umat kristiani, sambil menggunakan waktu yang ada dan membeda-bedakan yang kekal dari bentuk-bentuk yang dapat berubah, dengan tekun mengembangkan nilai-nilai perkawinan dan keluarga, baik melalui kesaksian hidup mereka sendiri maupun melalui kerja sama dengan sesama yang berkehendak baik. Dengan demikian mereka mencegah kesukaran-kesukaran, dan mencukupi kebutuhan-kebutuhan  keluarga serta menyediakan keuntungan-keuntungan baginya sesuai dengan  tuntutan zaman sekarang. Untuk mencapai tujuan itu semangat iman kristiani, suara hati moril manusia; dan kebijaksanaan serta kemahiran mereka yang menekuni ilmu-ilmu suci, akan banyak membantu. Hasil penelitian para pakar ilmu-pengetahuan, terutama dibidang biologi, kedokteran, sosial dan psikologi, dapat berjasa banyak bagi kesejahteraan perkawinan dan keluarga serta ketenangan hati, melalui pengaturan kelahiran manusia yang dapat di pertanggung jawabkan. Berbekalkan pengetahuan yang memadai tentang hidup berkeluarga, para imam bertugas mendukung panggilan suami-isteri melalui pelbagai upaya pastoral; pewartaan sabda Allah; ibadat liturgis; dan bantuan-bantuan rohani lainnya dalam hidup perkawinan dan keluarga mereka. Tugas para imam pula, dengan kebaikan hati dan kesabaran meneguhkan mereka ditengah kesukaran-kesukaran, serta menguatkan mereka dalam cinta kasih, supaya terbentuk keluarga-keluarga yang sungguh-sungguh berpengaruh baik.

Himpunan-himpunan keluarga, hendaknya berusaha meneguhkan kaum muda dan para suami-isteri sendiri, terutama yang baru menikah, melalui ajaran dan kegiatan; hidup kemasyarakatan, serta kerasulan. Akhirnya hendaknya para suami-isteri sendiri, yang diciptakan menurut gambar Allah yang hidup dan ditempatkan dalam tatahubungan antarpribadi yang autentik, bersatu dalam cinta kasih yang sama, bersatu pula dalam usaha saling menguduskan supaya mereka, dengan mengikuti Kristus sumber kehidupan, di saat-saat gembira maupun pengorbanan dalam panggilan mereka, karena cinta kasih mereka yang setia menjadi saksi-saksi misteri cinta kasih, yang oleh Tuhan diwahyukan kepada dunia  dalam wafat dan kebangkitan-Nya”. (GS.52)

c.           Setelah menyimak teks GS.52, guru mengajak peserta didik untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan teks yang telah mereka baca.

Pertanyaan-pertanyaan itu misalnya:

            Apa makna keluarga?

            Apa manfaat komunikasi dalam keluarga?

            Apa peran bapak dan ibu dalam keluarga?

            Apa upaya Gereja dalam membina keluarga?

d.           Setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam diskusi kelompok, guru memberikan penjelasan untuk memberikan wawasan atau pemahaman peserta didik tentang keluarga.

1)           Arti dan Makna Keluarga Keluarga adalah Sekolah Kemanusiaan yang kaya. Akan tetapi supaya kehidupan dan perutusan keluarga dapat mencapai kepenuhan, dituntut komunikasi batin yang baik, yang ikhlas dalam pendidikan anak. Kehadiran ayah yang aktif sangat menguntungkan pembinaan anak-anak, perawatan ibu di rumah juga dibutuhkan anak-anak dan seterusnya. (GS.52)

2)           Tugas dan tanggung jawab seorang suami/bapak

a)           Suami Sebagai Kepala Keluarga

Sebagai kepala keluarga suami harus bisa memberi nafkah lahir-batin kepada istri dan keluarganya. Mencari nafkah adalah salah satu tugas pokok seorang suami, sedapatnya tidak terlalu dibebankan kepada isteri dan anak-anak. Untuk menjamin nafkah ini sang suami hendaknya berusaha memiliki pekerjaan.

b)          Suami Sebagai Partner Istri

Perkawinan modern menuntut pola hidup partnership. Suami hendaknya menjadi mitra dari istrinya. Pada masa sekarang ini banyak wanita yang menjadi wanita karier. Kalau istri adalah wanita karier, maka perlulah suami menjadi pendamping, penyokong dan pemberi semangat baginya. Dalam kehidupan rumah tangga istri pasti mempunyai banyak tugas dan pekerjaan. Janganlah membiarkan dia sendiri yang melakukannya, hanya karena sudah mempunyai pembagian tugas yang jelas dalam rumah tangga. Banyak istri yang merasa tertekan, merasa tidak diperhatikan lagi, karena apa saja yang dibuatnya tak pernah masuk dalam wilayah perhatian suaminya.

c)           Suami Sebagai Pendidik

Orang sering berpikir dan melemparkan tugas mendidik anakanak pada istri/ibu, padahal anak-anak tetap memerlukan sosok ayah dalam pertumbuhan diri dan pribadi mereka. Sosok ayah tak tergantikan.

3)           Tugas dan tanggung jawab seorang istri/ibu

a)           Istri sebagai hati dalam keluarga

Suami adalah kepala keluarga, maka isteri adalah ibu keluarga yang berperan sebagai hati dalam keluarga. Sebagai hati, istri menciptakan suasana kasih sayang, ketenteraman, keindahan, dan keharmonisan dalam keluarga.

b)          Istri sebagai mitra dari suami

Sebagai mitra, istri dapat membantu suami dalam tugas dan kariernya. Bantuan yang dimaksudkan di sini, seperti memberi sumbang saran dan dukungan moril hal yang pertama lebih bersifat rasional dan yang kedua lebih bersifat afektif. Dukungan moril yang bersifat afektif lebih berarti bagi suami.

c)           Istri sebagai pendidik

Istri/Ibu merupakan pendidik yang pertama dan utama dari anak-anaknya. Hal ini berarti bahwa ibu adalah pendidik ulung. Ada ungkapan bahwa “Surga berada di bawah telapak kaki ibu” artinya adalah kita tidak boleh berani terhadap orang tua terutama sekali kepada ibu kita.

4)           Kewajiban Anak-anak Terhadap Orang Tua

Kewajiban-kewajiban anak terhadap orang tuanya tidak statis dan tidak selalu sama, melainkan dipengaruhi baik oleh  perkembangan maupun oleh situasi dan kondisi. Semakin hari, anak hendaknya semakin mandiri. Orang tua makin lama makin tua membutuhkan anak-anaknya. Beberapa hal dasar yang  menjadi kewajiban anak terhadap orangtua adalah: mengasihi orangtua, bersikap dan berperilaku penuh syukur, serta bersikap dan berperilaku hormat kepada orangtua.

5)           Membina hubungan kakak-adik

Dalam keluarga masih ada saudara-saudara (kakak-adik) yang mempunyai hubungan timbal balik sebagai anggota-anggota satu keluarga. Hubungan ini memang bervariasi sesuai dengan masyarakat setempat. Dalam mengembangkan keluarga sebagai persekutuan pribadi-pribadi, hubungan kakak-adik sebagai anggota-anggota keluarga inti sangat penting. Hal-hal yang perlu dikembangkan dalam hubungan kakak-adik adalah: kasih persaudaraan, saling membantu dan saling menghargai. Pengalaman hidup bersama dan proses-proses awal dari sosialisasi untuk hidup bersama berlangsung dalam keluarga di mana terdapat lebih dari satu anak (bdk. Katekismus Gereja Katolik no. 2219). Kakak-adik tak hanya dididik oleh orang tua, melainkan juga secara tidak langsung saling mendidik. Dengan bertengkar dan berdamai kembali mereka belajar dan berlatih mengolah konflik yang termasuk unsur hidup bersama (bdk. Katekismus Gereja Katolik no. 2219).

6)           Cinta Kasih dan Komunikasi dalam Keluarga

a)           Pentingnya cinta dalam hidup manusia

Kita bisa hidup dan berkembang sebagai manusia karena perhatian dan cinta yang kita terima dan alami dari orang lain, dan karena cinta yang kita berikan kepada orang lain. Seluruh ajaran dan perbuatan Kristen justru berdasarkan pada cinta. “Hendaklah kamu saling mencintai seperti Aku telah mencintai kamu”. (Yoh 15:12). Cinta membahagiakan orang dan memungkinkan manusia berkembang secara sehat dan seimbang. Cinta yang jujur dan persahabatan sejati antarmanusia memungkinkan perwujudan diri yang sehat dan seimbang, menghindar gangguan psikis, dapat menyembuhkan orang yang menderita sakit jiwa. Jadi apabila manusia belajar memberikan cinta dan menerima cinta, ia dapat sembuh dari perasaan kesepian dan banyak gangguan emosional. Selain itu cinta adalah kekuatan aktif dalam diri manusia, kekuatan yang mempersatukan manusia dengan sesamanya. Cinta yang demikian membiarkan manusia tetap menjadi dirinya sendiri dan mempertahankan keutuhan sendiri. Dalam cinta antara pria dan wanita, keduanya masing-masing dilahirkan kembali serta saling mengembangkan diri. Keduanya dipanggil untuk saling mencintai secara paling mesra dan intim. Keduanya saling memberi dan menerima secara fisik maupun psikis. Keduanya adalah partner yang membutuhkan cinta dari yang lain untuk membahagiakan satu sama lain.

b)          Membina cinta dalam keluarga

Tujuan perkawinan pertama-tama ialah membina cinta kasih antara suami-isteri, menjalin hubungan perasaan yang mesra antara kedua partner yang ingin hidup bersama untuk selama-lamanya.

c)           Cinta kasih yang menghargai teman hidup sebagai partner

Kebahagiaan di dalam hidup keluarga tidak terjadi secara otomatis. Setelah mempelai menerima berkat di Gereja dan diresmikan perkawinannya, kebahagiaan itu masih harus dibentuk dan dibangun, diwujudkan terus-menerus lewat perbuatan nyata seharihari. Maka cinta dalam hidup berkeluarga perlu dibangun agar bertumbuh dan berkembang, perlu suasana “partnership” antara suami-isteri. Partnership berarti persekutuan atau persatuan yang berdasarkan prinsip kesamaan derajat, sehingga kedua-duanya menjadi “partner” yang serasi dalam memperjuangkan kepentingan bersama.

d)          Cinta kasih yang menyerahkan dirinya sendiri

Cinta kasih dalam hidup perkawinan sangat menuntut suatu sikap penyerahan diri yang total, bukan hanya setengah-setengah saja. Kedua partner harus saling menyerahkan diri kepada yang lain tanpa perhitungan untung rugi bagi dirinya (tanpa pamrih) dalam bersama-sama membangun persatuan hidup, membangun kebahagiaan keluarga dengan sumbangan yang berbeda, sesuai dengan kodrat/peranannya masing-masing sebagai suami-isteri.

e)           Komunikasi dalam Keluarga

Berkomunikasi berarti menyampaikan pikiran dan perasaan kita kepada pihak lain. Berkomunikasi tentang hal-hal yang sama-sama diketahui dan dirasakan akan terasa jauh lebih mudah dari pada mengenai bidang yang khas dunia sendiri. Namun untuk mencapai keserasian hubungan antar manusia, untuk mencapai saling pengertian, justru yang paling perlu dikomunikasikan adalah dunia sendiri itu. Dunia suami, dunia isteri, dunia anak-anak yang sering sangat berbeda. Maka dalam berkomunikasi ada banyak hal yang harus diperhatikan, antara lain saling mendengarkan dan saling terbuka.

(1)         Mendengarkan

Semua orang yang tidak tuli bisa mendengarkan. Tetapi yang bisa mendengar belum tentu pandai pula mendengarkan. Telinga bisa mendengar segala suara, tetapi mendengarkan suatu komunikasi harus dilakukan dengan pikiran dan hati serta segenap indra diarahkan kepada sipembicara.Banyak di antara kita yang merasa bahwa mendengarkan itu tak enak, sebab memaksa kita untuk menunda apa yang kita sendiri mau katakan. Betapa seringnya kita tidak mendengarkan ketika orang lain berbicara, karena kita sibuk sendiri memikirkan apa yang mau kita katakan. Mendengarkan dengan baik harus kita lakukan kalau betul-betul ingin membangun keluarga yang harmonis.

(2)         Keterbukaan

Penilaian seseorang tidak mutlak benar. Oleh karena itu sulit terjadi komunikasi yang mengena dengan orang yang tidak dapat diubah dalam penilaiannya, seakan-akan itu sudah fakta mutlak yang tidak bisa ditawar lagi. Orang bisa begitu menutup diri terhadap masukan dari pihak lain yang bertentangan dengan penilaian sendiri. Setiap orang boleh, bahkan sepatutnya mempunyai sistem nilai, mempunyai keyakinan, mempunyai sikap, mempunyai pandangan, mempunyai kepercayaan dan pendidikan. Tetapi ia tidak mempunyai kemauan berkomunikasi kalau ia tertutup untuk mendengarkan, mencernakan masukan dari pihak lain. Orang yang mau senantiasa tumbuh sesuai dengan zaman adalah orang yang terbuka untuk menerima masukan dari orang lain, merenungkannya dengan serius, dan mengubah diri bila perubahan dianggapnya sebagai pertumbuhan ke arah kemajuan. Ada pun masukan dari pihak lain hanya terjadi melalui komunikasi dengan orang lain. Anda sudah sering mengalami, betapa enaknya berbicara dengan orang yang mempunyai sikap terbuka. Terbuka untuk menyatakan dan terbuka untuk mendengarkan. Terbuka untuk menyatakan diri dengan jujur, terbuka pula untuk menerima orang lain sebagaimana adanya. Keterbukaan tidak hanya menyangkut keyakinan dan pendirian mengenai suatu gagasan. Keterbukaan dalam berkomunikasi untuk menuju pertumbuhan melibatkan juga perasaan, seperti: kecemasan, harapan, kebanggaan, kekecewaan. Dengan lain kata, diri kita seutuhnya. Anggota keluarga yang saling terbuka, akan membangun keluarga yang sejahtera lahir-batin.

a.           Guru memberikan kesimpulan mengenai pelajaran hari ini, yaitu :

1)           Perkawinan itu persekutuan cinta antara pria dan wanita yang secara sadar dan bebas menyerahkan diri beserta segala kemampuannya untuk selamanya.

2)           Tuhan menghendaki agar kesatuan antara suami dan istri  tidak terceraikan, karena perkawinan merupakan tanda kesetiaan Allah kepada manusia dan kesetiaan Kristus kepada Gereja-Nya.

3)           Keluarga menjadi gambaran nyata sebuah Gereja, sehingga tepatlah jika keluarga itu disebut sebagai Gereja kecil atau ecclesia domestica. Sebab dengan menerapkan kasih seperti teladan Kristus, keluarga turut mengambil bagian di dalam hidup dan misi Gereja dalam membangun Kerajaan Allah.

4)           Arti dan Makna Keluarga Keluarga adalah Sekolah Kemanusiaan yang kaya.

5)           Tugas dan tanggung jawab seorang suami/bapak

a)           Suami Sebagai Kepala Keluarga

b)          Suami Sebagai Partner Istri

c)           Suami Sebagai Pendidik

6)           Tugas dan tanggung jawab seorang istri/ibu

a)           Istri sebagai hati dalam keluarga

b)          Istri sebagai mitra dari suami

c)           Istri sebagai pendidik

7)           Kewajiban Anak-anak Terhadap Orang Tua

Beberapa hal dasar yang  menjadi kewajiban anak terhadap orangtua adalah: mengasihi orangtua, bersikap dan berperilaku penuh syukur, serta bersikap dan berperilaku hormat kepada orangtua.

8)           Membina hubungan kakak-adik

Hal-hal yang perlu dikembangkan dalam hubungan kakak-adik adalah: kasih persaudaraan, saling membantu dan saling menghargai. (bdk. Katekismus Gereja Katolik no. 2219). Kakak-adik tak hanya dididik oleh orang tua, melainkan juga secara tidak langsung saling mendidik (bdk. Katekismus Gereja Katolik no. 2219).

9)           Cinta Kasih dan Komunikasi dalam Keluarga

            Cinta membahagiakan orang dan memungkinkan manusia berkembang secara sehat dan seimbang.

            Cinta adalah kekuatan aktif dalam diri manusia, kekuatan yang mempersatukan manusia dengan sesamanya.

            Tujuan perkawinan pertama-tama ialah membina cinta kasih antara suami-isteri, menjalin hubungan perasaan yang mesra antara kedua partner yang ingin hidup bersama untuk selama-lamanya.

            Cinta dalam hidup berkeluarga perlu dibangun agar bertumbuh dan berkembang, perlu suasana “partnership” antara suami-isteri.

            Cinta kasih dalam hidup perkawinan sangat menuntut suatu sikap penyerahan diri yang total.

            Maka dalam berkomunikasi ada banyak hal yang harus diperhatikan, antara lain saling mendengarkan dan saling terbuka.

b.           Guru  mengajak  para  peserta  didik    untuk  mengakhiri    pelajaran  dengan  berdoa:

Ya Allah, Bapa sekalian insan, Engkau menciptakan manusia dan menghimpun mereka menjadi satu keluarga, yakni keluarga-Mu sendiri. Engkau pun telah memberi kami keluarga teladan, yakni keluarga kudus Nazaret, yang anggota-anggotanya sangat takwa kepada-Mu dan penuh kasih satu sama lain. Terima kasih, Bapa, atas teladan yang indah ini. Semoga keluarga kami selalu Kau dorong untuk meneladani keluarga kudus Nazaret. Semoga keluarga kami tumbuh menjadi keluarga Kristen yang sejati yang dibangun atas dasar iman dan kasih: kasih akan Dikau dan kasih antarsemua anggota keluarga.Ajarlah kami hidup menurut Injil, yaitu rukun, ramah, bijaksana, sederhana, saling menyayangi, saling menghormati, dan saling membantu dengan ikhlas. Hindarkanlah keluarga kami dari marabahaya dan malapetaka; sertailah kami dalam suka dan duka; tabahkanlah kami bila kami sekeluarga menghadapi masalah-masalah. Bantulah kami agar tetap bersatu padu dan sehati sejiwa; hindarkan kami dari perpecahan dan percekcokan. Jadikanlah keluarga kami ibarat batu yang hidup untuk membangun jemaat-Mu menjadi Tubuh Kristus yang rukun dan bersatu padu. Berilah keluarga kami rezeki yang cukup. Semoga kami sekeluarga selalu berusaha hidup lebih baik di tengah-tengah jemaat dan masyarakat. Jadikanlah keluarga kami garam dan terang dalam masyarakat. Semoga keluarga kami selalu setia mengamalkan peran ini kendati harus menghadapi aneka tantangan. Ya Bapa, kami berdoa pula untuk keluarga yang sedang dilanda kesulitan. Dampingilah mereka agar jangan patah semangat. Terlebih kami sangat prihatin untuk keluarga-keluarga yang berantakan. Jangan biarkan mereka ini hancur. Sebaliknya berilah kekuatan kepada para anggotanya untuk membangun kembali keutuhan keluarga. Semua ini kami mohon kepada-Mu, Bapa keluarga umat manusia, dengan perantaraan Yesus Kristus, Tuhan kami. Amin.

(Puji Syukur 1992, No. 162)

 

Guru mengajak para peserta didik untuk memulai pelajaran dengan doa, misalnya:

Allah Bapa yang penuh kasih, Puji dan syukur kami haturkan kehadirat-Mu atas anugerah kehidupan yang Engkau berikan kepada kami. Bimbinglah kami ya Bapa dalam kegiatan pembelajaran tentang perkawinan dalam tradisi Katolik, sehingga kami sungguh memahami  dan menghayatinya kelak. Doa ini kami sempurnakan dengan doa yang diajarkan Yesus Putra-Mu... Bapa Kami...

Guru membangun motivasi peserta didik untuk belajar dengan mengungkapkan pemikiran dasar, yaitu:

Perkawinan antara seorang pria dan wanita dalam agama apapun merupakan suatu peristiwa kehidupan manusia yang sangat sakral. Karena itu tidak boleh dinodai atau dikhianati oleh siapapun dengan motif apapun. Sayang sekali bahwa dalam masyarakat, kita sering mendengar atau menyaksikan pertikaian antara pasangan suami-istri yang menimbulkan keretakan hubungan antara mereka. Tak jarang relasi suami-istri yang sangat bersifat pribadi itu di bawa ke ranah publik, terutama para pesohor; entah artis, politisi, dan tokoh masyarakat dijadikan konsumsi masyarakat umum melalui infotainment di televisi atau sarana sosial media digital yang kini berkembang pesat. Pemberitaan media massa tentang kasus perkawinan dengan berbagai latarbelakangnya itu, dapat menciptakan suatu pandangan masif dalam masyarakat bahwa perceraian suami-istri merupakan hal yang biasa-biasa saja, bahkan dianggap sebagai suatu budaya dalam kehidupan modern. Bertitik-tolak pada kasus-kasus perkawinan yang terjadi itu, kita perlu memahami hakikat perkawinan itu sendiri. Perkawinan pada dasarnya merupakan suatu karier. Bahkan karier pokok. Oleh sebab itu perlu dipersiapkan dengan penuh kesungguhan. Tragedi zaman kita ialah kita kurang sadar bahwa perkawinan merupakan persekutuan pria-wanita atas dasar cinta. Perkawinan harus dilihat pula sebagai suatu panggilan, suatu tanda dari cinta Allah kepada manusia dan cinta Kristus kepada Gereja-Nya. Tak dapat disangkal bahwa banyak perkawinan telah kandas karena orang tidak pernah menganggapnya sebagai suatu panggilan sehingga mereka tidak pernah mempersiapkannya secara sungguh-sungguh. Salah satu persiapan ialah usaha untuk lebih mengenal dan memahami arti dan makna perkawinan, tujuan serta sifat-sifat perkawinan, sehingga seseorang dapat menjalankan karier top dan panggilan ini dengan sadar dan tepat. Dari segi moral kristiani, perkawinan merupakan sakramen yang mempunyai satu sifat dasar yang tak dapat diganggu gugat, yaitu setia. Kesetiaan merupakan sikap dasar yang harus dihayati oleh pasangan yang telah menerima sakramen perkawinan itu. Kesetiaan itu mewujudkan dirinya dalam dua sifat perkawinan yang lainnya, yaitu: monogami dan tak dapat diceraikan. Kesetiaan berarti bahwa suami-istri hidup bagi partnernya, menyerahkan diri secara total hanya kepada partnernya, selalu dan dalam segala situasi. Kesetiaan adalah hal yang sangat utama dalam kehidupan perkawinan kristiani. Ketidaksetiaan sejak awal digolongkan oleh Gereja di antara dosa-dosa yang paling berat, sama seperti pembunuhan dan penyembahan berhala. Sebab, ketidaksetiaan bukan hanya dosa besar terhadap teman hidup, tetapi dosa besar terhadap panggilan luhur menjadi sakramen kepada teman hidup, dan bersamasama kepada seluruh umat. Panggilan untuk memberi kesaksian tentang kesetiaan Kristus dan Gereja itu tidak boleh mereka putarbalikkan. Mereka harus saling setia lahir-batin. Pada kegiatan pembelajaran ini, para peserta didik dibimbing untuk memahami bahwa perkawinan sebagai suatuperjanjian dan kebersamaan seluruh hidup dari pria dan wanita. Tujuan dari perkawinan adalah kesejahteraan suami istri dan anak-anak.

Perkawinan dapat dilihat pula sebagai sakramen, yaitu tanda dari cinta Allah kepada umat-Nya dan cinta Kristus kepada Gereja-Nya. Karena perkawinan itu merupakan tanda (sakramen) dari cinta Allah dan cinta Kristus, maka ia bersifat; tetap, tak dapat diceraikan, utuh, personal, monogam.

Guru memberikan apersepsi dengan menelusuri pengertian “perkawinan” secara umum.

Guru menyampaikan indikator yang harus dicapai peserta didik yaitu :

Menjelaskan makna perkawinan menurut peraturan Undang-Undang No. 1 tahun 1974

Menjelaskan makna perkawinan menurut Kitab Suci (Kej 2:18 – 25; Mark 10:2-12)

Menjelaskan makna dan sifat perkawinan menurut ajaran Gereja (Hukum Kanonik 1055 dan Gaudium et Spes art. 3a, 48, 52a)

Menjelaskan makna keluarga sebagai panggilan (Gaudium et spes art.52)

Guru meyampaikan langkah-langkah kegiatan pembelajaran dan kompetensi yang akan dinilai :

Menggali pemahaman tentang makna perkawinan

Menggali Makna Perkawinan menurut Ajaran Kitab Suci dan Ajaran Gereja.

Menghayati Perkawinan sebagai Panggilan Hidup

Guru terlebih dahulu menjelaskan tentang tema pembelajaran yang akan dipelajari peserta didik yaitu tentang perkawinan. Misalnya, salah satu hal pokok dalam perkawinan adalah perlunya calon suami-istri melakukan persiapan perkawinan dengan sebaik-baiknya. Karena itu sebaiknya pasangan calon suami-istri memahami dengan baik dan benar tentang arti dan makna perkawinan itu. Hal ini sebagai  persiapan jauh sebelumnya,  jika kelak mereka memasuki kehidupan perkawinan, mereka  sungguh-sungguh mengerti arti perkawinan itu sendiri.

Guru mengajak peserta didik untuk mengamati beberapa gambar yang ada pada buku siswa, halaman 14-15.

Description: Description: Description: Description: 1D.jpg

 

Guru meminta peserta didik untuk merumuskan beberapa pertanyaan berdasarkan pengamatannya terhadap gambar-gambar tersebut dalam konteks pemahamannya tentang makna perkawinan.

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul, misalnya: 1) Apa makna gambar bahtera/kapal berkaitan dengan perkawinan? 2) Apa makna gambar cincin berkait dengan perkawinan? 3) Apa makna gambar peraduan burung dengan perkawinan? 4) Apa makna perkawinan menurut negara atau peraturan perundangundangan?

Guru menguatkan pemahaman peserta didik setelah menggali pemahaman mereka tentang makna perkawinan  sebagaimana yang digambarkan dalam simbol-simbol perkawinan.

Guru mengajak peserta didik untuk menyimak arti dan makna perkawinan menurut beberapa pandangan.

Menurut Peraturan perundang-undangan

Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur batin/rohani.

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 1 UU berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir-batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungan dengan keturunan, yang merupakan tujuan perkawinan. Pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.

Pandangan tradisional

Dalam masyarakat tradisional perkawinan pada umumnya masih merupakan suatu ”ikatan”, yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga mengikat kaum kerabat si laki-laki dengan kaum kerabat si wanita dalam suatu hubungan tertentu. Perkawinan tradisional ini umumnya merupakan suatu proses, mulai dari saat lamaran, lalu memberi mas kawin (belis), kemudian peneguhan, dan seterusnya.

Pandangan hukum (yuridis)

Dari segi hukum perkawinan sering dipandang sebagai suatu ”perjanjian”. Dengan perkawinan, seorang pria dan seorang wanita saling berjanji untuk hidup bersama, di depan masyarakat agama atau masyarakat negara, yang menerima dan mengakui perkawinan itu sebagai sah.

Pandangan sosiologi

Secara sosiologi, perkawinan merupakan suatu ”persekutuan hidup” yang mempunyai bentuk, tujuan, dan hubungan yang khusus antaranggota. Ia merupakan suatu lingkungan hidup yang khas. Dalam lingkungan hidup ini, suami dan istri dapat mencapai kesempurnaan atau kepenuhannya sebagai manusia, sebagai bapak dan sebagai ibu. 5) Pandangan antropologis Perkawinan dapat pula dilihat sebagai suatu ”persekutuan cinta”. Pada umumnya, hidup perkawinan dimulai dengan cinta. Ia ada dan akan berkembang atas dasar cinta. Seluruh kehidupan bersama sebagai suami-istri didasarkan dan diresapi seluruhnya oleh cinta.

Guru mengajak peserta didik untuk menemukan teks-teks Kitab Suci yang mengajarkan tentang makna dan hakikat perkawinan Katolik.

Guru mengajak peserta didik untuk menyimak teks-teks  Kitab Suci berikut ini.

Kejadian 2:18 – 25

18 TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” 19 Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara. Dibawa-Nyalah semuanya kepada manusia itu untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk yang hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu. 20 Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia. 21 Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. 22 Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. 23 Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari lakilaki.” 24 Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. 25 Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.

Markus 10:2-12; (bdk Luk 16:18)

2 “Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?”: 3 Tetapi jawab-Nya kepada mereka: “Apa perintah Musa kepada kamu?” 4 Jawab mereka: “Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” 5 Lalu kata Yesus kepada mereka: “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. 6 Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, 7 sebab itu lakilaki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, 8 sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. 9 Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” 10 Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. 11 Lalu kata-Nya kepada mereka: “Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. 12 Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.”

Guru mengajak peserta didik  mengajukan pertanyaan-pertanyaan, setelah mereka menyimak teks-teks Kitab Suci.

Misalnya:

Apa maksud teks Kejadian 2:18 – 25 berkaitan dengan perkawinan?

Apa maksud teks Mrk 10:2-12, berkaitan dengan perkawinan?

Guru mengajak peserta didik untuk menemukan ajaran-ajaran Gereja Katolik yang mengajarkan tentang makna dan hakikat perkawinan Katolik.

Guru mengajak peserta didik untuk mendiskusikan Ajaran Gereja tentang perkawinan.

Misalnya dalam:

Kitab Hukum Kanonik; 1055

Gaudium et Spess art. 48

Gaudium et Spess art. 3a

Gaudium et Spess art. 52a

Guru mengajak peserta didik mengajukan pertanyaan-pertanyaan, setelah mereka menyimak ajaran Gereja.

Misalnya:

Apa makna ajaran Gereja tentang perkawinan dalam Kitab Hukum Kanonik; 1055?

Apa makna ajaran Gereja tentang perkawinan menurut Gaudium et Spess art. 48?

Apa makna ajaran Gereja tentang perkawinan menurut Gaudium et Spess art. 3a?

Apa makna ajaran Gereja tentang perkawinan menurut Gaudium et Spess art. 52a?

Setelah menyimak dan mendiskusikan ajaran Kitab Suci dan ajaran Gereja, guru memberikan penjelasan sebagai berikut:

Makna Perkawinan

Perkawinan menurut Kitab Hukum Kanonik Dalam Kan 1055 diungkapkan paham dasar tentang perkawinan gerejawi. Di sini dikatakan antara lain tentang:

Perkawinan sebagai perjanjian; Gagasan perkawinan sebagai perjanjian ini bersumber pada Konsili Vatikan II (GS 48), yang pada gilirannya menimba aspirasi dari Kitab Suci.

Perkawinan sebagai perjanjian menunjuk segi-segi simbolik dari hubungan antara Tuhan dan umatnya dalam Perjanjian Lama (Yahwe dan Israel) dan Perjanjian Baru (Kristus dengan GerejaNya). Tetapi dengan perjanjian ingin diungkapkan pula dimensi personal dari hubungan suami-istri, yang mulai sangat ditekankan pada abad modern ini.

Perkawinan sebagai kebersamaan seluruh hidup dari pria dan wanita; Kebersamaan seluruh hidup tidak hanya dilihat secara kuantitatif (lamanya waktu) tetapi juga kualitatif (intensitasnya). Kebersamaan seluruh hidup harus muncul utuh dalam segala aspeknya, apalagi kalau dikaitkan dengan cinta kasih.

Perkawinan sebagai sakramen;  Hal ini merupakan unsur hakiki perkawinan antara dua orang yang dibaptis. Perkawinan pria dan wanita menjadi tanda cinta Allah kepada ciptaan-Nya dan cinta Kristus kepada Gereja-Nya.

Perkawinan Menurut Ajaran Konsili Vatikan II Dalam Gaudium et Spes, no.48 dijelaskan bahwa “perkawinan merupakan kesatuan mesra dalam hidup dan kasih antara pria dan wanita, yang merupakan lembaga tetap yang berhadapan dengan masyarakat”. Karena itu, perkawinan bagi Gereja Katolik tidak sekedar ikatan cinta mesra dan hidup bersama yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dilindungi hukum-hukum-Nya. Perlu pula dilihat bahwa perkawinan menurut bentuknya merupakan suatu lembaga dalam hidup kemasyarakatan. Tanpa pengakuan sebagai lembaga, perkawinan semacam “hidup bersama” yang dipandang oleh masyarakat sebagai liar (kumpul kebo). Perlu dilihat pula bahwa perkawinan menurut maksud dan intinya merupakan kesatuan hidup dari dua pribadi. Tidak ada perkawinan tanpa kebebasan yang ingin membangun kesatuan hidup itu. Perkawinan terwujud dengan persetujuan antara seorang pria dan wanita yang diungkap secara bebas, untuk membagi hidup satu sama lain. Persetujuan itu mesti dinyatakan secara publik, artinya di hadapan saksi-saksi yang resmi diakui dan menurut aturan yang berlaku dalam lingkungan masyarakat.

Tujuan Perkawinan

Kesejahteraan lahir-batin suami-istri

Tujuan perkawinan ialah untuk saling mensejahterakan suami dan istri secara bersama-sama (hakikat sosial perkawinan)  dan  bukan kesejahteraan pribadi salah satu pasangan. Karena ada bahaya bahwa ada pasangan yang diperalat untuk memperoleh kesejahteraan materil. Kitab Suci berkata: “Tidaklah baik, bahwa manusia sendiri saja. Kami hendak mengadakan seorang pendamping untuk menjadi teman hidupnya... Lalu Allah mengambil sebuah tulang rusuk Adam dan membentuknya menjadi seorang wanita.Maka pria akan meninggalkan ibu-bapaknya untuk mengikat diri pada istrinya dan mereka akan menjadi satu jiwa-raganya” (Kej 2:1825).

Kitab Suci mengajarkan bahwa tujuan perkawinan ialah saling menjadikan baik dan sempurna, saling mensejahterakan, yaitu dengan mengamalkan cinta seluruh jiwa raga. Perkawinan adalah panggilan hidup bagi sebagian besar umat manusia untuk mengatasi batas-batas egoisme; untuk mengalihkan perhatian dari diri sendiri kepada sesama; dan untuk menerima tanggungjawab sosial; serta menomorduakan kepentingan sendiri demi kepentingan kekasih dan anak-anak mereka bersama. Seorang yang sungguh egois sebenarnya tidak sanggup menikah, karena hakikat perkawinan adalah panggilan untuk hidup bersama.

Kesejahteraan lahir batin anak-anak

Gereja selama berabad-abad mengajar, bahwa tujuan pokok perkawinan adalah melahirkan anak. Baru pada abad kita ini, menjelang Konsili Vatikan II, orang mulai bertanya-tanya lagi mengenai hakikat perkawinan.

Apabila tujuan utama perkawinan adalah anak, apakah ayah ibu hidup semata-mata untuk anak? Bagaimana kalau tujuan perkawinan itu untuk mendapatkan keturunan tak dapat dipenuhi, misalnya karena pasangan itu mandul? Kita tahu bahwa Gereja Katolik berpandangan walaupun pasangan itu tidak subur, namun mereka tetaplah suami-istri yang sah, dan perkawinan mereka lengkap, penuh arti dan diberkahi Tuhan! Dalam dokumendokumen sesudah Konsili Vatikan II Gereja tidak lagi terlalu mutlak mengatakan bahwa keturunan sebagai tujuan paling pokok dan utama.

Anak-anak, menurut pandangan Gereja, adalah “anugerah  perkawinan yang paling utama dan sangat membantu kebahagiaan orangtua. Dalam tanggungjawab menyejahterakan anak terkandung pula kewajiban untuk mendidik anak-anak. “Karena telah memberikan kehidupan kepada anak-anak mereka, orangtua terikat kewajiban yang sangat berat untuk mendidik anak-anak mereka dan karena itu mereka harus diakui sebagai pendidik pertama dan utama anak-anak mereka (GE.3a). Pendidikan anak, menurut pendapat Gereja, harus mengarah pada pendidikan demi masa depan anak-anak. “Anak-anak harus dididik sedemikian rupa sehingga setelah mereka dewasa, dapat mengikuti dengan penuh rasa tanggungjawab panggilan mereka termasuk juga panggilan khusus, dan memilih status hidup; apabila mereka memilih status pernikahan, semoga mereka dapat membangun keluarganya sendiri dalam situasi moral, sosial dan ekonomi yang menguntungkan mereka” (GS. 52a).

Pemenuhan tujuan pernikahan tidak berhenti pada lahirnya anak, melainkan anak harus dilahirkan kembali dalam permandian dan pendidikan kristiani, entah itu intelektual, moral, keagamaan, hidup sakramental, dan lain-lain.

Sifat Perkawinan

Monogam

Salah satu perwujudan dan kesetiaan Kristen dalam perkawinan ialah bahwa perkawinan yang bersifat monogam. Dalam perkawinan Kristen ditolak poligami dan poliandri. Dalam perkawinan Kristen suami mesti menyerahkan diri seutuh-utuhnya kepada istrinya; dan sebaliknya istri pun harus menyerahkan dirinya secara utuh kepada suaminya. Tidak boleh terbagi kepada pribadi-pribadi lain lagi. Hanya satu untuk satu sampai kematian memisahkan mereka. Yesus tegaskan “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan dua lagi, melainkan satu” (Mat19:15). Inilah persatuan dan cinta yag sungguh menyeluruh, tak terbagi dan total sifatnya.

Dalam perkawinan Kristen yang diserahkan bukan suatu hak, bukan pula badan saja, juga bukan hanya tenaga dan waktu, melainkan seluruh pribadi demi menata masa depannya.

Tak Terceraikan

Perkawinan Kristen bukan saja monogam, tetapi juga tak dapat diceraikan. Perkawinan Kristen bersifat tetap, hanya maut yang dapat memisahkan keduanya. Kita tidak dapat menikahi seseorang untuk jangka waktu tertentu, kemudian bercerai untuk menikah lagi dengan orang lain. Perkawinan Kristen menuntut cinta yang personil, total, dan permanen. Suatu cinta tanpa syarat. Suatu pernikahan dengan jangka waktu dan syarat-syarat terbatas tidak mencerminkan cinta yang personil, total dan permanen itu. (Baca: Mrk 10:2-12; Lk 16:18).

Dapatkah kita saling menyerahkan diri dengan syarat, dengan perasaan cemas kalau-kalau batas waktunya sudah dekat? Untuk memberikan landasan yang kuat, dalam janji pernikahan setiap calon mempelai dihadapan Tuhan mengikrarkan kesetiaan mereka kepada satu sama lain sampai maut memisahkan mereka. Suami dan istri dipilih Tuhan untuk menjadi suatu sakramen satu bagi yang lain. Jadi, mereka diangkat menjadi tanda kehadiran Kristus yang selalu menguduskan, menguatkan dan menghibur tanpa memasang syarat apapun. Kristus sendiri dengan setia menyertai dan menolong suami dan istri, maka pasangan sanggup untuk setia satu terhadap yang lain. Sifat sakramentil perkawinan Kristen itulah yang membuat perkawinan kokoh dan tak terceraikan.

Guru mengajak peserta didik untuk menyimak sebuah kesaksian berikut ini.

Sepasang suami-istri merayakan pesta emas atau peringatan 50 tahun perkawinannya. Dalam misa syukur itu, pasangan yang berbahagia ini diminta oleh imam untuk bersaksi  tentang perjalanan hidup perkawinan mereka. Sang Suami mewakili istri tercintanya memberikan kesakisan itu kepada imam dan seluruh umat yang hadir. Berikut kesaksiannya: “Kami merayakan hari ulang tahun pernikahan hari ini dengan meriah persis seperti yang terjadi 51 tahun yang lalu. Pengalaman yang sangat mengesankan saya adalah pada lima tahun pertama pernikahan kami. Istri saya waktu itu sakit-sakitan, kadang tidak bisa bangun. Kami hanya berdua dan jauh dari keluarga maka saya sendiri bertugas sebagai pelayan setianya. Saya bangun pagi menyiapkan sarapan, membereskan rumah, sering kali menyuapnya lalu pergi ke kantor. Kembali dari kantor saya berlaku lagi sebagai pembantu bagi nyonya. Kalau melihat status, saya bukan hanya suami tetapi di kantor saya adalah kepala bagi yang lain. Namun semakin lama saya melayaninya, saya merasa bahwa ini adalah cinta yang murni, sebuah cinta kasih rohani, sebuah agape. Saya berdoa meminta dua hal setiap malam setelah melayani dan melihatnya tidur yakni semoga istri saya cepat sembuh dan dikarunia anak. Tuhan mengabulkannya, istri saya sembuh. Dia melahirkan dua anak kami, sehat dan baik hingga saat ini”. (P.JSDB)

Setelah menyimak kisah tersebut, Guru mengajak peserta didik untuk menuliskan sebuah refleksi pribadi bertemakan perkawinan sebagai panggilan hidup.

Aksi Guru mengajak para peserta didik untuk bersikap hormat pada orangtua serta semua orang yang telah berkeluarga.

Guru memberikan kesimpulan mengenai pelajaran hari ini, yaitu :

Makna Perkawinan

Perkawinan menurut Kitab Hukum Kanonik Dalam Kan 1055 diungkapkan paham dasar tentang perkawinan gerejawi. Di sini dikatakan antara lain tentang:

Perkawinan sebagai perjanjian.

Perkawinan sebagai perjanjian menunjuk segi-segi simbolik dari hubungan antara Tuhan dan umatnya dalam Perjanjian Lama (Yahwe dan Israel) dan Perjanjian Baru (Kristus dengan GerejaNya).

Perkawinan sebagai kebersamaan seluruh hidup dari pria dan wanita

Perkawinan sebagai sakramen;  Hal ini merupakan unsur hakiki perkawinan antara dua orang yang dibaptis.

Perkawinan Menurut Ajaran Konsili Vatikan II Dalam Gaudium et Spes, no.48 dijelaskan bahwa “perkawinan merupakan kesatuan mesra dalam hidup dan kasih antara pria dan wanita, yang merupakan lembaga tetap yang berhadapan dengan masyarakat”.

Tujuan Perkawinan

Kesejahteraan lahir-batin suami-istri

Kesejahteraan lahir batin anak-anak

Sifat Perkawinan

Monogam

Tak Terceraikan

Guru  mengajak  para  peserta  didik    untuk  mengakhiri    pelajaran  dengan  berdoa:

Ya Allah yang mahasetia, Engkau telah menguduskan cintakasih suami isteri, dan mengangkat perkawinan, menjadi lambang persatuan Kristus dengan Gereja. Semoga kedua suami-istri Katolik, semakin menyadari kesucian hidup berkeluarga, dan berusaha menghayatinya dalam suka dan duka. Demi Yesus Kristus, PuteraMu dan Pengantara kami, yang bersama Dikau dalam persekutuan dengan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, kini dan sepanjang segala masa. Amin.

 

1.      Guru mengajak para peserta didik untuk memulai pelajaran dengan doa, misalnya:

Tuhan Yesus, Engkau menguduskan hidup berkeluarga dengan hidup sendiri dalam keluarga Santo Yusuf di Nazaret. Berkatilah kami pada kegiatan pembelajaran ini agar dapat memahami makna keluarga sejati sebagaimana yang Engkau  kehendaki. Semoga kami hidup menurut pedoman injilMu, rukun, bijaksana, sederhana, saling menyayangi, saling menghormati, saling menolong dengan senang hati. Berilah supaya keramahan dan cinta kasih, semangat pengorbanan, kerajinan, dan penghasilan yang cukup selalu berada dalam keluarga kami masingmasing. Semoga keluarga kami menjadi garam serta terang bagi keluargakeluarga di sekitar kami. Berkatilah kami agar janganlah seorang diantara keluarga kami menjauh dari padaMu, satu-satunya sumber kebahagiaan kami. Dikau kami puji bersama Bapa dan Roh Kudus, sekarang dan selama-lamanya. Amin

2.      Guru membangun motivasi peserta didik untuk belajar dengan mengungkapkan pemikiran dasar, yaitu:

Ada pelbagai tantangan yang dihadapi keluarga-keluarga pada zaman ini. Tantangan tersebut datang baik dari dalam keluarga itu sendiri maupun dari luar lingkungan keluarga. Tantangan paling dirasakan dalam keluarga-keluarga saat ini adalah komunikasi. Menurut para pemerhati keluarga, tampaknya kini makin berkurangnya komunikasi antaranggota keluarga; antara suami–isteri dan anak-anak yang karena kesibukan kerja atau karena terpisah oleh tem pat yang jauh telah melebarkan kelangkaan kesempatan bertemu antarang gota keluarga. Di samping kebutuhan eko nomi yang menghimpit, kurangnya kesediaan berkorban, mudahnya muncul perasaan cemburu sebagai akibat dari kurangnya penghayatan akan sakramen perkawinan dan minimnya kemampuan orangtua dalam mengembangkan iman anak telah menyeret keluarga keluar dari misi utamanya yaitu semakin menghayati kasih Tuhan dan mengembangkannya. Selain masalah komunikasi dan ekonomi dalam keluarga, persoalan kawin campur yang kini menjadi suatu fenomena masyarakat karena kita hidup di tengah masyarakat yang pluralistik, juga persoalan keluarga berencana dengan menggunakan alat kontrasepsi yang tidak dikehendaki Gereja, dapat memperparah kondisi ini.  Gereja Katolik memberikan perhatian yang sangat serius pada kehidupan keluarga, karena keluarga adalah sel dari Gereja dan masyarakat. Maka keluarga yang sejahtera adalah harapan sekaligus perjuangan Gereja. Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Apostoliknya “Familiaris Consortio” melihat keluarga sejahtera dalam kesetiaan pada rencana Allah sebagai sebuah perkawinan. Ditegaskan pula bahwa pribadi manusia sebagai citra Allah diciptakan untuk mencintai. Keluarga, menurut Paus, adalah suatu komunitas pribadi-pribadi yang membentuk masyarakat dan Gereja. Pada kegiatan pembelajaran ini, peserta didik dibimbing untuk memahami berbagai tantangan dalam hidup berkeluarga pada jaman ini dan bagaimana berupaya secara terpadu dan berkesi nam bungan untuk mengatasi dan mengangkat keluarga pada posisi ideal atau keluarga yang dicita-citakan.

3.      Guru memberikan apersepsi dengan menelusuri pengertian “tantangan hidup berkeluarga” secara umum.

4.      Guru menyampaikan indikator yang harus dicapai peserta didik yaitu :

·       Menganalisis tantangan-tantangan untuk membangun keluarga yang dicita-citakan (berdasarkan artikel  tentang konferensi tentang keluarga di Manila)

·       Menganalisis  peluang-peluang untuk membangun keluarga yang dicita-citakan (berdasarkan artikel tentang keluarga katolik)

·       Menjelaskan ajaran-ajaran Gereja tentang membangun keluarga yang dicitacitakan (Pastoral Keluarga, KWI, 1976 No. 22–23).

·       Menjelaskan refleksi pribadi tentang membangun keluarga Katolik yang dicita-citakan.

5.      Guru meyampaikan langkah-langkah kegiatan pembelajaran dan kompetensi yang akan dinilai :

·       Menggali pemahaman tentang makna keluarga

·       Menggali Ajaran Kitab Suci  dan Ajaran Gereja tentang Keluarga.

·       Menghayati hidup keluarga yang dicita-citakan

a.    Guru mengajak peserta didik untuk menyimak berita  berikut ini.

“Sebuah konferensi tentang keluarga yang disponsori oleh Vatikan berakhir pada Jumat di Manila dengan seruan bagi umat Katolik Asia untuk melawan aborsi, kontrasepsi dan pernikahan sesama jenis sebagai “ancaman terhadap eksistensi keluarga”. Dokumen empat halaman itu, yang dikeluarkan oleh 551 peserta dari 14 negara Asia, termasuk 28 uskup, mengklaim bahwa advokasi untuk pernikahan sesama jenis “mencoba untuk mengurangi pernikahan antara orang-orang sesama jenis”. “Aborsi membunuh kehidupan yang akan mengancam eksistensi keluarga,” tulis dokumen itu, seraya menambahkan bahwa kontrasepsi dan sterilisasi mengancam “tujuan prokreasi perkawinan dan keluarga”.

Dokumen ini dirilis pada akhir pertemuan empat hari, yang diselenggarakan oleh Dewan Kepausan untuk Keluarga dan Konferensi Waligereja Filipina, untuk membahas “Piagam Hak-hak Keluarga yang dikeluarkan Vatikan 30 tahun lalu.” Konferensi ini diadakan di Filipina setelah pertempuran panjang antara Gereja dan pemerintah terkait Undang-Undang Kesehatan Reproduksi yang membuka jalan bagi pendanaan kontrasepsi dan pendidikan seks di negara ini. Dokumen konferensi itu mengecam pemerintah dan lembaga sosial lainnya yang membuat kebijakan “yang bertentangan dengan kehidupan dan keluarga melalui langkah-langkah koersif yang bertentangan dengan hak-hak individu, pasangan dan keluarga untuk berkembang sesuai dengan hukum alam dan hukum Gereja.” “Pemerintah yang mempromosikan kontrasepsi, aborsi, sterilisasi, keluarga berencana buatan, perceraian, pernikahan sesama jenis dan euthanasia, menghancurkan keluarga bahwa mereka berkewajiban untuk melindungi dan mendorong,” kata dokumen tersebut. Dokumen tersebut menegaskan bahwa keluarga “didasarkan pada pernikahan … di antara seorang pria dan seorang wanita” dan merupakan “lembaga alami yang misinya meneruskan kehidupan. “Kami mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan serius ‘Piagam Hak-hak Keluarga’ ini dalam perumusan kebijakan yang mempengaruhi keluarga,” tulis dokumen itu. Uskup Jean Laffitte, sekretaris Dewan Kepausan untuk Keluarga Vatikan, mengatakan meskipun berbagai upaya dilakukan oleh pemimpin Gereja, namun ”hak untuk meneruskan kehidupan tidak selalu dihormati” di sejumlah negara Asia. Sumber: UCA News http://indonesia.ucanews.com/2014/05/19/umat-katolik-asia-didesak-melawan-ancaman-terhadapeksistensi-keluarga/

b.    Guru mengajak peserta didik untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan berita yang telah dibaca atau didengarnya.

Pertanyaan yang muncul, misalnya

1.  Tantangan apa saja dalam kehidupan keluarga saat ini?

2.  Bagaimana upaya menghadapi tantangan kehidupan keluarga?

 

c.     Guru memberikan penjelasan atau kesimpulan  setelah mendapat jawaban peserta didik.

Kesimpulan misalnya:

Persoalan-persoalan yang dihadapi keluarga-keluarga saat ini menurut artikel tadi adalah; Kontrasepsi, aborsi, sterilisasi, keluarga berencana buatan, perceraian, pernikahan sesama jenis dan euthanasia.

d.    Guru memberikan penekanan bahwa dengan melihat persoalan-persoalan seperti yang ditemukan dalam cerita tersebut, maka sebagai orang Katolik kita harus sungguh memahami makna keluarga yang sesungguhnya menurut ajaran Gereja Katolik sehingga mampu membangun keluarga sesuai cita-cita harapan Gereja itu sendiri.

a.    Guru mengajak peserta didik untuk menyimak artikel  berikut ini.

Gereja menganjurkan pengaturan kelahiran yang alamiah, jika pasangan suami istri memiliki alasan yang kuat untuk membatasi kelahiran anak. Pengaturan keluarga berencana (KB) secara alamiah ini dilakukan antara lain dengan cara pantang berkala, yaitu tidak melakukan hubungan suami istri pada masa subur istri. Hal ini sesuai dengan pengajaran Alkitab, yaitu “Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa” (1Kor 7:5). Dengan demikian suami istri dapat hidup didalam kekudusan dan menjaga kehormatan perkawinan dan tidak mencemarkan tempat tidur (lih. Ibr 13:4). Dengan menerapkan KB Alamiah, pasangan diharapkan untuk dapat lebih saling mengasihi dan memperhatikan. Pantang berkala pada masa subur istri dapat diisi dengan mewujudkan kasih dengan cara yang lebih sederhana dan bervariasi. Suami menjadi lebih mengenal istri dan peduli akan kesehatan istri. Latihan penguasaan diri ini dapat pula menghasilkan kebajikan lain seperti kesabaran, kesederhanaan, kelemah-lembutan, kebijaksanaan, dll yang semuanya baik untuk kekudusan suami istri. Istripun dapat merasa ia dikasihi dengan tulus, dan bukannya hanya dikasihi untuk maksud tertentu. Teladan kebajikan suami istri ini nantinya akan terpatri di dalam diri anak-anak, sehingga merekapun bertumbuh menjadi pribadi yang beriman dan berkembang dalam berbagai kebajikan. Perkawinan Katolik mengandung makna yang sangat indah dan dalam, karena melaluinya Tuhan mengikutsertakan manusia untuk mengalami misteri kasih-Nya dan turut mewujudkan karyaNya dalam penciptaan kehidupan baru; yaitu janin yang memiliki jiwa yang kekal. Perkawinan merupakan sakramen, karena menjadi gambaran persatuan Kristus dan Gereja-Nya. Hanya dengan menyadari kedalaman arti Perkawinan ini, yaitu untuk maksud persatuan (union) suami istri dengan pemberian diri mereka secara total, dan turut sertanya mereka dalam karya penciptaan Tuhan (pro-creation), kita lebih dapat memahami pengajaran Gereja Katolik yang menolak aborsi, kontrasepsi dan sterilisasi. Karena semua praktek tersebut merupakan pelanggaran terhadap kehendak Tuhan dan martabat manusia, baik pasangan suami istri maupun janin keturunan mereka. Aborsi dan penggunaan alat-alat kontrasepsi merendahkan nilai luhur seksualitas manusia, dengan melihat wanita dan janin sebagai hanya seolah-olah ‘tubuh’ tanpa jiwa. Penggunaaan alat kontrasepsi menghalangi union suami istri secara penuh dan peranan mereka dalam pro-creation, sehingga kesucian persatuan perkawinan menjadi taruhannya. Betapa besar perbedaan cara pandang yang seperti ini dengan rencana awal Tuhan, yang menciptakan manusia menurut gambaran-Nya: manusia pria dan wanita sebagai mahluk spiritual yang mampu memberikan diri secara total, satu dengan lainnya, yang dapat mengambil bagian dalam karya penciptaan dan pengaturan dunia. (Ingrid Listiati/  http://katolisitas.org/313/humanae-vitae-itu-benar)

b.    Guru mengajak peserta didik untuk mendalami artikel tersebut dengan memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada peserta didik untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan.

c.     Guru membentuk beberapa kelompok diskusi untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan.

Misalnya:

1.  Apa yang dimaksudkan dengan Keluarga Berencana?

2.  Apa ajaran Gereja tentang KB Alamiah?

 

d.    Guru memberikan penjelasan setelah peserta didik menyampaikan hasil diskusinya:

Untuk hidup dan bertumbuh dengan baik, suatu lembaga, apa pun namanya, membutuhkan perencanaan. Tanpa perencanaan lembaga itu akan hancur berantakan. Demikian pula dengan keluarga sebagai suatu lembaga. Maka itu, kita berbicara tentang KB. Pelaksanaan KB sungguh-sungguh suatu tuntutan moral masa kini yang sangat penting untuk diperhatikan oleh semua pihak yang bertanggung jawab, baik dalam bidang kependudukan secara luas, maupun dalam inti sel masyarakat, yaitu keluarga. Hanya dengan menjalankan KB, khususnya pengaturan kelahiran sesuai dengan aspirasi setiap manusia, akan tercipta suatu hidup yang makmur dan bahagia. Namun, KB tidak lepas dari masalah moral. Dalam melaksanakan KB kita hendaknya berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral kita, yaitu moral Katolik.

a)      Pandangan Gereja Mengenai KB

Gereja merasa mempunyai tanggung jawab untuk mendukung dan melaksanakan KB pada masa ini. Secara khusus, Gereja Indonesia melalui uskup-uskupnya menegaskan: ”Bukan hanya pemerintah yang bertugas menyelesaikan persoalan ini. Gereja merasa terlibat juga dan ikut bertanggung jawab untuk mengusahakan pemecahan .…” Pimpinan Gereja di Indonesia sepakat menyatakan perlunya pengaturan kelahiran demi kesejahteraan keluarga dan karena itu merasa penting membina sikap bertanggung jawab di bidang ini (Pastoral Keluarga, KWI, 1976 No. 22–23).

b)     Alasan-alasan mengapa KB sangat penting Alasan pertama mengapa KB harus dipromosikan ialah kesejahteraan keluarga sebagai sel yang paling kecil dari masyarakat. Dengan KB, ”mutu kehidupan” dapat ditingkatkan.

1)                        Dengan KB kesehatan ibu bisa agak dijamin. Kesehatan di sini dipahami secara fisik maupun psikis. Setiap persalinan dan kehamilan memerlukan tenaga ibu. Kehamilan dan persalinan yang terus-menerus dapat menguras daya jasmani rohani ibu, khususnya jika gizi ibu kurang diperhatikan.

2)                        Dengan KB relasi suami-istri bisa semakin kaya. Kalau kehamilan dan kelahiran terjadi secara terus-menerus, tugas utama suami-istri seolaholah hanya terpaut pada urusan pengadaan dan pendidikan anak. Waktu untuk membangun keintiman dan kasih sayang di antara keduanya menjadi sangat terbatas.

3)                        Dengan KB taraf hidup yang lebih pantas dapat dibangun. Semakin banyak anak berarti semakin banyak mulut dan kepala yang memerlukan makanan, pakaian, rekreasi, perawatan kesehatan, dan sebagainya. Pengeluaran yang begitu banyak, apalagi kalau sering terjadi secara tak terduga, tentu saja akan mempersulit pengaturan kesejahteraan keluarga.

4)                        Dengan KB pendidikan anak dapat lebih dijamin. Semua orang tua yang mencintai anak-anaknya pasti ingin memberikan pendidikan yang sesuai dengan masa modern ini supaya nasib anak-anaknya lebih baik daripada nasib mereka sendiri. Akan tetapi, seringkali untuk menyekolahkan anak-anak kita harus mempertaruhkan segala-galanya, apalagi kalau memiliki banyak anak.

5)                        Dengan KB tidak hanya menjamin kesejahteraan keluarga, tetapi juga kesejahteraan masyarakat dan umat manusia. Menurut pendapat para ahli, pelaksanaan KB merupakan salah satu sarana yang penting untuk mengantar suatu bangsa dari keterbelakangan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Kemajuan di berbagai bidang akan sia-sia kalau ledakan penduduk tidak dihambat. Ledakan penduduk membawa banyak problem: problem lapangan kerja, papan, sandang, pangan, kesehatan, dan sebagainya.

c) Tanggungjawab dalam  KB Ada beberapa kelompok orang yang dianggap sangat bertanggung jawab dalam hal KB ini.

1)                        Para Pasutri (Pasangan Suami-Istri). Yang mempunyai tanggung jawab terbesar dalam hal KB adalah pasangan suami-istri sendiri, yang memiliki potensi vital untuk mengadakan anak.

2)                        Pemerintah. Pemerintah jelas mempunyai hak dan kewajiban sekitar masalah kependudukan di negaranya, dalam batas wewenangnya.

3)                        Pimpinan agama. Pimpinan semua agama sebagai instansi yang berkepentingan menanamkan nilai-nilai luhur dan ilahi juga bertanggung jawab untuk menyuluh, membimbing, dan mendampingi para penganut agamanya, khususnya pasutri, dalam pelaksanaan KB yang wajar.

d)     Penilaian moral tentang metode pada umumnya Walaupun ajaran Gereja pada umumnya hanya mengakui metode KB alamiah, namun Gereja Indonesia melalui uskup-uskupnya mengatakan bahwa dalam keadaan terjepit para suami-istri dapat menggunakan metode lain, asalkan memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1)                        Tidak merendahkan martabat istri atau suami. Misalnya, suami-istri tidak boleh dipaksa untuk menggunakan salah satu metode.

2)                        Tidak berlawanan dengan hidup manusia. Jadi, metode-metode yang bersifat abortif jelas ditolak.

3)                        Dapat dipertanggungjawabkan secara medis, tidak membawa efek samping yang menyebabkan kesehatan atau nyawa ibu berada dalam bahaya.

e)      Penilaian moral untuk masing-masing metode

1)                        Gereja sangat menganjurkan metode KB alamiah seperti:

                           i.   metode kalender;

                         ii.   metode pengukuran suhu basal (metode temperatur);

                       iii.   metode ovulasi Billings; dan

                       iv.   metode simptotermal (gabungan).

2)                        Metode yang dilarang Gereja karena bersifat abortif, antara lain:

                           i.   abortus provocatus: pengguguran dengan sengaja;

                         ii.   spiral; dan

                       iii.   pil mini.

a.    Guru mengajak peserta didik untuk menuliskan sebuah refleksi pribadi tentang membangun keluarga Katolik yang dicita-citakan.

b.    Guru mengajak peserta didik untuk senantiasa bersikap hormat pada orngtuanya, dan berdoa bagi kedua orangtuanya setiap hari.

a.    Guru memberikan kesimpulan mengenai pelajaran hari ini, yaitu :

a)      Pandangan Gereja Mengenai KB

Gereja merasa mempunyai tanggung jawab untuk mendukung dan melaksanakan KB pada masa ini.

Alasan pertama mengapa KB harus dipromosikan ialah kesejahteraan keluarga sebagai sel yang paling kecil dari masyarakat. Dengan KB, ”mutu kehidupan” dapat ditingkatkan. Tanggungjawab dalam  KB Ada beberapa kelompok orang yang dianggap sangat bertanggung jawab dalam hal KB ini: Para Pasutri (Pasangan Suami-Istri), pemerintah, dan pimpinan agama.

b)     Penilaian moral tentang metode pada umumnya Walaupun ajaran Gereja pada umumnya hanya mengakui metode KB alamiah, namun Gereja Indonesia melalui uskup-uskupnya mengatakan bahwa dalam keadaan terjepit para suami-istri dapat menggunakan metode lain, asalkan memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1)                        Tidak merendahkan martabat istri atau suami. Misalnya, suami-istri tidak boleh dipaksa untuk menggunakan salah satu metode.

2)                        Tidak berlawanan dengan hidup manusia. Jadi, metode-metode yang bersifat abortif jelas ditolak.

3)                        Dapat dipertanggungjawabkan secara medis, tidak membawa efek samping yang menyebabkan kesehatan atau nyawa ibu berada dalam bahaya.

c) Penilaian moral untuk masing-masing metode

Gereja sangat menganjurkan metode KB alamiah seperti: metode kalender; metode pengukuran suhu basal (metode temperatur); metode ovulasi Billings; dan metode simptotermal (gabungan).

Metode yang dilarang Gereja karena bersifat abortif, antara lain: abortus provocatus: pengguguran dengan sengaja; spiral; dan pil mini.

b.    Guru  mengajak  para  peserta  didik    untuk  mengakhiri    pelajaran  dengan  berdoa:

Yesusku, Terima kasih Engkau beri aku Ayah dan Ibu yang baik. Yang dengan sabar mendidik dan membesarkan aku. Mereka sangat menyayangi aku. Aku mohon, berkatilah mereka, dalam usahanya mencukupi kebutuhan kami. Baik jasmani maupun rohani. Bimbinglah mereka dengan kekuatan Roh Kudus-Mu. Terangilah jalan hidup mereka. Sehingga mereka selalu berada di jalan-Mu. Jalan ke kehidupan kekal. Jauhkan mereka dari penyakit. Lindungi mereka dari kejahatan dan kecelakaan. Hiburlah mereka di saat susah. Kuatkan pengharapan mereka dalam penderitaan. Semoga kami sekeluarga tetap bersatu, dalam cinta kasih-mu yang abadi. Amin.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar