HIDUP ITU MILIK ALLAH
Tujuan Pembelajaran
Peserta didik mampu memahami dan menyadari
bahwa hidup itu milik Allah dan pada akhirnya dapat menjadi agen dalam
pengembangan moral hidup kristiani dalam masyarakat.
Gagasan Pokok
Kita sering menyaksikan berita
sadisme dan sikap kasar terhadap sesama manusia di berbagai tempat. Anak-anak
muda atau pelajar sering ikut terlibat dalam tindakan kekerasan di jalanan atau
di area publik. Ada begitu banyak tindakan penghilangan hak hidup orang lain
baik oleh orang-orang secara pribadi ataupun gerombolan massa dari
kelompok-kelompok tertentu, penganut budaya kekerasan dan kematian.
Sepanjang sejarah dan dimana saja,
budaya dan etika manusia senantiasa menghormati dan melindungi hidup. Hal-hal
yang mengancam kehidupan seperti perang, penyakit, dan pembunuhan sangat kita
takuti. Kita berusaha melindungi hidup. Demikian juga, ajaran moral kebanyakan
agama senantiasa menghormati dan melindungi hidup. Umat Perjanjian Lama percaya
akan Allah Pencipta, yang gembira atas karya-Nya. Bagi Tuhan, hidup, khususnya
hidup manusia, amat berharga. Umat Allah percaya akan Allah yang cinta hidup,
mengandalkan Allah yang membangkitkan orang mati, dan membela hidup melawan
maut.
Tuhan itu Allah orang hidup, maka
“jangan membunuh” (Kel. 20:13). Ajakan firman kelima ini jelas, yakni tidak
membunuh orang dan tidak membunuh diri sendiri. Perjanjian Baru tidak hanya
melarang pembunuhan, tetapi ingin membangun sikap hormat dan kasih akan hidup.
Hal ini dijelaskan oleh sabda Yesus sendiri dalam khotbah di Bukit: “Kamu telah
mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa
yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang
marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya:
Kafir! Harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus
diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala” (Mat. 5:21–22).
Manusia hidup karena diciptakan
dan dikasihi Allah. Karena itu, biarpun sifatnya manusiawi dan bukan ilahi,
hidup manusia itu suci. Kitab Suci menyatakan bahwa nyawa manusia tidak boleh
diremehkan. Hidup fana ini merupakan titik pangkal bagi hidup yang kekal. Dalam
pelajaran ini, kita ingin menyadari dan belajar untuk selalu menghormati hidup.
Kasus bunuh diri, aborsi, euthanasia, hukuman mati, dan lain- lain merupakan
tindakan yang bertentangan dengan kehendak Allah sendiri sebagai pencipta
kehidupan manusia. Karena itu kita harus ikut menjaga kehidupan sesama manusia
berpedoman pada ajaran dan teladan Yesus Kristus yang diwartakan dalam Kitab
Suci dan ajaran Gereja Katolik.
Doa Pembuka
Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh
Kudus. Amin. Allah Bapa yang penuh cinta, di hari yang berahmat ini,
kami bersyukur kepada-Mu, atas
nafas dan penyelenggaraan hidup yang Engkau
hadiahkan bagi kami. Engkau Tuhan
menciptakan hidup kami dari rahim ibu kami, ajarilah kami untuk selalu
menghargai hidup manusia dan menjunjung tinggi nilai martabat manusia yang
berasal dari pada-Mu.
Doa ini kami satukan dengan doa
yang diajarkan Yesus kepada kami; Bapa kami yang ada di surga…
Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh
Kudus. Amin.
Langkah Pertama: Mengamati Kisah Perjuangan Mendukung Kehidupan
Orang-Orang Yang Terpuruk
1. Guru
mengawali kegiatan pembelajaran dengan berdialog bersama peserta didik dan
mengajak mereka mengingat kembali tema pembelajaran sebelumnya tentang
mengembangkan budaya kasih dan penugasan yang diberikan. Guru menanyakan,
misalnya adakah kesulitan atau hambatan dalam melaksanakan tugas mengembangkan
budaya kasih?
2. Selanjutnya
guru menyampaikan materi pembelajaran saat ini yaitu tentang hidup itu milik
Allah. Berkaitan dengan materi pembelajaran ini, guru dapat memotivasi belajar
peserta didik dengan pertanyaan, misalnya: apa makna makna hidup itu milik
Allah. Apa ajaran atau pandangan Gereja terkait kasus bunuh diri, aborsi,
euthanasia, hukuman mati? Untuk memahami hal ini, marilah kita memulai
pembelajaran dengan menyimak kasus kehidupan berikut ini.
3. Peserta
didik membaca dan menyimak artikel berita berikut ini.
St.
Bunda Teresa, Pendukung Kehidupan
Tanggal 4 September 2016, Bunda
Teresa resmi dinyatakan sebagai santa atau orang suci dalam gereja Katolik.
Perayaan misa kanonisasi Bunda Teresa sebagai santa dipimpin oleh Paus
Fransiskus di Vatikan. Bunda Teresa lahir dengan nama Agnes Gonxha Bojaxhiu
pada tahun 1910 di Skopje, sekarang ibukota Republik Makedonia. Keluarganya
beretnis Albania, penganut Katolik.
Di awal usia 12 tahun, Agnes
memutuskan masuk biara di India. Pada usia 19 tahun, dia bergabung dengan Ordo
Iris dari Loreto. Di sini Agnes belajar bahasa Inggris. Dan ia kemudian dikirim
bertugas ke India tahun 1929. Agnes memberi nama dirinya sebagai Bunda Teresa,
terinspirasi dari biarawati suci Theresa dari Lisieux, saat ia memulai mengajar
di satu sekolah di Darjeeling, kota yang berada di kaki pegunungan Himalaya.
Di tengah perseteruan komunal
sehubungan cengkeraman penjajahan Inggris di India tahun 1946, ia mendengar
"panggilan" untuk membantu para orang miskin dan papa yang hidup di
antara mereka. Setelah 10 tahun membantu orang-orang melarat di tempat-tempat
kumuh di Kalkuta, India, di antaranya 100 ribu orang tunawisma, Bunda Teresa
kemudian membuka rumah sakit di lahan milik kuil Hindu di Kalighat. Setelah
itu, ia melanjutkan dengan membangun rumah untuk anak-anak yang dibuang dari
keluarganya dan penderita lepra.
Bunda Teresa merupakan pendukung
kehidupan. Ia tegas menolak aborsi dan kontrasepsi. Ia menegaskan di hadapan
satu konferensi di Oxford tahun 1988 bahwa perempuan yang mendukung aborsi atau
kontrasepsi tidak pantas mengadopsi anak. "Perempuan seperti itu tidak
memiliki cinta kasih," tegas Bunda Teresa.
Bunda Teresa mendirikan
kongreasinya sendiri yang diberi nama Missionaris Cinta Kasih pada 7 Oktober
1950.Kongresasi ini bertumbuh dengan jumlah biarawati mencapai 4.000 orang di
123 negara. Mereka melayani orang-orang melarat dan sekarat di pemukiman-pemukiman
kumuh di 160 kota di dunia.
Pada 5 September 1997, Bunda
Teresa meninggal setelah menderita serangan jantung. Pemerintah India
mengadakan upacara khusus pemakamannya. Makam Bunda Teresa berada di dalam
kompleks Missionaris Cinta Kasih dan menjadi salah satu tempat peziarahan bagi
semua agama dan kepercayaan.
Bunda Teresa yang hanya memiliki
dua helai pakaian sari selama hidupnya merupakan simbol cinta kasih bagi siapa
saja yang tidak dicintai dan tak diinginkan. Ia disapa sebagai ibu bagi
orang-orang miskin dan melarat.
Sumber:
dunia.tempo.co/read/801577/perjalanan-hidup-bunda-teresa-ibu-bagi-orang-orang-
melarat/full&view=ok/dengan sedikit penyesuaian
4. Peserta
didik berdiskusi mendalami artikel berita.
a.
Siapakah
Bunda Teresa dalam kisah di atas?
b.
Apa
yang ia lakukan dalam hidupnya di Kalkuta?
c.
Mengapa
ia disebut sebagai seorang tokoh pendukung kehidupan?
d.
Temukan
peristiwa-peristiwa dalam masyarakat yang menunjukkan bahwa orang kurang
menghargai hidup sesama dan hidupnya sendiri!
5. Setelah
berdiskusi, peserta didik melaporkan hasil diskusi kelompoknya, dan peserta
didik lain dapat menanggapinya.
6. Setelah
pleno, guru memberikan penjelasan sebagai peneguhan.
a. Bunda
Teresa adalah seorang yang mengabdikan hidupnya untuk menjaga, merawat
kehidupan sesama terutama mereka yang miskin, sakit, menderita, putus asah,
terpinggirkan, dan terbuang. Ia berjuang mendukung kehidupan mereka dengan
uluran tangan kasih. Ia menjadi saluran berkat Allah bagi banyak orang,
terutama mereka yang menderita karena berbagai hal yang membelenggu hidupnya.
b. Tindakan-tindakan
menghilangkan nyawa
Ada
gejala-gejala dalam masyarakat kita yang menunjukkan bahwa hidup/nyawa manusia
kurang dihargai. Nyawa manusia sering dinilai tidak lebih dari beberapa ratus
rupiah atau bahkan semangkuk bakso. Dan tidak jarang kaum muda turut terlibat
di dalamnya. Gejala-gejala tidak menghormati hidup manusia itu muncul dalam
berbagai bentuk, antara lain sebagai berikut:
1) Bunuh
diri
Kematian
dilakukan untuk membebaskan diri dari penderitaan yang dianggap sangat berat.
Misalnya kasus pencobaan bunuh diri oleh seorang siswi di Mojokerto, Jawa
Timur. Masih ada banyak kasus lain seperti ini dalam dunia pendidikan dengan
berbagai latar belakang permasalahan hidupnya.
2) Aborsi
Aborsi
adalah pengguguran kandungan. Pengguguran kandungan merupakan tindakan kriminal
dan termasuk kategori dosa besar karena ada unsur aktif melenyapkan hidup
manusia. Dalam berbagai diskusi, baik lokal maupun regional, baik lingkup
nasional maupun internasional, bersepakat bahwa abortus merupakan tindakan yang
tidak dapat dibenarkan.
Namun,
sejauh mana tidak dibenarkan tergantung pada mana pengkategoriannya. Artinya,
abortus masih dikelompokkan menjadi abortus alamiah dan abortus provocatus.
Abortus alamiah dinilai tidak terdapat unsur kesengajaan, dan karena itu tidak
termasuk tindakan kriminal. Sedangkan abortus provocatus digolongkan sebagai
tindakan kriminal karena ada unsur kesengajaan yang sangat kuat. Menurut hukum
positif, hidup manusia harus dilindungi dari setiap ancaman. Namun,
perlindungan tersebut sering berhenti pada wacana, karena dalam kenyataannya
banyak peristiwa yang kita saksikan, justru bukan merupakan perlindungan
terhadap hidup, tetapi pemusnahan hidup. Kasus-kasus pengguguran dengan sengaja
sering dapat kita baca dan dapat lihat di berbagai media.
3) Euthanasia
Kata
euthanasia berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘kematian yang baik (mudah).
Kematian dilakukan untuk membebaskan seseorang dari penderitaan yang amat
berat. Masalah ini menimbulkan masalah moral seperti bunuh diri. Namun,
euthanasia melibatkan orang lain, baik yang melakukan penghilangan nyawa maupun
yang menyediakan sarana kematian (yang umumnya berarti obat- obatan).
Jenis-Jenis
Euthanasia
a) Dilihat
dari segi pelakunya:
i. Compulsory
euthanasia, yakni bila orang lain memutuskan kapan hidup seseorang akan
berakhir. Orang tersebut mungkin kerabat, dokter, atau bahkan masyarakat secara
keseluruhan. Kadang-kadang euthanasia jenis ini disebut mercy killing
(penghilangan nyawa penuh belas kasih). Misalnya: dilakukan pada orang yang
menderita sakit mengerikan, seperti anak-anak yang cacat parah.
ii. Voluntary
euthanasia, berarti orang itu sendiri minta untuk mati. Beberapa orang percaya
bahwa pasien-pasien yang sekarat karena penyakit yang tak tersembuhkan dan
menyebabkan penderitaan yang berat hendaknya diizinkan untuk meminta dokter
untuk membantunya mati. Mungkin mereka dapat menandatangani dokumen legal
sebagai bukti permintaanya dan disaksikan oleh satu orang atau lebih yang tidak
mempunyai hubungan dengan masalah itu, untuk kemudian dokter menyediakan obat
yang dapat mematikannya. Pandangan seperti ini diajukan oleh masyarakat
euthanasia sukarela.
b) Dilihat
dari segi caranya:
i. Euthanasia
aktif: mempercepat kematian seseorang secara aktif dan terencana, juga bila
secara medis ia tidak dapat lagi disembuhkan dan juga kalau euthanasia
dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri.
ii. Euthanasia
pasif: pengobatan yang sia-sia dihentikan atau sama sekali tidak dimulai, atau
diberi obat penangkal sakit yang memperpendek hidupnya, karena pengobatan apa
pun tidak berguna lagi.
4) Hukuman
mati
a) Hukuman
pancung: hukuman dengan cara potong kepala; (peserta didik diminta untuk
menyebutkan negara kawasan manakah yang sampai kini mempraktikkan cara
tersebut).
b) Sengatan
listrik: hukuman dengan cara duduk di kursi yang kemudian dialiri listrik
bertegangan tinggi; (peserta didik diminta untuk menyebutkan negara kawasan
manakah yang sampai kini mempraktikkan cara tersebut).
c) Hukuman
gantung: hukuman dengan cara digantung di tiang gantungan; (peserta didik
diminta untuk menyebutkan negara kawasan manakah yang sampai kini mempraktikkan
cara tersebut).
d) Suntik
mati: hukuman dengan cara disuntik obat yang dapat membunuh; (peserta didik
diminta untuk menyebutkan negara kawasan manakah yang sampai kini mempraktikkan
cara tersebut).
e) Hukuman
tembak: hukuman dengan cara menembak jantung seseorang, biasanya pada hukuman
ini terpidana harus menutup mata untuk tidak melihat eksekutornya; (peserta
didik diminta untuk menyebutkan negara kawasan manakah yang sampai kini
mempraktikkan cara tersebut).
f) Rajam:
hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati (peserta didik diminta untuk
menyebutkan negara kawasan manakah yang sampai kini mempraktikkan cara
tersebut).
Semua
tindakan tersebut di atas menunjukkan bahwa manusia kurang menghormati hidup
sendiri dan hidup sesama manusia.
Langkah Kedua: Mendalami Sikap Menghargai Hidup Dalam Terang Kitab
Suci Dan Ajaran Gereja Katolik
1. Peserta
didik berdiskusi dalam kelompok untuk mengeksplorasi ajaran Kitab Suci dan
ajaran Gereja dengan panduan pertanyaan-pertanyaan berikut:
a.
Carilah
ayat-ayat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, di mana kita diharuskan menghormati
hidup manusia dan tidak boleh membunuh!
b.
Carilah
ayat-ayat atau perikop dalam Kitab Suci Perjanjian Baru yang mengharuskan kita
menghargai hidup manusia!
c.
Apa
kekhasan ajaran Yesus dalam hal menghormati hidup manusia?
d.
Apa
kiranya ajaran Gereja tentang menghargai hidup manusia?
2. Peserta
didik melaporkan hasil diskusi kelompoknya masing-masing, kemudian dapat
ditanggapi peserta didik lainnya.
3. Selanjutnya
peserta didik, masih dalam kelompok diskusi, menyimak artikel tentang ajaran
Kitab Suci dan ajaran Gereja Katolik tentang menghargai hidup manusia.
4. Peserta
didik membaca dan menyimak tulisan berikut ini.
Ajaran
Kitab Suci (Alkitab) dan Ajaran Gereja Katolik tentang Menghargai Hidup Manusia
a.
Ajaran
Kitab Suci (Alkitab)
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru, banyak ditemukan ajaran tentang menghargai hidup manusia.
Nilai martabat hidup manusia sangat berharga karena itu manusia harus saling
menjaganya sesuai kehendak Tuhan sang Pencipta-Nya.
1)
Kitab
Suci Perjanjian Lama
Umat Perjanjian Lama percaya akan
Allah Pencipta, yang gembira atas karya-Nya. Bagi Allah, hidup, khususnya hidup
manusia, amat berharga. Umat Allah percaya akan Allah yang cinta kehidupan,
mengandalkan Allah yang membangkitkan orang mati, dan membela hidup melawan
maut. Tuhan itu Allah orang hidup, maka: “Jangan membunuh!” (Kel. 20:13 –
firman kelima).
Ajakan firman kelima ini jelas,
yakni tidak membunuh orang dan tidak membunuh diri sendiri, tetapi
pengaturannya tidak begitu sederhana. Misalnya, untuk hukuman mati dan perang
rupanya diperkenankan. Contoh, seorang anak bandel yang tidak menghormati
orang-tuanya. Anak macam ini harus dibawa ke pengadilan dan “semua orang
sekotanya (harus) melempari anak itu dengan batu hingga mati” (Ul. 21:20).
Masih ada banyak hukuman mati yang lain, misalnya hukuman mati untuk penghujat,
untuk pelanggaran sabat, untuk tukang sihir, untuk pelaku zinah, untuk orang
yang menculik orang lain, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, diceritakan bahwa
dalam perang “manusia semua dibunuh dengan mata pedang, sehingga orang-orang
itu dipunahkan semua” (lih. Yos. 11: 14). Seseorang hanya dapat dikatakan
membunuh jika dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja dan orang yang dibunuh
itu tidak bersalah dan tidak membuat perlawanan. Jadi, hukuman mati dan
terjadinya pembunuhan dalam perang diperbolehkan.
2)
Kitab
Suci Perjanjian Baru
Kitab Suci Perjanjian Baru tidak
hanya melarang pembunuhan, tetapi ingin membangun sikap hormat dan kasih akan
hidup. Hal itu dijelaskan oleh sabda Yesus sendiri dalam khotbah di bukit:
“Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: jangan
membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu:
Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata
kepada saudaranya: Kafir! Harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang
berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala” (Mat.
5:21–22).
“Membunuh” berarti membuang sesama
dari persaudaraan manusia, entah dengan membunuhnya, entah dengan
meng-kafirkannya, entah dengan membenci. Dalam lingkungan murid-murid Yesus,
tidak membunuh saja tidaklah cukup. Murid-murid Yesus masih perlu menerima
sesama sebagai saudara, dan jangan sampai mereka mengucilkan seseorang dari
lingkungan hidup. Bahkan, berbuat wajar saja sering kali tidak cukup, sebab:
“Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah
pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu memberi salam kepada
saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain?” (Mat.
5:46–47).
Hidup setiap orang harus dipelihara
dengan kasih. Orang Samaria yang baik hati mendobrak batas-batas kebangsaan,
agama, dan sebagainya. Jangan sampai seseorang kehilangan hidupnya. Hidup
manusia tidak boleh dimusnahkan dengan kekerasan, tidak boleh dibahayakan
dengan sembrono (seperti sering terjadi dalam lalu lintas), tidak boleh diancam
karena benci, dan sebagainya. Sebab, setiap orang adalah anak Allah.
3)
Ajaran
Gereja
Perkembangan sosial dan ekonomis
serta kemajuan ilmu-ilmu (khususnya ilmu kedokteran) menimbulkan banyak pertanyaan
baru perihal hidup. Misalnya: soal aborsi, euthanasia, hukuman mati, perang,
dan lain sebagainya.
Usaha melindungi hidup serta
meningkatkan mutunya bagi semua, sering bermuara dalam konflik. Misalnya,
konflik antara menyelamatkan nyawa ibu atau melakukan aborsi. Konflik semacam
itu sering kali diselesaikan dengan mempertimbangkan aneka kepentingan. Jika
orang terpaksa memilih, ia harus memilih kepentingan dan nilai yang paling
tinggi, yakni nilai yang paling dasariah bagi hidup manusia dan paling
mendesak.
Namun, dalam praktik sering tidak
gampang membuat pilihan. Di bawah ini disinggung satu dua soal berhubungan
dengan masalah pilihan itu.
a)
Hukuman
mati
Gereja tidak mendukung adanya
hukuman mati, namun tidak melarangnya juga. Gereja mempertahankan bahwa kuasa
negara yang sah berhak menjatuhkan hukuman mati dalam kasus yang amat berat.
Memang, dalam kebanyakan
kebudayaan, hukuman mati diberlakukan. Namun, dalam etika (termasuk moral
Katolik), makin diragukan alasan-alasan yang membenarkan hukuman mati, sebab
sama sekali tidak jelas, manakah perkara-perkara yang amat berat yang dapat
membenarkan hukuman mati.
Dalam kaitannya dengan perintah
kelima, Katekismus memper-timbangkan topik ini dalam dua perspektif, yakni dari
hak untuk mempertahankan diri dan dari perspektif efek yang ditimbulkan dari
sebuah hukuman (KGK artikel 2263–2267).
Dalam kaitannya dengan persoalan
pertama tentang hak untuk mempertahankan diri, Katekismus membedakan antara
“upaya pertahanan diri dan masyarakat yang dilakukan secara sah” dan pembunuhan
yang dilakukan secara sengaja. Menurut Katekismus, pertahanan diri yang sah
bukanlah sebuah perkecualian dan dispensasi untuk suatu pembunuhan yang
dilakukan secara sengaja. Keduanya berada dalam level yang sangat berbeda.
Dalam kaitannya dengan upaya
pertahanan diri, Katekismus menekankan: “Cinta kepada diri sendiri merupakan
dasar ajaran susila. Dengan demikian adalah sah menuntut haknya atas
kehidupannya sendiri. Siapa yang membela kehidupannya, tidak bersalah karena
pembunuhan, juga apabila ia terpaksa menangkis penyerangannya dengan satu
pukulan yang mematikan” (KGK 2264).
Lebih lanjut, Katekismus Gereja
Katolik juga menekankan bahwa pembelaan kesejahteraan umum masyarakat menuntut
agar penyerang dihalangi untuk menyebabkan kerugian. Karena alasan ini, maka
ajaran Gereja sepanjang sejarah mengakui keabsahan hak dan kewajiban dari
kekuasaan politik yang sah, menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan beratnya
kejahatan, tanpa mengecualikan hukuman mati dalam kejadian-kejadian yang serius
(KGK 2266).
Prinsip inilah yang berlaku bagi
negara dalam melaksanakan kewajibannya untuk menjaga keselamatan orang banyak
dan melindungi warganya dari malapetaka. Sebab itu, negara dapat menyatakan dan
memaklumkan perang melawan penyerang dari luar komunitasnya sama seperti
individu memiliki hak yang sah untuk mempertahankan diri.
Berdasarkan pemahaman di atas,
Gereja Katolik pada prinsipnya menjunjung tinggi hak negara untuk melaksanakan
hukuman mati atas penjahat-penjahat tertentu. Walau Gereja menjunjung tinggi
tradisi ajaran yang mengijinkan hukuman mati untuk tindak kejahatan yang berat,
tetapi ada beberapa persyaratan serius yang harus dipenuhi guna melaksanakan
otoritas tersebut, yakni apakah cara ini merupakan satu-satunya kemungkinan
untuk melindungi masyarakat atau adakah cara-cara tidak berdarah lainnya?
Apakah dengan demikian pelaku dijadikan “tak lagi dapat mencelakai orang lain”?
Apakah pelaku memiliki kemungkinan untuk meloloskan diri? Apakah kasus ini
merupakan suatu kasus khusus yang menjamin bahwa hukuman yang demikian tidak
akan sering dilakukan? Karena itu Katekismus juga menegaskan: “Sejauh cara-cara
tidak berdarah mencukupi, untuk membela kehidupan manusia terhadap penyerang
dan untuk melindungi peraturan resmi dan keamanan manusia, maka yang berwenang
harus membatasi dirinya pada cara-cara ini, karena cara-cara itu lebih menjawab
syarat-syarat konkret bagi kesejahteraan umum dan lebih sesuai dengan martabat
manusia.” (KGK 2267).
b)
Aborsi
i.
Ajaran
Kitab Suci
Allah berkata kepada Yeremia:
“Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan
sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau. Aku telah
menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa” (Yer. 1:4–5).
Allah sudah mengenal Yeremia
ketika ia masih dalam kandungan ibunya, Allah menguduskan dia, dan
menetapkannya menjadi seorang nabi. Seandainya ibu Yeremia melakukan
pengguguran, maka “Yeremialah” yang terbunuh. Ibu Yeremia belum mengetahui nama
bayi yang dikandungnya, tapi Allah sudah memberikan nama kepadanya. Ibu Yeremia
belum mengetahui bahwa bayi dalam kandungannya akan menjadi nabi Allah yang
besar, tapi Allah sudah menetapkannya. Seandainya bayi itu digugurkan, maka
Allah akan merasa sangat kehilangan.
Alkitab mengatakan, bahwa Yohanes
Pembaptis penuh dengan Roh Kudus ketika ia masih berada dalam rahim ibunya.
Allah mengutus malaikat-Nya kepada Zakharia untuk memberitahukan bahwa istrinya
akan melahirkan seorang anak laki-laki dan bahkan memberitahukan nama yang harus
diberikan pada bayi itu. Zakharia diberitahu bahwa, “Banyak orang akan bersuka
cita atas kelahirannya, sebab ia akan menjadi besar dalam pandangan Allah”
(Luk. 1:11–17).
Allah mengenal Yohanes dengan baik
dan Ia mempunyai rencana khusus bagi kehidupan Yohanes Pembaptis di dunia ini
selagi ia masih berada dalam rahim ibunya. Malaikat Gabriel juga memberitahu
Maria: “Sesungguhnya engkau akan mengandung dan melahirkan seorang anak
laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia, Yesus. Ia akan menjadi besar dan
akan disebut Anak Allah yang maha tinggi ... dan kerajaan-Nya tidak akan
berkesudahan” (Luk. 1:31–33).
Dari beberapa kutipan Kitab Suci
di atas, kita lihat bahwa Allah tidak menunggu sampai bayi itu dapat bergerak
atau sudah betul-betul siap untuk lahir, baru Allah mengenal dan mengasihinya
sebagai seorang manusia. Sesungguhnya, hanya Allah yang berhak memberi atau
mencabut kehidupan. (lih. Ul. 32:39) Hanya Dia yang berhak membuka dan menutup
kandungan. Tetapi manusia dengan tangannya sendiri telah mengundang malapeka.
Ibu-ibu dengan alasan-alasan egoisnya dan dokter-dokter dengan alat-alatnya
yang tajam telah mempermainkan Allah karena telah menghilangkan kehidupan sang
bayi dalam kandungan ibunya.
ii.
Ajaran
Gereja
Mengenai pengguguran, tradisi
Gereja amat jelas. Mulai dari abad-abad pertama sejarahnya, Gereja membela
hidup anak di dalam kandungan, juga kalau (seperti dalam masyarakat Romawi abad
pertama dan kedua) pengguguran diterima umum dalam masyarakat. Orang kristiani
selalu menentang dan melarang pengguguran. Konsili Vatikan II masih menyebut
bahwa pengguguran adalah suatu “tindakan kejahatan yang durhaka”, sama dengan
pembunuhan anak. “Sebab Allah, Tuhan kehidupan, telah mempercayakan pelayanan
mulia melestarikan hidup kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara yang
layak baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan
sangat cermat” (Gaudium et Spes, artikel 51).
Ilmu pengetahuan mengatakan: “Pada
saat sperma dan sel telur bertemu, mereka itu menjadi susunan yang lengkap dan
sempurna untuk kemudian berkembang menjadi manusia dewasa.”Tak perlu lagi
ditambahkan sesuatu, kecuali waktu dan makanan. Setiap tingkat perkembangan,
dari pembuahan sampai menjadi orang tua, hanyalah merupakan proses pematangan
dari bagian- bagian yang sebenarnya sudah ada sejak awalnya (sejak pembuahan).
Manusia dalam kandungan memiliki
martabat yang sama seperti manusia yang sudah lahir. Karena martabat itu,
manusia mempunyai hak-hak asasi dan mempunyai segala hak sipil dan gerejawi,
sebab dengan kelahirannya hidup manusia sendiri tidak berubah, hanya lingkungan
hidupnya menjadi lain.
Gereja menghukum pelanggaran
melawan kehidupan manusia ini dengan hukum Gereja, yakni hukuman ekskomunikasi.
“Barangsiapa yang melakukan pengguguran kandungan dan berhasil, terkena
ekskomunikasi” (KHK Kanon 1398).
Katekismus Gereja Katolik
menegaskan, “Kehidupan manusia harus dihormati dan dilindungi secara absolut
sejak saat pembuahannya. Sudah sejak saat pertama keberadaannya, satu makluk
manusia harus dihargai karena ia mempunyai hak-hak pribadi, diantaranya hak
atas kehidupan dari makhluk yang tidak bersalah yang tidak dapat diganggu
gugat” (KGK 2270).
c)
Euthanasia
Euthanasia sebenarnya sama seperti
pengguguran. Tidak diperbolehkan mempercepat kematian secara aktif dan
terencana, juga jika secara medis ia tidak lagi dapat disembuhkan dan juga
kalau euthanasia dilakukan atas permintaan pasien sendiri (bdk. KUHP pasal
344). Seperti halnya dengan pengguguran, di sini ada pertimbangan moral yang
jelas, juga dalam proses kematian, manusia pun harus dihormati martabatnya.
Semua sependapat, bahwa tidak seorang pun berhak mengakhiri hidup orang lain,
walaupun dengan rasa iba.
Lain halnya kalau dipertimbangkan,
sejauh mana harus diteruskan pengobatan yang tidak menyembuhkan orang, dan
hanya memperpanjang proses kematiannya. Disebut euthanasia pasif, jika
pengobatan yang sia-sia dihentikan (atau sama sekali tidak dimulai); dan
euthanasia tidak langsung, jika obat penangkal sakit memperpendek hidupnya.
Menurut moral Gereja Katolik, tindakan semacam itu dapat dibenarkan.
Ajaran Gereja Katolik mengenai
euthanasia aktif sangat jelas, yakni tidak seorang pun diperkenankan meminta
perbuatan pembunuhan, entah untuk dirinya sendiri, entah untuk orang lain yang
dipercayakan kepadanya. Penderitaan harus diringankan bukan dengan pembunuhan,
melainkan dengan pendampingan oleh seorang teman. Demi salib Kristus dan demi
kebangkitan-Nya, Gereja mengakui adanya makna dalam penderitaan, sebab Allah
tidak meninggalkan orang yang menderita. Dan dengan memikul penderitaan dan
solidaritas, kita ikut menebus penderitaan (lihat KGK 2277–2278–2279).
Katekismus Gereja Katolik
menegaskan, “Orang-orang yang cacat atau lemah, membutuhkan perhatian khusus.
Orang sakit dan cacat harus dibantu supaya sedapat mungkin mereka dapat hidup
secara normal” (KGK 2276).
d)
Bunuh
diri
Berkaitan dengan bunuh diri,
Gereja Katolik menegaskan, “Tiap orang bertanggung jawab atas kehidupannya.
Allah memberikan hidup kepadanya. Allah ada dan tetap merupakan Tuhan kehidupan
yang tertinggi. Kita berkewajiban untuk berterima kasih karena itu dan
mempertahankan hidup demi kehormatan-Nya dan demi keselamatan jiwa kita. Kita
hanya pengurus, bukan pemilik kehidupan dan Allah mempercayakan itu kepada
kita. Kita tidak mempunyai kuasa apapun atasnya”. (KGK 2280)
“Bunuh diri bertentangan dengan
kecondongan kodrati manusia supaya memelihara dan mempertahankan kehidupan. Itu
adalah pelanggaran berat terhadap cinta diri yang benar. Bunuh diri juga
melanggar cinta kepada sesama, karena merusak ikatan solidaritas dengan
keluarga, dengan bangsa dan dengan umat manusia, kepada siapa kita selalu
mempunyai kewajiban. Akhirnya bunuh diri bertentangan dengan cinta kepada Allah
yang hidup” (KGK 2281).
Manusia hidup karena diciptakan
dan dikasihi Allah. Karena itu, biarpun sifatnya manusiawi dan bukan Ilahi,
hidup itu suci. Kitab Suci menyatakan bahwa nyawa manusia (yakni hidup
biologisnya) tidak boleh diremehkan. Hidup manusia mempunyai nilai yang
istimewa karena sifatnya yang pribadi. Bagi manusia, hidup (biologis) adalah
‘masa hidup’, dan tak ada sesuatu ‘yang dapat diberikan sebagai ganti nyawanya’
(lih. Mrk. 8:37). Dengan usaha dan rasa, dengan kerja dan kasih, orang mengisi
masa hidupnya, dan bersyukur kepada Tuhan, bahwa ia ‘boleh berjalan di hadapan
Allah dalam cahaya kehidupan’ (lih. Mzm. 56:14). Memang, ‘masa hidup kita hanya
tujuh puluh tahun’ (lih. Mzm. 90:10) dan ‘di sini kita tidak mempunyai tempat
tinggal yang tetap’ (lih. Ibr. 14:14). Namun, hidup fana merupakan titik
pangkal bagi kehidupan yang diharapkan di masa mendatang.
Hidup fana menunjuk pada hidup
dalam perjumpaan dengan Tuhan, sesudah hidup yang fana ini dilewati. Kesatuan
dengan Allah dalam perjumpaan pribadi memberikan kepada manusia suatu martabat
yang membuat masa hidup sekarang ini sangat berharga dan suci. Hidup manusia di
dunia ini sangat berharga. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh menghilangkan
nyawanya sendiri, misalnya dengan melakukan bunuh diri atau euthanasia. Hanya
Tuhan yang boleh mengambil kembali hidup manusia.
5. Peserta
didik dalam kelompok mendalami ajaran Kitab Suci dan ajaran Gereja tentang
menghargai hidup manusia dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.
a.
Apa
ajaran Kitab Suci Perjanjian Lama tentang menghargai hidup manusia?
b.
Apa
ajaran Yesus tentang menghargai hidup manusia?
c.
Apa
ajaran Gereja tentang hukuman mati?
d.
Apa
ajaran Gereja tentang aborsi?
e.
Apa
ajaran Gereja tentang euthanasia?
f.
Apa
ajaran Gereja tentang bunuh diri?
g.
Apa
saja usaha-usaha yang perlu kalian lakukan untuk menghargai hidup manusia
(mencegah aborsi, hukuman mati, euthanasia, bunuh diri)?
6. Setelah
berdiskusi, peserta didik melaporkan hasil diskusinya dan dapat ditanggapi
kelompok lain.
7. Guru
memberikan penjelasan sebagai peneguhan/kesimpulan atas hasil diskusi, misalnya
seperti berikut ini.
a. Menghargai
hidup harus menjadi budaya bangsa kita. “Budaya” kekerasan dan maut harus
disingkirkan dan dikikis. Untuk itu, dapat diusahakan dengan cara antara lain:
1) Menggali
dan menyebarluaskan ajaran tentang “peri-kemanusiaan”, baik dari ideologi
negara (Pancasila) dan dokumen-dokumen negara lainnya, maupun dari adat dan
kebudayaan bangsa yang sangat mengutamakan kemanusiaan.
2) Memperkenalkan
dan menyebarluaskan gagasan-gagasan kristiani tentang nilai kehidupan/nyawa
manusia.
3) Melawan
dan memboikot dengan tegas “budaya” kekerasan dan “budaya” maut.
b. Untuk
menyebarluaskan gagasan-gagasan di atas, kita dapat menggunakan:
1) semua
media massa yang ada;
2) pengadaan
buku-buku;
3) posisi
umat Katolik, baik dalam pemerintahan, maupun dalam masyarakat luas.
c. Umat
Katolik harus menunjukkan sikap hidup yang nyata dan tegas bahwa kita sungguh
menghormati kehidupan manusia. Kita ingin menghayati budaya cinta kehidupan.
Karena itu kita perlu mencegah adanya aborsi, hukuman mati, euthanasia, bunuh
diri.
Langkah Ketiga: Mencermati Usaha-Usaha Untuk Menghargai Hidup
1. Refleksi
Peserta
didik membuat tulisan refleksi tentang usaha-usaha yang perlu dilakukan untuk
menghargai hidup manusia.
2. Aksi
Peserta
didik menempelkan hasil refleksinya tentang menghargai hidup di majalah dinding
sekolah atau mengunggahnya di media sosial milik sekolah (bila memungkinkan).
Doa Penutup
Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh
Kudus. Amin.
Bapa yang penuh kasih dan
kebaikan. Kami berterima kasih, melalui pembelajaran ini Engkau telah menyapa
kami
untuk menghargai kehidupan seperti
mencintai diri dan hidup kami. Semoga melalui ajaran-Mu kami pun memahami bahwa
mencintai kehidupan adalah panggilan yang menguduskan manusia.
Jadikanlah kami menjadi saksi-Mu
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kasih.
Demi Kristus Tuhan dan pengantara
kami. Amin. Kemuliaan kepada Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus
Seperti pada permulaan, sekarang,
selalu, dan sepanjang segala abad. Amin.
Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh
Kudus. Amin.
Rangkuman
1. Menghargai
hidup manusia
Manusia
hidup karena diciptakan dan dikasihi Allah. Karena itu, biarpun sifatnya
manusiawi dan bukan Ilahi, hidup itu suci. Kitab Suci menyatakan bahwa nyawa
manusia (yakni hidup biologisnya) tidak boleh diremehkan. Hidup manusia
mempunyai nilai yang istimewa karena sifatnya yang pribadi. Bagi manusia, hidup
(biologis) adalah ‘masa hidup’, dan tak ada sesuatu ‘yang dapat diberikan
sebagai ganti nyawanya’ (lih. Mrk. 8:37). Dengan usaha dan rasa, dengan kerja
dan kasih, orang mengisi masa hidupnya, dan bersyukur kepada Tuhan, bahwa ia
‘boleh berjalan di hadapan Allah dalam cahaya kehidupan’ (lih. Mzm. 56:14).
Memang, ‘masa hidup kita hanya tujuh puluh tahun’ (lih. Mzm. 90:10) dan ‘di
sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap’ (lih. Ibr. 14:14). Namun,
hidup fana merupakan titik pangkal bagi kehidupan yang diharapkan di masa
mendatang.
2. Hukuman
mati
Gereja
tidak mendukung adanya hukuman mati, namun tidak melarangnya juga. Gereja
mempertahankan bahwa kuasa negara yang sah berhak menjatuhkan hukuman mati
dalam kasus yang amat berat.
Memang,
dalam kebanyakan kebudayaan, hukuman mati diberlakukan. Namun, dalam etika
(termasuk moral Katolik), makin diragukan alasan-alasan yang membenarkan
hukuman mati, sebab sama sekali tidak jelas, manakah perkara-perkara yang amat
berat yang dapat membenarkan hukuman mati.
Dalam
kaitannya dengan perintah kelima, Katekismus mempertimbang-kan topik ini dalam
dua perspektif, yakni dari hak untuk mempertahankan diri dan dari perspektif
efek yang ditimbulkan dari sebuah hukuman (KGK 2263–2267).
3. Aborsi
Mengenai
pengguguran, Tradisi Gereja amat jelas. Mulai dari abad-abad pertama
sejarahnya, Gereja membela hidup anak di dalam kandungan, juga kalau (seperti
dalam masyarakat Romawi abad pertama dan kedua) pengguguran diterima umum dalam
masyarakat. Orang kristiani selalu menentang dan melarang pengguguran. Konsili
Vatikan II masih menyebut bahwa pengguguran adalah suatu “tindakan kejahatan
yang durhaka”, sama dengan pembunuhan anak. “Sebab Allah, Tuhan kehidupan,
telah mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia, untuk
dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan
harus dilindungi dengan sangat cermat” (Gaudium et Spes, artikel 51):
Gereja
menghukum pelanggaran melawan kehidupan manusia ini dengan hukum Gereja, yakni
hukuman ekskomunikasi. “Barangsiapa yang melakukan pengguguran kandungan dan
berhasil, terkena ekskomunikasi” (KHK Kanon 1398).
Katekismus
Gereja Katolik menegaskan, “Kehidupan manusia harus dihormati dan dilindungi
secara absolut sejak saat pembuahannya. Sudah sejak saat pertama keberadaannya,
satu makhluk manusia harus dihargai karena ia mempunyai hak-hak pribadi, di
antaranya hak atas kehidupan dari makhluk yang tidak bersalah yang tidak dapat
diganggu gugat” (KGK 2270).
4. Euthanasia
Ajaran
Gereja Katolik mengenai euthanasia aktif sangat jelas, yakni tidak seorang pun
diperkenankan meminta perbuatan pembunuhan, entah untuk dirinya sendiri, entah
untuk orang lain yang dipercayakan kepadanya. Penderitaan harus diringankan
bukan dengan pembunuhan, melainkan dengan pendampingan oleh seorang teman. Demi
salib Kristus dan demi kebangkitan-Nya, Gereja mengakui adanya makna dalam
penderitaan, sebab Allah tidak meninggalkan orang yang menderita. Dan dengan
memikul penderitaan dan solidaritas, kita ikut menebus penderitaan. (lihat KGK
2277–2278–2279).
Katekismus
Gereja Katolik menegaskan “Orang-orang yang cacat atau lemah, membutuhkan
perhatian khusus. Orang sakit dan cacat harus dibantu supaya sedapat mungkin
merekaa dapat hidup secara normal” (KGK 2276).
5. Bunuh
diri
Berkaitan
dengan bunuh diri, Gereja Katolik menegaskan, “Tiap orang bertanggung jawab
atas kehidupannya. Allah memberikan hidup kepadanya. Allah ada dan tetap merupakan
Tuhan kehidupan yang tertinggi. Kita berkewajiban untuk berterima kasih karena
itu dan mempertahankan hidup demi kehormatan-Nya dan demi keselamatan jiwa
kita. Kita hanya pengurus, bukan pemilik kehidupan dan Allah mempercayakan itu
kepada kita. Kita tidak mempunyai kuasa apapun atasnya” (KGK 2280).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar