1. Guru mengajak para peserta didik
untuk memulai pelajaran dengan doa, misalnya:
Allah
Bapa yang penuh kasih, Puji dan syukur kami haturkan kehadirat-Mu atas anugerah
kehidupan yang Engkau berikan kepada kami. Bimbinglah kami dalam kegiatan
pembelajaran ini agar kami sungguh
memahami makna hidup kami di dunia, dan menghayati panggilan hidup berkeluarga,
serta menghargai orangtua kami yang telah membangun keluarga di mana kami
menjadi bagian dari keluarga ini. Doa ini kami sempurnakan dengan doa yang
diajarkan Yesus Putra-Mu... Bapa Kami..
2. Guru membangun motivasi peserta didik
untuk belajar dengan mengungkapkan pemikiran dasar, yaitu:
Keluarga
dibentuk oleh perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Baik lakilaki maupun
perempuan mempunyai cita-cita luhur akan membentuk keluarga yang harmonis.
Seringkali cita-cita itu tidak mudah dijalankan. Ada perbedaan pendapat,
kebencian, kemarahan, iri hati, dan sebagainya. Bagaimana keluarga dapat
menghadapi masalah-masalah seperti ini? Gereja Katolik secara tegas mengajarkan
bahwa perkawinan Katolik adalah Sakramen, sehingga setiap pasang suami istri
harus menjaga kesucian perkawinan. Karena itu, sifat perkawinan Katolik adalah
monogami dan tidak terceraikan, kecuali oleh maut; “karena apa yang
dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia” (Mat 19:6). Sakramen
Perkawinan sebagai akar pembentukan keluarga Katolik hendaknya dijaga
kesuciannya, karena keluarga merupakan Gereja kecil/mini atau Ecclesia
domestica. Artinya, antara lain bahwa keluarga-keluarga Kristiani merupakan
pusat iman yang hidup, tempat pertama iman akan Kristus diwartakan dan sekolah
pertama tentang doa, kebajikan- kebajikan dan cinta kasih Kristen (bdk. KGK
1656 & 1666). Gaudiun et Spes No.52
mengatakan: Keluarga adalah semacam Sekolah Kemanusiaan yang kaya. Akan tetapi
supaya kehidupan dan perutusan keluarga dapat mencapai kepenuhan, dituntut
komunikasi batin yang baik, yang ikhlas dalam pendidikan anak. Kehadiran ayah
yang aktif sangat menguntungkan pembinaan anak-anak, akan tetapi juga perawatan
ibu di rumah, yang dibutuhkan anak-anak dan seterusnya. Pedoman Pastoral
Keluarga (MAWI 1975) antara lain mengatakan: Kita makin menginsyafi bahwa
perkawinan itu persekutuan cinta antara pria dan wanita yang secara sadar dan
bebas menyerahkan diri beserta segala kemampuannya untuk selamanya. Dalam
penyerahan itu suami isteri berusaha makin saling menyempurnakan dan bantu
membantu. Hanya dalam suasana hormat-menghormati dan saling menerima inilah,
dalam keadaan manapun juga, persekutuan cinta itu dapat berkembang hingga
tercapai kesatuan hati yang dicita-citakan. (Lihat Pedoman Kerja Umat katolik
No. 9). Pada pelajaran ini para peserta didik dibimbing untuk memahami makna
hidup berkeluarga sebagai panggilan hidup dan dapat menghayati dalam hidup keluarga
bersama orangtua serta sanak-saudara dalam keluarganya.
3. Guru memberikan apersepsi dengan
menelusuri pengertian “keluarga” secara umum.
4. Guru menyampaikan indikator yang
harus dicapai peserta didik yaitu :
• Menjelaskan pemahaman tentang
keluarga dalam kehidupan masyarakat (melalui sebuah kisah kehidupan)
• Menjelaskan Ajaran Kitab Suci
tentang keluarga (Matius 19;1-13)
• Menjelaskan Ajaran Gereja tentang
keluarga (Gaudium et spes art.52)
• Menjelaskan makna keluarga sebagai
panggilan (Gaudium et spes art.52)
5. Guru meyampaikan langkah-langkah
kegiatan pembelajaran dan kompetensi yang akan dinilai :
• Menggali pemahaman tentang makna
keluarga
• Menggali Ajaran Kitab Suci tentang Keluarga.
• Menggali Ajaran Gereja tentang
Keluarga.
a. Guru mengajak para peserta didik
untuk menyimak sebuah cerita kesaksian
berikut ini.
Saya
Tidak Ingin Diganggu!
“Biasanya
saya mendahulukan ego saya ketika di rumah, apalagi jika sedang dikejar
deadline. Saya akan sibuk di depan komputer, penuh konsentrasi dan tidak mudah
diganggu. Ketika anak atau istri saya mengganggu, saya akan mudah emosi karena
‘tekanan deadline’ (atau kadang-kadang sebenarnya hanya
‘keasikan pribadi saya’) ditambah dengan
permintaan/tekanan anak atau istri. Nada bicara saya akan mudah meninggi.
Setelah itu istri akan marah juga. Dan pada akhirnya istri saya akan mengatakan
‘papa sekarang gampang marah’. Hal yang saya lakukan sekarang adalah memberi
perhatian akan kebutuhan anak dan istri. Jika anak saya yang masih TK minta
dibacakan sesuatu, saya bacakan sambil memberi dia kasih sayang dengan
memangkunya dan memeluknya. Jika anak saya yang besar minta dibantu belajar,
saya mencoba merelakan kepentingan saya dan memberi perhatian akan kebutuhan
anak saya. Jika istri minta tolong sesuatu, saya segera meninggalkan
konsentrasi saya, dan membantu istri terlebih dahulu. Kadang-kadang memang
terlalu sulit. Sampai-sampai pekerjaan yang sedang dikerjakan jadi
terbengkalai. Dan juga sulit untuk selalu tetap melakukan hal-hal yang baik
tersebut. Perlu kesadaran penuh (akan niat memperhatikan istri dan anak) ketika
permintaan anak dan istri itu datang. Salah satu kuncinya adalah penyerahan
kepada Tuhan. ‘Pekerjaan dengan deadlinenya’ saya serahkan pada Tuhan. Walaupun
waktu saya tidak sepenuhnya pada pekerjaan, saya yakin Tuhan akan mencukupkan
waktunya. Ketika Tuhan turun tangan, dengan waktu yang terbatas pun (karena
banyak gangguan dari anak dan istri) saya akan mampu menyelesaikannya. Ternyata
ketika saya punya masalah. Itu adalah ujian dari Tuhan juga. Apa yang saya
pentingkan di dunia ini? Mengerjakan tugas (yang kadang-kadang adalah
kepentingan pribadi) atau mengasihi keluarga? Kalau saya lengah, saya pasti
akan mementingkan tugas, dengan akibat emosi tinggi di rumah. Tetapi jika saya
sadar akan ujian ini, saya akan memilih untuk mengasihi keluarga saya. Saya
harap saya bisa tetap mempertahankan sikap ini sehingga bisa menjadi pria
sejati seperti Kristus.
Sumber:
http://priasejatikatolik.org
b. Setelah menyimak cerita kesaksian,
guru mengajak peserta didik untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk
mendalami cerita tersebut.
c. Guru mengajak peserta didik untuk
mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan itu.
Misalnya
sebagai berikut:
• Apa yang dikisahkan dalam cerita
itu?
• Apa yang menjadi sebab kemarahan si
Bapak keluarga dalam cerita itu?
• Apa yang menjadi kunci bagi Bapak
keluarga itu untuk membuka relasi, komunikasi dengan istri serta anak-anaknya?
• Bagaiaman upaya Bapak keluarga itu
untuk menjadi seorang pria sejati dalam keluarga?
• Bagaimana pengalaman relasi dengan
anggota keluargamu sendiri?
d. Setelah peserta didik mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, dilanjutkan dengan diskusi kelas atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut, guru memberikan penjelasan.
Misalnya
sebagai berikut:
• Kesaksian seorang bapak dalam kisah
tadi mengungkapkan bahwa setiap anggota keluarga hendaknya membangun
kebersamaan. Pekerjaan tidak boleh sampai menyandera hubungan relasi satu
dengan yang lain.
• Perlu disadari bahwa egoisme adalah
akar dari keretakan dalam sebuah
keluarga. Egoisme atau sifat ingat diri sendiri akan merusak hubungan
harmonis dalam keluarga; entah ayah dengan ibu, atau ayah atau ibu dengan
anak-anak.
• Seluruh anggota keluarga; ayah, ibu,
atau suami-isteri dan anak-anak, serta semua orang yang ada dalam keluarga,
hendaknya saling menghormati, saling berbagi waktu untuk kebersamaan dalam
keluarga.
• Sebagai keluarga Katolik, kita
hendaknya hidup sesuai ajaran iman Katolik yang bersumber pada Kitab Suci
(Alkitab) dan Ajaran Gereja, yang akan
dibahas berikut ini.
a. Guru mengajak peserta didik untuk
menemukan teks-teks Kitab Suci yang mengajarkan tentang keluarga.
b. Guru mengajak peserta didik untuk
menyimak teks Kitab Suci berikut ini.
Matius
19:1-6
1“Setelah
Yesus selesai dengan pengajaran-Nya itu, berangkatlah Ia dari Galilea dan tiba
di daerah Yudea yang di seberang sungai Yordan. 2 Orang banyak
berbondong-bondong mengikuti Dia dan Ia pun menyembuhkan mereka di sana. 3 Maka
datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya:
“Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” 4
Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak
semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? 5 Dan firman-Nya: Sebab itu
laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,
sehingga keduanya itu menjadi satu daging. 6 Demikianlah mereka bukan lagi dua,
melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh
diceraikan manusia.”
c. Pendalaman Setelah menyimak kisah
tersebut, guru mengajak peserta didik untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan
berkaitan dengan teks Kitab Suci yang telah mereka baca.
Pertanyaan-pertanyaan
itu misalnya:
• Apa pesan dari teks Mat 19:1-6?
• Apa yang dicobai orang Farisi pada
Yesus?
• Apa jawaban Yesus?
• Mengapa mereka mau mencoba Yesus?
• Apa sifat keluarga menurut teks
tersebut?
d. Setelah para peserta didik mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelas atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut, guru memberikan masukan.
Misalnya
sebagai berikut:
• Perkawinan itu persekutuan cinta
antara pria dan wanita yang secara sadar dan bebas menyerahkan diri beserta
segala kemampuannya untuk selamanya. Dalam penyerahan itu suami isteri berusaha
makin saling menyempurnakan dan saling membantu. Hanya dalam suasana saling
menghormati dan menerima inilah, dalam keadaan manapun juga, persekutuan cinta
itu dapat berkembang hingga tercapai kesatuan hati yang dicita-citakan.
• Tuhan menghendaki agar kesatuan
antara suami dan istri tidak
terceraikan, karena perkawinan merupakan tanda kesetiaan Allah kepada manusia
dan kesetiaan Kristus kepada Gereja-Nya. Atau dengan kata lain: menjadi tanda
kesetiaan cinta Allah kepada setiap orang. Menjadi saksi akan kesetiaan perkawinan
yang tak terceraikan ini adalah salah satu tugas pasangan Kristiani yang paling
genting saat ini, di saat dunia dikaburkan oleh banyak pandangan yang
menurunkan derajat perkawinan, seolah hanya pelampiasan keinginan jasmani
semata. Jika pasangan suami istri dan anak- anak hidup dalam kasih yang total,
maka keluarga menjadi gambaran nyata sebuah Gereja, sehingga tepatlah jika
keluarga itu disebut sebagai Gereja kecil atau ecclesia domestica. Sebab dengan
menerapkan kasih seperti teladan Kristus, keluarga turut mengambil bagian di
dalam hidup dan misi Gereja dalam membangun Kerajaan Allah.
a. Guru mengajak peserta didik untuk
menelusuri ajaran-ajaran Gereja Katolik tentang perkawinan. Rujukan misalnya;
Ajaran Konsili Vatikan II, Ensiklik-ensiklik para Paus tentang keluarga.
b. Guru mengajak peserta didik untuk
menyimak ajaran Gereja dalam Konsili Vatikan II berikut ini.
Pengembangan
Perkawinan dan Keluarga Merupakan Tugas Semua Orang
“Keluarga
adalah tempat pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan. Supaya keluarga mampu
mencapai kepenuhan hidup dan misinya, diperlukan komunikasi, hati penuh
kebaikan, kesepakatan suamiisteri, dan kerja sama orangtua yang tekun dalam
mendidik anakanak. Kehadiran aktif ayah sangat membantu pembinaan mereka dan
pengurusan rumah tangga oleh ibu, terutama dibutuhkan oleh anak-anak yang masih
muda, perlu dijamin, tanpa maksud supaya pengembangan peranan sosial wanita
yang sewajarnya dikesampingkan. Melalui pendidikan hendaknya anak-anak dibina
sedemikian rupa, sehingga ketika sudah dewasa mereka mampu dengan penuh
tanggung jawab mengikuti panggilan mereka; panggilan religius; serta memilih
status hidup mereka. Maksudnya apabila kelak mereka mengikat diri dalam
pernikahan, mereka mampu membangun keluarga sendiri dalam kondisi-kondisi
moril, sosial dan ekonomi yang menguntungkan. Merupakan kewajiban orang tua
atau para pengasuh, membimbing mereka yang lebih muda dalam membentuk keluarga
dengan nasehat bijaksana, yang dapat mereka terima dengan senang hati.
Hendaknya para pendidik itu menjaga jangan sampai memaksa mereka, langsung atau
tidak langsung untuk mengikat pernikahan atau memilih orang tertentu menjadi
jodoh mereka.
Demikianlah
keluarga, lingkup berbagai generasi bertemu dan saling membantu untuk meraih
kebijaksanaan yang lebih penuh, dan mempadukan hak pribadi-pribadi dengan
tuntutan hidup sosial lainnya, merupakan dasar bagi masyarakat. Oleh karena
itu, siapa saja yang mampu memengaruhi persekutuan-persekutuan dan
kelompokkelompok sosial, wajib memberi sumbangan yang efektif untuk mengembangkan perkawinan dan hidup
berkeluarga. Hendaknya pemerintah memandang sebagai kewajibannya yang
suci: untuk mengakui, membela dan
menumbuhkan jati diri perkawinan dan
keluarga; melindungi tata susila umum; dan mendukung kesejahteraan rumah
tangga. Hak orangtua untuk melahirkan keturunan dan mendidiknya dalam pangkuan
keluarga juga harus dilindungi. Hendaknya melalui perundang-undangan yang bijaksana serta
pelbagai usaha lainnya, mereka yang malang, karena tidak mengalami kehidupan
berkeluarga, dilindungi dan diringankan beban mereka dengan bantuan yang mereka
perlukan. Hendaknya umat kristiani, sambil menggunakan waktu yang ada dan
membeda-bedakan yang kekal dari bentuk-bentuk yang dapat berubah, dengan tekun
mengembangkan nilai-nilai perkawinan dan keluarga, baik melalui kesaksian hidup
mereka sendiri maupun melalui kerja sama dengan sesama yang berkehendak baik.
Dengan demikian mereka mencegah kesukaran-kesukaran, dan mencukupi
kebutuhan-kebutuhan keluarga serta
menyediakan keuntungan-keuntungan baginya sesuai dengan tuntutan zaman sekarang. Untuk mencapai
tujuan itu semangat iman kristiani, suara hati moril manusia; dan kebijaksanaan
serta kemahiran mereka yang menekuni ilmu-ilmu suci, akan banyak membantu.
Hasil penelitian para pakar ilmu-pengetahuan, terutama dibidang biologi,
kedokteran, sosial dan psikologi, dapat berjasa banyak bagi kesejahteraan
perkawinan dan keluarga serta ketenangan hati, melalui pengaturan kelahiran
manusia yang dapat di pertanggung jawabkan. Berbekalkan pengetahuan yang
memadai tentang hidup berkeluarga, para imam bertugas mendukung panggilan
suami-isteri melalui pelbagai upaya pastoral; pewartaan sabda Allah; ibadat
liturgis; dan bantuan-bantuan rohani lainnya dalam hidup perkawinan dan
keluarga mereka. Tugas para imam pula, dengan kebaikan hati dan kesabaran
meneguhkan mereka ditengah kesukaran-kesukaran, serta menguatkan mereka dalam
cinta kasih, supaya terbentuk keluarga-keluarga yang sungguh-sungguh
berpengaruh baik.
Himpunan-himpunan
keluarga, hendaknya berusaha meneguhkan kaum muda dan para suami-isteri
sendiri, terutama yang baru menikah, melalui ajaran dan kegiatan; hidup
kemasyarakatan, serta kerasulan. Akhirnya hendaknya para suami-isteri sendiri,
yang diciptakan menurut gambar Allah yang hidup dan ditempatkan dalam
tatahubungan antarpribadi yang autentik, bersatu dalam cinta kasih yang sama,
bersatu pula dalam usaha saling menguduskan supaya mereka, dengan mengikuti
Kristus sumber kehidupan, di saat-saat gembira maupun pengorbanan dalam
panggilan mereka, karena cinta kasih mereka yang setia menjadi saksi-saksi
misteri cinta kasih, yang oleh Tuhan diwahyukan kepada dunia dalam wafat dan kebangkitan-Nya”. (GS.52)
c. Setelah menyimak teks GS.52, guru
mengajak peserta didik untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan
teks yang telah mereka baca.
Pertanyaan-pertanyaan
itu misalnya:
• Apa makna keluarga?
• Apa manfaat komunikasi dalam
keluarga?
• Apa peran bapak dan ibu dalam
keluarga?
• Apa upaya Gereja dalam membina
keluarga?
d. Setelah menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam diskusi kelompok, guru memberikan
penjelasan untuk memberikan wawasan atau pemahaman peserta didik tentang
keluarga.
1) Arti dan Makna Keluarga Keluarga
adalah Sekolah Kemanusiaan yang kaya. Akan tetapi supaya kehidupan dan
perutusan keluarga dapat mencapai kepenuhan, dituntut komunikasi batin yang
baik, yang ikhlas dalam pendidikan anak. Kehadiran ayah yang aktif sangat
menguntungkan pembinaan anak-anak, perawatan ibu di rumah juga dibutuhkan anak-anak
dan seterusnya. (GS.52)
2) Tugas dan tanggung jawab seorang
suami/bapak
a) Suami Sebagai Kepala Keluarga
Sebagai
kepala keluarga suami harus bisa memberi nafkah lahir-batin kepada istri dan
keluarganya. Mencari nafkah adalah salah satu tugas pokok seorang suami,
sedapatnya tidak terlalu dibebankan kepada isteri dan anak-anak. Untuk menjamin
nafkah ini sang suami hendaknya berusaha memiliki pekerjaan.
b) Suami Sebagai Partner Istri
Perkawinan
modern menuntut pola hidup partnership. Suami hendaknya menjadi mitra dari
istrinya. Pada masa sekarang ini banyak wanita yang menjadi wanita karier.
Kalau istri adalah wanita karier, maka perlulah suami menjadi pendamping,
penyokong dan pemberi semangat baginya. Dalam kehidupan rumah tangga istri
pasti mempunyai banyak tugas dan pekerjaan. Janganlah membiarkan dia sendiri
yang melakukannya, hanya karena sudah mempunyai pembagian tugas yang jelas
dalam rumah tangga. Banyak istri yang merasa tertekan, merasa tidak
diperhatikan lagi, karena apa saja yang dibuatnya tak pernah masuk dalam
wilayah perhatian suaminya.
c) Suami Sebagai Pendidik
Orang
sering berpikir dan melemparkan tugas mendidik anakanak pada istri/ibu, padahal
anak-anak tetap memerlukan sosok ayah dalam pertumbuhan diri dan pribadi
mereka. Sosok ayah tak tergantikan.
3) Tugas dan tanggung jawab seorang
istri/ibu
a) Istri sebagai hati dalam keluarga
Suami
adalah kepala keluarga, maka isteri adalah ibu keluarga yang berperan sebagai
hati dalam keluarga. Sebagai hati, istri menciptakan suasana kasih sayang, ketenteraman,
keindahan, dan keharmonisan dalam keluarga.
b) Istri sebagai mitra dari suami
Sebagai
mitra, istri dapat membantu suami dalam tugas dan kariernya. Bantuan yang
dimaksudkan di sini, seperti memberi sumbang saran dan dukungan moril hal yang
pertama lebih bersifat rasional dan yang kedua lebih bersifat afektif. Dukungan
moril yang bersifat afektif lebih berarti bagi suami.
c) Istri sebagai pendidik
Istri/Ibu
merupakan pendidik yang pertama dan utama dari anak-anaknya. Hal ini berarti
bahwa ibu adalah pendidik ulung. Ada ungkapan bahwa “Surga berada di bawah
telapak kaki ibu” artinya adalah kita tidak boleh berani terhadap orang tua
terutama sekali kepada ibu kita.
4) Kewajiban Anak-anak Terhadap Orang
Tua
Kewajiban-kewajiban
anak terhadap orang tuanya tidak statis dan tidak selalu sama, melainkan
dipengaruhi baik oleh perkembangan
maupun oleh situasi dan kondisi. Semakin hari, anak hendaknya semakin mandiri.
Orang tua makin lama makin tua membutuhkan anak-anaknya. Beberapa hal dasar
yang menjadi kewajiban anak terhadap
orangtua adalah: mengasihi orangtua, bersikap dan berperilaku penuh syukur,
serta bersikap dan berperilaku hormat kepada orangtua.
5) Membina hubungan kakak-adik
Dalam
keluarga masih ada saudara-saudara (kakak-adik) yang mempunyai hubungan timbal
balik sebagai anggota-anggota satu keluarga. Hubungan ini memang bervariasi
sesuai dengan masyarakat setempat. Dalam mengembangkan keluarga sebagai
persekutuan pribadi-pribadi, hubungan kakak-adik sebagai anggota-anggota
keluarga inti sangat penting. Hal-hal yang perlu dikembangkan dalam hubungan
kakak-adik adalah: kasih persaudaraan, saling membantu dan saling menghargai.
Pengalaman hidup bersama dan proses-proses awal dari sosialisasi untuk hidup
bersama berlangsung dalam keluarga di mana terdapat lebih dari satu anak (bdk.
Katekismus Gereja Katolik no. 2219). Kakak-adik tak hanya dididik oleh orang
tua, melainkan juga secara tidak langsung saling mendidik. Dengan bertengkar
dan berdamai kembali mereka belajar dan berlatih mengolah konflik yang termasuk
unsur hidup bersama (bdk. Katekismus Gereja Katolik no. 2219).
6) Cinta Kasih dan Komunikasi dalam
Keluarga
a) Pentingnya cinta dalam hidup manusia
Kita
bisa hidup dan berkembang sebagai manusia karena perhatian dan cinta yang kita
terima dan alami dari orang lain, dan karena cinta yang kita berikan kepada
orang lain. Seluruh ajaran dan perbuatan Kristen justru berdasarkan pada cinta.
“Hendaklah kamu saling mencintai seperti Aku telah mencintai kamu”. (Yoh
15:12). Cinta membahagiakan orang dan memungkinkan manusia berkembang secara
sehat dan seimbang. Cinta yang jujur dan persahabatan sejati antarmanusia
memungkinkan perwujudan diri yang sehat dan seimbang, menghindar gangguan
psikis, dapat menyembuhkan orang yang menderita sakit jiwa. Jadi apabila
manusia belajar memberikan cinta dan menerima cinta, ia dapat sembuh dari
perasaan kesepian dan banyak gangguan emosional. Selain itu cinta adalah
kekuatan aktif dalam diri manusia, kekuatan yang mempersatukan manusia dengan
sesamanya. Cinta yang demikian membiarkan manusia tetap menjadi dirinya sendiri
dan mempertahankan keutuhan sendiri. Dalam cinta antara pria dan wanita,
keduanya masing-masing dilahirkan kembali serta saling mengembangkan diri.
Keduanya dipanggil untuk saling mencintai secara paling mesra dan intim.
Keduanya saling memberi dan menerima secara fisik maupun psikis. Keduanya
adalah partner yang membutuhkan cinta dari yang lain untuk membahagiakan satu
sama lain.
b) Membina cinta dalam keluarga
Tujuan
perkawinan pertama-tama ialah membina cinta kasih antara suami-isteri, menjalin
hubungan perasaan yang mesra antara kedua partner yang ingin hidup bersama
untuk selama-lamanya.
c) Cinta kasih yang menghargai teman
hidup sebagai partner
Kebahagiaan
di dalam hidup keluarga tidak terjadi secara otomatis. Setelah mempelai
menerima berkat di Gereja dan diresmikan perkawinannya, kebahagiaan itu masih
harus dibentuk dan dibangun, diwujudkan terus-menerus lewat perbuatan nyata
seharihari. Maka cinta dalam hidup berkeluarga perlu dibangun agar bertumbuh
dan berkembang, perlu suasana “partnership” antara suami-isteri. Partnership
berarti persekutuan atau persatuan yang berdasarkan prinsip kesamaan derajat,
sehingga kedua-duanya menjadi “partner” yang serasi dalam memperjuangkan
kepentingan bersama.
d) Cinta kasih yang menyerahkan dirinya
sendiri
Cinta
kasih dalam hidup perkawinan sangat menuntut suatu sikap penyerahan diri yang
total, bukan hanya setengah-setengah saja. Kedua partner harus saling
menyerahkan diri kepada yang lain tanpa perhitungan untung rugi bagi dirinya
(tanpa pamrih) dalam bersama-sama membangun persatuan hidup, membangun
kebahagiaan keluarga dengan sumbangan yang berbeda, sesuai dengan
kodrat/peranannya masing-masing sebagai suami-isteri.
e) Komunikasi dalam Keluarga
Berkomunikasi
berarti menyampaikan pikiran dan perasaan kita kepada pihak lain. Berkomunikasi
tentang hal-hal yang sama-sama diketahui dan dirasakan akan terasa jauh lebih
mudah dari pada mengenai bidang yang khas dunia sendiri. Namun untuk mencapai
keserasian hubungan antar manusia, untuk mencapai saling pengertian, justru
yang paling perlu dikomunikasikan adalah dunia sendiri itu. Dunia suami, dunia
isteri, dunia anak-anak yang sering sangat berbeda. Maka dalam berkomunikasi
ada banyak hal yang harus diperhatikan, antara lain saling mendengarkan dan
saling terbuka.
(1) Mendengarkan
Semua
orang yang tidak tuli bisa mendengarkan. Tetapi yang bisa mendengar belum tentu
pandai pula mendengarkan. Telinga bisa mendengar segala suara, tetapi
mendengarkan suatu komunikasi harus dilakukan dengan pikiran dan hati serta
segenap indra diarahkan kepada sipembicara.Banyak di antara kita yang merasa
bahwa mendengarkan itu tak enak, sebab memaksa kita untuk menunda apa yang kita
sendiri mau katakan. Betapa seringnya kita tidak mendengarkan ketika orang lain
berbicara, karena kita sibuk sendiri memikirkan apa yang mau kita katakan.
Mendengarkan dengan baik harus kita lakukan kalau betul-betul ingin membangun
keluarga yang harmonis.
(2) Keterbukaan
Penilaian
seseorang tidak mutlak benar. Oleh karena itu sulit terjadi komunikasi yang
mengena dengan orang yang tidak dapat diubah dalam penilaiannya, seakan-akan
itu sudah fakta mutlak yang tidak bisa ditawar lagi. Orang bisa begitu menutup
diri terhadap masukan dari pihak lain yang bertentangan dengan penilaian
sendiri. Setiap orang boleh, bahkan sepatutnya mempunyai sistem nilai,
mempunyai keyakinan, mempunyai sikap, mempunyai pandangan, mempunyai
kepercayaan dan pendidikan. Tetapi ia tidak mempunyai kemauan berkomunikasi
kalau ia tertutup untuk mendengarkan, mencernakan masukan dari pihak lain.
Orang yang mau senantiasa tumbuh sesuai dengan zaman adalah orang yang terbuka
untuk menerima masukan dari orang lain, merenungkannya dengan serius, dan
mengubah diri bila perubahan dianggapnya sebagai pertumbuhan ke arah kemajuan.
Ada pun masukan dari pihak lain hanya terjadi melalui komunikasi dengan orang
lain. Anda sudah sering mengalami, betapa enaknya berbicara dengan orang yang
mempunyai sikap terbuka. Terbuka untuk menyatakan dan terbuka untuk
mendengarkan. Terbuka untuk menyatakan diri dengan jujur, terbuka pula untuk
menerima orang lain sebagaimana adanya. Keterbukaan tidak hanya menyangkut
keyakinan dan pendirian mengenai suatu gagasan. Keterbukaan dalam berkomunikasi
untuk menuju pertumbuhan melibatkan juga perasaan, seperti: kecemasan, harapan,
kebanggaan, kekecewaan. Dengan lain kata, diri kita seutuhnya. Anggota keluarga
yang saling terbuka, akan membangun keluarga yang sejahtera lahir-batin.
a. Guru memberikan kesimpulan mengenai
pelajaran hari ini, yaitu :
1) Perkawinan itu persekutuan cinta
antara pria dan wanita yang secara sadar dan bebas menyerahkan diri beserta
segala kemampuannya untuk selamanya.
2) Tuhan menghendaki agar kesatuan
antara suami dan istri tidak
terceraikan, karena perkawinan merupakan tanda kesetiaan Allah kepada manusia
dan kesetiaan Kristus kepada Gereja-Nya.
3) Keluarga menjadi gambaran nyata
sebuah Gereja, sehingga tepatlah jika keluarga itu disebut sebagai Gereja kecil
atau ecclesia domestica. Sebab dengan menerapkan kasih seperti teladan Kristus,
keluarga turut mengambil bagian di dalam hidup dan misi Gereja dalam membangun
Kerajaan Allah.
4) Arti dan Makna Keluarga Keluarga
adalah Sekolah Kemanusiaan yang kaya.
5) Tugas dan tanggung jawab seorang
suami/bapak
a) Suami Sebagai Kepala Keluarga
b) Suami Sebagai Partner Istri
c) Suami Sebagai Pendidik
6) Tugas dan tanggung jawab seorang
istri/ibu
a) Istri sebagai hati dalam keluarga
b) Istri sebagai mitra dari suami
c) Istri sebagai pendidik
7) Kewajiban Anak-anak Terhadap Orang
Tua
Beberapa
hal dasar yang menjadi kewajiban anak
terhadap orangtua adalah: mengasihi orangtua, bersikap dan berperilaku penuh
syukur, serta bersikap dan berperilaku hormat kepada orangtua.
8) Membina hubungan kakak-adik
Hal-hal
yang perlu dikembangkan dalam hubungan kakak-adik adalah: kasih persaudaraan,
saling membantu dan saling menghargai. (bdk. Katekismus Gereja Katolik no.
2219). Kakak-adik tak hanya dididik oleh orang tua, melainkan juga secara tidak
langsung saling mendidik (bdk. Katekismus Gereja Katolik no. 2219).
9) Cinta Kasih dan Komunikasi dalam
Keluarga
• Cinta membahagiakan orang dan
memungkinkan manusia berkembang secara sehat dan seimbang.
• Cinta adalah kekuatan aktif dalam
diri manusia, kekuatan yang mempersatukan manusia dengan sesamanya.
• Tujuan perkawinan pertama-tama ialah
membina cinta kasih antara suami-isteri, menjalin hubungan perasaan yang mesra
antara kedua partner yang ingin hidup bersama untuk selama-lamanya.
• Cinta dalam hidup berkeluarga perlu
dibangun agar bertumbuh dan berkembang, perlu suasana “partnership” antara
suami-isteri.
• Cinta kasih dalam hidup perkawinan
sangat menuntut suatu sikap penyerahan diri yang total.
• Maka dalam berkomunikasi ada banyak
hal yang harus diperhatikan, antara lain saling mendengarkan dan saling
terbuka.
b. Guru
mengajak para peserta
didik untuk mengakhiri
pelajaran dengan berdoa:
Ya
Allah, Bapa sekalian insan, Engkau menciptakan manusia dan menghimpun mereka menjadi
satu keluarga, yakni keluarga-Mu sendiri. Engkau pun telah memberi kami
keluarga teladan, yakni keluarga kudus Nazaret, yang anggota-anggotanya sangat
takwa kepada-Mu dan penuh kasih satu sama lain. Terima kasih, Bapa, atas
teladan yang indah ini. Semoga keluarga kami selalu Kau dorong untuk meneladani
keluarga kudus Nazaret. Semoga keluarga kami tumbuh menjadi keluarga Kristen
yang sejati yang dibangun atas dasar iman dan kasih: kasih akan Dikau dan kasih
antarsemua anggota keluarga.Ajarlah kami hidup menurut Injil, yaitu rukun,
ramah, bijaksana, sederhana, saling menyayangi, saling menghormati, dan saling
membantu dengan ikhlas. Hindarkanlah keluarga kami dari marabahaya dan
malapetaka; sertailah kami dalam suka dan duka; tabahkanlah kami bila kami
sekeluarga menghadapi masalah-masalah. Bantulah kami agar tetap bersatu padu
dan sehati sejiwa; hindarkan kami dari perpecahan dan percekcokan. Jadikanlah
keluarga kami ibarat batu yang hidup untuk membangun jemaat-Mu menjadi Tubuh
Kristus yang rukun dan bersatu padu. Berilah keluarga kami rezeki yang cukup.
Semoga kami sekeluarga selalu berusaha hidup lebih baik di tengah-tengah jemaat
dan masyarakat. Jadikanlah keluarga kami garam dan terang dalam masyarakat.
Semoga keluarga kami selalu setia mengamalkan peran ini kendati harus
menghadapi aneka tantangan. Ya Bapa, kami berdoa pula untuk keluarga yang
sedang dilanda kesulitan. Dampingilah mereka agar jangan patah semangat.
Terlebih kami sangat prihatin untuk keluarga-keluarga yang berantakan. Jangan
biarkan mereka ini hancur. Sebaliknya berilah kekuatan kepada para anggotanya
untuk membangun kembali keutuhan keluarga. Semua ini kami mohon kepada-Mu, Bapa
keluarga umat manusia, dengan perantaraan Yesus Kristus, Tuhan kami. Amin.
(Puji
Syukur 1992, No. 162)
Guru
mengajak para peserta didik untuk memulai pelajaran dengan doa, misalnya:
Allah Bapa yang penuh kasih, Puji dan
syukur kami haturkan kehadirat-Mu atas anugerah kehidupan yang Engkau berikan
kepada kami. Bimbinglah kami ya Bapa dalam kegiatan pembelajaran tentang
perkawinan dalam tradisi Katolik, sehingga kami sungguh memahami dan menghayatinya kelak. Doa ini kami
sempurnakan dengan doa yang diajarkan Yesus Putra-Mu... Bapa Kami...
Guru
membangun motivasi peserta didik untuk belajar dengan mengungkapkan pemikiran
dasar, yaitu:
Perkawinan antara seorang pria dan
wanita dalam agama apapun merupakan suatu peristiwa kehidupan manusia yang
sangat sakral. Karena itu tidak boleh dinodai atau dikhianati oleh siapapun
dengan motif apapun. Sayang sekali bahwa dalam masyarakat, kita sering
mendengar atau menyaksikan pertikaian antara pasangan suami-istri yang
menimbulkan keretakan hubungan antara mereka. Tak jarang relasi suami-istri
yang sangat bersifat pribadi itu di bawa ke ranah publik, terutama para
pesohor; entah artis, politisi, dan tokoh masyarakat dijadikan konsumsi
masyarakat umum melalui infotainment di televisi atau sarana sosial media
digital yang kini berkembang pesat. Pemberitaan media massa tentang kasus perkawinan
dengan berbagai latarbelakangnya itu, dapat menciptakan suatu pandangan masif
dalam masyarakat bahwa perceraian suami-istri merupakan hal yang biasa-biasa
saja, bahkan dianggap sebagai suatu budaya dalam kehidupan modern.
Bertitik-tolak pada kasus-kasus perkawinan yang terjadi itu, kita perlu
memahami hakikat perkawinan itu sendiri. Perkawinan pada dasarnya merupakan
suatu karier. Bahkan karier pokok. Oleh sebab itu perlu dipersiapkan dengan
penuh kesungguhan. Tragedi zaman kita ialah kita kurang sadar bahwa perkawinan
merupakan persekutuan pria-wanita atas dasar cinta. Perkawinan harus dilihat
pula sebagai suatu panggilan, suatu tanda dari cinta Allah kepada manusia dan
cinta Kristus kepada Gereja-Nya. Tak dapat disangkal bahwa banyak perkawinan
telah kandas karena orang tidak pernah menganggapnya sebagai suatu panggilan
sehingga mereka tidak pernah mempersiapkannya secara sungguh-sungguh. Salah
satu persiapan ialah usaha untuk lebih mengenal dan memahami arti dan makna
perkawinan, tujuan serta sifat-sifat perkawinan, sehingga seseorang dapat
menjalankan karier top dan panggilan ini dengan sadar dan tepat. Dari segi
moral kristiani, perkawinan merupakan sakramen yang mempunyai satu sifat dasar
yang tak dapat diganggu gugat, yaitu setia. Kesetiaan merupakan sikap dasar
yang harus dihayati oleh pasangan yang telah menerima sakramen perkawinan itu.
Kesetiaan itu mewujudkan dirinya dalam dua sifat perkawinan yang lainnya,
yaitu: monogami dan tak dapat diceraikan. Kesetiaan berarti bahwa suami-istri
hidup bagi partnernya, menyerahkan diri secara total hanya kepada partnernya,
selalu dan dalam segala situasi. Kesetiaan adalah hal yang sangat utama dalam
kehidupan perkawinan kristiani. Ketidaksetiaan sejak awal digolongkan oleh
Gereja di antara dosa-dosa yang paling berat, sama seperti pembunuhan dan
penyembahan berhala. Sebab, ketidaksetiaan bukan hanya dosa besar terhadap
teman hidup, tetapi dosa besar terhadap panggilan luhur menjadi sakramen kepada
teman hidup, dan bersamasama kepada seluruh umat. Panggilan untuk memberi
kesaksian tentang kesetiaan Kristus dan Gereja itu tidak boleh mereka
putarbalikkan. Mereka harus saling setia lahir-batin. Pada kegiatan
pembelajaran ini, para peserta didik dibimbing untuk memahami bahwa perkawinan
sebagai suatuperjanjian dan kebersamaan seluruh hidup dari pria dan wanita.
Tujuan dari perkawinan adalah kesejahteraan suami istri dan anak-anak.
Perkawinan dapat dilihat pula sebagai
sakramen, yaitu tanda dari cinta Allah kepada umat-Nya dan cinta Kristus kepada
Gereja-Nya. Karena perkawinan itu merupakan tanda (sakramen) dari cinta Allah
dan cinta Kristus, maka ia bersifat; tetap, tak dapat diceraikan, utuh,
personal, monogam.
Guru
memberikan apersepsi dengan menelusuri pengertian “perkawinan” secara umum.
Guru
menyampaikan indikator yang harus dicapai peserta didik yaitu :
Menjelaskan
makna perkawinan menurut peraturan Undang-Undang No. 1 tahun 1974
Menjelaskan
makna perkawinan menurut Kitab Suci (Kej 2:18 – 25; Mark 10:2-12)
Menjelaskan
makna dan sifat perkawinan menurut ajaran Gereja (Hukum Kanonik 1055 dan
Gaudium et Spes art. 3a, 48, 52a)
Menjelaskan
makna keluarga sebagai panggilan (Gaudium et spes art.52)
Guru
meyampaikan langkah-langkah kegiatan pembelajaran dan kompetensi yang akan
dinilai :
Menggali
pemahaman tentang makna perkawinan
Menggali
Makna Perkawinan menurut Ajaran Kitab Suci dan Ajaran Gereja.
Menghayati
Perkawinan sebagai Panggilan Hidup
Guru
terlebih dahulu menjelaskan tentang tema pembelajaran yang akan dipelajari
peserta didik yaitu tentang perkawinan. Misalnya,
salah satu hal pokok dalam perkawinan adalah perlunya calon suami-istri
melakukan persiapan perkawinan dengan sebaik-baiknya. Karena itu sebaiknya
pasangan calon suami-istri memahami dengan baik dan benar tentang arti dan
makna perkawinan itu. Hal ini sebagai
persiapan jauh sebelumnya, jika
kelak mereka memasuki kehidupan perkawinan, mereka sungguh-sungguh mengerti arti perkawinan itu
sendiri.
Guru
mengajak peserta didik untuk mengamati beberapa gambar yang ada pada buku
siswa, halaman 14-15.
Guru
meminta peserta didik untuk merumuskan beberapa pertanyaan berdasarkan
pengamatannya terhadap gambar-gambar tersebut dalam konteks pemahamannya
tentang makna perkawinan.
Pertanyaan-pertanyaan
yang muncul, misalnya: 1) Apa makna gambar bahtera/kapal berkaitan dengan
perkawinan? 2) Apa makna gambar cincin berkait dengan perkawinan? 3) Apa makna
gambar peraduan burung dengan perkawinan? 4) Apa makna perkawinan menurut
negara atau peraturan perundangundangan?
Guru
menguatkan pemahaman peserta didik setelah menggali pemahaman mereka tentang
makna perkawinan sebagaimana yang
digambarkan dalam simbol-simbol perkawinan.
Guru
mengajak peserta didik untuk menyimak arti dan makna perkawinan menurut
beberapa pandangan.
Menurut
Peraturan perundang-undangan
Sebagai
Negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertama ialah Ketuhanan
Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani,
tetapi juga unsur batin/rohani.
Undang-Undang
No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 1 UU berbunyi: “Perkawinan ialah
ikatan lahir-batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Membentuk
keluarga yang bahagia erat hubungan dengan keturunan, yang merupakan tujuan
perkawinan. Pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Pandangan
tradisional
Dalam
masyarakat tradisional perkawinan pada umumnya masih merupakan suatu ”ikatan”,
yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga
mengikat kaum kerabat si laki-laki dengan kaum kerabat si wanita dalam suatu
hubungan tertentu. Perkawinan tradisional ini umumnya merupakan suatu proses,
mulai dari saat lamaran, lalu memberi mas kawin (belis), kemudian peneguhan,
dan seterusnya.
Pandangan
hukum (yuridis)
Dari
segi hukum perkawinan sering dipandang sebagai suatu ”perjanjian”. Dengan
perkawinan, seorang pria dan seorang wanita saling berjanji untuk hidup
bersama, di depan masyarakat agama atau masyarakat negara, yang menerima dan
mengakui perkawinan itu sebagai sah.
Pandangan
sosiologi
Secara
sosiologi, perkawinan merupakan suatu ”persekutuan hidup” yang mempunyai
bentuk, tujuan, dan hubungan yang khusus antaranggota. Ia merupakan suatu
lingkungan hidup yang khas. Dalam lingkungan hidup ini, suami dan istri dapat
mencapai kesempurnaan atau kepenuhannya sebagai manusia, sebagai bapak dan
sebagai ibu. 5) Pandangan antropologis Perkawinan dapat pula dilihat sebagai
suatu ”persekutuan cinta”. Pada umumnya, hidup perkawinan dimulai dengan cinta.
Ia ada dan akan berkembang atas dasar cinta. Seluruh kehidupan bersama sebagai
suami-istri didasarkan dan diresapi seluruhnya oleh cinta.
Guru
mengajak peserta didik untuk menemukan teks-teks Kitab Suci yang mengajarkan
tentang makna dan hakikat perkawinan Katolik.
Guru
mengajak peserta didik untuk menyimak teks-teks
Kitab Suci berikut ini.
Kejadian 2:18 – 25
18 TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau
manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang
sepadan dengan dia.” 19 Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala
binatang hutan dan segala burung di udara. Dibawa-Nyalah semuanya kepada
manusia itu untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang
diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk yang hidup, demikianlah nanti
nama makhluk itu. 20 Manusia itu memberi nama kepada segala ternak,
kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya
sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia. 21 Lalu
TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah
mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging.
22 Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu,
dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. 23 Lalu
berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari
dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari lakilaki.” 24 Sebab
itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan
isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. 25 Mereka keduanya
telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.
Markus 10:2-12; (bdk Luk 16:18)
2 “Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk
mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: “Apakah seorang suami diperbolehkan
menceraikan isterinya?”: 3 Tetapi jawab-Nya kepada mereka: “Apa
perintah Musa kepada kamu?” 4 Jawab mereka: “Musa memberi izin untuk
menceraikannya dengan membuat surat cerai.” 5 Lalu kata Yesus kepada
mereka: “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini
untuk kamu. 6 Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka
laki-laki dan perempuan, 7 sebab itu lakilaki akan meninggalkan
ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, 8 sehingga keduanya
itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. 9
Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
10 Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula
kepada Yesus tentang hal itu. 11 Lalu kata-Nya kepada mereka:
“Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup
dalam perzinahan terhadap isterinya itu. 12 Dan jika si isteri
menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.”
Guru
mengajak peserta didik mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, setelah mereka menyimak teks-teks Kitab Suci.
Misalnya:
Apa
maksud teks Kejadian 2:18 – 25 berkaitan dengan perkawinan?
Apa
maksud teks Mrk 10:2-12, berkaitan dengan perkawinan?
Guru
mengajak peserta didik untuk menemukan ajaran-ajaran Gereja Katolik yang
mengajarkan tentang makna dan hakikat perkawinan Katolik.
Guru
mengajak peserta didik untuk mendiskusikan Ajaran Gereja tentang perkawinan.
Misalnya
dalam:
Kitab
Hukum Kanonik; 1055
Gaudium
et Spess art. 48
Gaudium
et Spess art. 3a
Gaudium
et Spess art. 52a
Guru
mengajak peserta didik mengajukan pertanyaan-pertanyaan, setelah mereka
menyimak ajaran Gereja.
Misalnya:
Apa
makna ajaran Gereja tentang perkawinan dalam Kitab Hukum Kanonik; 1055?
Apa
makna ajaran Gereja tentang perkawinan menurut Gaudium et Spess art. 48?
Apa
makna ajaran Gereja tentang perkawinan menurut Gaudium et Spess art. 3a?
Apa
makna ajaran Gereja tentang perkawinan menurut Gaudium et Spess art. 52a?
Setelah
menyimak dan mendiskusikan ajaran Kitab Suci dan ajaran Gereja, guru memberikan
penjelasan sebagai berikut:
Makna
Perkawinan
Perkawinan
menurut Kitab Hukum Kanonik Dalam Kan 1055 diungkapkan paham dasar tentang
perkawinan gerejawi. Di sini dikatakan antara lain tentang:
Perkawinan
sebagai perjanjian; Gagasan perkawinan sebagai perjanjian ini bersumber pada
Konsili Vatikan II (GS 48), yang pada gilirannya menimba aspirasi dari Kitab
Suci.
Perkawinan
sebagai perjanjian menunjuk segi-segi simbolik dari hubungan antara Tuhan dan
umatnya dalam Perjanjian Lama (Yahwe dan Israel) dan Perjanjian Baru (Kristus
dengan GerejaNya). Tetapi dengan perjanjian ingin diungkapkan pula dimensi
personal dari hubungan suami-istri, yang mulai sangat ditekankan pada abad
modern ini.
Perkawinan
sebagai kebersamaan seluruh hidup dari pria dan wanita; Kebersamaan seluruh
hidup tidak hanya dilihat secara kuantitatif (lamanya waktu) tetapi juga
kualitatif (intensitasnya). Kebersamaan seluruh hidup harus muncul utuh dalam
segala aspeknya, apalagi kalau dikaitkan dengan cinta kasih.
Perkawinan
sebagai sakramen; Hal ini merupakan
unsur hakiki perkawinan antara dua orang yang dibaptis. Perkawinan pria dan
wanita menjadi tanda cinta Allah kepada ciptaan-Nya dan cinta Kristus kepada
Gereja-Nya.
Perkawinan
Menurut Ajaran Konsili Vatikan II Dalam Gaudium et Spes, no.48 dijelaskan bahwa
“perkawinan merupakan kesatuan mesra dalam hidup dan kasih antara pria dan
wanita, yang merupakan lembaga tetap yang berhadapan dengan masyarakat”. Karena
itu, perkawinan bagi Gereja Katolik tidak sekedar ikatan cinta mesra dan hidup
bersama yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dilindungi hukum-hukum-Nya. Perlu
pula dilihat bahwa perkawinan menurut bentuknya merupakan suatu lembaga dalam
hidup kemasyarakatan. Tanpa pengakuan sebagai lembaga, perkawinan semacam
“hidup bersama” yang dipandang oleh masyarakat sebagai liar (kumpul kebo).
Perlu dilihat pula bahwa perkawinan menurut maksud dan intinya merupakan
kesatuan hidup dari dua pribadi. Tidak ada perkawinan tanpa kebebasan yang
ingin membangun kesatuan hidup itu. Perkawinan terwujud dengan persetujuan
antara seorang pria dan wanita yang diungkap secara bebas, untuk membagi hidup
satu sama lain. Persetujuan itu mesti dinyatakan secara publik, artinya di
hadapan saksi-saksi yang resmi diakui dan menurut aturan yang berlaku dalam
lingkungan masyarakat.
Tujuan
Perkawinan
Kesejahteraan
lahir-batin suami-istri
Tujuan
perkawinan ialah untuk saling mensejahterakan suami dan istri secara
bersama-sama (hakikat sosial perkawinan)
dan bukan kesejahteraan pribadi
salah satu pasangan. Karena ada bahaya bahwa ada pasangan yang diperalat untuk
memperoleh kesejahteraan materil. Kitab Suci berkata: “Tidaklah baik, bahwa
manusia sendiri saja. Kami hendak mengadakan seorang pendamping untuk menjadi
teman hidupnya... Lalu Allah mengambil sebuah tulang rusuk Adam dan membentuknya
menjadi seorang wanita.Maka pria akan meninggalkan ibu-bapaknya untuk mengikat
diri pada istrinya dan mereka akan menjadi satu jiwa-raganya” (Kej 2:1825).
Kitab
Suci mengajarkan bahwa tujuan perkawinan ialah saling menjadikan baik dan
sempurna, saling mensejahterakan, yaitu dengan mengamalkan cinta seluruh jiwa
raga. Perkawinan adalah panggilan hidup bagi sebagian besar umat manusia untuk
mengatasi batas-batas egoisme; untuk mengalihkan perhatian dari diri sendiri
kepada sesama; dan untuk menerima tanggungjawab sosial; serta menomorduakan
kepentingan sendiri demi kepentingan kekasih dan anak-anak mereka bersama.
Seorang yang sungguh egois sebenarnya tidak sanggup menikah, karena hakikat
perkawinan adalah panggilan untuk hidup bersama.
Kesejahteraan
lahir batin anak-anak
Gereja
selama berabad-abad mengajar, bahwa tujuan pokok perkawinan adalah melahirkan
anak. Baru pada abad kita ini, menjelang Konsili Vatikan II, orang mulai
bertanya-tanya lagi mengenai hakikat perkawinan.
Apabila
tujuan utama perkawinan adalah anak, apakah ayah ibu hidup semata-mata untuk
anak? Bagaimana kalau tujuan perkawinan itu untuk mendapatkan keturunan tak
dapat dipenuhi, misalnya karena pasangan itu mandul? Kita tahu bahwa Gereja
Katolik berpandangan walaupun pasangan itu tidak subur, namun mereka tetaplah
suami-istri yang sah, dan perkawinan mereka lengkap, penuh arti dan diberkahi
Tuhan! Dalam dokumendokumen sesudah Konsili Vatikan II Gereja tidak lagi
terlalu mutlak mengatakan bahwa keturunan sebagai tujuan paling pokok dan
utama.
Anak-anak,
menurut pandangan Gereja, adalah “anugerah
perkawinan yang paling utama dan sangat membantu kebahagiaan orangtua.
Dalam tanggungjawab menyejahterakan anak terkandung pula kewajiban untuk
mendidik anak-anak. “Karena telah memberikan kehidupan kepada anak-anak mereka,
orangtua terikat kewajiban yang sangat berat untuk mendidik anak-anak mereka
dan karena itu mereka harus diakui sebagai pendidik pertama dan utama anak-anak
mereka (GE.3a). Pendidikan anak, menurut pendapat Gereja, harus mengarah pada
pendidikan demi masa depan anak-anak. “Anak-anak harus dididik sedemikian rupa
sehingga setelah mereka dewasa, dapat mengikuti dengan penuh rasa tanggungjawab
panggilan mereka termasuk juga panggilan khusus, dan memilih status hidup;
apabila mereka memilih status pernikahan, semoga mereka dapat membangun
keluarganya sendiri dalam situasi moral, sosial dan ekonomi yang menguntungkan
mereka” (GS. 52a).
Pemenuhan
tujuan pernikahan tidak berhenti pada lahirnya anak, melainkan anak harus
dilahirkan kembali dalam permandian dan pendidikan kristiani, entah itu
intelektual, moral, keagamaan, hidup sakramental, dan lain-lain.
Sifat
Perkawinan
Monogam
Salah
satu perwujudan dan kesetiaan Kristen dalam perkawinan ialah bahwa perkawinan
yang bersifat monogam. Dalam perkawinan Kristen ditolak poligami dan poliandri.
Dalam perkawinan Kristen suami mesti menyerahkan diri seutuh-utuhnya kepada
istrinya; dan sebaliknya istri pun harus menyerahkan dirinya secara utuh kepada
suaminya. Tidak boleh terbagi kepada pribadi-pribadi lain lagi. Hanya satu
untuk satu sampai kematian memisahkan mereka. Yesus tegaskan “Sebab itu
laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya,
sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan dua lagi,
melainkan satu” (Mat19:15). Inilah persatuan dan cinta yag sungguh menyeluruh,
tak terbagi dan total sifatnya.
Dalam
perkawinan Kristen yang diserahkan bukan suatu hak, bukan pula badan saja, juga
bukan hanya tenaga dan waktu, melainkan seluruh pribadi demi menata masa
depannya.
Tak
Terceraikan
Perkawinan
Kristen bukan saja monogam, tetapi juga tak dapat diceraikan. Perkawinan
Kristen bersifat tetap, hanya maut yang dapat memisahkan keduanya. Kita tidak
dapat menikahi seseorang untuk jangka waktu tertentu, kemudian bercerai untuk
menikah lagi dengan orang lain. Perkawinan Kristen menuntut cinta yang
personil, total, dan permanen. Suatu cinta tanpa syarat. Suatu pernikahan
dengan jangka waktu dan syarat-syarat terbatas tidak mencerminkan cinta yang
personil, total dan permanen itu. (Baca: Mrk 10:2-12; Lk 16:18).
Dapatkah
kita saling menyerahkan diri dengan syarat, dengan perasaan cemas kalau-kalau
batas waktunya sudah dekat? Untuk memberikan landasan yang kuat, dalam janji
pernikahan setiap calon mempelai dihadapan Tuhan mengikrarkan kesetiaan mereka
kepada satu sama lain sampai maut memisahkan mereka. Suami dan istri dipilih
Tuhan untuk menjadi suatu sakramen satu bagi yang lain. Jadi, mereka diangkat menjadi
tanda kehadiran Kristus yang selalu menguduskan, menguatkan dan menghibur tanpa
memasang syarat apapun. Kristus sendiri dengan setia menyertai dan menolong
suami dan istri, maka pasangan sanggup untuk setia satu terhadap yang lain.
Sifat sakramentil perkawinan Kristen itulah yang membuat perkawinan kokoh dan
tak terceraikan.
Guru
mengajak peserta didik untuk menyimak sebuah kesaksian berikut ini.
Sepasang suami-istri merayakan pesta
emas atau peringatan 50 tahun perkawinannya. Dalam misa syukur itu, pasangan
yang berbahagia ini diminta oleh imam untuk bersaksi tentang perjalanan hidup perkawinan mereka.
Sang Suami mewakili istri tercintanya memberikan kesakisan itu kepada imam dan
seluruh umat yang hadir. Berikut kesaksiannya: “Kami merayakan hari ulang tahun
pernikahan hari ini dengan meriah persis seperti yang terjadi 51 tahun yang
lalu. Pengalaman yang sangat mengesankan saya adalah pada lima tahun pertama
pernikahan kami. Istri saya waktu itu sakit-sakitan, kadang tidak bisa bangun.
Kami hanya berdua dan jauh dari keluarga maka saya sendiri bertugas sebagai
pelayan setianya. Saya bangun pagi menyiapkan sarapan, membereskan rumah,
sering kali menyuapnya lalu pergi ke kantor. Kembali dari kantor saya berlaku
lagi sebagai pembantu bagi nyonya. Kalau melihat status, saya bukan hanya suami
tetapi di kantor saya adalah kepala bagi yang lain. Namun semakin lama saya
melayaninya, saya merasa bahwa ini adalah cinta yang murni, sebuah cinta kasih
rohani, sebuah agape. Saya berdoa meminta dua hal setiap malam setelah melayani
dan melihatnya tidur yakni semoga istri saya cepat sembuh dan dikarunia anak.
Tuhan mengabulkannya, istri saya sembuh. Dia melahirkan dua anak kami, sehat
dan baik hingga saat ini”. (P.JSDB)
Setelah
menyimak kisah tersebut, Guru mengajak peserta didik untuk menuliskan sebuah
refleksi pribadi bertemakan perkawinan sebagai panggilan hidup.
Aksi
Guru mengajak para peserta didik untuk bersikap hormat pada orangtua serta
semua orang yang telah berkeluarga.
Guru
memberikan kesimpulan mengenai pelajaran hari ini, yaitu :
Makna
Perkawinan
Perkawinan
menurut Kitab Hukum Kanonik Dalam Kan 1055 diungkapkan paham dasar tentang
perkawinan gerejawi. Di sini dikatakan antara lain tentang:
Perkawinan
sebagai perjanjian.
Perkawinan
sebagai perjanjian menunjuk segi-segi simbolik dari hubungan antara Tuhan dan
umatnya dalam Perjanjian Lama (Yahwe dan Israel) dan Perjanjian Baru (Kristus
dengan GerejaNya).
Perkawinan
sebagai kebersamaan seluruh hidup dari pria dan wanita
Perkawinan
sebagai sakramen; Hal ini merupakan
unsur hakiki perkawinan antara dua orang yang dibaptis.
Perkawinan
Menurut Ajaran Konsili Vatikan II Dalam Gaudium et Spes, no.48 dijelaskan bahwa
“perkawinan merupakan kesatuan mesra dalam hidup dan kasih antara pria dan
wanita, yang merupakan lembaga tetap yang berhadapan dengan masyarakat”.
Tujuan
Perkawinan
Kesejahteraan
lahir-batin suami-istri
Kesejahteraan
lahir batin anak-anak
Sifat
Perkawinan
Monogam
Tak
Terceraikan
Guru mengajak
para peserta didik
untuk mengakhiri pelajaran
dengan berdoa:
Ya Allah yang mahasetia, Engkau telah
menguduskan cintakasih suami isteri, dan mengangkat perkawinan, menjadi lambang
persatuan Kristus dengan Gereja. Semoga kedua suami-istri Katolik, semakin
menyadari kesucian hidup berkeluarga, dan berusaha menghayatinya dalam suka dan
duka. Demi Yesus Kristus, PuteraMu dan Pengantara kami, yang bersama Dikau
dalam persekutuan dengan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, kini dan sepanjang segala
masa. Amin.
1.
Guru mengajak para peserta didik untuk
memulai pelajaran dengan doa, misalnya:
Tuhan Yesus, Engkau menguduskan hidup
berkeluarga dengan hidup sendiri dalam keluarga Santo Yusuf di Nazaret.
Berkatilah kami pada kegiatan pembelajaran ini agar dapat memahami makna
keluarga sejati sebagaimana yang Engkau
kehendaki. Semoga kami hidup menurut pedoman injilMu, rukun, bijaksana,
sederhana, saling menyayangi, saling menghormati, saling menolong dengan senang
hati. Berilah supaya keramahan dan cinta kasih, semangat pengorbanan,
kerajinan, dan penghasilan yang cukup selalu berada dalam keluarga kami
masingmasing. Semoga keluarga kami menjadi garam serta terang bagi
keluargakeluarga di sekitar kami. Berkatilah kami agar janganlah seorang
diantara keluarga kami menjauh dari padaMu, satu-satunya sumber kebahagiaan
kami. Dikau kami puji bersama Bapa dan Roh Kudus, sekarang dan selama-lamanya.
Amin
2.
Guru membangun motivasi peserta didik
untuk belajar dengan mengungkapkan pemikiran dasar, yaitu:
Ada pelbagai tantangan yang dihadapi
keluarga-keluarga pada zaman ini. Tantangan tersebut datang baik dari dalam
keluarga itu sendiri maupun dari luar lingkungan keluarga. Tantangan paling
dirasakan dalam keluarga-keluarga saat ini adalah komunikasi. Menurut para
pemerhati keluarga, tampaknya kini makin berkurangnya komunikasi antaranggota
keluarga; antara suami–isteri dan anak-anak yang karena kesibukan kerja atau
karena terpisah oleh tem pat yang jauh telah melebarkan kelangkaan kesempatan
bertemu antarang gota keluarga. Di samping kebutuhan eko nomi yang menghimpit,
kurangnya kesediaan berkorban, mudahnya muncul perasaan cemburu sebagai akibat
dari kurangnya penghayatan akan sakramen perkawinan dan minimnya kemampuan
orangtua dalam mengembangkan iman anak telah menyeret keluarga keluar dari misi
utamanya yaitu semakin menghayati kasih Tuhan dan mengembangkannya. Selain
masalah komunikasi dan ekonomi dalam keluarga, persoalan kawin campur yang kini
menjadi suatu fenomena masyarakat karena kita hidup di tengah masyarakat yang
pluralistik, juga persoalan keluarga berencana dengan menggunakan alat
kontrasepsi yang tidak dikehendaki Gereja, dapat memperparah kondisi ini. Gereja Katolik memberikan perhatian yang
sangat serius pada kehidupan keluarga, karena keluarga adalah sel dari Gereja
dan masyarakat. Maka keluarga yang sejahtera adalah harapan sekaligus
perjuangan Gereja. Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Apostoliknya “Familiaris
Consortio” melihat keluarga sejahtera dalam kesetiaan pada rencana Allah
sebagai sebuah perkawinan. Ditegaskan pula bahwa pribadi manusia sebagai citra
Allah diciptakan untuk mencintai. Keluarga, menurut Paus, adalah suatu
komunitas pribadi-pribadi yang membentuk masyarakat dan Gereja. Pada kegiatan
pembelajaran ini, peserta didik dibimbing untuk memahami berbagai tantangan
dalam hidup berkeluarga pada jaman ini dan bagaimana berupaya secara terpadu
dan berkesi nam bungan untuk mengatasi dan mengangkat keluarga pada posisi
ideal atau keluarga yang dicita-citakan.
3.
Guru memberikan apersepsi dengan menelusuri
pengertian “tantangan hidup berkeluarga” secara umum.
4.
Guru menyampaikan indikator yang harus
dicapai peserta didik yaitu :
·
Menganalisis tantangan-tantangan untuk
membangun keluarga yang dicita-citakan (berdasarkan artikel tentang konferensi tentang keluarga di
Manila)
·
Menganalisis peluang-peluang untuk membangun keluarga yang
dicita-citakan (berdasarkan artikel tentang keluarga katolik)
·
Menjelaskan ajaran-ajaran Gereja
tentang membangun keluarga yang dicitacitakan (Pastoral Keluarga, KWI, 1976 No.
22–23).
·
Menjelaskan refleksi pribadi tentang
membangun keluarga Katolik yang dicita-citakan.
5.
Guru meyampaikan langkah-langkah
kegiatan pembelajaran dan kompetensi yang akan dinilai :
·
Menggali pemahaman tentang makna
keluarga
·
Menggali Ajaran Kitab Suci dan Ajaran Gereja tentang Keluarga.
·
Menghayati hidup keluarga yang dicita-citakan
a.
Guru
mengajak peserta didik untuk menyimak berita
berikut ini.
“Sebuah
konferensi tentang keluarga yang disponsori oleh Vatikan berakhir pada Jumat di
Manila dengan seruan bagi umat Katolik Asia untuk melawan aborsi, kontrasepsi
dan pernikahan sesama jenis sebagai “ancaman terhadap eksistensi keluarga”.
Dokumen empat halaman itu, yang dikeluarkan oleh 551 peserta dari 14 negara
Asia, termasuk 28 uskup, mengklaim bahwa advokasi untuk pernikahan sesama jenis
“mencoba untuk mengurangi pernikahan antara orang-orang sesama jenis”. “Aborsi
membunuh kehidupan yang akan mengancam eksistensi keluarga,” tulis dokumen itu,
seraya menambahkan bahwa kontrasepsi dan sterilisasi mengancam “tujuan
prokreasi perkawinan dan keluarga”.
Dokumen
ini dirilis pada akhir pertemuan empat hari, yang diselenggarakan oleh Dewan
Kepausan untuk Keluarga dan Konferensi Waligereja Filipina, untuk membahas
“Piagam Hak-hak Keluarga yang dikeluarkan Vatikan 30 tahun lalu.” Konferensi
ini diadakan di Filipina setelah pertempuran panjang antara Gereja dan
pemerintah terkait Undang-Undang Kesehatan Reproduksi yang membuka jalan bagi
pendanaan kontrasepsi dan pendidikan seks di negara ini. Dokumen konferensi itu
mengecam pemerintah dan lembaga sosial lainnya yang membuat kebijakan “yang
bertentangan dengan kehidupan dan keluarga melalui langkah-langkah koersif yang
bertentangan dengan hak-hak individu, pasangan dan keluarga untuk berkembang
sesuai dengan hukum alam dan hukum Gereja.” “Pemerintah yang mempromosikan
kontrasepsi, aborsi, sterilisasi, keluarga berencana buatan, perceraian,
pernikahan sesama jenis dan euthanasia, menghancurkan keluarga bahwa mereka
berkewajiban untuk melindungi dan mendorong,” kata dokumen tersebut. Dokumen
tersebut menegaskan bahwa keluarga “didasarkan pada pernikahan … di antara
seorang pria dan seorang wanita” dan merupakan “lembaga alami yang misinya
meneruskan kehidupan. “Kami mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan serius
‘Piagam Hak-hak Keluarga’ ini dalam perumusan kebijakan yang mempengaruhi
keluarga,” tulis dokumen itu. Uskup Jean Laffitte, sekretaris Dewan Kepausan
untuk Keluarga Vatikan, mengatakan meskipun berbagai upaya dilakukan oleh
pemimpin Gereja, namun ”hak untuk meneruskan kehidupan tidak selalu dihormati”
di sejumlah negara Asia. Sumber: UCA News http://indonesia.ucanews.com/2014/05/19/umat-katolik-asia-didesak-melawan-ancaman-terhadapeksistensi-keluarga/
b.
Guru
mengajak peserta didik untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan
berita yang telah dibaca atau didengarnya.
Pertanyaan yang muncul, misalnya
1.
Tantangan apa
saja dalam kehidupan keluarga saat ini?
2.
Bagaimana upaya
menghadapi tantangan kehidupan keluarga?
c.
Guru
memberikan penjelasan atau kesimpulan
setelah mendapat jawaban peserta didik.
Kesimpulan misalnya:
Persoalan-persoalan yang dihadapi
keluarga-keluarga saat ini menurut artikel tadi adalah; Kontrasepsi, aborsi,
sterilisasi, keluarga berencana buatan, perceraian, pernikahan sesama jenis dan
euthanasia.
d.
Guru
memberikan penekanan bahwa dengan melihat persoalan-persoalan seperti yang
ditemukan dalam cerita tersebut, maka sebagai orang Katolik kita harus sungguh
memahami makna keluarga yang sesungguhnya menurut ajaran Gereja Katolik
sehingga mampu membangun keluarga sesuai cita-cita harapan Gereja itu sendiri.
a.
Guru
mengajak peserta didik untuk menyimak artikel
berikut ini.
Gereja menganjurkan pengaturan kelahiran yang
alamiah, jika pasangan suami istri memiliki alasan yang kuat untuk membatasi
kelahiran anak. Pengaturan keluarga berencana (KB) secara alamiah ini dilakukan
antara lain dengan cara pantang berkala, yaitu tidak melakukan hubungan suami
istri pada masa subur istri. Hal ini sesuai dengan pengajaran Alkitab, yaitu
“Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk
sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa” (1Kor 7:5).
Dengan demikian suami istri dapat hidup didalam kekudusan dan menjaga
kehormatan perkawinan dan tidak mencemarkan tempat tidur (lih. Ibr 13:4).
Dengan menerapkan KB Alamiah, pasangan diharapkan untuk dapat lebih saling
mengasihi dan memperhatikan. Pantang berkala pada masa subur istri dapat diisi
dengan mewujudkan kasih dengan cara yang lebih sederhana dan bervariasi. Suami
menjadi lebih mengenal istri dan peduli akan kesehatan istri. Latihan penguasaan
diri ini dapat pula menghasilkan kebajikan lain seperti kesabaran,
kesederhanaan, kelemah-lembutan, kebijaksanaan, dll yang semuanya baik untuk
kekudusan suami istri. Istripun dapat merasa ia dikasihi dengan tulus, dan
bukannya hanya dikasihi untuk maksud tertentu. Teladan kebajikan suami istri
ini nantinya akan terpatri di dalam diri anak-anak, sehingga merekapun
bertumbuh menjadi pribadi yang beriman dan berkembang dalam berbagai kebajikan.
Perkawinan Katolik mengandung makna yang sangat indah dan dalam, karena
melaluinya Tuhan mengikutsertakan manusia untuk mengalami misteri kasih-Nya dan
turut mewujudkan karyaNya dalam penciptaan kehidupan baru; yaitu janin yang
memiliki jiwa yang kekal. Perkawinan merupakan sakramen, karena menjadi
gambaran persatuan Kristus dan Gereja-Nya. Hanya dengan menyadari kedalaman
arti Perkawinan ini, yaitu untuk maksud persatuan (union) suami istri dengan
pemberian diri mereka secara total, dan turut sertanya mereka dalam karya
penciptaan Tuhan (pro-creation), kita lebih dapat memahami pengajaran Gereja
Katolik yang menolak aborsi, kontrasepsi dan sterilisasi. Karena semua praktek
tersebut merupakan pelanggaran terhadap kehendak Tuhan dan martabat manusia,
baik pasangan suami istri maupun janin keturunan mereka. Aborsi dan penggunaan
alat-alat kontrasepsi merendahkan nilai luhur seksualitas manusia, dengan
melihat wanita dan janin sebagai hanya seolah-olah ‘tubuh’ tanpa jiwa.
Penggunaaan alat kontrasepsi menghalangi union suami istri secara penuh dan
peranan mereka dalam pro-creation, sehingga kesucian persatuan perkawinan
menjadi taruhannya. Betapa besar perbedaan cara pandang yang seperti ini dengan
rencana awal Tuhan, yang menciptakan manusia menurut gambaran-Nya: manusia pria
dan wanita sebagai mahluk spiritual yang mampu memberikan diri secara total,
satu dengan lainnya, yang dapat mengambil bagian dalam karya penciptaan dan
pengaturan dunia. (Ingrid Listiati/ http://katolisitas.org/313/humanae-vitae-itu-benar)
b.
Guru
mengajak peserta didik untuk mendalami artikel tersebut dengan memberikan
kesempatan terlebih dahulu kepada peserta didik untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan.
c.
Guru
membentuk beberapa kelompok diskusi untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan.
Misalnya:
1. Apa yang dimaksudkan dengan Keluarga
Berencana?
2. Apa ajaran Gereja tentang KB Alamiah?
d.
Guru
memberikan penjelasan setelah peserta didik menyampaikan hasil diskusinya:
Untuk hidup dan bertumbuh dengan baik, suatu
lembaga, apa pun namanya, membutuhkan perencanaan. Tanpa perencanaan lembaga
itu akan hancur berantakan. Demikian pula dengan keluarga sebagai suatu
lembaga. Maka itu, kita berbicara tentang KB. Pelaksanaan KB sungguh-sungguh
suatu tuntutan moral masa kini yang sangat penting untuk diperhatikan oleh
semua pihak yang bertanggung jawab, baik dalam bidang kependudukan secara luas,
maupun dalam inti sel masyarakat, yaitu keluarga. Hanya dengan menjalankan KB,
khususnya pengaturan kelahiran sesuai dengan aspirasi setiap manusia, akan tercipta
suatu hidup yang makmur dan bahagia. Namun, KB tidak lepas dari masalah moral.
Dalam melaksanakan KB kita hendaknya berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral
kita, yaitu moral Katolik.
a)
Pandangan Gereja
Mengenai KB
Gereja merasa
mempunyai tanggung jawab untuk mendukung dan melaksanakan KB pada masa ini.
Secara khusus, Gereja Indonesia melalui uskup-uskupnya menegaskan: ”Bukan hanya
pemerintah yang bertugas menyelesaikan persoalan ini. Gereja merasa terlibat
juga dan ikut bertanggung jawab untuk mengusahakan pemecahan .…” Pimpinan
Gereja di Indonesia sepakat menyatakan perlunya pengaturan kelahiran demi
kesejahteraan keluarga dan karena itu merasa penting membina sikap bertanggung
jawab di bidang ini (Pastoral Keluarga, KWI, 1976 No. 22–23).
b)
Alasan-alasan
mengapa KB sangat penting Alasan pertama mengapa KB harus dipromosikan ialah
kesejahteraan keluarga sebagai sel yang paling kecil dari masyarakat. Dengan
KB, ”mutu kehidupan” dapat ditingkatkan.
1)
Dengan KB
kesehatan ibu bisa agak dijamin. Kesehatan di sini dipahami secara fisik maupun
psikis. Setiap persalinan dan kehamilan memerlukan tenaga ibu. Kehamilan dan
persalinan yang terus-menerus dapat menguras daya jasmani rohani ibu, khususnya
jika gizi ibu kurang diperhatikan.
2)
Dengan KB relasi
suami-istri bisa semakin kaya. Kalau kehamilan dan kelahiran terjadi secara
terus-menerus, tugas utama suami-istri seolaholah hanya terpaut pada urusan
pengadaan dan pendidikan anak. Waktu untuk membangun keintiman dan kasih sayang
di antara keduanya menjadi sangat terbatas.
3)
Dengan KB taraf
hidup yang lebih pantas dapat dibangun. Semakin banyak anak berarti semakin
banyak mulut dan kepala yang memerlukan makanan, pakaian, rekreasi, perawatan
kesehatan, dan sebagainya. Pengeluaran yang begitu banyak, apalagi kalau sering
terjadi secara tak terduga, tentu saja akan mempersulit pengaturan
kesejahteraan keluarga.
4)
Dengan KB
pendidikan anak dapat lebih dijamin. Semua orang tua yang mencintai
anak-anaknya pasti ingin memberikan pendidikan yang sesuai dengan masa modern
ini supaya nasib anak-anaknya lebih baik daripada nasib mereka sendiri. Akan
tetapi, seringkali untuk menyekolahkan anak-anak kita harus mempertaruhkan
segala-galanya, apalagi kalau memiliki banyak anak.
5)
Dengan KB tidak
hanya menjamin kesejahteraan keluarga, tetapi juga kesejahteraan masyarakat dan
umat manusia. Menurut pendapat para ahli, pelaksanaan KB merupakan salah satu
sarana yang penting untuk mengantar suatu bangsa dari keterbelakangan,
kemiskinan, dan ketidakadilan. Kemajuan di berbagai bidang akan sia-sia kalau
ledakan penduduk tidak dihambat. Ledakan penduduk membawa banyak problem:
problem lapangan kerja, papan, sandang, pangan, kesehatan, dan sebagainya.
c)
Tanggungjawab
dalam KB Ada beberapa kelompok orang
yang dianggap sangat bertanggung jawab dalam hal KB ini.
1)
Para Pasutri
(Pasangan Suami-Istri). Yang mempunyai tanggung jawab terbesar dalam hal KB
adalah pasangan suami-istri sendiri, yang memiliki potensi vital untuk
mengadakan anak.
2)
Pemerintah.
Pemerintah jelas mempunyai hak dan kewajiban sekitar masalah kependudukan di
negaranya, dalam batas wewenangnya.
3)
Pimpinan agama.
Pimpinan semua agama sebagai instansi yang berkepentingan menanamkan
nilai-nilai luhur dan ilahi juga bertanggung jawab untuk menyuluh, membimbing,
dan mendampingi para penganut agamanya, khususnya pasutri, dalam pelaksanaan KB
yang wajar.
d)
Penilaian moral
tentang metode pada umumnya Walaupun ajaran Gereja pada umumnya hanya mengakui
metode KB alamiah, namun Gereja Indonesia melalui uskup-uskupnya mengatakan
bahwa dalam keadaan terjepit para suami-istri dapat menggunakan metode lain,
asalkan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1)
Tidak merendahkan
martabat istri atau suami. Misalnya, suami-istri tidak boleh dipaksa untuk
menggunakan salah satu metode.
2)
Tidak berlawanan
dengan hidup manusia. Jadi, metode-metode yang bersifat abortif jelas ditolak.
3)
Dapat
dipertanggungjawabkan secara medis, tidak membawa efek samping yang menyebabkan
kesehatan atau nyawa ibu berada dalam bahaya.
e)
Penilaian moral
untuk masing-masing metode
1)
Gereja sangat
menganjurkan metode KB alamiah seperti:
i. metode kalender;
ii. metode pengukuran suhu basal (metode
temperatur);
iii. metode ovulasi Billings; dan
iv. metode simptotermal (gabungan).
2)
Metode yang
dilarang Gereja karena bersifat abortif, antara lain:
i. abortus provocatus: pengguguran dengan
sengaja;
ii. spiral; dan
iii. pil mini.
a.
Guru
mengajak peserta didik untuk menuliskan sebuah refleksi pribadi tentang
membangun keluarga Katolik yang dicita-citakan.
b.
Guru
mengajak peserta didik untuk senantiasa bersikap hormat pada orngtuanya, dan
berdoa bagi kedua orangtuanya setiap hari.
a.
Guru
memberikan kesimpulan mengenai pelajaran hari ini, yaitu :
a)
Pandangan Gereja
Mengenai KB
Gereja merasa
mempunyai tanggung jawab untuk mendukung dan melaksanakan KB pada masa ini.
Alasan pertama
mengapa KB harus dipromosikan ialah kesejahteraan keluarga sebagai sel yang
paling kecil dari masyarakat. Dengan KB, ”mutu kehidupan” dapat ditingkatkan. Tanggungjawab
dalam KB Ada beberapa kelompok orang
yang dianggap sangat bertanggung jawab dalam hal KB ini: Para Pasutri (Pasangan
Suami-Istri), pemerintah, dan pimpinan agama.
b)
Penilaian moral
tentang metode pada umumnya Walaupun ajaran Gereja pada umumnya hanya mengakui
metode KB alamiah, namun Gereja Indonesia melalui uskup-uskupnya mengatakan
bahwa dalam keadaan terjepit para suami-istri dapat menggunakan metode lain,
asalkan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1)
Tidak merendahkan
martabat istri atau suami. Misalnya, suami-istri tidak boleh dipaksa untuk
menggunakan salah satu metode.
2)
Tidak berlawanan
dengan hidup manusia. Jadi, metode-metode yang bersifat abortif jelas ditolak.
3)
Dapat
dipertanggungjawabkan secara medis, tidak membawa efek samping yang menyebabkan
kesehatan atau nyawa ibu berada dalam bahaya.
c)
Penilaian moral
untuk masing-masing metode
Gereja sangat menganjurkan metode KB alamiah
seperti: metode kalender; metode pengukuran suhu basal (metode temperatur);
metode ovulasi Billings; dan metode simptotermal (gabungan).
Metode yang dilarang Gereja karena bersifat
abortif, antara lain: abortus provocatus: pengguguran dengan sengaja; spiral;
dan pil mini.
b.
Guru mengajak
para peserta didik
untuk mengakhiri pelajaran
dengan berdoa:
Yesusku, Terima kasih Engkau beri aku
Ayah dan Ibu yang baik. Yang dengan sabar mendidik dan membesarkan aku. Mereka
sangat menyayangi aku. Aku mohon, berkatilah mereka, dalam usahanya mencukupi
kebutuhan kami. Baik jasmani maupun rohani. Bimbinglah mereka dengan kekuatan
Roh Kudus-Mu. Terangilah jalan hidup mereka. Sehingga mereka selalu berada di
jalan-Mu. Jalan ke kehidupan kekal. Jauhkan mereka dari penyakit. Lindungi
mereka dari kejahatan dan kecelakaan. Hiburlah mereka di saat susah. Kuatkan
pengharapan mereka dalam penderitaan. Semoga kami sekeluarga tetap bersatu,
dalam cinta kasih-mu yang abadi. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar