Cari Blog Ini

Senin, 27 Januari 2025

TANTANGAN DAN PELUANG UMAT KATOLIK DALAM MEMBANGUN BANGSA DAN NEGARA

 

TANTANGAN DAN PELUANG UMAT KATOLIK DALAM MEMBANGUN BANGSA DAN NEGARA

 

Doa Pembuka

Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Amin.

Allah Bapa yang penuh kasih, terima kasih untuk segala rahmat yang Engkau berikan kepada kami sepanjang hidup kami. Pada kesempatan yang indah ini kami akan belajar untuk memahami tentang tantangan dan peluang umat Katolik dalam membangun bangsa dan negara sebagaimana yang Engkau kehendaki. Semoga tantangan-tantangan yang ada dapat kami hadapi dengan baik, dan oleh karena pertolongan-Mu, kami umatmu dapat menjadi saluran berkat bagi bangsa dan negara kami tercinta. Amin.

Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Amin.

 

Langkah Pertama: Mendalami Tantangan-Tantangan Yang Dihadapi Bangsa Indonesia Saat Ini

1.    Apersepsi

Guru mengawali kegiatan pembelajaran dengan mengajak peserta didik berdialog dan mengajak mereka mengingat kembali tema pembelajaran sebelumnya tentang dasar keterpanggilan Gereja dalam membangun bangsa dan negara. Guru menanyakan, misalnya; adakah kesulitan atau hambatan dalam melakukan penugasan terkait rencana aksi, khususnya pada subpokok tersebut.

Selanjutnya guru menyampaikan materi pembelajaran saat ini yaitu tentang tantangan dan peluang umat Katolik dalam membangun bangsa dan negara. Berkaitan dengan materi pembelajaran ini, guru dapat memotivasi belajar peserta didik dengan pertanyaan, misalnya: apa saja tantangan dan peluang umat Katolik dalam membangun bangsa dan negara.

Nah, mari kita memulai pembelajaran dengan menyimak artikel berikut ini.

 

2.    Mengamati situasi kehidupan

Peserta didik membaca dan menyimak artikel berikut ini.

Bahaya Hoax Bagi Kehidupan Masyarakat

FENOMENA hoax telah terjadi sejak masa lampau. Namun, hoax beberapa tahun belakangan ini baru mengambil peran utama dalam panggung diskursus publik Indonesia. Sebetulnya hoaks punya akar sejarah yang panjang. Hoaks yang kini tercantum di Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan arti berita bohong.

Sebuah kebohongan bisa disebut sebagai hoaks apabila dibuat dengan sengaja agar dipercaya sebagai kebenaran. Kebohongan baru bisa disebut hoaks apabila keberadaannya memiliki tujuan tertentu, seperti misalnya untuk memengaruhi opini publik. Hingga kini, eksistensi hoaks terus meningkat. Dari kabar palsu seperti entitas raksasa seperti Loch Ness, tembok China yang terlihat dari luar angkasa, hingga ribuan hoaks yang bertebaran di pemilihan umum presiden Amerika Serikat di tahun 2016.

Semua hoaks tersebut punya tujuan masing-masing, dari sesederhana publisitas diri hingga tujuan yang amat genting seperti politik praktis sebuah negara adidaya. Kemunculan internet semakin memperparah sirkulasi hoaks di dunia. Sama seperti meme, keberadaannya sangat mudah menyebar lewat media-media sosial. Apalagi biasanya konten hoaks memiliki isu yang tengah ramai di masyarakat dan menghebohkan, yang membuatnya sangat mudah memancing orang membagikannya.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara pernah mengungkapkan bahwa hoaks dan media sosial seperti vicious circle, atau lingkaran setan. "(Pengguna) media sosial pun sering mengutip situs hoaks. Berputar-putar di situ saja," ujar Rudiantara. Dari situ langkah pencegahan mulai gencar dilakukan. Termasuk oleh Facebook dan Twitter sebagai pemilik platform yang membuat tim khusus untuk meminimalisasi keberadaannya. Ditambah lagi dengan kemunculan media abal-abal yang sama sekali tak menerapkan standar jurnalisme. Peran media profesional yang seharusnya membawa kecerahan dalam sebuah persoalan yang simpang siur di masyarakat semakin lama semakin tergerus.

Masyarakat diimbaunya untuk tak mudah percaya kabar viral, apalagi bersumber dari media yang abal-abal. Masyarakat harus mengedepankan keingintahuan lebih, dan berfikir apakah berita ini benar adanya. Masyarakat juga bisa mengecek kebenaran informasinya, salah satunya dengan melihat berbagai media yang dapat dipercaya. Artinya mengedepankan prinsip-prinsip jurnalisme yang baik, mengedepankan fakta dan kebenaran.

Sumber: https://m.batamtoday.com/berita136863-Bahaya-Hoax-Bagi-Kehidupan-Masyarakat.html

 

3.    Pendalaman

Peserta didik berdiskusi dalam kelompok untuk mendalami artikel ini. dan menemukan berbagai tantangan yang sedang dihadapi bangsa dan negara. Pertanyaan untuk diskusi kelompok:

a.      Mengapa banyak orang percaya dengan hoaks?

b.      Apa akibat dari berita hoaks di masyarakat?

c.       Bagaimana seharusnya kita menyikapi berita yang beredar di media sosial?

d.      Masalah-masalah lain apa saja yang sedang dihadapi bangsa Indonesia?

 

4.    Melaporkan hasil diskusi

Peserta didik menyampaikan hasil diskusi kelompoknya masing-masing dan peserta lain dapat menanggapi laporan tersebut dengan bertanya atau mengkritisinya.

 

5.    Penjelasan

Guru memberikan penjelasan sebagai peneguhan setelah mendengar laporan hasil diskusi kelompok, misalnya sebagai berikut:

 

Etika komunikasi

a.      Menurut KBBI, Hoaks mengandung makna berita bohong, berita tidak bersumber [3]. Menurut Silverman (2015), hoaks merupakan sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, tetapi “dijual” sebagai kebenaran [4]. Hoaks bukan sekadar misleading alias menyesatkan, informasi dalam fake news juga tidak memiliki landasan faktual, tetapi disajikan seolah-olah sebagai serangkaian fakta [5] (https://id.wikipedia.org/ wiki/Berita_bohong)

b.      Orang mudah sekali mempercayai hoaks karena semakin banyaknya informasi yang menyebar ditambah semakin mudahnya masyarakat mengakses informasi.

c.       sebuah kebohongan yang dikarang sedemikian rupa oleh seseorang untuk menutupi atau mengalihkan perhatian dari kebenaran, yang digunakan untuk kepentingan pribadi, baik itu secara intrinsik maupun ekstrinsik. Informasi yang dipublikasikan melalui media digital cenderung dipilih karena memang memiliki kecepatan akses yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan media konvensional.

d.      Sebagai akibat kecepatan akses tersebut, informasi yang beredar acap kali tanpa melalui proses penyuntingan dan verifikasi kebenaran yang jelas. Akibatnya, masyarakat merasa linglung "kebingungan" ketika berita fakta dan berita bohong berseliweran silih berganti dengan begitu cepatnya. Gejala yang merujuk pada fenomena yang dikenal dengan istilah kejutan budaya (culture shock).

e.      Setiap individu harus menjadi "lembaga sensor" bagi dirinya sendiri. Dalam level keluarga, orang tualah yang berperan memberi pemahaman, pengertian dan pengawasan pada anak-anaknya. Adapun dalam sebuah institusi, para pimpinannyalah yang mengoptimalkan komunikasi internal agar gejala penyebaran hoaks agar dapat dieliminir dan terdeketsi sejak dini. Dengan membuka saluran-saluran komunikasi dalam institusi juga dapat memberi forum bagi terjadinya komunikasi internal yang konstruktif. Semua hal ini berkaitan dengan etika komunikasi yang harus diperhatikan semua kita agar kita dapat hidup damai dan sejahtera.

Etika politik

Ambisi akan kekuasaan dan harta keayaan yang menjadi bagian dari pendorong politik kepentingan yang sangat membatasi ruang publik, yakni ruang kebebasan politik dan ruang peran serta warga negara sebagai subjek. Ruang publik disamakan dengan pasar. Yang dianggap paling penting adalah kekuatan uang dan hasil ekonomi. Manusia hanya diperalat sehingga cenderung diterapkan diskriminasi, dan kemajemukan pun diabaikan. Kita dapat menyaksikan begitu banyak politisi Indonesia yang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi karena money politic atau politik uang untuk mebeli suara pemilih secara tidak beretika.

Masalah ekonomi

Masalah krisis ekonomi terjadi hampir di seluruh dunia termasuk Indonesia. Krisis ekonomi menimpa pemerintah dan masyarakat sekaligus. Pada saat ini, keadaan ekonomi di Indonesia juga dunia semakin dipersulit karena adanya pandemi virus Corona. Banyak tenaga kerja mengalami pemutusan gubungan kerja karena perusahaannya berhenti beroperasi, dan hal ini meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan secara menyeluruh.

Merebaknya aliran fundamentalis radikal

Fundamentalisme itu pandangan yang berpusat pada diri manusia, sehingga manusia menjadi tolok ukurnya. Karena itu fundamentalisme prinsipnya “menutup diri” terhadap kebenaran dari paham di luar dirinya. Akhirnya fundamentalisme dapat berakhir pada arogansi terhadap orang lain.

Lemahnya penegakan hukum

Dalam berbagai kasus penegakan hukum baik perdata maupun pidana, banyak terjadi ketidakadilan. Keadilan hukum hanya tajam untuk orang di bawah tetapi tumpul untuk orang yang di atas. Artinya bahwa keadilan hukum di lembaga peradilan hanya diberlakukan bagi masyarakat kecil yang lemah secara ekonomi, karena mereka tidak mampu menyogok para penegak hukum. Di sisi lain para penguasa dan kaum kaya raya dapat membeli para penegak hukum sehingga mereka bisa bebas dari hukuman, atau minimal mendapat hukuman ringan. Dalam beberapa kasus, seorang pencopet atau maling ayam, dihukum jauh lebih berat daripada seorang koruptor yang telah mencuri uang negara ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah. Publik Indonesia pun sudah mengetahui bagaimana banyak koruptor kelas kakap yang sedang mendekam di penjara tetapi dapat berkeliaran bebas di luar dan berpesta pora serta melancong ke mana-mana.

Berbagai bencana dan kerusakan alam

Bencana alam dan kerusakan alam menjadi tantangan nyata di hadapan kita. Bencana alam bisa disebabkan oleh kondisi alam itu sendiri, seperti gempa bumi, dan letusan gunung berapi. Namun bencana alam juga dapat disebabkan oleh perbuatan manusia sendiri, seperti penggundulan dan pembakaran hutan untuk berbagai tujuan; penebangan pohon secara serampangan sehingga menimbulkan bencana longsor dan banjir bandang yang merenggut jiwa dan harta. Kerusakan alam juga disebabkan oleh limbah industri yang mematikan ekosistem di sekitarnya.

 

Langkah Kedua: Menggali Ajaran Gereja Tentang Bagaimana Peluang-Peluang Umat Katolik Dalam Pembangunan

1.    Ajaran Gereja.

Peserta didik membaca dan menyimak artikel berikut ini.

a.      Etika Komunikasi

Saat ini di Indonesia muncul budaya berita hoaks yang semakin marak dimana- mana. Banyak orang secara sengaja menciptakan hoaks atau berita tipu daya, berita bohong dengan sengaja untuk menciptakan kebencian terhadap seseorang atau satu golongan. Banyak kasus berita hoax menimbulakan keresahan hidup masyarakat. Dewan Kepausan Untuk Komunikasi Sosial dalam dokumen tentang Etika dalam Internet (22 Februari 2002) menyatakan: “keutamaan solidaritas adalah ukuran kegunaan yang ditawarkan internet bagi kebaikan bersama. Kebaikan bersamalah yang menjadi konteks untuk mempertimbangkan pertanyaan moral ini: “Apakah sarana komunikasi sosial digunakan untuk kebaikan atau kejahatan.” Banyak orang dan kelompok berbagi tanggung jawab dalam hal ini. Semua pengguna internet diwajibkan menggunakannya dengan cara yang terinformasi dan disiplin untuk tujuan yang baik secara moral. Para orang tua hendaknya membimbing dan mengawasi anak-anak dalam menggunakannya. Sekolah-sekolah serta lembaga- lembaga dan program-program pendidikan lainnya hendaknya mengajarkan penggunaan internet dengan bijak sebagai bagian pendidikan media massa komprehensif, yang mencakup tidak hanya pelatihan dalam kemampuan-kemampuan teknis –‘literasi komputer’ dan yang serupa–, tetapi juga kemampuan mengevaluasi isi secara tepat dan bijak. Mereka, yang keputusan-keputusan dan tindakan-tindakannya berperan membentuk struktur dan isi internet, memiliki kewajiban untuk melaksanakan solidaritas dalam pelayanan kebaikan bersama” (ETIKA DALAM INTERNET, Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial 22 Februari 2002). Kita sebagai umat Katolik dapat menjadi yang terdepan dalam membangun budaya komunikasi, khususnya komunikasi digital secara baik atau beretika.

b.      Etika Politik

Etika Politik di Indonesia masih memprihatinkan. Banyak orang berpolitik dengan cara-cara yang kurang beretika, misalnya politik uang. Mereka melakukan korupsi untuk biaya politiknya, dan setelah mendapat kursi kekuasaan, mereka melakukan korupsi untuk mengembalikan uang yang telah mereka keluarkan untuk merebut kursi kekuasaan. Gereja Katolik perlu memperjuangkan agar politik tidak hanya dipahami secara pragmatis sebagai sarana untuk mencari kekuasaan dan kekayaan, melainkan sebagai suatu jerih payah untuk membuat transformasi situasi masyarakat yang kacau menjadi masyarakat yang tertata dan mampu menciptakan kesejahteraan umum.

Relasi Gereja dan Negara untuk kepentingan terwujudnya kesejahteraan umum dinyatakan oleh Konsili sebagai berikut:

“Negara dan Gereja bersifat otonom tidak saling tergantung dibidang masing- masing.Akan tetapi keduanya, kendati atas dasar yang berbeda, melayani panggilan pribadi dan sosial orang-orang yang sama. Pelaksanaan itu akan lebih efektif jika negara dan Gereja menjalin kerja sama yang sehat, dengan mengindahkan situasi setempat dan sesama. Sebab manusia tidak terkungkung dalam tata duniawi saja, melainkan juga mengabdi kepada panggilannya untuk kehidupan kekal. Gereja, yang bertumpu pada cinta kasih Sang Penebus, menyumbangkan bantuannya, supaya di dalam kawasan bangsa sendiri dan antara bangsa-bangsa makin meluaslah keadilan dan cinta kasih. Dengan mewartakan kebenaran Injil, dan dengan menyinari semua bidang manusiawi melalui ajaran-Nya dan melalui kesaksian umat kristiani, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warga negara.” (KV II, GS art. 76)

c.       Krisis Ekonomi

Krisis ekonomi sering terjadi melanda dunia termasuk Indonesia yang menimbulkan kesukaran-kesukaran hidup bagi kelompok masyarakat kelas ekonomi bawah atau orang miskin. Untuk masalah pemiskinan secara ekonomi tersebut, Konsili Vatikan mengajarkan bahwa: “Makna-tujuan yang paling inti produksi itu bukanlah semata-mata bertambahnya hasil produksi, bukan pula keuntungan atau kekuasaan, melainkan pelayanan kepada manusia, yakni manusia seutuhnya, dengan mengindahkan tata urutan kebutuhan-kebutuhan jasmaninya maupun tuntutan-tuntutan hidupnya di bidang intelektual, moral, rohani, dan keagamaan; katakanlah: manusia siapa saja, kelompok manusia mana pun juga, dari setiap suku dan wilayah dunia. Oleh karena itu kegiatan ekonomi harus dilaksanakan menurut metode-metode dan kaidah-kaidahnya sendiri, dalam batas-batas moralitas sehingga terpenuhilah rencana Allah tentang manusia”. (KV II GS art. 64).

Harapan Konsili itu jelas, perekonomian mesti terutama mengabdi kepentingan perkembangan manusia, sehingga titik berat perkem-bangan ekonomi bukan sekadar keuntungan semata mata! Di sinilah tantangan sekaligus sebagai peluang bagi umat Katolik dan umat beragama dan berkepercayaan lainnya untuk mengembangkan ekonomi yang berpihak pada kesejahteraan rakyat.

d.      Merebaknya aliran fundamentalis radikal

Fundamentalisme itu pandangan yang berpusat pada diri manusia, sehingga manusia menjadi tolok ukurnya. Karena itu fundamentalisme prinsipnya “menutup diri” terhadap kebenaran dari paham di luar dirinya. Akhirnya fundamentalisme dapat berakhir pada arogansi terhadap orang lain, kekerasan demi mencapai tujuannya sendiri. Berhadapan dengan berbagai aliran itu, kepentingan kehadiran Gereja tidak lain adalah mendorong gerakan “kebebasan beragama” dan “gerakan humanisme sejati, yang tertuju pada Allah.” Demi kepentingan gerakan kebebasan beragama, Konsili Vatikan II, secara khusus menyatakannya.

“Bahwa pribadi manusia berhak atas kebebasan beragama. Kebebasan itu berarti, bahwa semua orang harus kebal terhadap paksaan dari pihak orangorang perorangan maupun kelompok-kelompok sosial atau kuasa manusiawi mana pun juga, sedemikian rupa, sehingga dalam hal keagamaan tak seorang pun dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya, atau dihalang-halangi untuk dalam batas-batas yang wajar bertindak menurut suara hatinya, baik sebagai perorangan maupun di muka umum, baik sendiri maupun bersama dengan orang-orang lain. Selain itu Konsili menyatakan, bahwa hak menyatakan kebebasan beragama sungguh didasarkan pada martabat pribadi manusia, sebagaimana dikenal berkat sabda Allah yang diwahyukan dan dengan akal-budi." Hak pribadi manusia atas kebebasan beragama harus diakui dalam tata hukum masyarakat sedemikian rupa, sehingga menjadi hak sipil.” (KV II, Dignitatis Humanae, art. 2). Terhadap cara pandang yang sempit dan picik dan merasa benar sendiri, Paulus VI menunjukkan nilai humanisme yang semestinya menjadi nilai universal dalam masyarakat dunia.

“Tujuan mutakhir ialah humanisme yang terwujudkan seutuhnya. Dan tidakkah itu berarti pemenuhan manusia seutuhnya dan tidap manusia? Humanisme yang picik, terkungkung dalam dirinya tidak terbuka bagi nilai- nilai roh dan bagi Allah yang menjadi Sumbernya, barangkali nampaknya saja berhasil, sbeba manusia dapat berusha menta kenyataan duniawi tanpa Allah. Akan tetapi bula kenyataan-kenyataan itu tertutup bagi Allah, akhirnya justru akan berbalik melawan manusia. Humanisme yang tertutup bagi kenyataan lain jadi tidak manusiawi. Humanisme yang sejati menunjukkan jalan kepada Allah serta mengakui tugas yagn menjadi pokok panggilan kita, tugas yang menyajikan kepada kita makna sesungguhya hidup manusiawi. Bukan manusialah norma mutakhir manusia. Manusia hanya menjadi sungguh manusiawi bila melampaui diri sendiri. Menurut Blaise Pascal, “Manusia secara tidak terbatas mengungguli martabatnya” (Paulus VI, Populorum Progressio art. 42).

e.      Lemahnya penegakan hukum

Dari segi lemahnya penegakan hukum, kita harus berusaha mengubah mind-set peranan hukum dalam masyarakat, bahwa hukum bukan sarana untuk mempermudah agar “kasus-kasus” Pidana dan Perdata diperlakukan sebagai “komoditi”, tetapi hukum berfungsi untuk mempermudah pelaksanaan hidup bersama yang memungkinkan terciptanya kesejahteraan umum. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa ““...Kesadaran akan martabat manusia semakin mendalam. Maka di pelbagai kawasan dunia ini muncullah usaha untuk membaharui tata politik berdasarkan hukum, supaya hak-hak pribadi dalam kehidupan umum lebih dilindungi, misalnya hak untuk dengan bebas mengadakan pertemuan dan mendirikan organisasi; hak untuk mengungkapkan pendapat-pendapatnya sendiri, dan untuk mengamalkan agama sebagai perorangan maupun di muka umum. Sebab terjaminnya hak-hak pribadi merupakan syarat mutlak, supaya para warga negara, masing-masing mempunyai kolektif, dapat bereperanserta secara aktif dalam kehidupan dan pemerintahan negara...” (KV II GS art. 73).

Dalam Kitab Suci, kita dapat melihat bagaimana Yesus menuntut bangsa Yahudi supaya taat kepada hukum Taurat sebab pada dasarnya hukum Taurat dibuat demi kebaikan dan keselamatan manusia (bdk. Mat. 5:17–43). Satu titik pun tidak boleh dihilangkan dari hukum Taurat. Ia hanya menolak hukum Taurat yang sudah dimanipulasi, di mana hukum tidak diabdikan untuk manusia, tetapi manusia diabdikan untuk hukum. Segala hukum, peraturan, dan perintah harus diabdikan untuk tujuan kemerdekaan manusia. Maksud terdalam dari setiap hukum adalah membebaskan (atau menghindarkan) manusia dari segala sesuatu yang (dapat) menghalangi manusia untuk berbuat baik. Demikian pula tujuan hukum Taurat. Sikap Yesus terhadap hukum Taurat dapat diringkas dengan mengatakan bahwa Yesus selalu memandang hukum Taurat dalam terang hukum kasih.

Mereka yang tidak peduli dengan maksud dan tujuan hukum, hanya asal menepati huruf hukum, akan bersikap legalistis: pemenuhan hukum secara lahiriah sedemikian rupa sehingga semangat hukum kerap kali dikurbankan. Misalnya, ketika kaum Farisi menerapkan peraturan mengenai hari Sabat dengan cara yang merugikan perkembangan manusia, Yesus mengajukan protes demi tercapainya tujuan peraturan itu sendiri, yakni kesejahteraan manusia: jiwa dan raga. Menurut keyakinan awal orang Yahudi sendiri, peraturan mengenai hari Sabat adalah karunia Allah demi kesejahteraan manusia (bdk. Ul 5:12-15; Kel. 20:8–11; Kej. 2:3). Akan tetapi, sejak pembuangan Babilonia (587–538 SM), peraturan itu oleh para rabi cenderung ditambah dengan larangan-larangan yang sangat rumit. Memetik butir gandum sewaktu melewati ladang yang terbuka tidak dianggap sebagai pencurian. Kitab Ulangan yang bersemangat perikemanusiaan mengizinkan perbuatan tersebut. Akan tetapi, hukum seperti yang ditafsirkan para rabi melarang orang menyiapkan makanan pada hari Sabat dan karenanya juga melarang menuai dan menumbuk gandum pada hari Sabat. Dengan demikian, para rabi menulis hukum mereka sendiri yang bertentangan dengan semangat perikemanusiaan Kitab Ulangan. Hukum ini menjadi beban, bukan lagi bantuan guna mencapai kepenuhan hidup sebagai manusia.

Oleh karena itu Yesus mengajukan protes. Ia mempertahankan maksud Allah yang sesungguhnya dengan peraturan mengenai Sabat itu. Yang dikritik Yesus bukanlah aturan mengenai hari Sabat sebagai pernyataan kehendak Allah, melainkan cara hukum itu ditafsirkan dan diterapkan. Mula-mula, aturan mengenai hari Sabat adalah hukum sosial yang bermaksud memberikan kepada manusia waktu untuk beristirahat, berpesta, dan bergembira setelah enam hari bekerja. Istirahat dan pesta itu memungkinkan manusia untuk selalu mengingat siapa sebenarnya dirinya dan untuk apakah ia hidup. Sebenarnya, peraturan mengenai hari Sabat mengatakan kepada kita bahwa masa depan kita bukanlah kebinasaan, melainkan pesta. Dan, pesta itu sudah boleh mulai kita rayakan sekarang dalam hidup di dunia ini, dalam perjalanan kita menuju Sabat yang kekal. Cara unggul mempergunakan hari Sabat ialah dengan menolong sesama (bdk. Mrk 3:1–5). Hari Sabat bukan untuk mengabaikan kesempatan berbuat baik. Pandangan Yesus tentang Taurat adalah pandangan yang bersifat memerdekakan, sesuai dengan maksud yang sesungguhnya dari hukum Taurat.

f.        Berbagai bercana dan kerusakan alam

Bencana alam dan kerusakan alam menantang Gereja untuk berefleksi, “Di manakah Gereja itu hidup, bukankah lingkungan hidup juga sangat crucial untuk hidup Gereja di tengah dunia? Maka persoalan pengrusakan lingkungan hidup itu tidak hanya masalah dunia, tetapi juga masalah Gereja. Paus Paulus VI, dalam Ensiklik Populorum Progressio, art. 21, menegaskan:

“Bukan saja lingkungan materiil terus menurus merupakan ancaman pencemaran dan sampah, penyakit baru dan daya penghancur, melainkan lingkungan hidup manusiawi tidak lagi dikendalikan oleh manusia, sehingga menciptakan lingkungan yang untuk masa depan mungkin sekali tidak tertanggung lagi. Itulah persoalan sosial berjangkau luas, yang sedang memprihatinkan segenap keluarga manusia.”

Dengan demikian, Gereja juga ditantang untuk terlibat dalam dunia pertanian yang sudah rusak karena perusakan sistematis sehingga merusak tatanan dan fungsi lingkungan hidup.

2.    Pendalaman

Dalam kelompok diskusi Peserta didik mendalami artikel dengan pertanyaan- pertanyaan berikut ini.

a.    Buatlah analisa berkaitan dengan masalah hoaks yang berkembangkan saat ini, apa pandangan atau ajaran Gereja tentang etika komunikasi sebagaimana yang disampaikan Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial tentang Gereja dan internet!

b.    Buatlah analisa tentang Etika politik menurut Gaudium et Spes art. 76 berkaitan dengan masalah praktik etika politik di Indonesia!

c.     Buatlah analisa tentang pengembangan ekonomi menurut Gaudium et Spes 64 dengan masalah ekonomi yang terjadi di Indonesia!

d.    Buatlah analisa tentang penegakan hukum menurut Gaudim et Spes 73 berkaitan dengan masalah penegakan hukum di Indonesia!

e.    Buatlah analisa tentang masalah aliran fundamentalis radikal dan bagaimana Gereja menanggulanginya menurut Dignitatis Humanae, art.1!

f.      Buatlah analisa tentang berbagai bencana dan kerusakan alam dan bagamana Gereja menanggulanginya berdasarkan Ensiklik Populorum Progressio, art. 21!

3.    Melaporkan hasil diskusi

Setiap kelompok melaporkan hasil diskusi kelompoknya masing-masing, dan peserta lain dapat memberikan tanggapan atas laporan hasil diskusi tersebut.

4.    Penjelasan

Setelah mendengar laporan hasil diskusi kelompok, guru memberikan penjelasan sebagai peneguhan, misalnya:

a.    Keutamaan solidaritas adalah ukuran kegunaan yang ditawarkan internet bagi kebaikan bersama. Kebaikan bersamalah yang menjadi konteks untuk mempertimbangkan pertanyaan moral ini: “Apakah sarana komunikasi sosial digunakan untuk kebaikan atau kejahatan.” Banyak orang dan kelompok berbagi tanggung jawab dalam hal ini. Semua pengguna internet diwajibkan menggunakannya dengan cara yang terinformasi dan disiplin untuk tujuan yang baik secara moral.

b.    Gereja Katolik perlu memperjuangkan agar politik tidak hanya dipahami secara pragmatis sebagai sarana untuk mencari kekuasaan dan kekayaan, melainkan sebagai suatu jerih payah untuk membuat transformasi situasi masyarakat yang kacau menjadi masyarakat yang tertata dan mampu menciptakan kesejahteraan umum.

c.     Dengan mewartakan kebenaran Injil, dan dengan menyinari semua bidang manusiawi melalui ajaran-Nya dan melalui kesaksian umat kristiani, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warga negara. (GS art. 76)

d.    Perekonomian mesti terutama mengabdi kepentingan perkembangan manusia, sehingga titik berat perkembangan ekonomi bukan sekadar keuntungan semata mata! Di sinilah tantangan sekaligus sebagai peluang bagi umat Katolik dan umat beragama dan berkepercayaan lainnya untuk mengembangkan ekonomi yang berpihak pada kesejahteraan rakyat.

e.    Berhadapan dengan berbagai aliran itu, kepentingan kehadiran Gereja tidak lain adalah mendorong gerakan “kebebasan beragama” dan “gerakan humanisme sejati, yang tertuju pada Allah.”

f.      Dari segi lemahnya penegakan hukum, kita harus berusaha mengubah mind-set peranan hukum dalam masyarakat, bahwa hukum bukan sarana untuk mempermudah agar “kasus-kasus” Pidana dan Perdata diperlakukan sebagai “komoditi”, tetapi hukum berfungsi untuk mempermudah pelaksanaan hidup bersama yang memungkinkan terciptanya kesejahteraan umum.

g.    Bencana alam dan kerusakan alam menantang Gereja untuk berefleksi, “Di manakah Gereja itu hidup, bukankah lingkungan hidup juga sangat crucial untuk hidup Gereja di tengah dunia? Maka persoalan pengrusakan lingkungan hidup itu tidak hanya masalah dunia, tetapi juga masalah Gereja.

 

Langkah Ketiga: Menghayati Tantangan Dan Peluang Untuk Membangun Bangsa Dan Negara

1.    Refleksi

Peserta didik membaca dan menyimak artikel berikut ini.

Di Tengah Pandemi, Siswa Indonesia Toreh Prestasi Kejuaraan Debat Internasional

KOMPAS.com - Kembali, di tengah pandemi global Covid-19 siswa Indonesia menorehkan prestasi di kancah internasional. Kabar gembira datang dari pelajar SMA yang mewakili Indonesia di ajang "Online World Schools Debating Championship (OWSDC) 2020".

Dalam ajang yang digelar 17 Juli sampai Agustus 2020, tim Indonesia yang difasilitasi Pusat Prestasi Nasional (Puspresnas), Kemendikbud mengirimkan tiga siswa berprestasi; Cassia Tandiono (SMA Pelita Harapan Kemang Village, Jakarta) Joshua Luke Tandiono (SMA British Indonesia Jakarta), Judah Purwanto (SMA Pelita Harapan Lippo Village, Tangerang)

Melalui pengumuman resmi Tim Indonesia mendapatkan penghargaan bergengsi individu, yaitu "Top 5 ESL Best Speaker" dan "Top 10 Open Best Speaker" atas nama Judah Purwanto. Penghargaan "Best Speaker" dalam kategori ESL dan Open (kategori utama) ini adalah yang pertama kali tim Indonesia raih. "Kita patut berbangga anak-anak Indonesia tidak kehilangan orientasi untuk berprestasi dunia dalam masa pandemik ini," ujar Plt. Kepala Pusat Prestasi Nasional Asep Asep Sukmayadi. Asep menjelaskan lomba debat tingkat dunia sudah Indonesia ikuti lebih dari 1 dekade lalu. Persaingan antarnegara, menurutnya sangat ketat dan untuk pertama kalinya tahun ini Indonesia mampu mencapai ranking 5 besar dunia.

"Ini bukan hanya sekadar kita mampu beradaptasi karena pandemi, tetapi kita mampu melampauinya lebih baik, dan anak-anak Indonesia membuktikannya. Asep menegaskan, "ini juga berkat kerjasama gotong royong yang baik untuk melakukan pembinaan secara konsisten diantara kementerian, dinas pendidikan, sekolah, dan orang tua." "Semoga ini menjadi kabar baik dan inspirasi agar kita lebih bisa optimis mampu melampaui ujian berat pandemi ini, tetap produktif, dan berprestasi," harapnya.

Kepala Puspresnas menyampaikan Puspresnas memberikan perhatian sama untuk semua potensi bakat dan prestasi peserta didik di semua lini kecerdasan. "Bahwa setiap anak-anak Indonesia memiliki keistimewaannya sendiri, bahwa yang hebat itu tidak hanya yang pandai sains atau matematika, tetapi juga yang memiliki talenta dan kemampuan di bidang bahasa, seni, budaya, olahraga, dan banyak hal lainnya yang betul-betul tidak pernah sebelumnya dibayangkan karena pengaruh kemajuan teknologi informasi sekarang," jelas Asep. Ia kembali menegaskan, "kita juga selayaknya memandang prestasi anak- anak tidak hanya dari sudut pandang sempit, tapi dari pandangan yang holistik dan bijak."

Penulis: Yohanes Enggar Harususilo Editor/Yohanes Enggar Harususilo

Sumber: edukasi.kompas.com (2020)

 

Setelah membaca artikel tentang “Di Tengah Pandemi, Siswa Indonesia Toreh Prestasi Kejuaraan Debat Internasional“, peserta didik menuliskan sebuah refleksi tentang tantangan dan peluang dirinya sebagai orang Katolik, sekaligus orang Indonesia untuk membangun bangsa dan negara seperti yang di kehendaki Tuhan sesuai talenta yang dianugerahkan Tuhan bagi dirinya.

 

2.    Aksi

Guru mengajak peserta didik untuk membuat rencana aksi, pada salah satu tantangan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, misalnya di bidang lingkungan hidup dengan melakukan kegiatan atau gerakan ekologi di lingkungan sekolah, atau dari segi hukum dengan melakukan gerakan kesadaran hukum, mulai dengan bersikap disiplin terhadap peraturan di sekolah dan di masyarakat.

 

Doa Penutup

Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Amin.

Ya Bapa yang penuh kasih, Berkati kami agar kami semakin menghayati hidup sesuai panggilan kami masing-masing. Ajarilah agar kami mampu membangun diri dan bangsa kami seturut kehendak-Mu. Jauhkan kami dari segala yang jahat, peliharalah kami dalam tangan kasih-Mu. Rahmati kami agar selalu mampu menghadirkan damai-Mu pada lingkungan kami masing-masing. Bapa, tuntunlah negeri ini, limpahkan kearifan bagi kami agar kami dapat mengolah dan memelihara tanah air -lingkungan hidup- yang telah Engkau anugerahkan kepada kami dengan bijak. Berikan pula rahmat-Mu yang tidak terputus agar kami dapat menjaganya demi kelangsungan dan kesejahteraan generasi mendatang. Doa ini kami panjatkan kepada-Mu dengan pengantaraan Kristus Tuhan dan Juru Selamat kami. Amin.

Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Amin.

 

 

Rangkuman

1.      Semua warga negara berhak ikut serta menentukan hidup kenegaraan. Dalam hal ini, Gereja sejalan apa yang diharapkan negara bahwa perlunya partisipasi rakyat dalam mengusahakan maupun menikmati pembangunan. Maka bagi Gereja sebagai persekutuan iman dalam negara demokrasi seperti Indonesia ini, mitra utama dalam dialog ialah rakyat yang bernegara. Namun dalam dialog itu peranan pemimpin negara dan pemimpin Gereja sangat menentukan.

2.      Gereja memperjuangkan masyarakat “partisipatoris”, yaitu “suatu partisipasi aktif para warga masyarakat, secara perorangan maupun bersama-sama dalam kehidupan dan pemerintahan negara mereka” (GS. 73), supaya mereka dapat ”bertanggung jawab” terhadap politik negara. Suatu pluralisme dalam pandangan para warga negara mengenai usulan politis (GS.76; OA. 46) dianggap wajar, apalagi bila seluruh masyarakat ikut serta dalam kepentingan negaranya. Bahkan, perbedaan pendapat mengenai hal-hal politik itu di dalam kalangan umat Katolik sendiri dipandang sebagai pantas pula.

3.      Dalam rangka hubungan antara Gereja Katolik dan Negara Republik Indonesia, beberapa bidang pantas diberi perhatian khusus:

a.    Dalam usaha pembangunan; Gereja melihat peranannya yang khas dalam usaha membangun mentalitas sehat, memberi motivasi yang tepat, kuat serta mengena, membina sikap dedikasi dan kesungguhan, menyumbangkan etika pembangunan serta memupuk sikap optimis. Oleh karena itu pimpinan Gereja mengharapkan seluruh umat beriman mau melibatkan diri dan bersikap kritis konstruktif, dengan jujur menilai tujuan dan sasaran pembangunan maupun upaya-upaya dan cara-cara melaksanakannya.

b.   Gereja merasa wajib memperjuangkan dan menegakkan martabat manusia sebagai pribadi yang bernilai di hadapan Allah. Sikap dan peranan Gereja berdasarkan motivasi manusiawi dan kristiani semata-mata. Oleh karena itu Gereja merasa prihatin atas pelanggaran hak-hak dasar dan hukum, atas kemiskinan dan keterbelakangan yang masih diderita oleh banyak warga negara. Bila demi pengembangan dan perlindungan nilai- nilai kemanusiaan, Gereja berperanan kritis, ia menghindari bertindak konfrontatif dan menggunakan jalur-jalur yang tersedia dan berusaha sendiri memberi kesaksian.

c.    Pimpinan Gereja mengharapkan supaya para ahli dan tokoh masyarakat yang beragama Katolik mau berpartisipasi dalam pembangunan sesuai dengan keahlian dan panggilan masing-masing. Dalam hal ini mereka hendaknya dijiwai oleh semangat Injil dan memberi teladan kejujuran dan keadilan yang pantas dicontoh oleh generasi penerus.

d.   Sesuai dengan perutusan Yesus Kristus sendiri yang diteruskan-Nya, Gereja merasa solider dengan kaum miskin. Ia membantu semua yang kurang mampu tanpa membedakan agama mereka, kalau mereka mau memanfaatkan bantuan ini untuk melangkah keluar dari lingkaran setan yang mengurung mereka.

e.    Gereja mendukung sepenuhnya usaha pemerintah memupuk rasa toleransi dan kerukunan antarumat beragama.

f.     Gereja mendukung segala usaha berswadaya, merangsang inisiatif dalam segala bidang hidup kemasyarakatan, budaya, dan bernegara. Dengan demikian, potensi, bakat, dan keterlibatan para warga negara dikembangkan sesuai dengan tujuan Negara Indonesia seperti dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, Gereja memegang prinsip subsidiaritas, agar apa saja yang dapat dilaksanakan oleh para warga negara sendiri atau oleh kelompok/ satuan/organisasi pada tingkat yang lebih rendah, jangan diambil alih oleh pihak yang lebih tinggi kedudukannya. Dengan demikian, bahaya etatisme dalam segala bidang dapat dicegah. (lihat Buku Iman Katolik, KWI, 1995).