Cari Blog Ini

Minggu, 19 Januari 2025

MENGEMBANGKAN BUDAYA KASIH

 

MENGEMBANGKAN BUDAYA KASIH

 

Tujuan Pembelajaran

Peserta didik mampu memahami makna mengembangkan budaya kasih dan pada akhirnya dapat menjadi agen dalam pengembangan moral hidup kristiani dalam masyarakat.

 

Gagasan Pokok

 

Masyarakat Indonesia sejak dulu kala terkenal sebagai insan yang ramah. Bergotong royong dan saling berbagi perhatian adalah warisan budaya nenek moyang kita. Bagaimana dengan situasi sekarang? Kita sering menyaksikan di berbagai media informasi, orang-orang kita mudah sekali bertikai dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan. Demonstrasi menuntut keadilan sering berakhir dengan kekerasan dan anarkisme serta merusak fasilitas publik yang dibangun menggunakan uang pajak dari masyarakat juga. Kekerasan yang terjadi di negeri ini memiliki rupa-rupa dimensi dan rupa-rupa wajah. Ada kekerasan berdimensi fisik, psikologis, tersamar, dan sebagainya. Kekerasan menunjukkan pula rupa-rupa wajah: ada kekerasan sosial, kekerasan kultural, kekerasan etnis, kekerasan gender, dan sebagainya. Analisis “teori konflik” menemukan alasan kekerasan berbagai bentuk “perbedaan kepentingan” kelompok-kelompok masyarakat sehingga kelompok yang satu ingin menguasai bahkan mencaplok kelompok lain. Analisis “fungsionalisme struktural” berpendapat bahwa hampir semua kerusuhan berdarah di Indonesia disebabkan oleh disfungsi sejumlah institusi sosial, terutama lembaga politik yang menunjang integritas Indonesia sebagai satu bangsa.

Gereja Katolik sejak awal mula berdirinya tegas menolak setiap tindakan kekerasan sebagaimana diajarkan dan dilakukan oleh Yesus Kristus sendiri. Yesus bukan saja mengajak kita untuk tidak menggunakan kekerasan menghadapi musuh-musuh, tetapi juga untuk mencintai musuh-musuh dengan tulus. Yesus mengajak kita untuk mengembangkan budaya kasih dengan mencintai sesama, bahkan mencintai musuh (bdk. Luk. 6:27–36). Dasar kasih kristiani adalah keyakinan dan kepercayaan bahwa semua orang adalah putera dan puteri Bapa kita yang sama di surga. Dengan menghayati cinta yang demikian, kita meniru cinta Bapa di surga, yang memberi terang matahari dan curah hujan kepada semua orang (baik orang baik maupun orang jahat). Gereja berusaha sedapat mungkin untuk mengatasi budaya kekerasan dengan budaya kasih, di mana manusia dapat mengalami persaudaraan yang sejati. Paus Fransiskus dalam ensikliknya tentang Fratelli Tutti, mengajar tentang pentingnya hidup dilandasi semangat kasih dan persaudaraan karena kita semua adalah anak-anak Allah.

Pada kegiatan pembelajaran ini peserta didik dibimbing untuk memahami budaya kasih sebagaimana diajarkan oleh Yesus sendiri dan diteruskan oleh Gereja-Nya, dan pada akhirnya peserta didik dapat mewujudkannya dalam hidup sehari-hari.

 

Doa Pembuka

Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Amin.

Bapa yang penuh kasih, pada kesempatan ini, kami akan belajar tentang budaya kasih, budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia sejak dulu kala dan terkenal sebagai insan yang ramah bergotong royong dan saling berbagi perhatian.

Bapa yang Mahakasih, dalam ajaran-Mu Engkau mendahulukan kasih dari pada segalanya. Kasih yang dapat mengatasi segala bentuk kekerasan yang terjadi dalam hidup kami dan bangsa kami.

Bapa, curahkanlah Roh Kudus-Mu dan bimbinglah kami, agar melalui pelajaran ini, kami pun semakin memahami dan mampu mempraktikkan ajaran Yesus tentang kasih dan melaksanakannya dalam hidup kami sesuai teladan Yesus Kristus. Amin.

Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Amin.

 

Langkah Pertama: Menggali Informasi Tentang Kasus-Kasus Kekerasan Yang Dialami Manusia

1.    Guru mengawali kegiatan pembelajaran dengan berdialog bersama peserta didik dan mengajak mereka mengingat kembali tema pembelajaran sebelumnya tentang Gereja dan dunia dan penugasan yang diberikan. Guru menanyakan, misalnya adakah kesulitan atau hambatan dalam melaksanakan tugas terakhir yang diberikan yaitu hak asasi manusia dalam terang ajaran Kitab Suci dan ajaran Gereja.

2.    Selanjutnya guru menyampaikan materi pembelajaran saat ini yaitu tentang “Membangun Hidup yang Bermartabat”. Berkaitan dengan materi pembelajaran ini, guru dapat memotivasi belajar peserta didik dengan pertanyaan, misalnya: Apa itu budaya kasih? Apakah mudah mengasihi sesama? Nah, pada kesempatan ini kita akan belajar tentang mengembangkan budaya kasih. Untuk memahami hal ini, marilah kita memulai pembelajaran dengan mengamati kasus-kasus kekerasan kehidupan kita.

 

3.    Mengamati dan mendalami kasus-kasus kekerasan di seputar kita

Peserta didik dibagi dalam kelompok untuk berdiskusi, dengan pertanyaan- pertanyaan diskusi.

a.      Cari, temukan dan sebutkan macam-macam konflik dan kekerasan yang terjadi di sekitar kita atau di negara kita (bisa menggunakan gadget untuk mencari di internet macam-macam kasus konflik dan kekerasan di masyarakat)!

b.      Apa yang menjadi akar dari semua konflik dan kekerasan itu? Buatlah analisamu terhadap akar masalah konflik dan kekerasan tersebut!

c.       Berkaitan dengan konflik dan kekerasan itu, menurut kalian, apa sikapmu sebagai pengikut Yesus, atau sebagai orang Katolik?

 

4.    Peserta didik melaporkan hasil diskusinya dan dapat ditanggapi oleh kelompok atau peserta didik yang lain.

 

5.    Guru memberikan penjelasan sebagai peneguhan atas hasil diskusi yang telah dilaporkan.

Kekerasan yang terjadi di sekitar kita atau di negara kita dalam beberapa dekade ini memiliki rupa-rupa dimensi.

a.      Rupa-rupa dimensi kekerasan

1)        Kekerasan psikologis

Kita tidak boleh terbelenggu untuk mengerti kekerasan hanya dari segi fisik. Ada banyak kekerasan psikologis pada manusia. Tidak hanya pemukulan, cedera, dan pembunuhan yang menimbulkan penderitaan somatik manusia, melainkan juga kekerasan psikologis seperti “kebohongan sistematis, indoktrinasi, teror-teror berkala, ancaman-ancaman langsung atau tidak langsung yang melahirkan ketakutan dan rasa tidak aman.

2)        Kekerasan lewat imbalan

Seseorang dipengaruhi dengan memberi imbalan. Orang yang mendapat imbalan mengalami kenikmatan atau euphoria. Akibatnya, orang tersebut tidak dapat vokal lagi, tidak boleh berbicara kritis. Taruhan mahal dimensi ini adalah kebebasan manusia. Ia terpaksa menjadi jinak. Ini juga satu bentuk kekerasan.

3)        Kekerasan tersamar

Suatu kekerasan disebut kekerasan biasanya jika ada pelakunya. Jika tidak ada pelaku, kekerasan itu disebut kekerasan tersamar atau kekerasan struktural. Dalam kekerasan biasa, kita mudah melacak pelakunya sedangkan dalam kekerasan struktural sulit ditemukan pelakunya. Hal ini sering juga dikenal dengan istilah “black power”. Kondisi kekerasan struktural yang kita temukan sering juga digelari sebagai “ketidakadilan sosial”

 

 

4)        Kekerasan sosial

Kekerasan sosial adalah situasi diskriminatif yang mengucilkan sekelompok orang agar tanah atau harta milik mereka dapat dijarah dengan alasan “Pembangunan Negara”. Payung pembangunan seperti sebuah tujuan yang boleh menghalalkan segala cara. Ada sekelompok orang atau wilayah tertentu yang sepertinya tanpa henti mengusung “stigma” dari penguasa. Stigmatisasi yang biasanya berlanjut dengan “marginalisasi” dan berujung pada “viktimasi”. Mereka yang mengusung “stigma” tertentu sepertinya layak ditertibkan, dibunuh, atau diperlakukan tidak manusiawi.

5)        Kekerasan kultural

Kekerasan kultural terjadi ketika ada pelecehan, penghancuran nilai-nilai budaya minoritas demi hegemoni penguasa. Kekerasan kultural sangat mengandaikan “stereotype” dan “prasangka-prasangka kultural”. Dalam konteks ini, keseragaman dipaksakan, perbedaan harus dimusuhi, dan dilihat sebagai momok. Apa yang menjadi milik kebudayaan daerah tertentu dijadikan budaya nasional tanpa sebuah proses yang demokratis, dan budaya daerah lainnya dilecehkan.

6)        Kekerasan etnis

Kekerasan etnis berupa pengusiran atau pembersihan sebuah etnis karena ada ketakutan menjadi bahaya atau ancaman bagi kelompok tertentu. Suku tertentu dianggap tidak layak bahkan mencemari wilayah tertentu dengan berbagai alasan. Suku yang tidak disenangi harus hengkang dari tempat kediaman yang sudah menjadi miliknya bertahun-tahun dan turun-temurun.

7)        Kekerasan keagamaan

Kekerasan keagamaan terjadi ketika ada “fanatisme, fundamentalisme, dan eksklusivisme” yang melihat agama lain sebagai musuh. Kekerasan atas nama agama ini umumnya dipicu oleh pandangan agama yang sempit dan sudah bercampur aduk dengan kepentingan politik kelompok tertentu.

8)        Kekerasan gender

Kekerasan gender adalah situasi di mana hak-hak perempuan dilecehkan. Budaya patriarkhi dihayati sebagai peluang untuk tidak atau kurang memperhitungkan peranan perempuan. Kultur pria atau budaya maskulin sangat dominan dan kebangkitan wanita dianggap aneh dan mengada-ada. Perkosaan terhadap hak perempuan dilakukan secara terpola dan sistematis.

9)        Kekerasan terhadap anak-anak

Anak-anak di bawah umur dipaksa bekerja dengan jaminan yang sangat rendah sebagai pekerja murah. Prostitusi anak-anak tidak ditanggapi aneh karena dilihat sebagai sumber nafkah bagi keluarga. Dalam pendidikan, misalnya, masih menyebarnya ideologi-ideologi pendidikan yang fanatik. Konservatisme pendidikan dan fundamentalisme pendidikan tidak dicermati dan tidak dihindari sehingga anak tumbuh dan berkembang secara tidak sehat.

10)    Kekerasan ekonomis

Kekerasan ekonomi paling nyata ketika masyarakat yang sudah tidak berdaya secara ekonomis diperlakukan secara tidak manusiawi. Ekonomi pasar bebas dan bukannya pasar adil telah membawa kesengsaraan bagi rakyat miskin.

11)    Kekerasan lingkungan hidup

Sebuah sikap dan tindakan yang melihat dunia dengan sebuah tafsiran eksploitatif. Bumi manusia tidak dilihat lagi secara akrab dan demi kehidupan manusia itu sendiri.

 

 

 

b.     Akar dari konflik dan kekerasan

1)   Analisis “teori konflik” menemukan alasan kekerasan berbagai bentuk ”perbedaan kepentingan” kelompok-kelompok masyarakat sehingga kelompok yang satu ingin menguasai bahkan mencaplok kelompok lainnya.

2)   Analisis “fungsionalisme struktural” berpendapat bahwa hampir semua kerusuhan berdarah di Indonesia disebabkan oleh disfungsi sejumlah institusi sosial, terutama lembaga politik. Dalam hal ini negara gagal menerapkan sebuah politik yang menunjang integritas Indonesia sebagai satu bangsa.

3)   Fenomena seperti pecahnya otoritas pemerintah, buyarnya otoritas negara, semakin intensifnya konflik etnis dan agama, pengungsi yang berjumlah puluhan juta, dan pembasmian etnis tertentu merupakan gejala-gejala yang mengancam integritas bangsa.

 

Langkah Kedua: Mendalami Pesan Injil Tentang Budaya Kasih

1.    Peserta didik membaca dan menyimak Injil Matius 26:47–56 berikut ini.

47Waktu Yesus masih berbicara datanglah Yudas, salah seorang dari kedua belas murid itu, dan bersama-sama dia serombongan besar orang yang membawa pedang dan pentung, disuruh oleh imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi.

48Orang yang menyerahkan Dia telah memberitahukan tanda ini kepada mereka: “Orang yang akan kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia”.

49Dan segera ia maju mendapatkan Yesus dan berkata: “Salam Rabi”, lalu mencium Dia.

50Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Hai sahabat, untuk itulah engkau datang?” Maka majulah mereka memegang Yesus dan menangkap-Nya.

51Tetapi seorang dari mereka yang menyertai Yesus mengulurkan tangannya, menghunus pedangnya dan meletakkannya kepada hamba Imam Besar sehingga putuslah telinganya.

52Maka kata Yesus kepadanya: “Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barang siapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang.

53Atau kausangka, bahwa Aku tidak dapat berseru kepada Bapa-Ku, supaya Ia segera mengirim lebih dari dua belas pasukan malaikat membantu Aku?

54Jika begitu, bagaimanakah akan digenapi yang tertulis dalam Kitab Suci, yang mengatakan, bahwa harus terjadi demikian?”

55Pada saat itu Yesus berkata kepada orang banyak: “Sangkamu Aku ini penyamun, maka kamu datang lengkap dengan pedang dan pentung untuk menangkap Aku? Padahal tiap- tiap hari Aku duduk mengajar di Bait Allah, dan kamu tidak menangkap Aku.

56Akan tetapi semua ini terjadi supaya genap yang ada tertulis dalam kitab nabi-nabi”. Lalu semua murid itu meninggalkan Dia dan melarikan diri.

 

2.    Dalam kelompok kecil, peserta didik mendalami isi/pesan dari bacaan Injil tersebut, dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

a.      Kalimat-kalimat (ayat-ayat) mana dari perikop Kitab Suci tadi yang menyentuh hatimu dalam hubungan dengan pembicaraan kita mengenai konflik dan kekerasan?

b.      Kepada murid-Nya yang mengkhianati, Yesus menyapa: “Hai sahabat, untuk itukah engkau datang?” Bagaimana pikiran dan perasaanmu terhadap ucapan Yesus itu?

c.       Kepada murid-Nya yang menghunus pedang Yesus berkata: “Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang!” Dapatkah kamu mensharingkan kalimat itu berdasarkan pengalamanmu sendiri?

d.      Apakah kamu mengetahui perikop lain di dalam Kitab Suci, di mana Yesus bukan saja menasihati kita supaya kita tidak menggunakan kekerasan, tetapi supaya kita mencintai musuh-musuh kita?

e.      Apa yang dapat kita (Gereja) lakukan untuk mengembangkan budaya budaya kasih?

3.    Guru memberikan penjelasan sebagai peneguhan atas jawaban peserta didik.

a.    Pesan dari bacaan Injil tersebut adalah:

1)   Yesus bukan saja mengajak kita untuk tidak menggunakan kekerasan menghadapi musuh-musuh, tetapi juga untuk mencintai musuh-musuh dengan tulus. Yesus mengajak kita untuk mengembangkan budaya kasih dengan mencintai sesama, bahkan mencintai musuh (lih. Luk. 6:27–36).

2)   Pesan Yesus untuk kita ini memang sangat radikal dan bertolak belakang dengan kebiasaan, kebudayaan, dan keyakinan mata ganti mata, gigi ganti gigi yang kini sedang berlaku. Kasih yang berdimensi keagamaan sungguh melampaui kasih manusiawi. Kasih kristiani tidak terbatas lingkungan keluarga karena hubungan darah; tidak terbatas pada lingkungan kekerabatan atau suku; tidak terbatas pada lingkungan daerah atau ideologi atau agama. Kasih kristiani menjangkau semua orang, sampai kepada musuh-musuh kita.

3)   Dasar kasih kristiani adalah keyakinan dan kepercayaan bahwa semua orang adalah putera dan puteri Bapa kita yang sama di surga. Dengan menghayati cinta yang demikian, kita meniru cinta Bapa di surga, yang memberi terang matahari dan curah hujan kepada semua orang (baik orang baik maupun orang jahat).

4)   Mengembangkan budaya kasih untuk melawan budaya kekerasan memang tidak mudah. Dalam kehidupan sehari-hari, kita merasa betapa sulitnya untuk berbuat baik dan mencintai orang yang membuat kita sakit hati. Namun dengan kasih kita dapat berbuat baik dengan siapapun, termasuk orang yang memusuhi kita, antara lain karena keimanan kita pada Yesus Kristus, Tuhan dan Juru Selamat kita.

 

b.    Upaya kita (Gereja) untuk mengembangkan budaya kasih

Konflik dan kekerasan sering terjadi karena perbedaan kepentingan. Untuk mengatasi konflik dan kekerasan, kita dapat mencoba dengan usaha-usaha preventif dan usaha-usaha mengelola konflik dan kekerasan, jika sudah terjadi konflik dan kekerasan.

1)      Usaha-usaha membangun budaya kasih sebelum terjadi konflik dan kekerasan

Banyak konflik dan kekerasan terjadi karena terdorong oleh kepentingan kelompok. Fanatisme kelompok sering disebabkan oleh kekurangan pengetahuan (kepicikan) dan merasa diri terancam oleh kelompok lain. Untuk itu perlu diusahakan:

a)    Dialog dan komunikasi supaya dapat lebih saling memahami kelompok lain. Kita sering memiliki asumsi-asumsi dan pandangan yang keliru tentang kelompok lain. Kalau diadakan komunikasi yang jujur dan tulus, segala prasangka buruk dapat diatasi.

b)   Kerja sama atau membentuk jaringan lintas batas untuk memper- juangkan kepentingan umum yang sebenarnya menjadi opsi bersama. Rasa senasib dan seperjuangan dapat lebih mengakrabkan kita satu sama lain.

 

2)      Usaha-usaha membangun budaya kasih sesudah terjadi konflik dan kekerasan

Usaha membangun budaya kasih sesudah terjadi konflik dan kekerasan sering disebut “pengelolaan atau manajemen konflik dan kekerasan”.

Manajemen konflik dan kekerasan umumnya harus mengikuti tahap-tahap berikut ini:

a)      Langkah pertama, perlunya orang yang menderita menceritakan kembali konflik atau kekerasan yang telah terjadi.

Kekerasan bukanlah sesuatu yang abstrak atau impersonal melainkan personal, pribadi, maka perlu dikisahkan kembali. Upaya kita sering kali gagal karena kita memiliki titik tolak yang salah, yaitu anjuran agar orang melupakan semua masa lampau. Sikap ini melecehkan dan tidak menghormati para korban dan hal itu berarti mengingkari nilai manusia itu sendiri. Satu unsur penting dalam tahap ini adalah bahwa rekonsiliasi menuntut pengungkapan kembali kebenaran, karena “kebenaran memerdekakan” (lih. Yoh. 8:32). Hal ini tidak mudah karena pengungkapan jujur sering dapat membangkitkan emosi balas dendam. Namun, kisah masa lampau yang tidak dihadapi dengan sungguh akan kembali menghantui kehidupan masa datang. Menceritakan kebenaran akan sangat membantu proses selanjutnya, yaitu mengakui kesalahan dan pengampunan.

b)      Langkah kedua, mengakui kesalahan dan minta maaf serta penyesalan dari pihak atau kelompok yang melakukan kesalahan atau penyebab konflik kekerasan.

Pengakuan ini harus dilakukan secara publik dan terbuka, sebuah pengakuan yang jujur tanpa mekanisme bela diri. Pengakuan yang jujur harus menghindarkan sikap memaafkan diri atau hanya sekadar ungkapan rasa bersalah melulu, melainkan sebuah sikap ikhlas menerima diri sendiri dengan segala keterbatasannya. Termasuk dalam pengakuan salah dan minta maaf ini adalah kesalahan seperti curiga, pandangan salah, atau prasangka-prasangka terhadap kelompok lain sebagai akar masalah yang memicu konflik berdarah. Semua beban sejarah yang membelenggu seseorang atau kelompok harus dapat diungkapkan secara transparan. Dengan cara itu, kita dapat dibebaskan dan antara kita terjadilah sebuah kisah baru.

Tindakan meminta maaf adalah tindakan dua pihak dalam gerak menuju rekonsiliasi. Dalam pengakuan kesalahan, orang mengalami keterbatasannya. Pengalaman keterbatasan membuka kemungkinan bagi manusia untuk berharap dan menantikan petunjuk dan jalan keluar yang diberikan oleh pihak ketiga, pihak luar.

c)       Langkah ketiga, pengampunan oleh korban kepada yang melakukan kekerasan.

Kata pengampunan dan rekonsiliasi akhir-akhir ini sering disalahtafsirkan. Mengampuni berarti melupakan atau jangan lagi mengungkit kesalahan masa lampau. Padahal justru sebaliknya: “ingatlah dan ampunilah”. Dalam rekonsiliasi itu, kita harus tahu apa yang harus kita ampuni dan siapa yang harus mendapat pengampunan.

Pengampunan adalah akibat logis dari tahap pertama dan kedua, yaitu sesudah kebenaran disingkapkan. Dan yang berhak memberi pengampunan adalah para korban kekerasan. Pengampunan berarti meninggalkan balas dendam terhadap pelaku kekerasan, membiarkan pergi segala beban dendam lawan pelaku. Pengampunan berkuasa menyembuhkan hubungan antarmanusia.

Pengampunan adalah mukjizat. Jika itu terjadi, maka hadirlah rekonsiliasi. Daya ampun berasal dari Allah dan kemampuan memberi ampun bertumbuh dari iman. Dalam pengampunan kita menolak dosa, tetapi tidak menolak pendosa. Mengampuni berarti berpartisipasi dalam sifat Allah sendiri (lih. 2Kor. 5: 17–19).

d)      Langkah keempat, rekonsiliasi.

Gereja juga menyadari bahwa tidak ada jalan pintas menuju rekonsiliasi. Martabat para korban kekerasan, misalnya, tidak dapat dipulihkan hanya dengan sebuah permohonan maaf saja. Perdamaian murahan tidak akan bertahan lama. Gereja juga sadar bahwa rekonsiliasi itu mahal. Para pelaku kejahatan butuh waktu untuk menerima diri sendiri dan para korban juga butuh waktu untuk merangkul pelaku kejahatan dengan rasa kemanusiaan. Keadilan transformatif perlu diberi waktu dan kesempatan. Rekonsiliasi adalah pembaharuan.

Masa ini adalah saat berjuang agar para korban tidak menjadi pelaku kekerasan karena balas dendam. Menolak pengampunan berarti membelenggu diri di dalam masa lampau dan kita kehilangan diri sendiri. Martabat para korban ingin dipulihkan, namun tidak boleh tenggelam pada peristiwa masa lampau. Ada banyak warta, cerita Kitab Suci, mengenai damai dan rekonsiliasi. Allah melakukan rekonsiliasi dengan manusia lewat sengsara dan kematian Putera-Nya, Yesus Kristus. Maka cerita Yesus menyembuhkan dan cerita kita bermakna.

Langkah Ketiga: Menghayati Budaya Kasih Dalam Hidup Kita

1.    Refleksi

Peserta didik menuliskan sebuah refleksi tentang membangun budaya kasih di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang pluralistik. Refleksi ini bisa dalam bentuk essay pendek, doa, puisi, dan lain-lain.

 

2.    Aksi

Peserta didik menempelkan hasil refleksinya di majalah dinding sekolah, atau menayangkan/mengunggah di website sekolah atau media sosial lainnya.

 

Doa Penutup

Dalam nama Bapa, Putera ,dan Roh Kudus. Amin.

Bapa yang penuh kasih, kami bersyukur melalui pembelajaran ini

kami mendapatkan ilmu dan sekaligus tumbuhnya iman dalam hidup kami.

Kami bersyukur akan Yesus putera-Mu yang Engkau utus untuk dunia membawa kabar sukacita dan ajaran kasih. Melalui Yesus Putera-Mu yang adalah tokoh teladan yang sempurna,

ajarilah kami untuk mengasihi sesama seperti mengasihi diri kami sendiri.

Dan ajarilah kami juga untuk selalu mampu melakukan budaya kasih dimanapun kami berada.

Demi Kristus Tuhan dan pengantara kami. Amin.

Dalam nama Bapa, Putera ,dan Roh Kudus. Amin.

 

Diakhiri dengan doa Santo Fransiskus Assisi

 

Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai.

Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih, Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan, Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan, Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian, Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran, bila terjadi kecemasan, jadikanlah aku pembawa harapan, Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan, Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang.

Tuhan, semoga aku ingin menghibur daripada dihibur, memahami daripada dipahami, mencintai daripada dicintai, sebab dengan memberi aku menerima, dengan mengampuni aku diampuni, dengan mati suci aku bangkit lagi, untuk hidup selama-lamanya.

Amin.

 

Rangkuman

 

1.    Kekerasan yang terjadi di negeri ini memiliki rupa-rupa dimensi dan rupa-rupa wajah. Ada kekerasan berdimensi fisik, psikologis, tersamar, dan sebagainya. Kekerasan menunjukkan pula rupa-rupa wajah: ada kekerasan sosial, kekerasan kultural, kekerasan etnis, kekerasan gender, dan sebagainya. Analisis “teori konflik” menemukan alasan kekerasan berbagai bentuk “perbedaan kepentingan” kelompok-kelompok masyarakat sehingga kelompok yang satu ingin menguasai bahkan mencaplok kelompok lain.

2.    Yesus mengajarkan kita untuk tidak menggunakan kekerasan menghadapi musuh-musuh, tetapi juga untuk mencintai musuh-musuh dengan tulus. Yesus mengajak kita untuk mengembangkan budaya kasih dengan mencintai sesama, bahkan mencintai musuh (lih. Luk. 6:27-36).

3.    Pesan Yesus untuk kita ini memang sangat radikal dan bertolak belakang dengan kebiasaan, kebudayaan, dan keyakinan mata ganti mata, gigi ganti gigi yang kini sedang berlaku. Kasih yang berdimensi keagamaan sungguh melampaui kasih manusiawi. Kasih kristiani tidak terbatas lingkungan keluarga karena hubungan darah; tidak terbatas pada lingkungan kekerabatan atau suku; tidak terbatas pada lingkungan daerah atau ideologi atau agama. Kasih kristiani menjangkau semua orang, sampai kepada musuh-musuh kita.

4.    Dasar kasih kristiani adalah keyakinan dan kepercayaan bahwa semua orang adalah putera dan puteri Bapa kita yang sama di surga. Dengan menghayati cinta yang demikian, kita meniru cinta Bapa di surga, yang memberi terang matahari dan curah hujan kepada semua orang (baik orang baik maupun orang jahat).

5.    Mengembangkan budaya kasih untuk melawan budaya kekerasan memang tidak mudah. Dalam kehidupan sehari-hari, kita merasa betapa sulitnya untuk berbuat baik dan mencintai orang yang membuat kita sakit hati. Namun dengan kasih kita dapat berbuat baik dengan siapapun, termasuk orang yang memusuhi kita, antara lain karena keimanan kita pada Yesus Kristus, Tuhan dan Juru Selamat kita.

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar