HAK ASASI MANUSIA DALAM TERANG AJARAN KITAB SUCI DAN AJARAN GEREJA
Tujuan Pembelajaran
Peserta didik mampu memahami HAM
dalam terang Kitab Suci dan Ajaran Gereja, dan dapat mewujudkannya dalam hidup
sehari-hari di tengah masyarakat.
Gagasan Pokok
Indonesia menurut catatan Komisi
HAM PBB, termasuk negara pelanggar HAM berat di dunia. Pada umumnya,
pelanggaran HAM di Indonesia disebabkan oleh struktur dan sistem politik,
ekonomi, dan budaya masyarakat yang diciptakan oleh kaum penguasa dan kaum
kaya.
Ajaran Sosial Gereja menegaskan:
“Karena semua manusia mempunyai jiwa berbudi dan diciptakan menurut citra
Allah, karena mempunyai kodrat dan asal yang sama, serta karena penebusan
Kristus, mempunyai panggilan dan tujuan ilahi yang sama, maka kesamaan asasi antara
manusia harus senantiasa diakui” (GS 29). Dari ajaran tersebut tampak jelas
pandangan Gereja tentang hak asasi, yakni hak yang melekat pada diri manusia
sebagai insan ciptaan Allah. Hak ini tidak diberikan kepada seseorang karena
kedudukan, pangkat atau situasi. Hak ini dimiliki setiap orang sejak lahir,
karena dia seorang manusia. Hak ini bersifat asasi bagi manusia, karena kalau
hak ini diambil, ia tidak dapat hidup sebagai manusia lagi. Oleh karena itu,
hak asasi manusia merupakan tolok ukur dan pedoman yang tidak dapat diganggu
gugat dan harus ditempatkan di atas segala aturan hukum. Gereja mendesak
diatasinya dan dihapuskannya “setiap bentuk diskriminasi, entah yang bersifat
sosial atau kebudayaan, entah yang didasarkan pada jenis kelamin, warna kulit,
suku, keadaan sosial, bahasa ataupun agama... karena berlawanan dengan maksud
dan kehendak Allah” (GS 29).
Dalam kegiatan pembelajaran ini
para peserta didik dibimbing untuk memahami bahwa kasih Tuhan senantiasa
menjadi dasar terdalam hak-hak asasi manusia. Kita semua sebagai murid Yesus
harus mempunyai komitmen untuk membela orang-orang yang tertindas hak-hak
asasinya sebagai manusia.
Doa Pembuka
Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh
Kudus. Amin.
Bapa yang penuh kasih, Engkau
menciptakan umat manusia sebagai insan yang mulia, yang secitra atau segambar
dengan diri-Mu sendiri.
Bapa di surga, dalam dunia ini
sering terjadi penyelewengan dan perlakuan yang tidak manusiawi terhadap
ciptaan-Mu, martabatnya di hina, dicaci maki
demi keegoisan semata. Dalam
pembelajaran ini, melalui ajaran sosial Gereja-Mu, buatlah kami menjadi Gereja
yang hidup, Gereja yang berkurban,
Gereja yang hidup dan mampu
bersosial kepada sesama kami.
Doa ini kami satukan dengan doa
yang diajarkan oleh Yesus sendiri kepada kami.
”Bapa kami yang ada di surga ....”
Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh
Kudus. Amin.
Langkah Pertama: Menggali Pengalaman Hidup
1. Guru
mengawali kegiatan pembelajaran dengan berdialog bersama peserta didik dan
mengajak mereka mengingat kembali tema pembelajaran sebelumnya tentang ajaran
sosial Gereja. dan penugasan yang diberikan. Guru menanyakan, misalnya apakah
ada kesulitan atau hambatan dalam melaksanakan tugas terakhir yang diberikan
yaitu mewujudkan Ajaran Sosial Gereja dalam hidupmu sehari-hari. Guru bisa juga
menanyakan hal apa yang masih diingat? Apakah ada yang mau ditanyakan?
2. Selanjutnya
guru menyampaikan materi pembelajaran saat ini yaitu tentang hak asasi manusia
dalam terang ajaran Kitab Suci dan ajaran Gereja. Berkaitan dengan materi
pembelajaran ini, guru dapat memotivasi belajar peserta didik dengan
pertanyaan, misalnya: Apa makna hak asasi manusia? Apa makna hak asasi manusia
dalam terang ajaran Kitab Suci dan ajaran Gereja? Untuk memahami hal itu
marilah kita memulai pembelajaran dengan menyimak cerita berikut ini.
3. Peserta
didik membaca dan menyimak kisah berikut ini.
Romo
Mangunwijaya, Pr
Romo Mangun terlahir dengan nama
lengkap Yusuf Bilyarta Mangunwijaya pada 6 Mei 1929 di Semarang. Ia pernah
mengalami masa revolusi fisik melawan Belanda untuk membebaskan negeri ini dari
belenggu penjajahan yang menyengsarakan rakyat. Beliau pernah bergabung ke
dalam prajurit Tentara Keamanan Rakyat (TKR) batalyon X divisi III yang
bertugas di Benteng Vrederburg, Yogyakarta. Ia sempat ikut dalam pertempuran di
Ambarawa, Magelang, Mranggen. Rangkaian peristiwa hidup tersebut membuat Romo
Mangun mengenal arti humanisme.
Ia menyaksikan sendiri rakyat
Indonesia menderita, kelaparan, terancam jiwanya, dan bahkan mati sia-sia
akibat aksi militer Belanda yang mencaplok wilayah Republik.
Berangkat dari pengalaman hidup
inilah, Romo Mangun bertekad untuk sepenuhnya mengabdikan diri pada rakyat.
Putu Wijaya, seorang dramawan dan novelis pernah bertutur, “Romo Mangun adalah
seorang yang sangat dekat dengan rakyat. Dia selalu berpihak kepada mereka yang
tertindas. Contohnya, kepeduliannya pada warga Kali Code dan Kedung Ombo.
Perhatiannya selalu kepada rakyat sederhana, miskin, disingkirkan, dan
tertindas.”
Karya arsitekturalnya di Kali Code
menjadi salah satu "monumen" Romo Mangun. Ia membangun kawasan
pemukiman warga pinggiran itu tidak sebatas pembangunan fisik, tapi sampai pada
fase memanusiakan manusia. Romo Mangun, yang dikenal juga sebagai bapak dari
masyarakat "Girli" (pinggir kali) mengenai "monumen"-nya
tersebut. Penataan lingkungan di Kali Code itu pun membuahkan The Aga Khan
Award for Architecture pada tahun 1992.
Tiga tahun kemudian, karya yang
sama ini membuahkan penghargaan dari Stockholm, Swedia, The Ruth and Ralph
Erskine Fellowship Award untuk kategori arsitektur demi rakyat yang tak
diperhatikan.
Pada tahun 1986, ia mendampingi
warga Kedung Ombo yang kala itu memperjuangkan lahannya dari pembangunan waduk.
Pembelaannya kepada nasib penduduk Kedung Ombo menyebabkan Presiden, yang saat
itu masih dijabat oleh Soeharto, menuduhnya sebagai komunis yang mengaku
sebagai rohaniawan. Berbagai teror dan intimidasi menghampirinya pula.
"Kalau saya dituduh melakukan kristenisasi kepada para santri, silakan
tanyakan langsung kepada warga Kedung Ombo. Kalau saya dikatakan sebagai warga
negara yang tidak taat kepada pemerintah, saya jawab, ketaatan itu harus pada
hal yang baik. Orang tidak diandaikan untuk menaati perintah yang buruk. Apa
yang saya kerjakan sesuai dengan Mukadimah UUD 1945 dan Pancasila,"
komentarnya tenang.
Upaya yang tidak sia-sia mengingat
pada tanggal 5 Juli 1994, akhirnya Mahkamah Agung RI mengabulkan tuntutan
kasasi 34 warga Kedung Ombo tersebut. Malahan warga memperoleh ganti rugi yang
nilainya lebih besar daripada tuntutan semula.
Sumber:
blog.djarumbeasiswaplus.org (2014) dengan beberapa tambahan keterangan dari
berbagai sumber.
4. Peserta
didik berdiskusi dengan panduan pertanyaan-pertanyaan;
a.
Siapakah
Romo Mangunwijaya itu?
b.
Apa
saja yang telah diperjuangkannya dalam hidupnya sebagai pengikut Yesus?
c.
Sebutkah
tokoh-tokoh Katolik lain yang kalian kenal dimana mereka berjuang untuk nasib
hidup orang lain yang tertindas!
5. Setelah
para peserta didik berdiskusi dan menyampaikan hasil diskusinya, guru
memberikan penjelasan, misalnya;
a.
Romo
Mangunwijaya, merupakan salah satu pejuang HAM di Indonesia. Sebagai pengikut
Yesus, ia berkomitmen untuk membela orang-orang kecil, orang miskin, serta
orang-orang yang tertindas sampai akhir hayat hidupnya.
b.
Pandangan
Gereja tentang hak asasi, yakni hak yang melekat pada diri manusia sebagai
insan ciptaan Allah. “Hak ini tidak diberikan kepada seseorang karena
kedudukan, pangkat atau situasi; hak ini dimiliki setiap orang sejak lahir,
karena dia seorang manusia. Hak ini bersifat asasi bagi manusia, karena jika
hak ini diambil, ia tidak dapat hidup sebagai manusia lagi. Oleh karena itu,
hak asasi manusia merupakan tolok ukur dan pedoman yang tidak dapat
diganggu-gugat dan harus ditempatkan di atas segala aturan hukum.
Langkah Kedua: Menggali Ajaran Kitab Suci Dan Ajaran Gereja
1. Peserta
didik menyimak teks Injil Yohanes 8:1–11
1Tetapi
Yesus pergi ke bukit Zaitun.
2Pagi-pagi
benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia
duduk dan mengajar mereka.
3Maka
ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan
yang kedapatan berbuat zinah.
4Mereka
menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: “Rabi,
perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah.
5Musa
dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan- perempuan yang
demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?”
6Mereka
mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk
menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah.
7Dan
ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Ia pun bangkit berdiri lalu
berkata kepada mereka: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia
yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.”
8Lalu
Ia membungkuk pula dan menulis di tanah.
9Tetapi
setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang,
mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan
itu yang tetap di tempatnya.
10Lalu
Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: “Hai perempuan, di manakah mereka?
Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?”
11Jawabnya:
“Tidak ada, Tuhan.” Lalu kata Yesus: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah,
dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
2. Peserta
didik berdiskusi atau dengan pertanyaan, misalnya:
a.
Apa
yang disampaikan dalam teks Kitab Suci itu?
b.
Bagaimana
sikap dan ajaran Yesus tentang HAM berdasarkan cerita tersebut?
c.
Apa
itu budaya kasih?
3. Guru
memberikan penjelasan sebagai peneguhan, setelah peserta didik menyampaikan
hasil diskusinya.
a.
Hak-hak
dasar yang dimiliki oleh setiap manusia adalah hak hidup, hak atas keyakinan
keagamaan, hak atas harta milik, hak politik, hak atas perlindungan hukum, hak
atas pekerjaan, hak atas tempat tinggal, hak atas pendidikan, dan sebagainya.
b.
Hak-hak
tersebut sering dilecehkan oleh orang-perorangan, kelompok, atau negara.
c.
Yesus
berani berdiri pada pihak yang kurang beruntung, pendosa, orang miskin, wanita,
orang sakit, dan tersingkir, baik orang Yahudi maupun bukan Yahudi. Dengan
semangat kasih-Nya yang tanpa pamrih, tanpa kekerasan Yesus membela mereka yang
tertindas.
d.
Sepanjang
sejarahnya, Gereja (umat Allah) memperjuangkan nasib orang- orang miskin,
menderita dengan berbagai cara atas dasar hukum kasih.
4. Peserta
didik membaca dan menyimak ajaran Gereja dari Konsili Vatikan II, “Gaudium et
Spes” artikel 29.
Kesamaan
Hakiki antara Semua Orang dan Keadilan Sosial
Semua orang mempunyai jiwa yang
berbudi dan diciptakan menurut gambar Allah, dengan demikian mempunyai kodrat
serta asal mula yang sama. Mereka semua ditebus oleh Kristus, dan mengemban
panggilan serta tujuan ilahi yang sama pula. Maka harus semakin diakuilah
kesamaan dasariah antara semua orang.
Memang karena pelbagai kemampuan
fisik maupun kemacam-ragaman daya kekuatan intelektual dan moral tidak dapat
semua orang disamakan. Tetapi setiap cara diskriminasi dalam hak-hak asasi
pribadi, entah bersifat sosial entah budaya, berdasarkan jenis kelamin, suku,
warna kulit, kondisi sosial, bahasa atau agama, harus diatasi dan disingkirkan,
karena bertentangan dengan maksud Allah.
Sebab sungguh layak disesalkan,
bahwa hak-hak asasi pribadi itu belum dipertahankan dimana-mana secara utuh dan
aman. Seperti bila seorang wanita tidak diakui wewenangnya untuk dengan bebas
memilih suaminya dan menempuh status hidupnya, atau untuk menempuh pendidikan
dan meraih kebudayaan yang sama seperti dipandang wajar bagi pria.
Kecuali itu, sungguh pun antara
orang-orang terdapat perbedaan-perbedaan yang wajar, tetapi kesamaan martabat
pribadi menuntut, agar dicapailah kondisi hidup yang lebih manusiawi dan adil.
Sebab perbedaan-perbedaan yang keterlaluan antara sesama anggota dan bangsa
dalam satu keluarga manusia di bidang ekonomi maupun sosial menimbulkan batu
sandungan, lagi pula berlawanan dengan keadilan sosial, kesamarataan, martabat
pribadi manusia, pun juga merintangi kedamaian sosial dan internasional.
Adapun lembaga-lembaga manusiawi,
baik swasta maupun umum, hendaknya berusaha melayani martabat serta tujuan
manusia, seraya sekaligus berjuang dengan gigih melawan setiap perbudakan
sosial maupun politik, serta mengabdi kepada hak-hak asasi manusia di bawah
setiap pemerintahan. Bahkan lembaga- lembaga semacam itu lambat-laun harus
menanggapi kenyataan-kenyataan rohani, yang melampaui segala-galanya, juga
kalau ada kalanya diperlukan waktu cukup lama untuk mencapai tujuan yang
dimaksudkan (GS 29).
5. Peserta
didik berdiskusi dalam kelompok kecil untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan
berikut ini.
a.
Mengapa
Gereja menyatakan bahwa kita harus semakin mengakui kesamaan dasariah antara
semua orang?
b.
Apa
sikap Gereja terhadap diskriminasi terhadap pribadi manusia?
c.
Bagaimana
Gereja menyikapi perbedaan dalam masyarakat?
6. Setelah
berdiskusi, peserta didik melaporkan hasil diskusinya dan kelompok lain dapat
menanggapinya.
7. Guru
memberikan penjelasan sebagai peneguhan atas jawaban peserta didik dalam
diskusinya. Misalnya seperti berikut ini.
a.
Semua
orang mempunyai jiwa yang berbudi dan diciptakan menurut gambar Allah, dengan
demikian mempunyai kodrat serta asal mula yang sama. Mereka semua ditebus oleh
Kristus, dan mengemban panggilan serta tujuan ilahi yang sama pula. Karena
itulah kita harus mengakui kesamaan dasar setiap manusia.
b.
Cara
diskriminasi dalam hak-hak asasi pribadi, entah bersifat sosial entah budaya,
berdasarkan jenis kelamin, suku, warna kulit, kondisi sosial, bahasa atau
agama, harus diatasi dan disingkirkan, karena bertentangan dengan kehendak
Allah.
c.
Perbedaan-perbedaan
yang wajar itu ada, tetapi kesamaan martabat pribadi menuntut, agar dicapailah
kondisi hidup yang lebih manusiawi dan adil. Sebab perbedaan-perbedaan yang
keterlaluan antara sesama anggota dan bangsa dalam satu keluarga manusia di
bidang ekonomi maupun sosial menimbulkan batu sandungan, lagi pula berlawanan
dengan keadilan sosial, kesamarataan, martabat pribadi manusia, pun juga
merintangi kedamaian sosial dan internasional.
Langkah Ketiga: Menghayati Semangat HAM Sesuai Ajaran Gereja
Katolik Dalam Hidup Sehari-Hari
1. Refleksi
Peserta
didik menuliskan sebuah refleksi dengan inspirasi perjuangan tokoh Katolik pejuang
HAM seperti dari Romo Mangun atau tokoh lainnya. Semangat apa yang dapat
diteladani dari tokoh itu dalam hidupnya sebagai pengikut Yesus Kristus.
2. Aksi
Peserta
didik menuliskan niat-niatnya untuk menghormati hak asasi manusia sesamanya
dalam hidup sehari-hari; mulai dari dalam keluarganya sendiri, di sekolah dan
di masyarakat.
Doa Penutup
Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh
Kudus. Amin.
Bapa yang Mahabaik, terima kasih
atas bimbingan-Mu selama pelajaran ini. Semoga melalui pembelajaran ini, kami
mampu membangun kehidupan
yang bermartabat, sehat, adil,
sejahtera, bersosial dan memasyarakat bagi siapapun.
Jadikanlah kami menjadi sahabat
dan saudara bagi sesama. Karena dengan ajaran sosial Gereja-Mu kami memperoleh
berkat, kami menemukan persaudaraan, kami mampu berbagi,
kami dapat melayani.
Karena Kristus Tuhan dan
pengantara kami. Amin.
Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh
Kudus. Amin.
Rangkuman
1. Hak-hak
dasar yang dimiliki oleh setiap manusia adalah hak hidup, hak atas keyakinan
keagamaan, hak atas harta milik, hak politik, hak atas perlindungan hukum, hak
atas pekerjaan, hak atas tempat tinggal, hak atas pendidikan, dan sebagainya.
2. Hak-hak
tersebut sering dilecehkan oleh orang-perorangan, kelompok, atau negara.
3. Yesus
berani berdiri pada pihak yang kurang beruntung, pendosa, orang miskin, wanita,
orang sakit, dan tersingkir, baik orang Yahudi maupun bukan Yahudi. Dengan
semangat kasih-Nya yang tanpa pamrih, tanpa kekerasan Yesus membela mereka yang
tertindas
4. Sepanjang
sejarahnya, Gereja (umat Allah) memperjuangkan nasib orang- orang miskin,
menderita dengan berbagai cara atas dasar hukum kasih.
5. Semua
orang mempunyai jiwa yang berbudi dan diciptakan menurut gambar Allah, dengan
demikian mempunyai kodrat serta asal mula yang sama. Mereka semua ditebus oleh
Kristus, dan mengemban panggilan serta tujuan ilahi yang sama pula. Karena
itulah kita harus mengakui kesamaan dasar setiap manusia.
6. Cara
diskriminasi dalam hak-hak asasi pribadi, entah bersifat sosial entah budaya,
berdasarkan jenis kelamin, suku, warna kulit, kondisi sosial, bahasa atau
agama, harus diatasi dan disingkirkan, karena bertentangan dengan kehendak
Allah.
7. Perbedaan-perbedaan
yang wajar itu ada, tetapi kesamaan martabat pribadi menuntut, agar dicapailah
kondisi hidup yang lebih manusiawi dan adil. Sebab perbedaan-perbedaan yang
keterlaluan antara sesama anggota dan bangsa dalam satu keluarga manusia di
bidang ekonomi maupun sosial menimbulkan batu sandungan, lagi pula berlawanan
dengan keadilan sosial, kesamarataan, martabat pribadi manusia, pun juga
merintangi kedamaian sosial dan internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar