MENGEMBANGKAN BUDAYA KASIH
Tujuan Pembelajaran
Peserta didik mampu memahami makna
mengembangkan budaya kasih dan pada akhirnya dapat menjadi agen dalam
pengembangan moral hidup kristiani dalam masyarakat.
Gagasan Pokok
Masyarakat Indonesia sejak dulu
kala terkenal sebagai insan yang ramah. Bergotong royong dan saling berbagi
perhatian adalah warisan budaya nenek moyang kita. Bagaimana dengan situasi
sekarang? Kita sering menyaksikan di berbagai media informasi, orang-orang kita
mudah sekali bertikai dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan. Demonstrasi
menuntut keadilan sering berakhir dengan kekerasan dan anarkisme serta merusak
fasilitas publik yang dibangun menggunakan uang pajak dari masyarakat juga.
Kekerasan yang terjadi di negeri ini memiliki rupa-rupa dimensi dan rupa-rupa
wajah. Ada kekerasan berdimensi fisik, psikologis, tersamar, dan sebagainya.
Kekerasan menunjukkan pula rupa-rupa wajah: ada kekerasan sosial, kekerasan
kultural, kekerasan etnis, kekerasan gender, dan sebagainya. Analisis “teori
konflik” menemukan alasan kekerasan berbagai bentuk “perbedaan kepentingan”
kelompok-kelompok masyarakat sehingga kelompok yang satu ingin menguasai bahkan
mencaplok kelompok lain. Analisis “fungsionalisme struktural” berpendapat bahwa
hampir semua kerusuhan berdarah di Indonesia disebabkan oleh disfungsi sejumlah
institusi sosial, terutama lembaga politik yang menunjang integritas Indonesia
sebagai satu bangsa.
Gereja Katolik sejak awal mula
berdirinya tegas menolak setiap tindakan kekerasan sebagaimana diajarkan dan
dilakukan oleh Yesus Kristus sendiri. Yesus bukan saja mengajak kita untuk
tidak menggunakan kekerasan menghadapi musuh-musuh, tetapi juga untuk mencintai
musuh-musuh dengan tulus. Yesus mengajak kita untuk mengembangkan budaya kasih
dengan mencintai sesama, bahkan mencintai musuh (bdk. Luk. 6:27–36). Dasar
kasih kristiani adalah keyakinan dan kepercayaan bahwa semua orang adalah
putera dan puteri Bapa kita yang sama di surga. Dengan menghayati cinta yang
demikian, kita meniru cinta Bapa di surga, yang memberi terang matahari dan
curah hujan kepada semua orang (baik orang baik maupun orang jahat). Gereja
berusaha sedapat mungkin untuk mengatasi budaya kekerasan dengan budaya kasih,
di mana manusia dapat mengalami persaudaraan yang sejati. Paus Fransiskus dalam
ensikliknya tentang Fratelli Tutti, mengajar tentang pentingnya hidup dilandasi
semangat kasih dan persaudaraan karena kita semua adalah anak-anak Allah.
Pada kegiatan pembelajaran ini
peserta didik dibimbing untuk memahami budaya kasih sebagaimana diajarkan oleh
Yesus sendiri dan diteruskan oleh Gereja-Nya, dan pada akhirnya peserta didik
dapat mewujudkannya dalam hidup sehari-hari.
Doa Pembuka
Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh
Kudus. Amin.
Bapa yang penuh kasih, pada
kesempatan ini, kami akan belajar tentang budaya kasih, budaya yang menjadi
ciri khas masyarakat Indonesia sejak dulu kala dan terkenal sebagai insan yang
ramah bergotong royong dan saling berbagi perhatian.
Bapa yang Mahakasih, dalam
ajaran-Mu Engkau mendahulukan kasih dari pada segalanya. Kasih yang dapat
mengatasi segala bentuk kekerasan yang terjadi dalam hidup kami dan bangsa
kami.
Bapa, curahkanlah Roh Kudus-Mu dan
bimbinglah kami, agar melalui pelajaran ini, kami pun semakin memahami dan
mampu mempraktikkan ajaran Yesus tentang kasih dan melaksanakannya dalam hidup
kami sesuai teladan Yesus Kristus. Amin.
Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh
Kudus. Amin.
Langkah Pertama: Menggali Informasi Tentang Kasus-Kasus Kekerasan
Yang Dialami Manusia
1. Guru
mengawali kegiatan pembelajaran dengan berdialog bersama peserta didik dan
mengajak mereka mengingat kembali tema pembelajaran sebelumnya tentang Gereja
dan dunia dan penugasan yang diberikan. Guru menanyakan, misalnya adakah
kesulitan atau hambatan dalam melaksanakan tugas terakhir yang diberikan yaitu
hak asasi manusia dalam terang ajaran Kitab Suci dan ajaran Gereja.
2. Selanjutnya
guru menyampaikan materi pembelajaran saat ini yaitu tentang “Membangun Hidup
yang Bermartabat”. Berkaitan dengan materi pembelajaran ini, guru dapat
memotivasi belajar peserta didik dengan pertanyaan, misalnya: Apa itu budaya
kasih? Apakah mudah mengasihi sesama? Nah, pada kesempatan ini kita akan
belajar tentang mengembangkan budaya kasih. Untuk memahami hal ini, marilah
kita memulai pembelajaran dengan mengamati kasus-kasus kekerasan kehidupan
kita.
3. Mengamati
dan mendalami kasus-kasus kekerasan di seputar kita
Peserta
didik dibagi dalam kelompok untuk berdiskusi, dengan pertanyaan- pertanyaan
diskusi.
a. Cari,
temukan dan sebutkan macam-macam konflik dan kekerasan yang terjadi di sekitar
kita atau di negara kita (bisa menggunakan gadget untuk mencari di internet
macam-macam kasus konflik dan kekerasan di masyarakat)!
b. Apa
yang menjadi akar dari semua konflik dan kekerasan itu? Buatlah analisamu
terhadap akar masalah konflik dan kekerasan tersebut!
c. Berkaitan
dengan konflik dan kekerasan itu, menurut kalian, apa sikapmu sebagai pengikut
Yesus, atau sebagai orang Katolik?
4. Peserta
didik melaporkan hasil diskusinya dan dapat ditanggapi oleh kelompok atau
peserta didik yang lain.
5. Guru
memberikan penjelasan sebagai peneguhan atas hasil diskusi yang telah
dilaporkan.
Kekerasan
yang terjadi di sekitar kita atau di negara kita dalam beberapa dekade ini
memiliki rupa-rupa dimensi.
a. Rupa-rupa
dimensi kekerasan
1)
Kekerasan psikologis
Kita
tidak boleh terbelenggu untuk mengerti kekerasan hanya dari segi fisik. Ada
banyak kekerasan psikologis pada manusia. Tidak hanya pemukulan, cedera, dan
pembunuhan yang menimbulkan penderitaan somatik manusia, melainkan juga
kekerasan psikologis seperti “kebohongan sistematis, indoktrinasi, teror-teror
berkala, ancaman-ancaman langsung atau tidak langsung yang melahirkan ketakutan
dan rasa tidak aman.
2)
Kekerasan lewat imbalan
Seseorang
dipengaruhi dengan memberi imbalan. Orang yang mendapat imbalan mengalami
kenikmatan atau euphoria. Akibatnya, orang tersebut tidak dapat vokal lagi,
tidak boleh berbicara kritis. Taruhan mahal dimensi ini adalah kebebasan
manusia. Ia terpaksa menjadi jinak. Ini juga satu bentuk kekerasan.
3)
Kekerasan tersamar
Suatu
kekerasan disebut kekerasan biasanya jika ada pelakunya. Jika tidak ada pelaku,
kekerasan itu disebut kekerasan tersamar atau kekerasan struktural. Dalam
kekerasan biasa, kita mudah melacak pelakunya sedangkan dalam kekerasan struktural
sulit ditemukan pelakunya. Hal ini sering juga dikenal dengan istilah “black
power”. Kondisi kekerasan struktural yang kita temukan sering juga digelari
sebagai “ketidakadilan sosial”
4)
Kekerasan sosial
Kekerasan
sosial adalah situasi diskriminatif yang mengucilkan sekelompok orang agar
tanah atau harta milik mereka dapat dijarah dengan alasan “Pembangunan Negara”.
Payung pembangunan seperti sebuah tujuan yang boleh menghalalkan segala cara.
Ada sekelompok orang atau wilayah tertentu yang sepertinya tanpa henti
mengusung “stigma” dari penguasa. Stigmatisasi yang biasanya berlanjut dengan
“marginalisasi” dan berujung pada “viktimasi”. Mereka yang mengusung “stigma”
tertentu sepertinya layak ditertibkan, dibunuh, atau diperlakukan tidak
manusiawi.
5)
Kekerasan kultural
Kekerasan
kultural terjadi ketika ada pelecehan, penghancuran nilai-nilai budaya
minoritas demi hegemoni penguasa. Kekerasan kultural sangat mengandaikan
“stereotype” dan “prasangka-prasangka kultural”. Dalam konteks ini, keseragaman
dipaksakan, perbedaan harus dimusuhi, dan dilihat sebagai momok. Apa yang
menjadi milik kebudayaan daerah tertentu dijadikan budaya nasional tanpa sebuah
proses yang demokratis, dan budaya daerah lainnya dilecehkan.
6)
Kekerasan etnis
Kekerasan
etnis berupa pengusiran atau pembersihan sebuah etnis karena ada ketakutan
menjadi bahaya atau ancaman bagi kelompok tertentu. Suku tertentu dianggap
tidak layak bahkan mencemari wilayah tertentu dengan berbagai alasan. Suku yang
tidak disenangi harus hengkang dari tempat kediaman yang sudah menjadi miliknya
bertahun-tahun dan turun-temurun.
7)
Kekerasan keagamaan
Kekerasan
keagamaan terjadi ketika ada “fanatisme, fundamentalisme, dan eksklusivisme”
yang melihat agama lain sebagai musuh. Kekerasan atas nama agama ini umumnya
dipicu oleh pandangan agama yang sempit dan sudah bercampur aduk dengan
kepentingan politik kelompok tertentu.
8)
Kekerasan gender
Kekerasan
gender adalah situasi di mana hak-hak perempuan dilecehkan. Budaya patriarkhi
dihayati sebagai peluang untuk tidak atau kurang memperhitungkan peranan
perempuan. Kultur pria atau budaya maskulin sangat dominan dan kebangkitan
wanita dianggap aneh dan mengada-ada. Perkosaan terhadap hak perempuan
dilakukan secara terpola dan sistematis.
9)
Kekerasan terhadap anak-anak
Anak-anak
di bawah umur dipaksa bekerja dengan jaminan yang sangat rendah sebagai pekerja
murah. Prostitusi anak-anak tidak ditanggapi aneh karena dilihat sebagai sumber
nafkah bagi keluarga. Dalam pendidikan, misalnya, masih menyebarnya
ideologi-ideologi pendidikan yang fanatik. Konservatisme pendidikan dan
fundamentalisme pendidikan tidak dicermati dan tidak dihindari sehingga anak
tumbuh dan berkembang secara tidak sehat.
10) Kekerasan
ekonomis
Kekerasan
ekonomi paling nyata ketika masyarakat yang sudah tidak berdaya secara ekonomis
diperlakukan secara tidak manusiawi. Ekonomi pasar bebas dan bukannya pasar
adil telah membawa kesengsaraan bagi rakyat miskin.
11) Kekerasan
lingkungan hidup
Sebuah
sikap dan tindakan yang melihat dunia dengan sebuah tafsiran eksploitatif. Bumi
manusia tidak dilihat lagi secara akrab dan demi kehidupan manusia itu sendiri.
b. Akar
dari konflik dan kekerasan
1) Analisis
“teori konflik” menemukan alasan kekerasan berbagai bentuk ”perbedaan
kepentingan” kelompok-kelompok masyarakat sehingga kelompok yang satu ingin
menguasai bahkan mencaplok kelompok lainnya.
2) Analisis
“fungsionalisme struktural” berpendapat bahwa hampir semua kerusuhan berdarah
di Indonesia disebabkan oleh disfungsi sejumlah institusi sosial, terutama
lembaga politik. Dalam hal ini negara gagal menerapkan sebuah politik yang
menunjang integritas Indonesia sebagai satu bangsa.
3) Fenomena
seperti pecahnya otoritas pemerintah, buyarnya otoritas negara, semakin
intensifnya konflik etnis dan agama, pengungsi yang berjumlah puluhan juta, dan
pembasmian etnis tertentu merupakan gejala-gejala yang mengancam integritas
bangsa.
Langkah Kedua: Mendalami Pesan Injil Tentang Budaya Kasih
1. Peserta
didik membaca dan menyimak Injil Matius 26:47–56 berikut ini.
47Waktu Yesus masih berbicara
datanglah Yudas, salah seorang dari kedua belas murid itu, dan bersama-sama dia
serombongan besar orang yang membawa pedang dan pentung, disuruh oleh imam-imam
kepala dan tua-tua bangsa Yahudi.
48Orang yang menyerahkan Dia telah
memberitahukan tanda ini kepada mereka: “Orang yang akan kucium, itulah Dia,
tangkaplah Dia”.
49Dan segera ia maju mendapatkan
Yesus dan berkata: “Salam Rabi”, lalu mencium Dia.
50Tetapi Yesus berkata kepadanya:
“Hai sahabat, untuk itulah engkau datang?” Maka majulah mereka memegang Yesus
dan menangkap-Nya.
51Tetapi seorang dari mereka yang
menyertai Yesus mengulurkan tangannya, menghunus pedangnya dan meletakkannya
kepada hamba Imam Besar sehingga putuslah telinganya.
52Maka kata Yesus kepadanya:
“Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barang siapa menggunakan
pedang, akan binasa oleh pedang.
53Atau kausangka, bahwa Aku tidak
dapat berseru kepada Bapa-Ku, supaya Ia segera mengirim lebih dari dua belas
pasukan malaikat membantu Aku?
54Jika begitu, bagaimanakah akan
digenapi yang tertulis dalam Kitab Suci, yang mengatakan, bahwa harus terjadi
demikian?”
55Pada saat itu Yesus berkata kepada
orang banyak: “Sangkamu Aku ini penyamun, maka kamu datang lengkap dengan
pedang dan pentung untuk menangkap Aku? Padahal tiap- tiap hari Aku duduk
mengajar di Bait Allah, dan kamu tidak menangkap Aku.
56Akan tetapi semua ini terjadi
supaya genap yang ada tertulis dalam kitab nabi-nabi”. Lalu semua murid itu
meninggalkan Dia dan melarikan diri.
2. Dalam
kelompok kecil, peserta didik mendalami isi/pesan dari bacaan Injil tersebut,
dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
a.
Kalimat-kalimat
(ayat-ayat) mana dari perikop Kitab Suci tadi yang menyentuh hatimu dalam
hubungan dengan pembicaraan kita mengenai konflik dan kekerasan?
b.
Kepada
murid-Nya yang mengkhianati, Yesus menyapa: “Hai sahabat, untuk itukah engkau
datang?” Bagaimana pikiran dan perasaanmu terhadap ucapan Yesus itu?
c.
Kepada
murid-Nya yang menghunus pedang Yesus berkata: “Masukkan pedang itu kembali ke
dalam sarungnya, sebab barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh
pedang!” Dapatkah kamu mensharingkan kalimat itu berdasarkan pengalamanmu
sendiri?
d.
Apakah
kamu mengetahui perikop lain di dalam Kitab Suci, di mana Yesus bukan saja
menasihati kita supaya kita tidak menggunakan kekerasan, tetapi supaya kita
mencintai musuh-musuh kita?
e.
Apa
yang dapat kita (Gereja) lakukan untuk mengembangkan budaya budaya kasih?
3. Guru
memberikan penjelasan sebagai peneguhan atas jawaban peserta didik.
a. Pesan
dari bacaan Injil tersebut adalah:
1) Yesus
bukan saja mengajak kita untuk tidak menggunakan kekerasan menghadapi
musuh-musuh, tetapi juga untuk mencintai musuh-musuh dengan tulus. Yesus
mengajak kita untuk mengembangkan budaya kasih dengan mencintai sesama, bahkan
mencintai musuh (lih. Luk. 6:27–36).
2) Pesan
Yesus untuk kita ini memang sangat radikal dan bertolak belakang dengan
kebiasaan, kebudayaan, dan keyakinan mata ganti mata, gigi ganti gigi yang kini
sedang berlaku. Kasih yang berdimensi keagamaan sungguh melampaui kasih
manusiawi. Kasih kristiani tidak terbatas lingkungan keluarga karena hubungan
darah; tidak terbatas pada lingkungan kekerabatan atau suku; tidak terbatas
pada lingkungan daerah atau ideologi atau agama. Kasih kristiani menjangkau
semua orang, sampai kepada musuh-musuh kita.
3) Dasar
kasih kristiani adalah keyakinan dan kepercayaan bahwa semua orang adalah
putera dan puteri Bapa kita yang sama di surga. Dengan menghayati cinta yang
demikian, kita meniru cinta Bapa di surga, yang memberi terang matahari dan
curah hujan kepada semua orang (baik orang baik maupun orang jahat).
4) Mengembangkan
budaya kasih untuk melawan budaya kekerasan memang tidak mudah. Dalam kehidupan
sehari-hari, kita merasa betapa sulitnya untuk berbuat baik dan mencintai orang
yang membuat kita sakit hati. Namun dengan kasih kita dapat berbuat baik dengan
siapapun, termasuk orang yang memusuhi kita, antara lain karena keimanan kita
pada Yesus Kristus, Tuhan dan Juru Selamat kita.
b. Upaya
kita (Gereja) untuk mengembangkan budaya kasih
Konflik
dan kekerasan sering terjadi karena perbedaan kepentingan. Untuk mengatasi
konflik dan kekerasan, kita dapat mencoba dengan usaha-usaha preventif dan
usaha-usaha mengelola konflik dan kekerasan, jika sudah terjadi konflik dan
kekerasan.
1) Usaha-usaha
membangun budaya kasih sebelum terjadi konflik dan kekerasan
Banyak
konflik dan kekerasan terjadi karena terdorong oleh kepentingan kelompok.
Fanatisme kelompok sering disebabkan oleh kekurangan pengetahuan (kepicikan)
dan merasa diri terancam oleh kelompok lain. Untuk itu perlu diusahakan:
a) Dialog
dan komunikasi supaya dapat lebih saling memahami kelompok lain. Kita sering
memiliki asumsi-asumsi dan pandangan yang keliru tentang kelompok lain. Kalau
diadakan komunikasi yang jujur dan tulus, segala prasangka buruk dapat diatasi.
b) Kerja
sama atau membentuk jaringan lintas batas untuk memper- juangkan kepentingan
umum yang sebenarnya menjadi opsi bersama. Rasa senasib dan seperjuangan dapat
lebih mengakrabkan kita satu sama lain.
2) Usaha-usaha
membangun budaya kasih sesudah terjadi konflik dan kekerasan
Usaha
membangun budaya kasih sesudah terjadi konflik dan kekerasan sering disebut “pengelolaan
atau manajemen konflik dan kekerasan”.
Manajemen
konflik dan kekerasan umumnya harus mengikuti tahap-tahap berikut ini:
a) Langkah
pertama, perlunya orang yang menderita menceritakan kembali konflik atau
kekerasan yang telah terjadi.
Kekerasan
bukanlah sesuatu yang abstrak atau impersonal melainkan personal, pribadi, maka
perlu dikisahkan kembali. Upaya kita sering kali gagal karena kita memiliki
titik tolak yang salah, yaitu anjuran agar orang melupakan semua masa lampau.
Sikap ini melecehkan dan tidak menghormati para korban dan hal itu berarti
mengingkari nilai manusia itu sendiri. Satu unsur penting dalam tahap ini
adalah bahwa rekonsiliasi menuntut pengungkapan kembali kebenaran, karena
“kebenaran memerdekakan” (lih. Yoh. 8:32). Hal ini tidak mudah karena
pengungkapan jujur sering dapat membangkitkan emosi balas dendam. Namun, kisah
masa lampau yang tidak dihadapi dengan sungguh akan kembali menghantui
kehidupan masa datang. Menceritakan kebenaran akan sangat membantu proses
selanjutnya, yaitu mengakui kesalahan dan pengampunan.
b) Langkah
kedua, mengakui kesalahan dan minta maaf serta penyesalan dari pihak atau
kelompok yang melakukan kesalahan atau penyebab konflik kekerasan.
Pengakuan
ini harus dilakukan secara publik dan terbuka, sebuah pengakuan yang jujur
tanpa mekanisme bela diri. Pengakuan yang jujur harus menghindarkan sikap
memaafkan diri atau hanya sekadar ungkapan rasa bersalah melulu, melainkan
sebuah sikap ikhlas menerima diri sendiri dengan segala keterbatasannya.
Termasuk dalam pengakuan salah dan minta maaf ini adalah kesalahan seperti
curiga, pandangan salah, atau prasangka-prasangka terhadap kelompok lain
sebagai akar masalah yang memicu konflik berdarah. Semua beban sejarah yang
membelenggu seseorang atau kelompok harus dapat diungkapkan secara transparan.
Dengan cara itu, kita dapat dibebaskan dan antara kita terjadilah sebuah kisah
baru.
Tindakan
meminta maaf adalah tindakan dua pihak dalam gerak menuju rekonsiliasi. Dalam
pengakuan kesalahan, orang mengalami keterbatasannya. Pengalaman keterbatasan
membuka kemungkinan bagi manusia untuk berharap dan menantikan petunjuk dan
jalan keluar yang diberikan oleh pihak ketiga, pihak luar.
c) Langkah
ketiga, pengampunan oleh korban kepada yang melakukan kekerasan.
Kata
pengampunan dan rekonsiliasi akhir-akhir ini sering disalahtafsirkan.
Mengampuni berarti melupakan atau jangan lagi mengungkit kesalahan masa lampau.
Padahal justru sebaliknya: “ingatlah dan ampunilah”. Dalam rekonsiliasi itu,
kita harus tahu apa yang harus kita ampuni dan siapa yang harus mendapat
pengampunan.
Pengampunan
adalah akibat logis dari tahap pertama dan kedua, yaitu sesudah kebenaran
disingkapkan. Dan yang berhak memberi pengampunan adalah para korban kekerasan.
Pengampunan berarti meninggalkan balas dendam terhadap pelaku kekerasan,
membiarkan pergi segala beban dendam lawan pelaku. Pengampunan berkuasa
menyembuhkan hubungan antarmanusia.
Pengampunan
adalah mukjizat. Jika itu terjadi, maka hadirlah rekonsiliasi. Daya ampun
berasal dari Allah dan kemampuan memberi ampun bertumbuh dari iman. Dalam
pengampunan kita menolak dosa, tetapi tidak menolak pendosa. Mengampuni berarti
berpartisipasi dalam sifat Allah sendiri (lih. 2Kor. 5: 17–19).
d) Langkah
keempat, rekonsiliasi.
Gereja
juga menyadari bahwa tidak ada jalan pintas menuju rekonsiliasi. Martabat para
korban kekerasan, misalnya, tidak dapat dipulihkan hanya dengan sebuah
permohonan maaf saja. Perdamaian murahan tidak akan bertahan lama. Gereja juga
sadar bahwa rekonsiliasi itu mahal. Para pelaku kejahatan butuh waktu untuk
menerima diri sendiri dan para korban juga butuh waktu untuk merangkul pelaku
kejahatan dengan rasa kemanusiaan. Keadilan transformatif perlu diberi waktu
dan kesempatan. Rekonsiliasi adalah pembaharuan.
Masa
ini adalah saat berjuang agar para korban tidak menjadi pelaku kekerasan karena
balas dendam. Menolak pengampunan berarti membelenggu diri di dalam masa lampau
dan kita kehilangan diri sendiri. Martabat para korban ingin dipulihkan, namun
tidak boleh tenggelam pada peristiwa masa lampau. Ada banyak warta, cerita
Kitab Suci, mengenai damai dan rekonsiliasi. Allah melakukan rekonsiliasi
dengan manusia lewat sengsara dan kematian Putera-Nya, Yesus Kristus. Maka
cerita Yesus menyembuhkan dan cerita kita bermakna.
Langkah Ketiga: Menghayati Budaya Kasih Dalam Hidup Kita
1. Refleksi
Peserta
didik menuliskan sebuah refleksi tentang membangun budaya kasih di tengah
kehidupan masyarakat Indonesia yang pluralistik. Refleksi ini bisa dalam bentuk
essay pendek, doa, puisi, dan lain-lain.
2. Aksi
Peserta
didik menempelkan hasil refleksinya di majalah dinding sekolah, atau
menayangkan/mengunggah di website sekolah atau media sosial lainnya.
Doa Penutup
Dalam nama Bapa, Putera ,dan Roh Kudus. Amin.
Bapa yang penuh kasih, kami bersyukur melalui pembelajaran ini
kami mendapatkan ilmu dan sekaligus tumbuhnya iman dalam hidup
kami.
Kami bersyukur akan Yesus putera-Mu yang Engkau utus untuk dunia
membawa kabar sukacita dan ajaran kasih. Melalui Yesus Putera-Mu yang adalah
tokoh teladan yang sempurna,
ajarilah kami untuk mengasihi sesama seperti mengasihi diri kami
sendiri.
Dan ajarilah kami juga untuk selalu mampu melakukan budaya kasih
dimanapun kami berada.
Demi Kristus Tuhan dan pengantara kami. Amin.
Dalam nama Bapa, Putera ,dan Roh Kudus. Amin.
Diakhiri dengan doa Santo
Fransiskus Assisi
Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai.
Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih, Bila
terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan, Bila terjadi
perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan, Bila terjadi kebimbangan,
jadikanlah aku pembawa kepastian, Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku
pembawa kebenaran, bila terjadi kecemasan, jadikanlah aku pembawa harapan, Bila
terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan, Bila terjadi kegelapan,
jadikanlah aku pembawa terang.
Tuhan, semoga aku ingin menghibur daripada dihibur, memahami
daripada dipahami, mencintai daripada dicintai, sebab dengan memberi aku
menerima, dengan mengampuni aku diampuni, dengan mati suci aku bangkit lagi,
untuk hidup selama-lamanya.
Amin.
Rangkuman
1. Kekerasan
yang terjadi di negeri ini memiliki rupa-rupa dimensi dan rupa-rupa wajah. Ada
kekerasan berdimensi fisik, psikologis, tersamar, dan sebagainya. Kekerasan
menunjukkan pula rupa-rupa wajah: ada kekerasan sosial, kekerasan kultural,
kekerasan etnis, kekerasan gender, dan sebagainya. Analisis “teori konflik”
menemukan alasan kekerasan berbagai bentuk “perbedaan kepentingan”
kelompok-kelompok masyarakat sehingga kelompok yang satu ingin menguasai bahkan
mencaplok kelompok lain.
2. Yesus
mengajarkan kita untuk tidak menggunakan kekerasan menghadapi musuh-musuh,
tetapi juga untuk mencintai musuh-musuh dengan tulus. Yesus mengajak kita untuk
mengembangkan budaya kasih dengan mencintai sesama, bahkan mencintai musuh
(lih. Luk. 6:27-36).
3. Pesan
Yesus untuk kita ini memang sangat radikal dan bertolak belakang dengan
kebiasaan, kebudayaan, dan keyakinan mata ganti mata, gigi ganti gigi yang kini
sedang berlaku. Kasih yang berdimensi keagamaan sungguh melampaui kasih
manusiawi. Kasih kristiani tidak terbatas lingkungan keluarga karena hubungan
darah; tidak terbatas pada lingkungan kekerabatan atau suku; tidak terbatas
pada lingkungan daerah atau ideologi atau agama. Kasih kristiani menjangkau
semua orang, sampai kepada musuh-musuh kita.
4. Dasar
kasih kristiani adalah keyakinan dan kepercayaan bahwa semua orang adalah
putera dan puteri Bapa kita yang sama di surga. Dengan menghayati cinta yang
demikian, kita meniru cinta Bapa di surga, yang memberi terang matahari dan
curah hujan kepada semua orang (baik orang baik maupun orang jahat).
5. Mengembangkan
budaya kasih untuk melawan budaya kekerasan memang tidak mudah. Dalam kehidupan
sehari-hari, kita merasa betapa sulitnya untuk berbuat baik dan mencintai orang
yang membuat kita sakit hati. Namun dengan kasih kita dapat berbuat baik dengan
siapapun, termasuk orang yang memusuhi kita, antara lain karena keimanan kita
pada Yesus Kristus, Tuhan dan Juru Selamat kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar