Cari Blog Ini

Minggu, 19 Januari 2025

HIDUP ITU MILIK ALLAH

 

HIDUP ITU MILIK ALLAH

Tujuan Pembelajaran

Peserta didik mampu memahami dan menyadari bahwa hidup itu milik Allah dan pada akhirnya dapat menjadi agen dalam pengembangan moral hidup kristiani dalam masyarakat.

 

Gagasan Pokok

Kita sering menyaksikan berita sadisme dan sikap kasar terhadap sesama manusia di berbagai tempat. Anak-anak muda atau pelajar sering ikut terlibat dalam tindakan kekerasan di jalanan atau di area publik. Ada begitu banyak tindakan penghilangan hak hidup orang lain baik oleh orang-orang secara pribadi ataupun gerombolan massa dari kelompok-kelompok tertentu, penganut budaya kekerasan dan kematian.

Sepanjang sejarah dan dimana saja, budaya dan etika manusia senantiasa menghormati dan melindungi hidup. Hal-hal yang mengancam kehidupan seperti perang, penyakit, dan pembunuhan sangat kita takuti. Kita berusaha melindungi hidup. Demikian juga, ajaran moral kebanyakan agama senantiasa menghormati dan melindungi hidup. Umat Perjanjian Lama percaya akan Allah Pencipta, yang gembira atas karya-Nya. Bagi Tuhan, hidup, khususnya hidup manusia, amat berharga. Umat Allah percaya akan Allah yang cinta hidup, mengandalkan Allah yang membangkitkan orang mati, dan membela hidup melawan maut.

Tuhan itu Allah orang hidup, maka “jangan membunuh” (Kel. 20:13). Ajakan firman kelima ini jelas, yakni tidak membunuh orang dan tidak membunuh diri sendiri. Perjanjian Baru tidak hanya melarang pembunuhan, tetapi ingin membangun sikap hormat dan kasih akan hidup. Hal ini dijelaskan oleh sabda Yesus sendiri dalam khotbah di Bukit: “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! Harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala” (Mat. 5:21–22).

Manusia hidup karena diciptakan dan dikasihi Allah. Karena itu, biarpun sifatnya manusiawi dan bukan ilahi, hidup manusia itu suci. Kitab Suci menyatakan bahwa nyawa manusia tidak boleh diremehkan. Hidup fana ini merupakan titik pangkal bagi hidup yang kekal. Dalam pelajaran ini, kita ingin menyadari dan belajar untuk selalu menghormati hidup. Kasus bunuh diri, aborsi, euthanasia, hukuman mati, dan lain- lain merupakan tindakan yang bertentangan dengan kehendak Allah sendiri sebagai pencipta kehidupan manusia. Karena itu kita harus ikut menjaga kehidupan sesama manusia berpedoman pada ajaran dan teladan Yesus Kristus yang diwartakan dalam Kitab Suci dan ajaran Gereja Katolik.

 

Doa Pembuka

Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Amin. Allah Bapa yang penuh cinta, di hari yang berahmat ini,

kami bersyukur kepada-Mu, atas nafas dan penyelenggaraan hidup yang Engkau

hadiahkan bagi kami. Engkau Tuhan menciptakan hidup kami dari rahim ibu kami, ajarilah kami untuk selalu menghargai hidup manusia dan menjunjung tinggi nilai martabat manusia yang berasal dari pada-Mu.

Doa ini kami satukan dengan doa yang diajarkan Yesus kepada kami; Bapa kami yang ada di surga…

Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Amin.

 

Langkah Pertama: Mengamati Kisah Perjuangan Mendukung Kehidupan Orang-Orang Yang Terpuruk

1.    Guru mengawali kegiatan pembelajaran dengan berdialog bersama peserta didik dan mengajak mereka mengingat kembali tema pembelajaran sebelumnya tentang mengembangkan budaya kasih dan penugasan yang diberikan. Guru menanyakan, misalnya adakah kesulitan atau hambatan dalam melaksanakan tugas mengembangkan budaya kasih?

2.    Selanjutnya guru menyampaikan materi pembelajaran saat ini yaitu tentang hidup itu milik Allah. Berkaitan dengan materi pembelajaran ini, guru dapat memotivasi belajar peserta didik dengan pertanyaan, misalnya: apa makna makna hidup itu milik Allah. Apa ajaran atau pandangan Gereja terkait kasus bunuh diri, aborsi, euthanasia, hukuman mati? Untuk memahami hal ini, marilah kita memulai pembelajaran dengan menyimak kasus kehidupan berikut ini.

3.    Peserta didik membaca dan menyimak artikel berita berikut ini.

 

St. Bunda Teresa, Pendukung Kehidupan

Tanggal 4 September 2016, Bunda Teresa resmi dinyatakan sebagai santa atau orang suci dalam gereja Katolik. Perayaan misa kanonisasi Bunda Teresa sebagai santa dipimpin oleh Paus Fransiskus di Vatikan. Bunda Teresa lahir dengan nama Agnes Gonxha Bojaxhiu pada tahun 1910 di Skopje, sekarang ibukota Republik Makedonia. Keluarganya beretnis Albania, penganut Katolik.

Di awal usia 12 tahun, Agnes memutuskan masuk biara di India. Pada usia 19 tahun, dia bergabung dengan Ordo Iris dari Loreto. Di sini Agnes belajar bahasa Inggris. Dan ia kemudian dikirim bertugas ke India tahun 1929. Agnes memberi nama dirinya sebagai Bunda Teresa, terinspirasi dari biarawati suci Theresa dari Lisieux, saat ia memulai mengajar di satu sekolah di Darjeeling, kota yang berada di kaki pegunungan Himalaya.

Di tengah perseteruan komunal sehubungan cengkeraman penjajahan Inggris di India tahun 1946, ia mendengar "panggilan" untuk membantu para orang miskin dan papa yang hidup di antara mereka. Setelah 10 tahun membantu orang-orang melarat di tempat-tempat kumuh di Kalkuta, India, di antaranya 100 ribu orang tunawisma, Bunda Teresa kemudian membuka rumah sakit di lahan milik kuil Hindu di Kalighat. Setelah itu, ia melanjutkan dengan membangun rumah untuk anak-anak yang dibuang dari keluarganya dan penderita lepra.

Bunda Teresa merupakan pendukung kehidupan. Ia tegas menolak aborsi dan kontrasepsi. Ia menegaskan di hadapan satu konferensi di Oxford tahun 1988 bahwa perempuan yang mendukung aborsi atau kontrasepsi tidak pantas mengadopsi anak. "Perempuan seperti itu tidak memiliki cinta kasih," tegas Bunda Teresa.

Bunda Teresa mendirikan kongreasinya sendiri yang diberi nama Missionaris Cinta Kasih pada 7 Oktober 1950.Kongresasi ini bertumbuh dengan jumlah biarawati mencapai 4.000 orang di 123 negara. Mereka melayani orang-orang melarat dan sekarat di pemukiman-pemukiman kumuh di 160 kota di dunia.

Pada 5 September 1997, Bunda Teresa meninggal setelah menderita serangan jantung. Pemerintah India mengadakan upacara khusus pemakamannya. Makam Bunda Teresa berada di dalam kompleks Missionaris Cinta Kasih dan menjadi salah satu tempat peziarahan bagi semua agama dan kepercayaan.

Bunda Teresa yang hanya memiliki dua helai pakaian sari selama hidupnya merupakan simbol cinta kasih bagi siapa saja yang tidak dicintai dan tak diinginkan. Ia disapa sebagai ibu bagi orang-orang miskin dan melarat.

Sumber: dunia.tempo.co/read/801577/perjalanan-hidup-bunda-teresa-ibu-bagi-orang-orang- melarat/full&view=ok/dengan sedikit penyesuaian

 

4.    Peserta didik berdiskusi mendalami artikel berita.

a.    Siapakah Bunda Teresa dalam kisah di atas?

b.    Apa yang ia lakukan dalam hidupnya di Kalkuta?

c.     Mengapa ia disebut sebagai seorang tokoh pendukung kehidupan?

d.    Temukan peristiwa-peristiwa dalam masyarakat yang menunjukkan bahwa orang kurang menghargai hidup sesama dan hidupnya sendiri!

 

5.    Setelah berdiskusi, peserta didik melaporkan hasil diskusi kelompoknya, dan peserta didik lain dapat menanggapinya.

 

6.    Setelah pleno, guru memberikan penjelasan sebagai peneguhan.

a.    Bunda Teresa adalah seorang yang mengabdikan hidupnya untuk menjaga, merawat kehidupan sesama terutama mereka yang miskin, sakit, menderita, putus asah, terpinggirkan, dan terbuang. Ia berjuang mendukung kehidupan mereka dengan uluran tangan kasih. Ia menjadi saluran berkat Allah bagi banyak orang, terutama mereka yang menderita karena berbagai hal yang membelenggu hidupnya.

b.    Tindakan-tindakan menghilangkan nyawa

Ada gejala-gejala dalam masyarakat kita yang menunjukkan bahwa hidup/nyawa manusia kurang dihargai. Nyawa manusia sering dinilai tidak lebih dari beberapa ratus rupiah atau bahkan semangkuk bakso. Dan tidak jarang kaum muda turut terlibat di dalamnya. Gejala-gejala tidak menghormati hidup manusia itu muncul dalam berbagai bentuk, antara lain sebagai berikut:

1)      Bunuh diri

Kematian dilakukan untuk membebaskan diri dari penderitaan yang dianggap sangat berat. Misalnya kasus pencobaan bunuh diri oleh seorang siswi di Mojokerto, Jawa Timur. Masih ada banyak kasus lain seperti ini dalam dunia pendidikan dengan berbagai latar belakang permasalahan hidupnya.

2)      Aborsi

Aborsi adalah pengguguran kandungan. Pengguguran kandungan merupakan tindakan kriminal dan termasuk kategori dosa besar karena ada unsur aktif melenyapkan hidup manusia. Dalam berbagai diskusi, baik lokal maupun regional, baik lingkup nasional maupun internasional, bersepakat bahwa abortus merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan.

Namun, sejauh mana tidak dibenarkan tergantung pada mana pengkategoriannya. Artinya, abortus masih dikelompokkan menjadi abortus alamiah dan abortus provocatus. Abortus alamiah dinilai tidak terdapat unsur kesengajaan, dan karena itu tidak termasuk tindakan kriminal. Sedangkan abortus provocatus digolongkan sebagai tindakan kriminal karena ada unsur kesengajaan yang sangat kuat. Menurut hukum positif, hidup manusia harus dilindungi dari setiap ancaman. Namun, perlindungan tersebut sering berhenti pada wacana, karena dalam kenyataannya banyak peristiwa yang kita saksikan, justru bukan merupakan perlindungan terhadap hidup, tetapi pemusnahan hidup. Kasus-kasus pengguguran dengan sengaja sering dapat kita baca dan dapat lihat di berbagai media.

3)      Euthanasia

Kata euthanasia berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘kematian yang baik (mudah). Kematian dilakukan untuk membebaskan seseorang dari penderitaan yang amat berat. Masalah ini menimbulkan masalah moral seperti bunuh diri. Namun, euthanasia melibatkan orang lain, baik yang melakukan penghilangan nyawa maupun yang menyediakan sarana kematian (yang umumnya berarti obat- obatan).

Jenis-Jenis Euthanasia

a)      Dilihat dari segi pelakunya:

                                                i.     Compulsory euthanasia, yakni bila orang lain memutuskan kapan hidup seseorang akan berakhir. Orang tersebut mungkin kerabat, dokter, atau bahkan masyarakat secara keseluruhan. Kadang-kadang euthanasia jenis ini disebut mercy killing (penghilangan nyawa penuh belas kasih). Misalnya: dilakukan pada orang yang menderita sakit mengerikan, seperti anak-anak yang cacat parah.

                                              ii.     Voluntary euthanasia, berarti orang itu sendiri minta untuk mati. Beberapa orang percaya bahwa pasien-pasien yang sekarat karena penyakit yang tak tersembuhkan dan menyebabkan penderitaan yang berat hendaknya diizinkan untuk meminta dokter untuk membantunya mati. Mungkin mereka dapat menandatangani dokumen legal sebagai bukti permintaanya dan disaksikan oleh satu orang atau lebih yang tidak mempunyai hubungan dengan masalah itu, untuk kemudian dokter menyediakan obat yang dapat mematikannya. Pandangan seperti ini diajukan oleh masyarakat euthanasia sukarela.

b)      Dilihat dari segi caranya:

                                                i.     Euthanasia aktif: mempercepat kematian seseorang secara aktif dan terencana, juga bila secara medis ia tidak dapat lagi disembuhkan dan juga kalau euthanasia dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri.

                                              ii.     Euthanasia pasif: pengobatan yang sia-sia dihentikan atau sama sekali tidak dimulai, atau diberi obat penangkal sakit yang memperpendek hidupnya, karena pengobatan apa pun tidak berguna lagi.

4)      Hukuman mati

a)    Hukuman pancung: hukuman dengan cara potong kepala; (peserta didik diminta untuk menyebutkan negara kawasan manakah yang sampai kini mempraktikkan cara tersebut).

b)   Sengatan listrik: hukuman dengan cara duduk di kursi yang kemudian dialiri listrik bertegangan tinggi; (peserta didik diminta untuk menyebutkan negara kawasan manakah yang sampai kini mempraktikkan cara tersebut).

c)    Hukuman gantung: hukuman dengan cara digantung di tiang gantungan; (peserta didik diminta untuk menyebutkan negara kawasan manakah yang sampai kini mempraktikkan cara tersebut).

d)   Suntik mati: hukuman dengan cara disuntik obat yang dapat membunuh; (peserta didik diminta untuk menyebutkan negara kawasan manakah yang sampai kini mempraktikkan cara tersebut).

e)    Hukuman tembak: hukuman dengan cara menembak jantung seseorang, biasanya pada hukuman ini terpidana harus menutup mata untuk tidak melihat eksekutornya; (peserta didik diminta untuk menyebutkan negara kawasan manakah yang sampai kini mempraktikkan cara tersebut).

f)     Rajam: hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati (peserta didik diminta untuk menyebutkan negara kawasan manakah yang sampai kini mempraktikkan cara tersebut).

 

Semua tindakan tersebut di atas menunjukkan bahwa manusia kurang menghormati hidup sendiri dan hidup sesama manusia.

 

Langkah Kedua: Mendalami Sikap Menghargai Hidup Dalam Terang Kitab Suci Dan Ajaran Gereja Katolik

1.    Peserta didik berdiskusi dalam kelompok untuk mengeksplorasi ajaran Kitab Suci dan ajaran Gereja dengan panduan pertanyaan-pertanyaan berikut:

a.    Carilah ayat-ayat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, di mana kita diharuskan menghormati hidup manusia dan tidak boleh membunuh!

b.    Carilah ayat-ayat atau perikop dalam Kitab Suci Perjanjian Baru yang mengharuskan kita menghargai hidup manusia!

c.     Apa kekhasan ajaran Yesus dalam hal menghormati hidup manusia?

d.    Apa kiranya ajaran Gereja tentang menghargai hidup manusia?

2.    Peserta didik melaporkan hasil diskusi kelompoknya masing-masing, kemudian dapat ditanggapi peserta didik lainnya.

 

3.    Selanjutnya peserta didik, masih dalam kelompok diskusi, menyimak artikel tentang ajaran Kitab Suci dan ajaran Gereja Katolik tentang menghargai hidup manusia.

 

4.    Peserta didik membaca dan menyimak tulisan berikut ini.

 

Ajaran Kitab Suci (Alkitab) dan Ajaran Gereja Katolik tentang Menghargai Hidup Manusia

a.      Ajaran Kitab Suci (Alkitab)

Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, banyak ditemukan ajaran tentang menghargai hidup manusia. Nilai martabat hidup manusia sangat berharga karena itu manusia harus saling menjaganya sesuai kehendak Tuhan sang Pencipta-Nya.

1)      Kitab Suci Perjanjian Lama

Umat Perjanjian Lama percaya akan Allah Pencipta, yang gembira atas karya-Nya. Bagi Allah, hidup, khususnya hidup manusia, amat berharga. Umat Allah percaya akan Allah yang cinta kehidupan, mengandalkan Allah yang membangkitkan orang mati, dan membela hidup melawan maut. Tuhan itu Allah orang hidup, maka: “Jangan membunuh!” (Kel. 20:13 – firman kelima).

Ajakan firman kelima ini jelas, yakni tidak membunuh orang dan tidak membunuh diri sendiri, tetapi pengaturannya tidak begitu sederhana. Misalnya, untuk hukuman mati dan perang rupanya diperkenankan. Contoh, seorang anak bandel yang tidak menghormati orang-tuanya. Anak macam ini harus dibawa ke pengadilan dan “semua orang sekotanya (harus) melempari anak itu dengan batu hingga mati” (Ul. 21:20). Masih ada banyak hukuman mati yang lain, misalnya hukuman mati untuk penghujat, untuk pelanggaran sabat, untuk tukang sihir, untuk pelaku zinah, untuk orang yang menculik orang lain, dan lain sebagainya.

Selanjutnya, diceritakan bahwa dalam perang “manusia semua dibunuh dengan mata pedang, sehingga orang-orang itu dipunahkan semua” (lih. Yos. 11: 14). Seseorang hanya dapat dikatakan membunuh jika dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja dan orang yang dibunuh itu tidak bersalah dan tidak membuat perlawanan. Jadi, hukuman mati dan terjadinya pembunuhan dalam perang diperbolehkan.

 

2)      Kitab Suci Perjanjian Baru

Kitab Suci Perjanjian Baru tidak hanya melarang pembunuhan, tetapi ingin membangun sikap hormat dan kasih akan hidup. Hal itu dijelaskan oleh sabda Yesus sendiri dalam khotbah di bukit: “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! Harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala” (Mat. 5:21–22).

“Membunuh” berarti membuang sesama dari persaudaraan manusia, entah dengan membunuhnya, entah dengan meng-kafirkannya, entah dengan membenci. Dalam lingkungan murid-murid Yesus, tidak membunuh saja tidaklah cukup. Murid-murid Yesus masih perlu menerima sesama sebagai saudara, dan jangan sampai mereka mengucilkan seseorang dari lingkungan hidup. Bahkan, berbuat wajar saja sering kali tidak cukup, sebab: “Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain?” (Mat. 5:46–47).

Hidup setiap orang harus dipelihara dengan kasih. Orang Samaria yang baik hati mendobrak batas-batas kebangsaan, agama, dan sebagainya. Jangan sampai seseorang kehilangan hidupnya. Hidup manusia tidak boleh dimusnahkan dengan kekerasan, tidak boleh dibahayakan dengan sembrono (seperti sering terjadi dalam lalu lintas), tidak boleh diancam karena benci, dan sebagainya. Sebab, setiap orang adalah anak Allah.

 

3)      Ajaran Gereja

Perkembangan sosial dan ekonomis serta kemajuan ilmu-ilmu (khususnya ilmu kedokteran) menimbulkan banyak pertanyaan baru perihal hidup. Misalnya: soal aborsi, euthanasia, hukuman mati, perang, dan lain sebagainya.

Usaha melindungi hidup serta meningkatkan mutunya bagi semua, sering bermuara dalam konflik. Misalnya, konflik antara menyelamatkan nyawa ibu atau melakukan aborsi. Konflik semacam itu sering kali diselesaikan dengan mempertimbangkan aneka kepentingan. Jika orang terpaksa memilih, ia harus memilih kepentingan dan nilai yang paling tinggi, yakni nilai yang paling dasariah bagi hidup manusia dan paling mendesak.

Namun, dalam praktik sering tidak gampang membuat pilihan. Di bawah ini disinggung satu dua soal berhubungan dengan masalah pilihan itu.

 

a)     Hukuman mati

Gereja tidak mendukung adanya hukuman mati, namun tidak melarangnya juga. Gereja mempertahankan bahwa kuasa negara yang sah berhak menjatuhkan hukuman mati dalam kasus yang amat berat.

Memang, dalam kebanyakan kebudayaan, hukuman mati diberlakukan. Namun, dalam etika (termasuk moral Katolik), makin diragukan alasan-alasan yang membenarkan hukuman mati, sebab sama sekali tidak jelas, manakah perkara-perkara yang amat berat yang dapat membenarkan hukuman mati.

Dalam kaitannya dengan perintah kelima, Katekismus memper-timbangkan topik ini dalam dua perspektif, yakni dari hak untuk mempertahankan diri dan dari perspektif efek yang ditimbulkan dari sebuah hukuman (KGK artikel 2263–2267).

Dalam kaitannya dengan persoalan pertama tentang hak untuk mempertahankan diri, Katekismus membedakan antara “upaya pertahanan diri dan masyarakat yang dilakukan secara sah” dan pembunuhan yang dilakukan secara sengaja. Menurut Katekismus, pertahanan diri yang sah bukanlah sebuah perkecualian dan dispensasi untuk suatu pembunuhan yang dilakukan secara sengaja. Keduanya berada dalam level yang sangat berbeda.

Dalam kaitannya dengan upaya pertahanan diri, Katekismus menekankan: “Cinta kepada diri sendiri merupakan dasar ajaran susila. Dengan demikian adalah sah menuntut haknya atas kehidupannya sendiri. Siapa yang membela kehidupannya, tidak bersalah karena pembunuhan, juga apabila ia terpaksa menangkis penyerangannya dengan satu pukulan yang mematikan” (KGK 2264).

Lebih lanjut, Katekismus Gereja Katolik juga menekankan bahwa pembelaan kesejahteraan umum masyarakat menuntut agar penyerang dihalangi untuk menyebabkan kerugian. Karena alasan ini, maka ajaran Gereja sepanjang sejarah mengakui keabsahan hak dan kewajiban dari kekuasaan politik yang sah, menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan beratnya kejahatan, tanpa mengecualikan hukuman mati dalam kejadian-kejadian yang serius (KGK 2266).

Prinsip inilah yang berlaku bagi negara dalam melaksanakan kewajibannya untuk menjaga keselamatan orang banyak dan melindungi warganya dari malapetaka. Sebab itu, negara dapat menyatakan dan memaklumkan perang melawan penyerang dari luar komunitasnya sama seperti individu memiliki hak yang sah untuk mempertahankan diri.

Berdasarkan pemahaman di atas, Gereja Katolik pada prinsipnya menjunjung tinggi hak negara untuk melaksanakan hukuman mati atas penjahat-penjahat tertentu. Walau Gereja menjunjung tinggi tradisi ajaran yang mengijinkan hukuman mati untuk tindak kejahatan yang berat, tetapi ada beberapa persyaratan serius yang harus dipenuhi guna melaksanakan otoritas tersebut, yakni apakah cara ini merupakan satu-satunya kemungkinan untuk melindungi masyarakat atau adakah cara-cara tidak berdarah lainnya? Apakah dengan demikian pelaku dijadikan “tak lagi dapat mencelakai orang lain”? Apakah pelaku memiliki kemungkinan untuk meloloskan diri? Apakah kasus ini merupakan suatu kasus khusus yang menjamin bahwa hukuman yang demikian tidak akan sering dilakukan? Karena itu Katekismus juga menegaskan: “Sejauh cara-cara tidak berdarah mencukupi, untuk membela kehidupan manusia terhadap penyerang dan untuk melindungi peraturan resmi dan keamanan manusia, maka yang berwenang harus membatasi dirinya pada cara-cara ini, karena cara-cara itu lebih menjawab syarat-syarat konkret bagi kesejahteraan umum dan lebih sesuai dengan martabat manusia.” (KGK 2267).

 

b)     Aborsi

                                            i.          Ajaran Kitab Suci

Allah berkata kepada Yeremia: “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau. Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa” (Yer. 1:4–5).

Allah sudah mengenal Yeremia ketika ia masih dalam kandungan ibunya, Allah menguduskan dia, dan menetapkannya menjadi seorang nabi. Seandainya ibu Yeremia melakukan pengguguran, maka “Yeremialah” yang terbunuh. Ibu Yeremia belum mengetahui nama bayi yang dikandungnya, tapi Allah sudah memberikan nama kepadanya. Ibu Yeremia belum mengetahui bahwa bayi dalam kandungannya akan menjadi nabi Allah yang besar, tapi Allah sudah menetapkannya. Seandainya bayi itu digugurkan, maka Allah akan merasa sangat kehilangan.

Alkitab mengatakan, bahwa Yohanes Pembaptis penuh dengan Roh Kudus ketika ia masih berada dalam rahim ibunya. Allah mengutus malaikat-Nya kepada Zakharia untuk memberitahukan bahwa istrinya akan melahirkan seorang anak laki-laki dan bahkan memberitahukan nama yang harus diberikan pada bayi itu. Zakharia diberitahu bahwa, “Banyak orang akan bersuka cita atas kelahirannya, sebab ia akan menjadi besar dalam pandangan Allah” (Luk. 1:11–17).

Allah mengenal Yohanes dengan baik dan Ia mempunyai rencana khusus bagi kehidupan Yohanes Pembaptis di dunia ini selagi ia masih berada dalam rahim ibunya. Malaikat Gabriel juga memberitahu Maria: “Sesungguhnya engkau akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia, Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah yang maha tinggi ... dan kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan” (Luk. 1:31–33).

Dari beberapa kutipan Kitab Suci di atas, kita lihat bahwa Allah tidak menunggu sampai bayi itu dapat bergerak atau sudah betul-betul siap untuk lahir, baru Allah mengenal dan mengasihinya sebagai seorang manusia. Sesungguhnya, hanya Allah yang berhak memberi atau mencabut kehidupan. (lih. Ul. 32:39) Hanya Dia yang berhak membuka dan menutup kandungan. Tetapi manusia dengan tangannya sendiri telah mengundang malapeka. Ibu-ibu dengan alasan-alasan egoisnya dan dokter-dokter dengan alat-alatnya yang tajam telah mempermainkan Allah karena telah menghilangkan kehidupan sang bayi dalam kandungan ibunya.

 

                                          ii.          Ajaran Gereja

Mengenai pengguguran, tradisi Gereja amat jelas. Mulai dari abad-abad pertama sejarahnya, Gereja membela hidup anak di dalam kandungan, juga kalau (seperti dalam masyarakat Romawi abad pertama dan kedua) pengguguran diterima umum dalam masyarakat. Orang kristiani selalu menentang dan melarang pengguguran. Konsili Vatikan II masih menyebut bahwa pengguguran adalah suatu “tindakan kejahatan yang durhaka”, sama dengan pembunuhan anak. “Sebab Allah, Tuhan kehidupan, telah mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat cermat” (Gaudium et Spes, artikel 51).

Ilmu pengetahuan mengatakan: “Pada saat sperma dan sel telur bertemu, mereka itu menjadi susunan yang lengkap dan sempurna untuk kemudian berkembang menjadi manusia dewasa.”Tak perlu lagi ditambahkan sesuatu, kecuali waktu dan makanan. Setiap tingkat perkembangan, dari pembuahan sampai menjadi orang tua, hanyalah merupakan proses pematangan dari bagian- bagian yang sebenarnya sudah ada sejak awalnya (sejak pembuahan).

Manusia dalam kandungan memiliki martabat yang sama seperti manusia yang sudah lahir. Karena martabat itu, manusia mempunyai hak-hak asasi dan mempunyai segala hak sipil dan gerejawi, sebab dengan kelahirannya hidup manusia sendiri tidak berubah, hanya lingkungan hidupnya menjadi lain.

Gereja menghukum pelanggaran melawan kehidupan manusia ini dengan hukum Gereja, yakni hukuman ekskomunikasi. “Barangsiapa yang melakukan pengguguran kandungan dan berhasil, terkena ekskomunikasi” (KHK Kanon 1398).

Katekismus Gereja Katolik menegaskan, “Kehidupan manusia harus dihormati dan dilindungi secara absolut sejak saat pembuahannya. Sudah sejak saat pertama keberadaannya, satu makluk manusia harus dihargai karena ia mempunyai hak-hak pribadi, diantaranya hak atas kehidupan dari makhluk yang tidak bersalah yang tidak dapat diganggu gugat” (KGK 2270).

 

c)     Euthanasia

Euthanasia sebenarnya sama seperti pengguguran. Tidak diperbolehkan mempercepat kematian secara aktif dan terencana, juga jika secara medis ia tidak lagi dapat disembuhkan dan juga kalau euthanasia dilakukan atas permintaan pasien sendiri (bdk. KUHP pasal 344). Seperti halnya dengan pengguguran, di sini ada pertimbangan moral yang jelas, juga dalam proses kematian, manusia pun harus dihormati martabatnya. Semua sependapat, bahwa tidak seorang pun berhak mengakhiri hidup orang lain, walaupun dengan rasa iba.

Lain halnya kalau dipertimbangkan, sejauh mana harus diteruskan pengobatan yang tidak menyembuhkan orang, dan hanya memperpanjang proses kematiannya. Disebut euthanasia pasif, jika pengobatan yang sia-sia dihentikan (atau sama sekali tidak dimulai); dan euthanasia tidak langsung, jika obat penangkal sakit memperpendek hidupnya. Menurut moral Gereja Katolik, tindakan semacam itu dapat dibenarkan.

Ajaran Gereja Katolik mengenai euthanasia aktif sangat jelas, yakni tidak seorang pun diperkenankan meminta perbuatan pembunuhan, entah untuk dirinya sendiri, entah untuk orang lain yang dipercayakan kepadanya. Penderitaan harus diringankan bukan dengan pembunuhan, melainkan dengan pendampingan oleh seorang teman. Demi salib Kristus dan demi kebangkitan-Nya, Gereja mengakui adanya makna dalam penderitaan, sebab Allah tidak meninggalkan orang yang menderita. Dan dengan memikul penderitaan dan solidaritas, kita ikut menebus penderitaan (lihat KGK 2277–2278–2279).

Katekismus Gereja Katolik menegaskan, “Orang-orang yang cacat atau lemah, membutuhkan perhatian khusus. Orang sakit dan cacat harus dibantu supaya sedapat mungkin mereka dapat hidup secara normal” (KGK 2276).

 

d)     Bunuh diri

Berkaitan dengan bunuh diri, Gereja Katolik menegaskan, “Tiap orang bertanggung jawab atas kehidupannya. Allah memberikan hidup kepadanya. Allah ada dan tetap merupakan Tuhan kehidupan yang tertinggi. Kita berkewajiban untuk berterima kasih karena itu dan mempertahankan hidup demi kehormatan-Nya dan demi keselamatan jiwa kita. Kita hanya pengurus, bukan pemilik kehidupan dan Allah mempercayakan itu kepada kita. Kita tidak mempunyai kuasa apapun atasnya”. (KGK 2280)

“Bunuh diri bertentangan dengan kecondongan kodrati manusia supaya memelihara dan mempertahankan kehidupan. Itu adalah pelanggaran berat terhadap cinta diri yang benar. Bunuh diri juga melanggar cinta kepada sesama, karena merusak ikatan solidaritas dengan keluarga, dengan bangsa dan dengan umat manusia, kepada siapa kita selalu mempunyai kewajiban. Akhirnya bunuh diri bertentangan dengan cinta kepada Allah yang hidup” (KGK 2281).

Manusia hidup karena diciptakan dan dikasihi Allah. Karena itu, biarpun sifatnya manusiawi dan bukan Ilahi, hidup itu suci. Kitab Suci menyatakan bahwa nyawa manusia (yakni hidup biologisnya) tidak boleh diremehkan. Hidup manusia mempunyai nilai yang istimewa karena sifatnya yang pribadi. Bagi manusia, hidup (biologis) adalah ‘masa hidup’, dan tak ada sesuatu ‘yang dapat diberikan sebagai ganti nyawanya’ (lih. Mrk. 8:37). Dengan usaha dan rasa, dengan kerja dan kasih, orang mengisi masa hidupnya, dan bersyukur kepada Tuhan, bahwa ia ‘boleh berjalan di hadapan Allah dalam cahaya kehidupan’ (lih. Mzm. 56:14). Memang, ‘masa hidup kita hanya tujuh puluh tahun’ (lih. Mzm. 90:10) dan ‘di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap’ (lih. Ibr. 14:14). Namun, hidup fana merupakan titik pangkal bagi kehidupan yang diharapkan di masa mendatang.

Hidup fana menunjuk pada hidup dalam perjumpaan dengan Tuhan, sesudah hidup yang fana ini dilewati. Kesatuan dengan Allah dalam perjumpaan pribadi memberikan kepada manusia suatu martabat yang membuat masa hidup sekarang ini sangat berharga dan suci. Hidup manusia di dunia ini sangat berharga. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh menghilangkan nyawanya sendiri, misalnya dengan melakukan bunuh diri atau euthanasia. Hanya Tuhan yang boleh mengambil kembali hidup manusia.

 

5.    Peserta didik dalam kelompok mendalami ajaran Kitab Suci dan ajaran Gereja tentang menghargai hidup manusia dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.

a.    Apa ajaran Kitab Suci Perjanjian Lama tentang menghargai hidup manusia?

b.    Apa ajaran Yesus tentang menghargai hidup manusia?

c.     Apa ajaran Gereja tentang hukuman mati?

d.    Apa ajaran Gereja tentang aborsi?

e.    Apa ajaran Gereja tentang euthanasia?

f.      Apa ajaran Gereja tentang bunuh diri?

g.    Apa saja usaha-usaha yang perlu kalian lakukan untuk menghargai hidup manusia (mencegah aborsi, hukuman mati, euthanasia, bunuh diri)?

 

6.    Setelah berdiskusi, peserta didik melaporkan hasil diskusinya dan dapat ditanggapi kelompok lain.

 

7.    Guru memberikan penjelasan sebagai peneguhan/kesimpulan atas hasil diskusi, misalnya seperti berikut ini.

a.    Menghargai hidup harus menjadi budaya bangsa kita. “Budaya” kekerasan dan maut harus disingkirkan dan dikikis. Untuk itu, dapat diusahakan dengan cara antara lain:

1)      Menggali dan menyebarluaskan ajaran tentang “peri-kemanusiaan”, baik dari ideologi negara (Pancasila) dan dokumen-dokumen negara lainnya, maupun dari adat dan kebudayaan bangsa yang sangat mengutamakan kemanusiaan.

2)      Memperkenalkan dan menyebarluaskan gagasan-gagasan kristiani tentang nilai kehidupan/nyawa manusia.

3)      Melawan dan memboikot dengan tegas “budaya” kekerasan dan “budaya” maut.

b.    Untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan di atas, kita dapat menggunakan:

1)      semua media massa yang ada;

2)      pengadaan buku-buku;

3)      posisi umat Katolik, baik dalam pemerintahan, maupun dalam masyarakat luas.

c.     Umat Katolik harus menunjukkan sikap hidup yang nyata dan tegas bahwa kita sungguh menghormati kehidupan manusia. Kita ingin menghayati budaya cinta kehidupan. Karena itu kita perlu mencegah adanya aborsi, hukuman mati, euthanasia, bunuh diri.

 

Langkah Ketiga: Mencermati Usaha-Usaha Untuk Menghargai Hidup

1.    Refleksi

Peserta didik membuat tulisan refleksi tentang usaha-usaha yang perlu dilakukan untuk menghargai hidup manusia.

 

2.    Aksi

Peserta didik menempelkan hasil refleksinya tentang menghargai hidup di majalah dinding sekolah atau mengunggahnya di media sosial milik sekolah (bila memungkinkan).

 

Doa Penutup

Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Amin.

Bapa yang penuh kasih dan kebaikan. Kami berterima kasih, melalui pembelajaran ini Engkau telah menyapa kami

untuk menghargai kehidupan seperti mencintai diri dan hidup kami. Semoga melalui ajaran-Mu kami pun memahami bahwa mencintai kehidupan adalah panggilan yang menguduskan manusia.

Jadikanlah kami menjadi saksi-Mu yang menjunjung tinggi nilai-nilai kasih.

Demi Kristus Tuhan dan pengantara kami. Amin. Kemuliaan kepada Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus

Seperti pada permulaan, sekarang, selalu, dan sepanjang segala abad. Amin.

Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Amin.

 

Rangkuman

1.    Menghargai hidup manusia

Manusia hidup karena diciptakan dan dikasihi Allah. Karena itu, biarpun sifatnya manusiawi dan bukan Ilahi, hidup itu suci. Kitab Suci menyatakan bahwa nyawa manusia (yakni hidup biologisnya) tidak boleh diremehkan. Hidup manusia mempunyai nilai yang istimewa karena sifatnya yang pribadi. Bagi manusia, hidup (biologis) adalah ‘masa hidup’, dan tak ada sesuatu ‘yang dapat diberikan sebagai ganti nyawanya’ (lih. Mrk. 8:37). Dengan usaha dan rasa, dengan kerja dan kasih, orang mengisi masa hidupnya, dan bersyukur kepada Tuhan, bahwa ia ‘boleh berjalan di hadapan Allah dalam cahaya kehidupan’ (lih. Mzm. 56:14). Memang, ‘masa hidup kita hanya tujuh puluh tahun’ (lih. Mzm. 90:10) dan ‘di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap’ (lih. Ibr. 14:14). Namun, hidup fana merupakan titik pangkal bagi kehidupan yang diharapkan di masa mendatang.

 

2.    Hukuman mati

Gereja tidak mendukung adanya hukuman mati, namun tidak melarangnya juga. Gereja mempertahankan bahwa kuasa negara yang sah berhak menjatuhkan hukuman mati dalam kasus yang amat berat.

Memang, dalam kebanyakan kebudayaan, hukuman mati diberlakukan. Namun, dalam etika (termasuk moral Katolik), makin diragukan alasan-alasan yang membenarkan hukuman mati, sebab sama sekali tidak jelas, manakah perkara-perkara yang amat berat yang dapat membenarkan hukuman mati.

Dalam kaitannya dengan perintah kelima, Katekismus mempertimbang-kan topik ini dalam dua perspektif, yakni dari hak untuk mempertahankan diri dan dari perspektif efek yang ditimbulkan dari sebuah hukuman (KGK 2263–2267).

 

3.    Aborsi

Mengenai pengguguran, Tradisi Gereja amat jelas. Mulai dari abad-abad pertama sejarahnya, Gereja membela hidup anak di dalam kandungan, juga kalau (seperti dalam masyarakat Romawi abad pertama dan kedua) pengguguran diterima umum dalam masyarakat. Orang kristiani selalu menentang dan melarang pengguguran. Konsili Vatikan II masih menyebut bahwa pengguguran adalah suatu “tindakan kejahatan yang durhaka”, sama dengan pembunuhan anak. “Sebab Allah, Tuhan kehidupan, telah mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat cermat” (Gaudium et Spes, artikel 51):

Gereja menghukum pelanggaran melawan kehidupan manusia ini dengan hukum Gereja, yakni hukuman ekskomunikasi. “Barangsiapa yang melakukan pengguguran kandungan dan berhasil, terkena ekskomunikasi” (KHK Kanon 1398).

Katekismus Gereja Katolik menegaskan, “Kehidupan manusia harus dihormati dan dilindungi secara absolut sejak saat pembuahannya. Sudah sejak saat pertama keberadaannya, satu makhluk manusia harus dihargai karena ia mempunyai hak-hak pribadi, di antaranya hak atas kehidupan dari makhluk yang tidak bersalah yang tidak dapat diganggu gugat” (KGK 2270).

 

4.    Euthanasia

Ajaran Gereja Katolik mengenai euthanasia aktif sangat jelas, yakni tidak seorang pun diperkenankan meminta perbuatan pembunuhan, entah untuk dirinya sendiri, entah untuk orang lain yang dipercayakan kepadanya. Penderitaan harus diringankan bukan dengan pembunuhan, melainkan dengan pendampingan oleh seorang teman. Demi salib Kristus dan demi kebangkitan-Nya, Gereja mengakui adanya makna dalam penderitaan, sebab Allah tidak meninggalkan orang yang menderita. Dan dengan memikul penderitaan dan solidaritas, kita ikut menebus penderitaan. (lihat KGK 2277–2278–2279).

Katekismus Gereja Katolik menegaskan “Orang-orang yang cacat atau lemah, membutuhkan perhatian khusus. Orang sakit dan cacat harus dibantu supaya sedapat mungkin merekaa dapat hidup secara normal” (KGK 2276).

 

5.    Bunuh diri

Berkaitan dengan bunuh diri, Gereja Katolik menegaskan, “Tiap orang bertanggung jawab atas kehidupannya. Allah memberikan hidup kepadanya. Allah ada dan tetap merupakan Tuhan kehidupan yang tertinggi. Kita berkewajiban untuk berterima kasih karena itu dan mempertahankan hidup demi kehormatan-Nya dan demi keselamatan jiwa kita. Kita hanya pengurus, bukan pemilik kehidupan dan Allah mempercayakan itu kepada kita. Kita tidak mempunyai kuasa apapun atasnya” (KGK 2280).

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar